Thursday, December 30, 2004

Mungkinkah Bercocok Tanam Sawah Menggunakan Air Laut

minggu pagi dua puluh enam desember dua ribu empat
aku duduk berdua istri di pasir pantai tepian laut pelabuhan ratu
tepatnya di halaman belakang hotel samudra beach
memunggungi kolam renang menghadap teluk pelabuhan ratu
nampak dua anak muda riang belajar selancar
jatuh bangun tetap tertawa

sementara anak - anak berlarian saling kejar
melempar tangkap bola, dan ada pula yang asyik menyusun istana pasir,
di sisi lain, sepasang muda asyik menikmati baso dan kelapa muda
ada wanita menjelang tua ribut menyuapi - barangkali - cucunya
yang sedang asyik bermain air di kolam renang
nyiyir sekali nenek satu ini, mulutnya tak henti bergerak mengunyah entah apa,

lepas dari cucunya, nenek menjelang tua ini terlihat menawar sepikul pisang
kami lihat tawar menawar cukup lama hingga akhirnya si nenek memanggil pembantunya
untuk memandu si penjual pisang menaruh di mobil.

matahari terus beranjak menggeser bayangan payung makin pendek hingga kami menderita panas pagi di tengah kemalasan,
lepas perhatikan nenek dan penjual pisang, tba - tiba muncul penjaja pijat refleksi,
menyapa saya dengan panggilan Boss, membuat aku mulas dan langsung kutolak tawaran pijatnya,
aku bergumam kepada istriku, coba tidak menyapaku dengan "boss" kemungkinan besar aku terima tawarannya,
panggilan boss membuatku risih dan bukan untukku.

pergi sang penjaja pijat, entah mengapa pikirku mulai terbayang berita di televisi,
soal gempa bumi di aceh,
pagi itu belum ada berita susulan mengenai gelombang tsunami menelan ribuan jiwa,
hanya ada berita gempa.

perjalanan pemikiran di kepalaku tidak mengarah ke spekulasi berapa banyak korban,
namun justru ke pemanfaatan air laut untuk kehidupan petani sawah,
ya petani sawah yang menanam padi.

imaginasiku begini,
seringkali aku melihat langsung atau membaca, atau melihat di televisi,
banyak tanah tandus yang kering kerontang tak ada air,
rumputpun enggan tumbuh, apalagi padi yang boros air,

tengoklah misalnya gunung kidul, atau nusa tenggara timur,
tak jauh dari tanah yang kerontang terbentang laut dengan maha volume airnya,
tak terhitung banyaknya,

bukankah air di daratan dan air di lautan unsur utamanya sama?
bukankah yang membedakan hanyalah yang satu sedikit mengandung garam (NaCl), sedang yang lainnya kadarnya tinggi?
apakah tidak mungkin padi diairi dengan air laut?

soal teknis bagaimana mengalirkan air litu ke daratan itu masalah gampang,
orang madura pintar membuat garam dari air laut,
ketika bekerja untuk sebuah perusahaan minyak di lepas pantai,
salah satu tugaskku merawat mesin penyuling air laut menjadi air tawar,

apakah tidak mungkin menemukan varietas padi yang dapat tumbuh di sawah berair payau?
bukankah tumbuhan bakau dapat hidup di air laut?
bukankah ikan bandeng hidup di air payau?

aku ingin mencoba memelihara ikan laut di aquarium yang kuisi air tawar,
atau sebaliknya, ikan mas kutaruh di akuarium berair asin
kuingin lihat reaksinya,
untuk ikan aku mungkin mampu melakukannya, ada yang kucoba langsung, ada yang akan kucoba sedikit demi sedikit kunaikkan kadar garam untuk ikan mas, atau kuturunkan kadar garam untuk ikan kakap, misalnya.
yang pasti aku tidak tahu bagaimana caranya untuk padi, aku bukan ahli pertanian

aku bayangkan jika kelak ada tumbuhan, atau varietas padi yang dapat hidup subur di air payau, atau lebih ekstrim lagi dapat tumbuh dengan air laut, niscaya umat manusia tidak perlu lagi takut akan kekeringan, tidak ada musim kemarau, setiap saat air laut dapat dinaikkan ke darat untuk mengairi sawah.

apakah ini hanya impian sadar di siang hari? aku tidak tahu pasti,
yang jelas aku hanya dapat membayangkannya saja.

mas wigrantoro roes setiyadi
rempoa, 29 desember 2004

Tuhan, Politisi, dan Demokrasi

Pagi tadi, Rabu dua puluh sembilan desember dua ribu empat, aku tersengat membaca opini Emha Ainun Nadjib, yang di-klaim media sebagai budayawan. Artikel di Harian Kompas tersebut berjudul "Gunung Jangan Pula Meletus" menceritakan dialog antara Emha dengan Kiai Sudrun, tokoh rekaan Emha yang digambarkan sebagai manusia setengah urakan, waskita, dan menguasai persoalan ke-Tuhanan.

Sepenggal kalimat Emha yang segera menyadarkan diriku mengenai sifat ke-Tuhan-an muncul dari ucapak Sudrun "Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu - satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator da otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek - robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa - apa karena karena Ia tidak berutang keoada siapa - siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapapun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya."

Selepas merenung kalimat Emha di atas, saya lalu membuka buku karya Hannah Arendt " The Origins of Totalitarianism". Buku yang belakangan diramaikan oleh karya thesis-nya Rieke Diah Oneng Pitaloka dengan topik "Banalitas Kekerasan Negara" Buku Arendt ini sudah menjadi koleksi perpustakaan pribadiku sejak 15 Juli 2001, baru dibaca sebagian saja (yang ketika itu menarik minatku). Dalam uraian Arendt, diktator yang mewujud ke tindakan totaliter muncul karena penguasa mengatas-namakan dirinya sebagai pengganti dan pemegang kuasa Tuhan di bumi. Lihatlah betapa Lenin, Stalin, Hitler, Mao, dan kemudian Idi Amin, serta barangkali Soeharto menggunakan dalih kepemimpinan yang "direstui" Tuhan untuk selanjutnya mereka bertindak seolah - olah mereka itu Tuhan itu sendiri. Apa yang dinginkannya dari sembarang warga, itulah yang harus dilakukan, tak peduli rakyat harus menderita bahkan sampai mati.

Mengacu per definisi, versi Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1996, diktator dijabarkan sebagai "kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan yang mutlak, terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis". kata kunci dalam pengertian diktator paling tidak: kepala pemerintahan, kekuasaan mutlak, kekerasan, dan tidak demokratis.

Diktator selalu dikaitkan dengan pemimpin suatu negara atau pemerintahan. Dalam skala kecil diktator dapat pula melekat pada suami sebagai kepala rumah tangga, atau pemimpin perusahaan, atau organisasi. Yang menunjukkan seorang pemimpin diktator atau tidak antara lain pada apakah dalam mendapatkan posisinya diperoleh dengan cara yang demokratis atau dengan cara paksaan, serta bagaimana pemimpin tersebut menjalankan perannya sebagai pemimpin, apakah dapat memimpin dengan tegas tanpa kekerasan, atau harus selalu disertai dengan tindakan kekerasan kepada mereka yang tidak bersetuju dengan kebijakan yang dibuatnya. Demikian pula, apakah pemimpin tersebut memerintah sendirian, sehingga seluruh kekuasaan negara ada di genggaman tangannya, atau membagi kekuasaan kepada orang lain.

Dalam Origin of Totalitarianism tidak disebutkan bagaimana seseorang pemimpin menjadi berperilaku keras, mutlak, dan tidak demokratis. Apakah muncul dari faktor internal, atau tumbuh mengikuti perkembangan dan keadaan, atau muncul sebagai pengaruh dari para pembantunya yang menjadikan sang pemimpin sebagai totaliter. Dalam hal apapun, yanghampir pasti antara sang pemimpiin dan pengikutnya menikmati hubungan timbal balik yang saling menikmatkan karena kekuasaan yang mutlak dapat digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi dengan mengatas - namakan "untuk negara".

Berbicara pemerintahan, tentu saja tak lepas dari elite pelaku kekuasaan yang disebut politisi. Mereka inilah yang memiliki peluang untuk bertindak sebagai demokrat, otoritarian ataupun totalitarian. Menjadi pertanyaan, dapatkah negara demokratis berubah menjadi totaliter? atau sebaliknya totaliter menjadi demokratis? Sejarah menjawab pertanyaan ini. Hitler terpilih sebagai Kanselir Jerman secara demokratis, demikian pula Musolini dari Itali. Marcos dan Soeharto harus mengakhiri pemerintahan otoriter-nya (menjurus ke totaliter) setelah rakyat muak dengan penindasan yang dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dua negara yang masih mempertahankan totaliter dan otoriter, Myanmar dan Singapura.

Kembali ke artikel Emha, menyimak pendapatnya, diktator yang sejati hanyalah milik Tuhan. Tuhan-lah kepala pemerintahan jagad raya ini. Tuhan-lah penguasa tunggal dan mutlak alam dunia dan akhirat. Namun Tuhan tidak memperoleh kekuasaan dengan jalan kekerasan, karena kekerasan dan kelembutan berasal dariNya. Dengan sifat dan kewenangan yang dimilikiNya, Tuhan tidak perlu ber-demokrasi, menanyakan pendapat manusia untuk segala kebijakan yang hendak dibuatNya. Karena, adalah Tuhan yang menciptakan manusia, bukan sebaliknya. Ingat, Tuhan berhak melakukan apa saja terhadap manusia ciptaannya.

Mengenai siapa menciptakan siapa ada dua pendapat yang berseberangan. mereka (dan termasuk saya) yang ber-Iman kepada ke-Tuhan-an yakin bahwa manusia diciptakan Tuhan. Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Kita semua penduduk dunia adalah keturunan Adam. Di pihak lain, mereka yang tidak percaya tentang keberadaan Tuhan, mempercayai bahwa manusia dalam bentuknya sekarang merupakan evolusi dari makhluk yang sudah ada sebelumnya, dan makhluk yang sudah ada sebelumnya merupakan hasil reaksi zat - zat alam. Sedangkan Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri sebagai simbol dan penguatan dari segala kelemahan manusia. Pendapat ke dua ini belum mampu menjawab siapa yang mengatur reaksi zat alam, siapa yang mengatur perputaran dan pergerakan benda - benda di alam raya.

Lalu, ketika manusia bertindak seolah - olah dirinya sebagai Tuhan, menginjak - injak nilai kemanusiaan itu sendiri, layakkah manusia tersebut hidup sebagai manusia? Aku tudak tahu jawabnya. Yang kutahu, makin banyak politisi yang memperoleh kedudukannya dengan jalan dipilih oleh rakyat, namun ketika sudah menjadi pemimpin berubah menjadi makhluk dengan naluri diktator, totaliter. Hal ini, barangkali sedikit menjawab pertanyaan dari mana manusia memperoleh perilaku diktator totaliter. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, setidaknya mengandung - entah seberapa besar - senyawa yang memiliki sifat diktatornya Tuhan. Namun berbeda dengan Tuhan yang kediktatoranNya bersifat netral dan ajeg, senyawa diktator yang melekat pada jiwa dan fisik manusia bersifat tidak tetap, dan tidak netral. Dikatakan tidak tetap, karena dapat tumbuh, berkembang membesar ketiak situasi dan kondisi memungkinkan baginya untuk mengembangkan sifat - sifat diktator. Sedangkan tidak netral, karena perilaku diktator diterapkan hanya kepada mereka yang tidak mau tunduk, atau yang berada di bawah kekuasaaannya saja. Kediktatoran Tuhan, tidak pilih pilih, siapa saja yang dikasihin, sebagaimana siapa saja memperoleh cobaan dan siksaan Tuhan baik ketika masih di alam fana maupun alam akhirat.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi,
Rempoa, 29 Desember 2004

Wednesday, December 29, 2004

Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penerapan Good Governance

Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penerapan
Good Governance di Indonesia*)

Ditulis dan disajikan oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi


Pengantar
Banyak pihak berpendapat bahwa penggunaan Teknologi Informasi (TI) mendukung penerapan Good Governance. Pendapat ini tidak salah namun juga belum sepenuhnya benar. Hubungan antara TI dan good governance serta implikasi yang dihasilkan dari hubungan tersebut relatif belum banyak terdefinisikan.
Paper ini mencoba memberi gambaran mengenai hubungan dan implikasi antar keduanya serta mengajukan usulan bagaimana masyarakat memanfaatkan hubungan ini dalam upaya mewujudkan masyarakat yang taat dan tertib.

Pendahuluan
Jika menggunakan pemahaman awam, TI tak lebih dari sekedar alat yang dibuat untuk memudahkan manusia dalam berkarya. Dalam konteks ini, TI tak berbeda halnya dengan pisau, cangkul, atau mobil. Sebagai alat TI bersifat netral, ia dapat dipakai untuk tujuan kebaikan, demikian pula dapat digunakan sebagai alat bantu kejahatan atau aktivitas lain yang negatif. Berbeda dengan alat lain yang hanya berfungsi pada ruang lingkup kegunaan tertentu, TI memiliki kegunaan yang luas dan hampir tidak terbatas. Dikatakan demikian karena hampir semua aspek kehidupan manusia dapat difasilitasi dengan TI. TI dipakai secara luas di lingkungan organisasi bisnis, institusi pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintahan.

Di lingkungan akademis, Teknologi Informasi didefinisikan sebagai sisi teknologi dari suatu sistem informasi, yang terdiri dari perangkat keras (hardware), basis data (database), perangkat lunak (software), jaringan komputer, dan peralatan lain terkait.[1] Penggunaan TI sebagai bagian dari Sistem Informasi di organisasi swasta telah berhasil mendorong adanya: peningkatan produktivitas (pengurangan biaya, peningkatan efektivitas), perbaikan kualitas layanan kepada stakeholder, peningkatan daya saing, perbaikan proses pengambilan keputusan, peningkatan kreativitas dan inovasi, serta perbaikan struktur dan fungsi organisasi[2].
Jika manfaat penggunaan TI di organisasi swasta telah dapat dirasakan secara luas, sementara kita sepakat bahwa TI dapat digunakan untuk memfasilitasi hampir semua kegiatan manusia, pertanyaannya adalah bagaimana atau sejauh mana TI dapat dimanfaatkan institusi pemerintahan untuk meningkatkan kinerja mereka. Mengapa hal ini ditanyakan? Jawabnya, kinerja pemerintahan yang baik menunjukkan, dan berkorelasi dengan, adanya tata pemerintahan yang baik (good governance).

Good governance dilihat dari sisi luar organisasi seolah merupakan refleksi perilaku institusi. Namun demikian, jika kita kaji lebih mendalam, good governance dari sebuah organisasi merupakan agregat perilaku individu yang taat dan tunduk pada ketentuan (regulatory) yang telah ditetapkan. Ketentuan ini biasanya menyangkut tentang batasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan atau petunjuk/prosedur pelaksanaan suatu aktivitas dalam rantai nilai pelayanan kepada stakeholder. Dengan demikian, good governance mencerminkan bagaimana manusia berkarya secara benar, benar dalam pengertian sesuai dengan ketentuan regulasi yang telah ditetapkan.

Manusia memiliki kecenderungan melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, baik yang menguntungkan diri sendiri namun tidak merugikan orang lain maupun yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan pihak lain. Masing – masing individu berupaya agar apa yang diinginkan dapat tercapai. Perjuangan individu memperoleh apa yang diinginkan seringkali menimbulkan benturan kepentingan. Mencegah hal tersebut menjadi potensi negatif, oleh karena itu diperlukan aturan. Dalam konteks inilah kemudian muncul governance yakni apa dan bagaimana sebuah peraturan dibuat serta dijalankan. Peraturan ini di kalangan pemerintahan dapat berupa UU, atau peraturan pelaksanaan di bawahnya. Di kalangan organisasi privat dapat berupa kebijakan perusahaan.

Dari penjelasan di atas bila hendak dibuat relasi antara governance dan TI adalah bagaimana TI digunakan secara benar dalam setiap proses kebijakan yang meliputi perancangan, pembuatan, pelasakanaan, dan evaluasi suatu peraturan. Sebagaimana layaknya suatu hubungan, interaksi antara TI dan governance menghasilkan berbagai implikasi yang dipengaruhi oleh sifat dasar dari keduanya, maupun aktor yang terlibat dalam proses kebijakan.

Istilah Government, Governance, dan Good Governance
Secara umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai “pemerintah” yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung-jawab untuk mengurusi negara dan menjalankan kehendak rakyat. Pemerintah dalam arti yang paling dasar diterjemahkan sebagai sekumpulan orang yang memiliki mandat yang absah dari rakyat untuk menjalankan wewenang – wewenangnya dalam urusan – urusan pemerintahan. Dalam hal ini ada hubungan “kontrak sosial” antara rakyat sebagai pemberi mandat dan pemerintah sebagai pelaksana mandat[3]. Jika diadakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata “pemerintah” atau “pemerintahan”, kedua kata tersebut berasal dari suku kata “perintah” yang berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Beberapa hal yang terkandung dalam makna pemerintah adalah sebagai berikut:[4]
1. adanya keharusan menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan;
2. adanya dua pihak, yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
3. adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
4. adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.

Proses pemahaman umum mengenai governance atau good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan mulai semakin bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara luar beserta lembaga – lembaga bantuannya yang menyoroti kondisi objektif perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Lembaga pemberi donor baik yang bersifat multilateral maupun bilateral memperkenalkan good governance yang dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan, dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah (grant).

Governance merupakan tata pemerintahan. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik. Ada tiga komponen yang terlibat dalam governance, yaitu pemerintah, dunia usaha (swasta, commercial society) dan masyarakat pada umumnya (termasuk partai politik). Hubungan ketiganya harus dalam posisi sejajar dan saling kontrol (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi dari yang lain, maka akan terjadi dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya.

Karakteristik Good Governance
Meski secara sederhana pemahaman mengenai good governance dapat dinyatakan sebagai tata pemerintahan yang baik, dalam implementasinya tidak mudah untuk mendefinisikan secara seragam. Hal ini dikarenakan good governance memiliki banyak sumbangan makna yang bervariasi selain dari luasnya bahasan. Namun demikian, pada hakekatnya keberagaman makna tersebut memiliki kesamaam prinsip dan tujuan yakni terselanggaranya pemerintahan yang seimbang di antara semua komponen pelaku. Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya, ada ruang dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan di antara mereka. Dengan proses seperti ini diharapkan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam masyarakat.

UNDP mendefinisikan Good Governance sebagai pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi untuk mengatur urusan – urusan negara, yang memiliki mekanisme, proses, hubungan, serta kelembagaan yang kompleks di mana warga negara dan berbagai kelompok mengartikulasikan kepentingan mereka, melaksanakan hak dan kewajiban mereka serta menengahi perbedaan yang ada di antara mereka.[5].

Governance ini tidak semata – mata menjadi monopoli tugas negara, namun juga menjadi kewajiban bagi sektor swasta, dan semua komponen civil society. Karena posisi yang sama penting dari semua aktor dakam civil society tersebut, good governance harus ditandai dengan proses sinergi di antara mereka. Dalam hal ini, karakter good governance terutama mencakup:[6]
1. Participatory dan sustanainable (berkelanjutan),
2. Legitimate, acceptable, dan transparan bagi masyarakat,
3. Meningkatkan equity, dan equality, mengembangkan sumberdaya dan metode governance,
4. Meningkatkan keseimbangan, serta mentoleransi dan menerima perspektif yang bermacam – macam,
5. Mampu memobilisasi sumber daya untuk tujuan – tujuan sosial,
6. Memperkuat mekanisme – mekanisme asli (indigenous),
7. Beroperasi berdasarkan aturan hukum, serta efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya,
8. Melahirkan dan memerintahkan respect, trust, dan accountable,
9. Mampu mendefinisikan dan mengambil keputusan,
10. Enabling dan fasilitatif sebagai regulator daripada kontrol, dan
11. Dapat mengatasi isu – isu temporer dan berorientasi pelayanan.

Sementara itu, Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas menyatakan setidaknya ada empat belas karakteristik dalam wacana good governance:
1. Berwawasan ke depan (visi strategis); semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas.
2. Terbuka (transparan); semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan – kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil – hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik.
3. Cepat tanggap (responsif); aparat pemerintah harus cepat tanggap dan segera mengambil prakarsa penaggulangan terhadap berbagai permasalahan sosial yang muncul di masyarakat. Selain itu, birokrasi juga harus mengakomodasi aspirasi masyarakat sekaligus menindak-lanjutinya dalam bentuk peraturan/kebijakan, kegiatan atau program yang diusulkan.
4. Bertanggung jawab/bertanggung gugat (akuntabel); penyelenggara pemerintahan harus menerapkan prinsip akuntabilitas atau bertanggung jawab/bertanggung gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan, pembiayaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian kinerja, sehingga program tersebut dapat memberikan hasil seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang dtetapkan.
5. Profesional dan kompeten; di dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi dan kemampuan tertentu, dengan profesionalisme yang sesuai. Dibutuhkan upaya untuk menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme.
6. Efisien dan efektif; agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan baik di pusat maupun daerah dibutuhkan struktur yang tepat. Untuk tercapainya hal ini, pemerintah perlu secara periodik melakukan evaluasi terhadap dukungan struktur yang ada, disertai dengan perubahan jika dipandang perlu, yang meliputi perubahan struktur, tugas pokok jabatan dan fungsi.
7. Desentralistis; upaya pendelegasian kewenangan pusat ke daerah dalam rangka otonomi daerah telah dilakukan. Namun hal ini belum cukup. Masih diperlukan pendelegasian kewenangan di daerah dari Bupati/Walikota kepada dinas – dinas atau badan/lembaga teknis yang ada di bawahnya disertai dengan pemberian sumber daya pendukungnya.
8. Demokratis; perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dalam konteks in wakil – wakil rakyat di DPR/D diberi akses untuk secara aktif menyuarakan kepentingan masyarakat dan menindak-lanjuti aspirasi masyarakat sampai terwujud secara nyata.
9. Mendorong partisipasi masyarakat; partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapi, cara atau jalan keluar yang disarankan, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan lain sebagainya. Kehadiran masyarakat dalam forum pertemuan publik dan keaktifan mereka dalam memberikan saran dan masukan menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat.
10. Mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat; masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan lewat pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah dengan swasta, pemerintan dengan masyarakat, dan antara swasta dengan masyarakat. Kemitraan ini harus didasarkan pada kebutuhan yang nyata pada masing - masing belah, bukan sekedar untuk memenuhi persyaratan saja. Wujud nyata dari kemitraan ini adalah perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta.
11. Menjunjung supremasi hukum; dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi pelanggaran hukum. Dalam konteks ini, siapa saja yang melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Wujud nyata dari prinsip supermasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan peraturan perundangan, pemberdayaan lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, dan pengembangan budaya hukum.
12. Berkomitmen pada pengurangan kesenjangan; aparat pemerintahan harus berupaya memperkecil kesenjangan yang terjadi di antara masyarakat. Kesenjangan ini dapat berupa kesenjangan ekonomi, sosial, gender, dan budaya. Kesenjangan dapat terjadi antara pusat dan daerah, antar daerah, antar golongan, dan lain sebagainya. Adanya kesenjangan merupakan insentif negatif bagi upaya pembangunan.
13. Berkomitmen pada tuntutan pasar; pengalaman membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam daerah maupun antar-daerah merupakan contoh wujud nyata penerapan prinsip tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar.
14. Berkomitmen pada lingkungan hidup, masalah lingkungan dewasa ini telah berkembang menjadi isu yang sangat penting baik pada tataran nasional maupun internasional. Hal ini berakar pada kenyataan bahwa daya dukung lingkungan semakin lama semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsisten, program reboisasi, penegakan hukum lingkungan secara konsekuen, merupakan contoh perwujudan tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan.

E-Governance
E-governance melebihi ruang lingkup e-government. Jika e-government didefi-nisikan sebagai penyampaian layanan pemerintah dan informasi kepada publik menggunakan sarana elektronik, e-governance memungkinkan partisipasi langsung dari konstituen di dalam aktivitas pemerintahan. Blake Haris menyimpulkan e-governance sebagai berikut:
E-governance is not just about government web site and e-mail. It is not just about service delivery over the Internet. It is not just about digital access to government information or electronic payments. It will change how citizens relate to governments as much as it changes how citizens relate to each other. It will bring forth new concepts of citizenship, both in terms of needs and responsibilities.
E-governance memungkinkan warga negara berkomunikasi antar-mereka maupun dengan pemerintah, dan berpatisipasi dalam proses pembuatan keputusan, mengeks-presikan kebututuhan nyata mereka tentang kesejahteraan dengan menggunakan e-government sebagai sarananya (means).

Berkenaan dengan hubungan antara e-governance dan pemanfaatan Teknologi Informasi, ada dua pertanyaan mendasar yang perlu mendapat jawaban tuntas. Pertama, bagaimana menetapkan kriteria good governance untuk pemanfaatan TI itu sendiri, dan kedua, bagaimana menempatkan posisi TI dalam upaya pencapaian good governance dari suatu organisasi, yang ditandai dengan adanya transparansi, akuntabilitas, adil (fair), efektif, dan dapat mengakomodasi partisipasi seluruh warga masyarakat.

Sejatinya, antara TI dan good governance saling mendukung. TI yang dikelola dengan baik - yang secara fisik dapat diakses, dengan biaya terjangkau, dan tanggap terhadap kebutuhan manusia – pada gilirannya akan mempercepat pembangunan nasional menjadi lebih demokratis, berkelanjutan (sustainable), dan memfasilitasi tercapainya masyarakat yang lebih sejahtera. Beberapa negara maju dan negara sedang membangun memberi contoh bagaimana upaya good governance selalu memasukkan unsur kebijakan di bidang hukum, dan keuangan yang mendorong kelompok wirausaha untuk melakukan inovasi dan penemuan baru yang mengarah pada terbentuknya perusahaan. Lingkungan yang dapat mempercepat layanan publik di bidang pendirian perusahaan, dan memu-dahkan usaha kecil menengah memperoleh kredit permodalan, adalah lingkungan yang mampu mendorong kalangan bisnis memperkenalkan teknologi baru ke masyarakat.

Pada akhirnya sasarannya adalah bagaimana membuat agarlebih banyak orang dapat memanfaatkan TI, sehingga TI dapat mendorong terjadinya transformasi sosial dan ekonomi. Dengan demikian ungkaoan yang lebih tepat adalah “good governance dalam memanfaatkan TI, dan TI untuk mendukung upaya good governance.”

Implementasi TI Untuk Mendukung Good Governance
Beberapa negara telah membuktikan keberhasilan mereka dalam memanfaatkan TI untuk mendukung good governance. Menyusul diperkenalkannya layanan telepon selular, pemerintah Uganda membuat kebijakan yang mengatur rasio telepon di wilayah urban dan rural. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap penambahan jaringan dan pelanggan di daerah perkotaan, harus diimbangi dengan pembangunan jaringan telekomunikasi serupa di wilayah rural. Setelah beberapa tahun kebijakan ini berjalan, hasilnya adalah daerah liputan (coverage) layanan telepon selular di Uganda mencapai 98%. Kelebihan lain, muncul jenis usaha baru layanan sewa telepon selular di wilayah rural, yang banyak diantaranya digunakan untuk berkomunikasi dengan stasiun radio siaran yang memiliki program acara penegakan demokrasi, sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan di Uganda selama negeri tersebut di bawah kekuasaan diktator.

Banyak negara telah menggunakan Internet sebagai sarana pelayanan publik (e-government) yang menghasilkan adanya transparansi, akuntabilitas, adil (fair), efektif, dan dapat mengakomodasi partisipasi seluruh warga masyarakat. Demikian pula dengan penyelenggaraan distance learning melalui Internet yang dirancang khusus bagi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pegawai negeri (civil servant) di Mexico dan Kanada dapat menambah contoh bagaimana TI digunakan dalam mendukung upaya good governance.
Contoh tentang bagaimana TI dibangun dengan maksud untuk mendukung upaya good governance banyak sekali termasuk di Indonesia. Dari lingkungan non-pemerintahan, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) tengah mengembangkan pilot proyek Balai Informasi Masyarakat (BIM) yang dimaksudkan untuk menyediakan sarana akses informasi bagi kelompok masyarakat tertentu sehingga kelompok target ini dapat menggunakan informasi tersebut untuk mendukung kegiatan usaha mereka.

Berbagai kegiatan lain yang mengarah pada bagaimana membangun good governance dalam memanfaatkan TI juga sering dilakukan. Pada umumnya, wujud kegiatannya berupa seminar dan atau workshop dengan topik pad alevel mikro operasional suatu sistem informasi dalam organisasi. Di kesempatan lain, kegiatan seminar, diskusi kebijakan di bidang TI yang banyak diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintah baik melalui kerjasama dengan pemerintah maupun dilaksanakan sendiri, merupakan upaya memanfaatkan TI untuk mendukung penerapan good governance.

Pemerintah kabinet Megawati sendiri melalui Lembaga Informasi Nasional (LIN) telah berhasil membangun simpul – simpul Jaringan Informasi Elektronik Masyarakat Indonesia (JIEMI) yang dimaksudkan sebagai sarana diseminasi informasi dalam rangka meningkatkan transparansi, membangun partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan melalui mekanisme komunikasi dua arah, serta menyediakan sarana bagi masyarakat di sekitar simpul JIEMI untuk dapat menghasilkan informasi yang dapat disebarkan kepada anggota masyarakat di daerah lain. Dengan demikian terjadi interaksi antara masyarakat dengan pemerintah, maupun antar-masyarakat.

Secara normatif, pada tataran kebijakan nasional, salah satunya dapat dilihat dari substansi Inpres 6/2001 di mana dinyatakan bahwa Indonesia perlu melakukan terobosan agar dapat secara efektif mempercepat pendayagunaan teknologi telematika[7] yang potensinya sangat besar itu, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempererat persatuan bangsa sebagai landasan yang kokoh bagi pembangunan secara berkelanjutan. Di dalam hal ini pemerintah perlu secara proaktif dan dengan komitmen yang tinggi membangun kesadaran politik dan menumbuhkan komitmen nasional,membentuk lingkungan bisnis yang kompetitif, serta meningkatkan kesiapan masyarakat untuk mempercepat pengembangan dan pendayagunaan teknologi telematika secara sistematik.

Lebih jauh, Inpres 6/2001 menyatakan bahwa untuk mempercepat proses demokrasi, Indonesia harus mampu mendayagunakan potensi teknologi telematika untuk keperluan:
· meniadakan hambatan pertukaran informasi antar masyarakat dan antar wilayah negara, karena hanya dengan demikian berbagai bentuk kesenjangan yang mengancam kesatuan bangsa dapat teratasi secara bertahap;
· memberikan kesempatan yang sama serta meningkatkan ketersediaan informasi dan pelayanan publik yang diperlukan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, serta memperluas jangkauannya agar dapat mencapai seluruh wilayah negara;
· memperbesar kesempatan bagi usaha kecil dan menengah untuk berkembang karena dengan teknologi telematika mampu memanfaatkan pasar yang lebih luas;
· meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kemampuan inovasi dalam sektor produksi, serta memperlancar rantai distribusi, agar daya saing ekonomi nasional dalam persaingan global dapat diperkuat;
· meningkatkan transparansi dan memperbaiki efisiensi pelayanan publik, serta memperlancar interaksi antar lembaga-lembaga pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun daerah, sebagai landasan untuk membentuk kepemerintahan yang efektif, bersih,dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Secara lebih spesifik, Inpres 6/2001 menyebut tentang pemanfaatan TI dalam upaya penegakan good governance bahwa melalui penerapan jaringan informasi di lingkungan pemerintah pusat dan daerah secara terpadu telah menjadi prasyarat yang penting untuk mencapai good governance dalam rangka meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan kepemerintahan guna antara lain memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan efisiensi pelaksanaan otonomi daerah, serta mengurangi berbagai kemungkinan kebocoran anggaran.

Agar pemerintah dapat meningkatkan hubungan kerja antar instansi pemerintah serta dapat menyediakan pelayanan bagi masyarakat dan dunia usaha secara efektif dan transparan, diperlukan kerangka arsitektur dan platform yang kompatibel bagi semua departemen dan lembaga pemerintah, serta penerapan standardisasi bagi berbagai hal yang terkait dengan penggunaan teknologi telematika secara luas. Beberapa yang akan dilaksanakan termasuk pengembangan "G online backbone" bagi kepentingan semua instansi pemerintah dan penyediaan layanan masyarakat, memperbaharui kerangka peraturan dan prosedur transaksi di lingkungan pemerintah, serta membangun komitmen dan kesepakatan untuk memperlancar pertukaran dan penggunaan informasi antar instansi pemerintah.

Kesimpulan
Meski secara umum kinerja instansi pemerintah di Indonesia dalam menegakkan good governance masih relatif rendah, namun demikian mengacu pada berbagai upaya yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar birokrat telah mengerti apa dan bagaimana good governance. Permasalahan yang muncul dari kondisi semacam ini adalah adanya ketidak-pedulian di antara pejabat birokrasi tentang perlunya good governance. Dengan demikian, hambatan utama dalam penegakkan good governance bukan pada institusi, melainkan terletak pada sikap moral manusianya. Komitmen penegakan good governance bukan terletak pada institusi sebagaimana sebagian penggiat bidang ini menganggapnya, melainkan pada individu yang memiliki kesadaran moral akan pentingnya good governance.

Di pihak lain, pemanfaatan TI di lingkungan organisasi pemerintah telah cukup lama berjalan. Namun demikian alasan utama pemanfaatan TI ini bukan dalam rangka penegakan good governance, melainkan lebih pada menganggapnya sebagai alat yang memudahkan pekerjaan saja. Kesadaran bahwa TI dapat mendukung upaya penegakan good governance baru muncul setelah ada desakan dari donor, sesudah melihat bagaimana dua kondisi yang saling terkait terjadi, yakni tidak ada good governance dalam pemanfaatan TI, dan TI tidak dimanfaatkan untuk mendukung tata laksana pemerintahan yang baik.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang menganjurkan agar TI dapat dimanfaatkan untuk mendukung tata laksana pemerintahan yang baik. Tetapi, pelaksanaan kebijakan tersebut masih jauh dari memuaskan. Menyusul pergantian pemimpin nasional terjadi perubahan kebijakan yang sayangnya tidak menggunakan kebijakan terdahulu sebagai acuan dalam penetapan kebijakan – kebijakan baru di bidang Telematika khususnya TI.
Upaya memanfaatkan TI dalam penerapan good governance di Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh kalangan pemerintahan saja, namun juga dilakukan oleh organisasi sosial, swasta dan berbagai kalangan non-pemerintahan lainnya.

Di tengah maraknya pemanfaatan TI untuk mendukung berbagai kegiatan masyarakat termasuk pemerintahan, yang belum terlihat secara nyata adalah bagaimana implementasi TI dapat mengurangi angka kebocoran pembangunan baik yang disebabkan oleh korupsi maupun sebagai akibat dari pelaksanaan program pemerintah yang tidak efisien karena minimnya sentuhan teknologi khususnya Teknologi Informasi. Secara teknis hal ini sangat mungkin, hambatan terbesar masih tetap pada manusianya, bukan pada teknologinya. *****

*) Paper dipresentasikan dalam seminar “PARADIGMA GOOD GOVERNANCE DI ERA INFORMASI YANG KOMPETITIF, DEMOKRATIS DAN TRANSPARAN” diselenggarkan oleh Universitas Gunadarma Jakarta, pada tanggal 11 Juni 2003. Materi yang ditulis dan disajikan dalam paper ini adalah pendapat dan menjadi tanggung jawab pribadi penulis, serta tidak mewakili organisasi di mana penulis berkarya.
[1] Turban, McLean, Wetherbe, Information Technology for Management Improving Quality and Productivity, John Wiley & Sons, Inc., 1996.
[2] Ibid.
[3] Sekretariat Pengembangan Public Good Governance BAPPENAS, Public Good Governance Sebuah Paparan Singkat, April 2002.
[4] Bayu Suryaningrat, Mengenal Ilmu Pemerintahan, hal 9, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.
[5] Hamengku Buwono X, Membangun Kemitraan Dalam Sebuah Civil Society Menuju Good Governance, Konsep dan Implementasi, 2001.
[6] Pratikno, Dimensi – Dimensi Utama Kepemimpinan Politik dan Pemerintah Daerah, Pendalaman Kompetensi Kelegislatifan bagi Anggota DPRD Kabupaten Sleman Periode 1999 – 2000, dikutip dalam Hamengku Buwono X (2001).
[7] Istilah Telematika muncul sebagai keputusan politik yang mengacu pada fenomena konvergensi antara Telekomunikasi dan Teknologi Informasi. Selanjutnya ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa Telematika merupakan akronim dari Telekomunikasi, Multimedia, dan Informatika.

Monday, December 27, 2004

Kebiasaan Yang Menghalangi Kebenaran Berpikir

Kali ini lain dari biasanya saya ingin menulis mengenai perilaku manusia yang seringkali menghalangi dari berpikir secara benar. Berpikir secara benar adalah menggunakan daya cipta dan kreasi secara jujur, serta menyampaikan buah pikirannya dengan lisan atau tulisan sebagaimana keadaaan nyatanya yang dialami baik di dalam hatinya maupun yang pernah diucapkannya atau dituliskannya.

Berpikir secara benar seringkali diwarnai oleh berbagai macam latar belakang pendidikan, keluarga, pengalaman, pergaulan sosial, dan lain sebagainya. Pengingkaran terhadap apa yang pernah terpikirkan, terucapkan, atau dilakukan mendorong seseorang untuk mempertahankan perbuatan tersebut, sehingga alih – alih memperoleh sesuatu yang baik dengan pengingakaran tersebut, malahan menjadi tambah berdosa, dan beban berbohong harus ditanggungnya pula oleh nurani dan jiwanya.

Para ahli[1] mengungkapkan setidaknya ada enam ciri kebiasaan penghalang kebenaran berpikir: milikku lebih baik (mine is better), menyelamatkan muka (face saving), keengganan untuk berubah (resistance to change), mencocok – cocokan (conformity), meniru – niru (stereotyping), meniup diri sendiri (self-deception).

Milikku lebih baik (mine is better)
Perilaku atau kebiasaan semacam ini sungguh alamiah, sebagian besar orang pernah melakukannya, terutama ketika masih kanak – kanak. Ingatkah ketika dengan teman sebaya di masa kanak – kanak, kita sling membanggakan orang tua, mainan, atau apapaun yang kita miliki.”Bapakku doong, hebat”, atau “Ibuku lebih cantik dari ibumu”, atau “Mobil – mobilanku lebih bagus dari punyamu”. Semuanya menunjukkan keinginan diakui bahwa yang dimiliknya lebih baik dari milik orang lain.

Ketika mulai tumbuh dewasa, perilaku atau kebiasaan semacam ini tidak mudah hilang begitu saja. Bahkan, sebagaimana dikatakan oleh Jepson, makin banyak orang yang beranggapan bahwa dalam perjalanan hidupnya mereka selalu memperoleh yang lebih baik bahkan yang terbaik dari orang lain. Anggapan bahwa mereka selalu menerima yang terbaik, dan mampu melakukan yang terbaik dari orang lain dapat menyesatkan. Seringkali orang tidak mampu menerima kenyataan bahwa yang dia hasilkan, atau yang dia peroleh bukan yang terbaik.

Lebih ekstreem lagi perasaaan menjadi yang lebih baik dari orang atau kelompok lain menjadi bahaya karena menganggap orang, kelompok, atau bangsa lain lebih rendah dari dirinya, dan karena itu menjadi tidak mau bergaul, atau melekat perasaaan sombing pada orang atau kelompok orang yang dihinggapi anggapan bahwa miliknyalah yang terbaik. Anggapan semacam ini menguragi objektivitas dalam berpikir.

Menyelamatkan muka (face saving)
-udahan dulu besok disambung -
[1] Vincent Ayan Ruggiero, dalam The Art of Thinking, Longman, 1999.

Menuju Kebijakan Tarif Telekomunikasi Yang Adil Bagi Semua Pihak

Disajikan Oleh: Ir. Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, SE, MSi., MPP*)


Pertimbangan

· Telekomunikasi sudah menjadi kebutuhan penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
· Penyelenggaraan telekomunikasi bersifat strategis dalam pembangunan nasional.
· Telah terjadi perubahan dalam struktur pasar jasa telekomunikasi, dari yang semula sepenuhnya monopoli, saat ini tinggal beberapa jenis layanan saja yang masih dalam status monopoli, selebihnya bersifat kompetisi.
· Pembangunan telekomunikasi berjalan lambat, rasio penyediaan sambungan telepon dibandingkan jumlah populasi baru mencapai <4%
· Di antara berbagai permasalahan yang dihadapi sektor telekomunikasi, salah satunya adalah permasalahan penetapan tarif.
· Diperlukan kebijakan tarif yang adil, yakni kebijakan penetapan tarif yang menguntungkan semua pihak.

Kebijakan Tarif
· Undang – Undang Nomor 36/1999 pasal 27 dan 28 menetapkan:
o Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah
o Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
· Peraturan Pemerintah Nomor 52/2000 dan 53/2000 mengatur lebih kanjut mengenai formula tarif

Permasalahan
· Rencana PT. Telkom – sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dominan - untuk menaikkan tarif telepon mendapat keberatan dari berbagai pihak: masyarakat dan DPR.
· Adanya keberatan ini menjadikan Telkom “terpaksa” menunda rencana investasi untuk membangun jaringan baru di daerah – daerah yang belum terlayani.
· Masih di pihak operator penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi, kegagalan kenaikan tarif dikatakan sebagai menyurutkan minat investor untuk masuk ke industri jasa telekomunikasi di Indonesia.
· Sebaliknya di sisi masyarakat pengguna, tarif telepon di Indonesia sudah dirasa mahal. Kenaikan seberapun besarnya akan mengurangi kemampuan pelanggan untuk menggunakan telekomunikasi.
· Keterlibatan DPR meski oleh sebagian masyarakat dianggap ‘menolong” masyarakat, namun oleh mereka yang memahami peraturan dan perundangan dianggap telah ikut campur dalam urusan pemerintahan.
· Pemerintah dalam hal ini, dinilai tidak tegas, apakah berpihak kepada operator atau masyarakat, atau mendukung semua pihak dengan secepat mungkin membuat kebijakan yang adil, sehingga semua pihak merasa kepentingannya terakomodasi.

Kebijakan Tarif – Makro
· Kebijakan tarif memiliki dampak ke berbagai arah: dalam negeri, luar negeri dan ke dalam perusahaan.
· Dalam merancang kebijakan tarif, Regulator perlu memperhatikan prinsip keadilan, tidak menguntungkan salah satu pihak saja, namun harus dapat mengakomodasi seoptimal mungkin kepentingan semua stakeholder
· Kebijakan tarif yang ideal harus dapat mendukung beberapa sasaran berikut:
o Masuknya para pemain baru (new entrants) ke dalam industri jaringan dan jasa telekomunikasi.
o Meningkatnya penggunaan fasilitas dan jaringan telekomunikasi.
o Tarif harus memiliki keterhubungan terhadap biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan layanan.
o Menghasilkan pendapatan (revenue) yang mencukupi bagi penyedia layanan (operator).
o Membantu keseimbangan stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi.
o Memfasilitasi pembangunan di bidang sosial yang memperhatikan kepentingan semua pihak.

Kebijakan Tarif – Mikro
· Ada berbagai macam layanan telekomunikasi yang masing – masing memiliki dasar perhitungan tarif yang berbeda
o Dari segi mobilitas, dibedakan antara telepon tetap dan bergerak.
o Dari jangkauan, dibedakan antara lokal, jarak jauh, dan internasional
o Dari aspek ketersambungan antar operator, dibedakan antara sambungan intra-operator (trunk) dan sambungan antar-operator (interkoneksi).
o Dari segi sumber panggilan dibedakan antara incoming dan outgoing
o Dari segi layanan antar-operator nasional, dibedakan antara single transit dan double transit.
· Berbagai variasi layanan sambungan yang memiliki implikasi perbedaan tarif:
o Fixed to fixed network
o Fixed to national long distance network
o Fixed to international network
o Fixed to cellular mobile network
o Cellular to fixed network
o Cellular to national long distance network
o Cellular to international network
o One operator’s long distance to other operator’s long distance network
Fixed to cellular fixed network
Cellular mobile to cellular fixed network
· Kombinasi dari berbagai variasi layanan telekomunikasi memiliki implikasi biaya yang berbeda, namun demikian semuanya dimuarakan pada formula tarif telepon tetap lokal yang menjadi acuan bagi tarif jenis layanan lainnya. Di sinilah terjadi keunikan (anomali kebijakan harga) dalam perhitungan tarif telekomunikasi, karena, meski besaran biayanya berbeda – beda untuk berbagai variasi konfigurasi dalam menghasilkan suatu jenis layanan, namun harga yang ditawarkan kepada pelanggan haris tetap sama.
· Mengacu pada nilai – nilai yang berkembang di aras global, dalam pasar yang kompetitif, kebijakan harga yang baik adalah yang mengacu pada biaya (cost-based pricing)
· Beberapa hal mendasar dan penting yang harus diperhatikan dalam menghitung biaya operasional layanan telekomunikasi antara lain: total cost, variable cost, fixed cost, average cost, joint cost, common cost, sunk cost, marginal cost, depreciation cost, incremental cost, embedded cost, full allocated cost, cost of network components, operation and maintenance costs, amortization, cost of capital, cost of functional support, identifiable direct and indirect cost, tax components, universal service obligations, dan lain sebagainya. Semua jenis biaya ini dalam berbagai magnitude dan kombinasi menjadi element penentu harga layanan telekomunikasi.
· Selain berbagai jenis biaya di atas, permasalahan klasik dalam metoda cost-based pricing, apakah biaya akan dihitung berdasarkan:
o Historical costs: menggunakan dasar harga perolehan barang dan jasa
o Current costs (market price): memperhitungkan lingkungan yang terus berubah, menurunnya harga peralatan telekomunikasi, depresiasi mata uang Rupiah, dan lain sebagainya.
· Ada dua metoda penetapan tarif
o Metoda sederhana, disebut juga metoda pragmatik atau metoda sintetik
§ Operator tidak memiliki data yang diperlukan untuk menghitung biaya fasilitas teknik dan semua pekerjaan yang diperlukan dalam penyediaan suatu layanan, atau jika operator menggunakan alasan lain untuk tidak melakukan kajian biaya secara detail dalam menentukan tarif. Dengan menggunakan pendekatan sintesa, operator menetapkan beban tarif untuk sambungan lokal, jarak jauh dan internasional. Metoda ini tidak mengatasi permasalahan fundamental dalam penetapan tarif, karena hanya berlandaskan sesuatu yang pernah dialami (posteriori) dan menggunakan pengalaman semata.
o Metoda komplek, didasarkan pada kajian biaya, dan disebut juga metoda analisis.
§ Operator melakukan analisa semua biaya (seperti amortisasi, beban keuangan, biaya tenaga kerja, biaya barang dipakai habis, biaya perawatan, pajak, biaya yang dibebankan oleh operator lain, dan lain sebagainya) yang diperlukan dalam penyediaan suatu layanan. Metoda analisis menekankan pentingnya menghitung biaya yang muncul dari berbagai aktivitas (cost drivers) guna menghasilkan suatu layanan, dengan basis rasionalitas dan jika diperlukan menggunakan standar biaya. Operator mengumpulkan data dari catatan akuntansi, dan jika hal ini masih kurang, masih dapat melakukan kajian biaya untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.
· Pertimbangan dan kriteria yang biasanya digunakan oleh operator dalam menentukan besaran tarif:
o Biaya untuk masing – masing jenis layanan (digunakan untuk menetapkan harga secararasional, serta dipakai untuk menghitung tingkat profitabilitas)
o Konsep layanan (ruang lingkup, kebijakan harga, dan karakteristik layanan)
o Kebutuhan Strategi pemasaran (transparan, pelanggan mudah mengerti bahwa harg ayang dibayarkan nilainya lebih kecil dari manfaat yang diterima)
o Implikasi sosial dan politik (penerapan price discrimination policy)
o Kemungkinan pembebanan yang ditawarkan oleh pemasangan sarana teknis (biaya panggilan dan administrasi penagihan harus proporsional terhadap biaya untuk aktual untuk memberikan setai layanan.
· Metoda pembebanan biaya penggunaan jasa telekomunikasi:
o Flat rate, sambungan percakapan dalam suatu area geografis tertentu tidak dibebani biaya;
o Partial flat rate, penggunaan sejumlah tertentu unit percakapan yang ditetapkan bebas biaya, selebihnya membayar;
o Message rate (metered untime call), panggilan kepada atau percapakan di dalam satu area geografis tertentu dibebani biaya tetap tanpa memperhitungkan durasi;
o Measured rate, panggilan dibebani biaya berdasarkan ukuran, berdasarkan jarak, dan atau durasi;
o Periodic pulse metering (PPM), menggunakan alat pencatat pemakaian, seperti di wartel;
o Repeal multi-metering, sama seperti PPM namun bedanya penghitungan dilakukan secara incrmental (tidak linear);
o Time-of-day (Off-peak tarif), perbedaan tarif berdasarkan masa penggunaan (jam sibuk versus jam normal);
o Klasifikasi bisnis atau residential.
· Selain faktor biaya, dalam menentukan model tarif telekomunikasi, operator perlu memperhatikan faktor non-biaya yang bersifat sosial seperti:
o Transparan, informasi yang digunakan dalam menentukan tarif dapat dengan mudah diakses oleh publik guna keperluan analisa;
o Kepraktisan, model pentarifan dapat diimplementasikan pada berbagai kondisi permintaan yang berbeda dan masih tetap memberikan manfaat bagi operator maupun pelanggan
o Kausalitas, model pentarifan menunjukkan hubungan sebab-akibat antara biaya dan harga serta sumber daya yang digunakan untuk menyediakan layanan dengan memperhatikan faktor penentu biaya yang relevan.
o Efisiensi, model pentarifan harus memberikan manfaat (output) yang lebih besar dibandingkan agregat input yang diperlukan untuk menyediakan layanan tertentu.
o Income per capita atau Standar hidup (standard of living);
o Kelompok masyarakat yang disasar sebagai pelanggan, dibedakan berdasarkan kota/pedesaan atau kaya/miskin, perusahaan/individu, komersial/sosial, dan lain sebagainya;
o Tingkat penetrasi telepon (teledensity) pada masing – masing wilayah; dan
o Elastisitas permintaan.

Simpulan
· Tarif tidak hanya menjadi urusan pemerintah - dalam hal ini Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, selaku Regulator – dan operator telekomunikasi, namun juga menjadi urusan banyak pihak.
· Tarif mempunyai implikasi ekonomi, sosial, dan politik
· Makin kuatnya desakan untuk adanya transparansi dalam menetapkan kebijakan tarif, tidak hanya melibatkan Regulator dan Operator, namun juga masyarakat pelanggan.
· Dalam konteks pasar yang kompetitif, dirasa perlu untuk meninjau kembali formula tarif yang saat ini berlaku.
· Untuk menuju industri jaringan dan jasa telekomunikasi yang efisien dan berdaya saing, pemerintah perlu mendorong digunakannya formula kebijakan tarif yang berbasiskan biaya.
· Kebijakan tarif yang adil, adalah kebijakan penetapan tarif telekomunikasi yang dapat memberi peluang operator untuk tumbuh namun di sisi lain juga memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat majoritas Indonesia.

*****

Referensi:
Christopher T. Marsden, ed,(2000) Regulating The Global Information Society.
Gorgoi Toure (2000), COSITU, The ITU model for th ecalculation of telephone service costs, tariffs and interconnection charges.
Dr. Mohammad Abu Sayed Khan, Report on Tariff Rebalancing.



*) Penyaji menjabat sebagai Country Coordinator, Global Internet Policy Initiative (GIPI) Indonesia, dan Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL). Pandangan dan pendapat yang disajikan dalam Paper Ringkas ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penyaji dan tidak mewakili pendapat organisasi di mana Penyaji terkait di dalamnya. Paper ini disajikan pada Seminar Sehari tentang Reformasi Kebijakan Pelayanan Publik di Sektor Telekomunikasi dengan tema “Mempertanyakan Kebijakan Tarif Telekomunikasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Pendaya-gunaan Aparatur Negara RI bekerja sama dengan Pusat Penelitian Sains dan Teknologi Universitas Indonesia, di Jakarta, tanggal 15 Oktober 2003.

Wawancara Majalah Swa Tentang “Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Pengantar
Rosabeth Moss Kanter dalam Kata Pengantar “Common Interest Common Good” (Shirley Sagawa & Eli Segal, 2000) , menyebut kombinasi usaha nirlaba dengan usaha mencari laba merupakan suatu model ideal merealisasikan tanggung jawab pelaku bisnis terhadap lingkungan sosial. Hari – hari belakangan ini kita lihat semakin banyak perusahaan yang berupaya membangun kepedulian terhadap lingkungan sosialnya, sementara makin banyak pula aktivis sosial yang berusaha mengelola organisasi sosial mengikuti kaidah bisnis guna menjamin kelestarian (sustainability) organisasi tersebut.

Paradigma baru yang sekarang mulai banyak dianut oleh pelaku bisnis menyebutkan bagaimana perusahaan beroperasi dengan baik dalam konteks sosial dengan memperoleh bottom line yang lebih baik. Inilah yang menjadi ide dasar dari Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility – CSR).

Setidaknya ada lima aspek yang perlu menjadi perhatian bagi perusahaan ketika berupaya meningkatkan tanggung jawab sosialnya:

1. Melakukan bisnis dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan etika;
2. Melindungi lingkungan lokasi bisnisnya dan keselamatan semua orang yang berkaitan dengankegiatan bisnisnya;
3. Memberikan manfaat ekonomi dan lainnya kepada masyarakat di mana saja perusahaan beroperasi;
4. Mendukung dan memberikan kontribusi terhadap upaya penegakan hak azasi manusia; dan
5. Menerapkan berbagai kebijakan, program dan praktik untuk mengelola perusahaan dengan menaati azas good corporate governance, memastikan berlakunya perlakuan adil (fair) kepada semua stakeholder, serta memberikan informasi publik secara lengkap dan transparan.

Fenomena kemitraan antara pelaku bisnis dan lingkungan sosial yang makin erat menjanjikan beberapa hal:
1. menjawab isu – isu kemanusiaan dan kemasyarakatan dengan pengaruh yang luar biasa besarnya melalui cara – cara baru dalam menyelesaikan permasalahan bisnis dan sosial yang membutuhkan sumber daya dari multi sektor dan multi sumber;
2. meningkatkan nilai budaya masyarakat madani melalui semangat partisipasi dalam kerjasama lintas kelompok dan lintas sektor;
3. membantu bisnis lebih berkemanusiaan dan organisasi layanan masyarakat lebih berorientasi bisnis (businesslike), pelaku bisnis dan organisasi nirlaba dapat lebih baik dalam mencapai misinya.

Materi Wawancara


pewawancara: Taufik Hidayat [TH] dari Majalah Swa

[TH]
Apa betul bahwa sebenarnya TI punya potensi besar dalam membantu aktivitas CSR perusahaan? Mengapa demikian?

[mwrs]
Sesuai dengan perannya sebagai alat manajemen (management tools) tentu saja TI dapat digunakan untuk apa saja termasuk dalam membantu aktivitas CSR perusahaan. Untuk menjawab pertanyaan mengapa demikian? Mari kita lihat contoh nyatanya terlebih dahulu.

IBM, HP, Dell, Sun Microsystem, Acer, Cisco, Intel, Microsoft adalah contoh dari perusahaan produsen perangkat TI yang telah lama menerapkan kebijakan dukungan terhadap masyarakat non-bisnis sebagai realisasi CSR. IBM dengan program bantuan penyediaan komputer utuk anak – anak; Microsoft dengan program lisensi kampus, bea siswa untuk menunjang penelitian bagi mahasiswa berprestasi, HP dengan donasi perangkat graphis yang diberikan kepada perguruan tinggi; demikian pula Cisco dengan program kerja sama pelatihan dengan perguruan tinggi; semuanya ini menunjukkan bukti digunakannya perangkat TI dalam mewujudkan CSR.

Donasi kepada masyarakat berupa perangkat TI yang diberikan oleh perusahaan tentu sja tidak terbatas oleh perusahaan yang bergerak di bidang produksi perangkat TI, namun juga diberikan oleh kalngan lain seperti perbankan (ketika Bank Permata, BRI dan Bank Mandiri menyumbangkan komputer bekas kepada LSM yang memberikan advokasi dan pendidikan kepada anak jalanan), kontraktor bagi hasil Pertamina (ketika Caltex, Huffco, BP, Mobile Oil, dll menyumbangkan komputer dan printer kepada sekolah – sekolah dalam program One School One [computer] Laboratory (OSOL) yang diprakarsai Kementrian Kominfo. Masih banyak lagi contoh yang dapat diajukan berkenaan dengan donasi perangkat TI sebagai perwujudan CSR.

Di sisi lain, aktivitas CSR tentu saja tidak hanya dalam bentuk donasi perangkat TI. Sebagaimana saya kemukakan di bagian pengantar, TI dapat digunakan sebagai perangkat pendukung dan pelaksana berbagai kebijakan, program dan praktik untuk mengelola perusahaan dengan menaati azas good corporate governance, memastikan berlakunya perlakuan adil (fair) kepada semua stakeholder, serta memberikan informasi publik secara lengkap dan transparan. Bentuk pemanfaatan TI yang lazim dalam dipakai dalam konteks ini tersusun dalam Strategic Information System (SIS), yang merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan.

[TH]
Sejauh ini, bagaimana pengamatan Anda terhadap pemanfaatan TI untuk mendukung CSR di Indonesia, apakah sudah maksimal? Apa yang masih terasa kurang? Apa yang masih bisa dioptimalkan oleh perusahaan?

[mwrs]
Sebagian sudah saya jawab di atas, memang masih relatif sedikit perusahaan yang menyadari bahwa dengan TI mereka dapat lebih mendekatkan diri dengan masyarakat yang nota bene merupakan konsumen dan sumber profit. Saya mengamati, banyak perusahaan Indonesia yang masih menganggap konsumen sebagai “orang luar’ yang hanya dibutuhkan ketika perusahaan membutuhkan mereka, ketika perusahaan hendak menjual produk dan atau jasa mereka.

Jika ukuranya nilai uang memang patut diakui bahwa perusahaan yang sudah melaksanakan CSR pada umumnya adalah perusahaan multinasional atau perusahaan nasional yang sudah besar, seperti HM Sampoerna (dengan program beasiswa Sampoerna), dan kelompok usaha Bakrie. Hal ini beralasan karena – barangkali – perusahaan kecil dan menengah masih sibuk untuk memperjuangkan eksistensinya, sementara perusahaan besar sudah menumpuk kekayaannya. Namun jika kita perhatikan lebih jauh, saya tidak dapat menghitung berapa puluh ribu perusahaan nasional yang sudah pula melaksanakan CSR, seperti melalui penyelenggaraan program magang, penerimaan kerja praktek bagi siswa dan atau mahasiswa, sumbangan rutin bagi yayasan penyantun kalangan miskin dan yatim piatu, dan lain sebagainya.

Dalam hal TI sebagai sarana manajemen untuk mendukung CSR di Indonesia, khususnya yang tidak dimaksudkan sebagai perangkat pendukung kebijakan good corporate governance, maupun penyajian/penyampaian informasi perusahaan (disclosure of corporate information) agak susah untuk mengukur apakah sudah optimal atau belum. Persoalannya, seringkali aktivitas semacam ini tidak diliput media massa, atau yang bersangkutan menganggapnya sebagai perbuiatan amal yang hanya mengharap ridho Allah SWT semata.

Yang masih kurang dan yang masih dapat dioptimalkan oleh perusahaan, pemerintah, dan masyarakat:
1. penggunaan secara luas TI untuk mendukung good corporate governance, seringkali – bahkan oleh kalangan profesi TI – pemanfaatan TI hanya dimaksudkan sebagai sarana produksi informasi bagi pengambilan keputusan oleh manajemen. Dalam hal ini eksekutif perusahaan perlu memperdalam pengetahuan dan wawasan mereka tentang hubungan antara TI dan strategi bisnis serta keduanya (TI dan strategi bisnis) dengan tanggung jawab sosial.
2. pemahaman bahwa pemanfaatan TI memiliki dampak sosial, politik dan budaya masih belum merata, hal ini – barangkali – disebabkan oleh kurikulum pendidikan TI yang masih mengajarkan pemanfaatan TI secara sempit.
3. kebijakaan publik yang belum mendukung tumbuh – kembangnya kesadaran mewujudkan CSR melalui donasi perangkat TI maupun aktivitas lain seperti pengembangan Sistem Informasi Strategis yang memperhatikan tanggung jawab sosial, etika, memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat di sekitar lokasi usaha, serta memberikan dukungan bagi penegakan HAM.

[TH]
Biasanya, apa kendala dalam memanfaatkan TI untuk CSR? Baiknya, bagaimana cara mengatasinya?

[mwrs]
Kendala umum:
keterbatasan pengetahuan dan wawasan manajemen tentang: TI itu sendiri, visi dan misi perusahaan, serta paradigma baru berbisnis yang sudah melekat dengan CSR;
kekakuan birokrasi perusahaan dan keterbatasan otoritas yang diemban oleh manajemen, sehingga manajemen pelaksana tidak dapat begitu saja bertindak tanpa persetujuan pimpinan tertinggi perusahaan;
keterbatasan dana; dan
CSR tidak menjadi prioritas.

Untuk mengatasinya tentu saja dengan menghilangkan kendala yang masih melekat di perusahaan sebagai mana disebutkan di atas.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
28 November 2004

Evolusi TI/SI Dalam Menciptakan Value

** Pernah dimuat di Majalah Swa, edisi 25 November 2004

Ketika Anda berkunjung ke suatu kantor, perusahaan publik atau privat, coba cermati ada berapa banyak komputer di kantor tersebut. Lebih jauh lagi, jika Anda masih penasaran, tanyakan kepada salah seorang di perusahaan tersebut, adakah memiliki orang atau bagian yang ditugasi mengelola semua komputer tersebut. Pertanyaan berikutnya dapat dikembangkan hingga berapa investasi yang telah dikeluarkan oleh perusahaan guna memiliki dan mengoperasikan komputer, atau sejauh mana komputer yang ada memberikan manfaat bagi perusahaan.

Disadari atau tidak, penggunaan komputer di lingkungan organisasi atau perusahaan sudah sedemikian luas, dari yang hanya dipakai untuk membuat dokumen surat menyurat, hingga yang dikonfigurasikan ke dalam sistem informasi strategis yang canggih dan powerfull. Kemunculan personal komputer (PC) beberapa tahun lalu, menggantikan peran sentral sistem komputasi terpusat yang dikuasai oleh mini computer dan atau mainframe. Salah satu ciri yang menonjol dari PC generasi pertama adalah keterbatasan aplikasi, stationer, dan konektivitas ke jaringan, sehingga yang kita alami, PC lebih banyak dipakai sebagai pengganti mesin hitung dan mesin ketik. Meski demikian, pada jamannya kemampuan PC semacam ini sudah dianggap revolusioner. Para pengguna awal PC malahan mengatakan PC memberi nilai tambah yang signifikan dalam otomatisasi perkantoran.

Roda jaman terus berputar, keadaan terus berubah, produk teknologi yang pada suatu masa dianggap canggih, seiring perjalanan waktu menjadi biasa, bahkan tertinggal ketika terjadi (lagi) revolusi teknologi. Jika kita simak, PC yang semula stand alone, berikutnya mulai diintegrasikan dalam jaringan komputer lokal, antar kota, antar negara, seterusnya hingga sekarang kita kenal jaringan komputer global (Internet). Di bidang peranti lunak-pun perubahan terus mengalir, sekarang kita tidak lagi mendengar Fortran, COBOL, Foxpro, UNIX, MS-DOS. Yang menjadi menu sehari – hari bagi kalangan pengguna dan pengelola sistem informasi antara lain, CRM, SAP, ERP, ASP, Java, Linux, dan lain sebagainya.

Gambaran di atas selain mengilustrasikan perubahan yang terus terjadi di lingkungan teknologi informasi (TI), juga memberi pelajaran bagi kita bahwa sesuatu yang semula dianggap sebagai nilai tambah atau keunggulan bagi organisasi, lambat laun akan menjadi suatu hal yang biasa. Jika perusahaan masih ingin tetap eksis dengan keunggulannya justru dituntut untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk menggantikan modal keunggulan yang sudah menjadi biasa tadi. Dalam konteks pengelolaan teknologi informasi di suatu organisasi bisnis, aplikasi – aplikasi korporat yang sepuluh tahun lalu dianggap killer applications seperti aplikasi dukungan fungsional (keuangan, personalia, akuntansi, produksi) yang stand alone, terpusat, text base, tidak user friendly, saling terpisah hingga membentuk islands of applications, sekarang sudah dianggap sebagai aplikasi standar atau bahkan sudah out of date.

Hari – hari ini, jika ada perusahaan yang masih menggunakan aplikasi teknologi informasi sebagaimana dicirikan di atas, dapat dipastikan: pimpinan perusahaan tidak mengetahui atau setidaknya tidak mau tahu manfaat komputer sehingga tidak bersedia untuk melakukan investasi baru untuk mengganti sistem lama, atau perusahaannya tidak berkembang karena dengan sistem yang lama-pun masih tetap dapat hidup. Menarik disimak pengakuan seorang pengelola sistem informasi di suatu perusahaan kelas menengah, menurut pengakuannya, pimpinan perusahaan sangat pelit untuk menambah investasi, bahkan untuk satu unit server sekalipun, namun tidak segan – segan menyetujui usulan biaya perawatan termasuk penggantian suku cadang. Kasus ini menandakan sang Boss menganggap bahwa perangkat TI yang ada masih mampu memberikan manfaat bagi perusahaan, dan oleh karenanya tidak perlu diganti, dan tentu saja masih harus dirawat.

Jika disimak lebih lanjut, peran TI yang terbangun ke dalam suatu sistem informasi (SI) sudah berubah cukup signifikan. Jika pada awalnya TI/SI dianggap sebagai komplemen saja, maka saat ini TI/SI sudah menjadi darah kehidupan bagi perusahaan. Sebagaimana layaknya darah pada manusia, perusahaan tidak akan dapat hidup tanpa TI/SI. Majoritas perusahaan yang dinilai dalam e-Corporation Award Majalah SWA tahun 2004 ini sudah membuktikan hal tersebut. Bayangkan perusahaan penerbangan tanpa sistem reservasi berbasis TI/SI dan jaringan Internet. Demikian pula tengok industri perbankan yang sekarang ini sudah mulai mengandalkan pada layanan online banking. Atau perusahaan distribusi yang sekarang ini hanya bisa sukses dan kompetitif bila didukung oleh pengelolaan data base tersebar yang berarti membutuhkan SI/TI dan jaringan komunikasi data.

Ketergantungan terhadap eksistensi TI/SI apapun aplikasi yang digunakannya sedemikian menonjol, sehingga ukuran pemanfaatan TI/SI bukan lagi pada berapa banyak meja atau staff yang menggunakan komputer, tetapi seberapa besar perusahaan meningkatkan value of business dengan memanfaatkan TI/SI.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Pemerhati TI/SI

Benarkah Spektrum Frekuensi Sumber Daya Terbatas?

Keterbatasan dikarenakan oleh teknologi transmisi.
Lihatlah ruang angkasa, batasnya adalah kemampuan mata kita memandang ke atas.

Pada saat ini, teknologi yang tersedia membutuhkan satu “lokasi” dalam spektrum frekuensi untuk dapat berkomunikasi. Sehingga bila ada pihak lain yang masuk ke “lokasi”yang sama sistem akan terganggu. Hal ini mirip dengan ekslusivitas pada kapasitas sebuah kursi untuk satu orang, bila telah ada yang duduk di kursi tersebut, maka kursi tidak dapat diduduki oleh orang lain, atau jikapun dipaksakan akan menimbulkan ketidak-nyamanan.

Sistem pemancaran dan penerimaan gelombang elektromegnetik yang ada sekarang ini, dapat dikatakan sebagai sistem bodoh, karena hanya mampu menerima satu frekuensi yang sudah dialokasikan.

Bayangkan sebuah pesta yang di dalamnya berpuluh orang saling berbicara satu dengan lainnya, membuat bising, namun di tengah suasana ramai tersebut orang masih dapat berkomunikasi satu dengan lainnya. Otak manusia mampu memilih dan memilah informasi yang dikomunikasikan.

Jika suatu ketika ditemukan teknologi pemancaran dan penerimaan gelombang elektromagnet yang cerdas, yang tidak terbatas pada hanya satu alokasi frekuensi saja, yang mampu memilih dan memilah frekuensi mana yang kosong, maka pada saat itu;ah tidak ada lagi ungkapan keluhan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumber daya yang terbatas.

Yang terbatas bukan spekrum-nya tetapi teknologi untuk memanfaatkan spektrum tersebut.
Rempoa, 27 Desember 2004

Sunday, December 26, 2004

Cerita Perjalanan Banten Selatan

harinya Sabtu
tanggal natal bagi umat nasrani
berdua istri kutelusuri pinggir pantai banten
dari anyer, labuan hingga menes
sampai di saketi ak ke kiri
menuju malingping terus ke bayah

tepat sebelas ketika kami lapar
ikan roti dan bawal santapan siang kami,
ditambah cumi yang semuanya dibakar
menyumpal perut mengganti lapar

di pertigaan sumur tanjung lesung
ragu kami, terus atau ke kanan
ingin kami ke ujung pulau jawa ini
menyusur tepi barat hingga ke binuangeun
pantai di batas antara lebak dan pandegelang
dengan pelabuhan ikan besar

minim informasi membuat kami terus
menyusur jalan yang telah kukenal
tanpa henti hingga lohor memanggil
ada banyak mesjid
tetapi semua pintunya tertutup
entah mengapa,

kami menemukan satu yang terbuka
sungguh sayang mesjid bagus
namun kurang terawat,
dan lihatlah air untuk berwudlu
diambil dari air sawah yang kuning dan keruh
aku yakinkan kami bahwa ini air suci yang sah untuk berwudlu
lantai berdebu tak mengurungkan menunaikan kewajiban kami

sampailah kami di Malingping
kota kecamatan di persimpangan
antara Bayah dan Leuwidamar
mobil mesti kami isi bensin,
aku minta enam puluh ribu,
si akang memberi lima puluh tujuh ribu,
sudah penuh katanya,
aku menukas, terus isi hingga enam puluh ribu,
terbayang muka kecewa tidak berhasil menambah sedikit tambahan penghasilan.

tiga sore sampailah kami di Bayah,
kota kecamatan di tepian pantai selatan,
ombak mendebur pasir yang pasrah sepanjang tahun,
kami berhenti di rumah kenalan,
dua butir kelapa hijau terhidang,
habis pula airnya meski kami tidak haus,

cerita punya cerita,
rumah tersebut hendak dijual,
tempo hari ketika aku menginap di situ sudah pula mendengar rumah di tepi pantai dengan latar rumput yang total luas tiga belas ribu lima ratus meter persegi tersebut akan dijual,
kali ini penjaga menawarkan enam puluh ribu per meter, sudah termasuk rumah.

setengah empat,
kami meninggalkan Bayah menuju Pelabuhan Ratu,
enam puluh dua kilometer jauhnya,
dua puluh pertama jalan mulus,
menanjak,menurun berkelok, asyik bagiku mengemudi,

sesudah itu,
tiga puluh kilo berikutnya,
seperti melewati jalan di masa tiga puluh tahun lalu
jalan jeblok berkelok
batu dan aspal enggan bersatu
kerikil meloncat ketika ban menginjak

lubang besar tak malu menunjukkan dirinya,
serasa menguji ketrampilan pengemudi,
hujan rintik melicinkan sebagian jalan yang sudah mulai lenyap aspalnya,
kanan tebing, kiri jurang, di tengah hutan sunyi,
tempat strategis bagi perampok,
serasa menguji nyali kami yang lewat.
jalanan sepi, hanya satu dua kendaraan,
yang searah dengan kami hanya dua truk,
terkadang sepeda motor,

hingga cibareno siksaan jalan perjuangan berakhir,
kami berujar,
cobalah si jubir presiden suruh lewati jalanan ini,
atau pula, sang ketum partai beringin,
atau pula presidennya sendiri,

tidak tergerakkah mereka untuk memberdayakan masyarakat Banten Selatan,
aku percaya, kondisi seperti ini, hanya salah satu dari mungkin beratus, beribu tempat lain di bumi Indonesia yang serupa, jeblok, rusak, tidak terurus, dan tertinggal,
bicara tertinggal, sudah masukkah menteri gus ipul ke daerah seperti ini??

sekian dulu,

Saturday, December 18, 2004

Evaluasi Kebijakan Dan Proyeksi Strategi Pembangunan Sektor Telekomunikasi, Teknologi Informasi, dan Penyiaran (Telematika)

Evaluasi Kebijakan Dan Proyeksi Strategi Pembangunan Sektor Telekomunikasi, Teknologi Informasi, dan Penyiaran (Telematika)

Oleh : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi


Pengantar
Bagi sementara pihak, sektor Telematika masih dianggap sebagai sektor yang kurang menarik untuk dibicarakan terutama dalam konteks diskursus politik praktis. Tidak demikian halnya bila kita bersedia meluangkan waktu sejenak untuk meneropong posisi strategis sektor telematika ini, khususnya bila dikaitkan dengan kontribusi sektor ini terhadap perencanaan dan implementasi strategi pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan keamanan nasional.

Meski kontribusi sektor telematika dalam Pendapatan Nasional belum cukup signifikan, hanya sebesar 5.1% utuk tahun 2000 dan 5.8% untuk tahun 2001 namun aktivitas sektor ini cukup memberi warna tersendiri dalam perekonomian nasional. Ditandai dengan mulai maraknya sekelompok anak muda membangun bisnis baru menggunakan teknologi Internet, maka Indonesia tak ketinggalan dalam booming e-commerce, majalah Warta Ekonomi edisi Maret 2001 mencatat ada sedikitnya 900 perusahaan dotcom di Indonesia. Jika rata – rata setiap perusahaan menyerap 50 tenaga kerja ahli di bidang telematika, maka 45.000 tenaga kerja telah terserap dalam industri dotcom di Indonesia. Sayangnya, menyusul surutnya bisnis e-commerce dan kurangnya dukungan infrastruktur informasi di Indonesia menjadikan banyak perusahaan dotcom Indonesia mengikuti jejak rekannya di Amerika dan Eropa.

Pembangunan sektor telekomunikasi diyakini akan menarik sektor – sektor lain berkembang, sebagaimana diyakini oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang secara konsisten menyatakan bahwa penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di negara – negara Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara – negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya yang telah memberi perhatian besar pada sektor telekomunikasi, sehingga selain jumlah pengguna telepon (teledensity) meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Implikasi sosial dari pemanfaatan teknologi khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi belum dapat dirasakan secara langsung oleh kelompok masyarakat miskin atau mereka yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dipahami karena rendahnya daya beli serta bagi kelompok ini, telematika belum merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap hari. Dalam kondisi semacam ini, telematika masih menjadi barang langka, mahal dan tidak berguna bagi golongan miskin dan mereka yang tinggal di pedesaaan atau daerah terpencil. Sebaliknya, bagi golongan terpelajar, atau mereka yang berpunya, pada awal abad milenium belakangan ini muncul kecenderungan kuat adanya ketergantungan terhadap informasi. Penggunaan telekomunikasi dan teknologi informasi khususnya Internet sebagian besar dilakukan oleh kelompok masyarakat golongan menengah ke atas. Kondisi kontradiktif dalam pemanfaatan telematika memunculkan fenomena yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk dan tambah miskin. Ketidak-tanggapan penentu kebijakan publik di bidang telematika terhadap fenomena umum semacam inilah yang kemudian menimbulkan jurang digital (digital divide).

Jika kontribusi telematika terhadap perekonomian nasional sudah ada cara mengukurnya, tidak demikian halnya dengan kontribusi telematika tehadap pembangunan dan peningkatan kualitas demokrasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa telekomunikasi dan teknologi informasi telah banyak membantu upaya masyarakat bangsa menuju demokrasi. Bentuk sederhana keterlibatan telematika dalam demokrasi antara lain penggunaan Short Message Service (SMS), Electronic Mail (E-mail), oleh mahasiswa aktivis dalam pendudukan gedung DPR/MPR yang berujung pada runtuhnya rejim orde baru. Pengembangan lebih lanjut pemanfaatan telematika dalam mendukung upaya pendidikan politik dan demokrasi hanya dibatasi oleh kemampuan manusia, bukan oleh teknologinya itu sendiri. Fakta yang cukup menarik, belum banyak partai politik yang secara khusus memberi perhatian pada telematika, baik memanfaatkannya sebagai sarana untuk mengelola organisasi sehingga menjadi partai modern berbasis teknologi, maupun menggunakan isu – isu kebijakan dan strategis di seputar telematika yang dapat menarik simpati masyarakat luas.


Permasalahan Umum
Permasalahan di sektor telematika, sebetulnya tidak beranjak jauh dari tahun ke tahun, masih di sekitar rendahnya infrastruktur jaringan telekomunikasi, rendahnya penetrasi Internet, pasar yang masih dikuasai oleh pelaku dominan, masih tingginya daftar antrian calon pelanggan telepon, masih relatif rendahnya kontribusi sektor telematika terhadap Pendapatan Nasional, makin terbukanya entry barrier bagi produk dan jasa asing untuk masuk ke Indonesia, sementara produk dan jasa Indonesia di bidang telematika yang diekspor ke luar negeri masih rendah dan seringkali tidak mampu bersaing di pasar global, permasalahan pro dan kon menyusul divestasi BUMN telekomunikasi, lambatnya realisasi pendirian Badan Regulasi telekomunikasi yang bersifat mandiri sesuai dengan mandat Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, permasalahan Struktur, Perilaku dan Kinerja industri telematika Indonesia terutama setelah berlakunya AFTA, dan regim perdagangan bebas, serta belum adanya upaya serius dari pemerintah untuk memberi perhatian sepenuhnya terhadap pemanfaatan Internet dan dampaknya.


Kelembagaan
IstilahTelematika atau Information and Communication Technology (ICT) digunakan di Indonesia sebagai suatu keputusan politik pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menandai perlunya mengantisipasi fenomena konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi. Keputusan Presiden dimaksud adalah Keppres Nomor 20/1999 tentang pembentukan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang kemudian diperbarui dengan Keppres Nomor 50/2000 .

Yang menarik, menyusul pergantian regim GusDur ke rejim Megawati, sekarang ini keberadaaan TKTI hanya di atas kertas belaka. Padahal, sesuai dengan cita – cita yang dicanangkan, keberadaan TKTI dimaksudkan untuk membangun sinergi dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan pelaku dunia usaha di bidang telematika sehingga secara bersama membangun kebijakan maupun merancang program yang dapat menstimulasi pertumbuhan pemanfataan telematika di Indonesia.

Meski ada TKTI yang diketuai oleh Megawati, namun demikian dalam penyusunan kabinet gotong royong, keberadaan TKTI tidak memiliki peran sama sekali, bahkan dianggap tidak ada. Demikian pula dalam kebijakan kelembagaan, meski diperkirakan sudah mengetahui bahwa sebagai konsekuensi konvergensi, terjadi perubahan mendasar pada layanan dan struktur industri telematika, namun demikian hal ini tidak disikapi dengan mengintegrasikan instansi pemerintah yang berwenang mengelola kebijakan sektor telematika. Kemunculan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan tugas sebagai perancang kebijakan sistem informasi nasional termasuk telematika dan penyiaran masih harus dipisahkan dari institusi yang mengelola telekomunikasi. Hingga saat ini lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi masalah telekomunikasi masih dipegang oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi di bawah Departemen Perhubungan. Adanya dua institusi pemerintah yang mengurusi permasalahan sejenis, sempat menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku dan dunia usaha bidang telematika.

Ke depan, jika Pemerintah konsisten dengan keinginan untuk membangun sektor telematika, perlu dipersiapkan pembentukan sektor baru yang khusus membidangi Telematika. Jika kita simak ke belakang, pembangunan di sektor telekomunikasi ternyata tidak memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Indikator mengenai hal ini dapat dilihat dari keberadaan instansi setingkat Departemen yang membidangi telekomunikasi selalu berganti – ganti dan ditempelkan ke bidang lain. Pernah pada suatu masa telekomunikasi digabung dengan pariwisata, kemudian dipindahkan dan digabung dengan perhubungan, dan sekarang bahkan muncul dua kementrian yang membidangi hal serupa. Pembentukan suatu sektor dalam pembanguan akan berdampak pada penuhnya perhatian para eksekutif karena dan kuatnya daya operasional untuk membangun sektor yang bersangkutan. Selain itu, jika kita simak, selama tiga dasa warsa terakhir ini, kontribusi sektor telekomunikasi terhadap GNP masih relatif rendah (rata – rata 3%) itupun masih digabung dengan kontribusi dari sektor perhubungan. Pembentukan sektor telematika yang terpisah dari sektor lainnya diperkirakan akan mendorong kesadaran para pelaku di sektor ini untuk meningkatkan kontribusinya pada Pendapatan Nasional. Implikasi lain, dari dibentuknya sektor telematika, adalah disediakannya anggaran pembangunan dalam APBN, maupun kementrian yang memiliki ruang lingkup lebih luas dalam pengelolaan sektor telematika.

Sementara itu, menyusul pembubaran Departemen Penerangan dan mulai berlakunya otonomi daerah, terjadi perubahan menyolok pada lembaga pemerintah yang mengurusi sektor informasi dan komunikasi di daerah – daerah. Perubahan ini ditandai dengan perbedaan nomenklature, tugas pokok dan fungsi, serta struktur organisasinya. Selain itu, muncul kencenderungan sektor telematika dijadikan objek bagi pengumpulan PAD melalu perda perijinan penyelengaraan usaha informasi dan komunikasi.

Menjelang akhir tahun 2002, pemerintah bersama DPR berhasil menyetujui disahkannya Undang – Undang Penyiaran. Tindak lanjut dari disahkannya UU ini adalah perlunya segera dibangun Komisi Penyiaran Independen (KPI). Agar kinerja KPI dapat sepenuhnya mencerminkan amanat UU Penyiaran, sebaiknya masyarakat segera mengajukan rancangan struktur dan tata laksana KPI, mekanisme rekruitmen anggota KPI, mekanisme pengawasan, serta tata cara hubungan antara KPI dan KPI Daerah.


Badan Regulasi Telekomunikasi
Menyusul diberlakukannya UU 36/1999 tentang Telekomunikasi yang menggantikan UU 3/89, muncul berbagai harapan agar Indonesia segera memiliki Badan Regulasi Telekomunikasi (BRT) yang bersifat mandiri. Pengertian mandiri di sini, dalam pengertian mandiri terhadap operator telekomunikasi yang diatur, dan mandiri dalam pembuatan keputusan. Meski tidak ada suara yang menentang berdirinya BRT, namun demikian tidak berarti tidak ada masalah dalam realisasinya.

Permasalahan mendasar dari kemandegan proses pendirian BRT adalah pada lemahnya landasan hukum yang ada. Pasal 5 UU 36/1999 yang disebut – sebut sebagai acuan perlu didirikanya BRT, berdasarkan kajian, ternyata masih sumir. Demikian pula bagian penjelasan pada UU 36/1999 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mencukupi bagi pendirian BRT.

Namun demikian, jika langkah yang ditempuh adalah merubah UU 36/1999, dapat diperkirakan akan memerlukan waktu yang cukup lama, sementara perubahan pasar menuju pasar yang kompetitif, di mana diperlukan peran regulator yang mandiri sudah sangat mendesak. Oleh karena itu diperlukan tindakan terobosan yang dapat disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah.


Bisnis
Ditengah minimnya kelangkaan infrastruktur telekomunikasi serta rendahnya pemahaman masyarakat luas terhadap telematika, di sisi lain ternyata muncul inisiatif-inisiatif baru yang dikembangkan oleh masing-masing pelaku usaha muda dalam rangka membentuk infrastruktur informasi alternatif yang meliputi aspek aplikasi, jasa dan infrastruktur fisik. Dari sisi teknologi terdapat empat area yang dianggap sebagai pendorong yaitu yang berkaitan dengan bandwidth komunikasi, teknologi peralatan elektronika, teknologi manipulasi informasi, dan teknologi sistem pembayaran yang dikembangkan secara on-line.
Peluang yang diciptakan oleh penerapan perdagangan elektronis adalah terciptanya pasar-pasar baru, produk dan pelayanan baru, proses-proses bisnis baru yang lebih efisien dan canggih, serta penciptaan perusahaan-perusahaan dengan jangkauan lebih (extended enterprise), sedangkan kendala-kendala umumnya berkisar pada masalah bandwidth dan kapasitas jaringan, keamanan, harga teknologi, aksesabilitas, struktur sosial-ekonomi-demografi, kendala politik dan hukum, censorship, serta edukasi -sosialisasi masyarakat.
Perkembangan lingkungan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai menerapkan perdagangan elektronis, telah mulai pula meninjau ulang lingkungan regulasinya. Sebuah kerangka regulasi baru di bidang telematika diperlukan untuk memfasilitasi pemanfaatan telematika di banyak sektor perekonomian. Tinjauan ulang regulasi sangat banyak dipengaruhi oleh manfaat-manfaat konvergensi Computer-Communications-Content pada industri-industri yang terkena dampak serta resiko-resiko yang diciptakan oleh perdagangan elektronis, seperti misalnya keabsahan dokumen elektronis dan pengaturan hak kepemilikan intelektual (intellectual property right).
Beberapa isu bisnis lain yang mewarnai tahun 2002 adalah:
1. Telkomnet Instant versus ISP
2. Runtuhnya bisnis VoIP
3. Pelaku pasar dominan
4. Divestasi saham ISAT
5. Kepemilikan silang oleh pihak asing terhadap perusahaan telekomunikasi
6. Merger operator DCS.
7. E-Commerce dan E-Business yang tidak berkembang
8. Implementasi E-procurement di beberapa perusahaan nasional
9. Pemerintah sebagai pasar e-government


Regulasi
Teledensity adalah indikator yang lazim digunakan di lingkungan telekomunikasi untuk menunjukkan jumlah satuan sambungan telepon PSTN terpasang (SST) per seratus jiwa. Pada saat ini teledensity Indonesia baru mencapai 3%, ini artinya, setiap 100 orang hanya tersedia 3 saluran telepon yang terpasang. Angka ini tergolong rendah terutama jika dibandingkan dengan negara maju atau bahkan negara tetangga Asean. Amerika 98%, Jepang 70%, Norwegia 92%, Singapura 67%, Malaysia 12%, Thailand 8%, dan Philippina 6%.

Selain teledensity, penyebaran pengguna juga merupakan masalah tersendiri. Dari sekitar 6 juta SST, 40% berada di Wilayah Jabotabek, 20% di Pulau Jawa, dan 30% tersebar di berbagai pulau di luar jawa. Kelebihan penawaran seringkali terjadi di Jakarta atau kota – kota besar di jawa lainnya, sementara daftar tunggu di daerah makin memanjang dan tidak semuanya dapat dilayani oleh PT. Telkom. Implikasi dari kondisi semacam ini bermacam macam, dari mahalnya biaya telekomunikasi interlokal, hingga makin enggannya PT. Telkom membangun jaringan baru di wilayah – wilayah yang secara ekonomi tidak potensial menyusul diberlakukannya kebijakan duopoli. Sebagai akibatnya penyebaran informasi dan penyediaan sarana akses informasi menjadi terhambat.




Isu Kebijakan Telekomunikasi yang berkembang selama tahun 2002 dan diperkirakan masih akan mewarnai tahun 2003 antara lain:
1. Tarif telepon dan interkoneksi
2. Regulasi Interkoneksi
3. VoIP
4. Perijinan
5. Privatisasi / divestasi BUMN telekomunikasi
6. Cross Ownership
7. USO
8. Badan Regulasi Independen
9. Restrukturisasi: Monopoli, Duopoli, dan kompetisi
10. Kompensasi teminasi dini Telkom dan Indosat
11. Standarisasi Peralatan Telekomunikasi

Selain isu yang berkaitan dengan bisnis, ada beberapa isu kebijakan lain yang berkaitan dengan masyarakat luas, antara lain:
1. Inpres 6/2001
2. Sistem Informasi Nasional
3. E-Government
4. Penyiapan perangkat legal
a. RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
b. RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
c. RUU Tindak Pidana Kejahatan Telematika
d. RUU Kebebesan Mengakses Informasi Publik
e. Revisi Undang – Undang Telekomunikasi
5. Kontorversi Undang – Undang Penyiaran
6. Pengaturan Internet

*****


Wawancara dengan Majalah Legal Review Seputar Cybercrime Law di Indonesia

Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan cybercrime di Indonesia?

Percaya atau tidak, cybercrime di Indonesia tidak ada! Sepertinya bercanda?, tidak juga. Dari kacamata hukum positif yang berlaku di Indonesia, setidaknya dari Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai salah satu sumber hukum yang mengatur pemidanaan kejahatan kriminal, tidak ada satupun pasal yang mengatur penindakan kejahatan dunia maya (cybercrime). Sehingga ketika terjadi kejahatan yang menggunakan sistem komputer sebagai alat maupun sasarannya, aparat penegak hukum masih memperlakukan kejahatan tersebut sebagai kejahatan kriminal dengan tuntutan pidana biasa. Alhasil, cybercrime di Indonesia tidak ada.
Di sinilah permasalahan muncul. Di satu sisi, kenyataan di lapangan tengah terjadi peningkatan (meskipun akselerasinya tidak terlalu cepat) kejahatan yang menggunakan sistem komputer sebagai alat dan atau sasaran. Di sisi lain, menyadari bahwa kejahatan semacam ini berbeda modus, operandi, sifat dan implikasinya dibandingkan dengan kejahatan kriminal konvensional, tetapi ternyata pemerintah Indonesia tidak segera menyediakan perangkat hukum yang dapat digunakan untuk menghukum secara adil pelaku kejahatan dunia maya ini. Sehingga, karena konsititusi mengharuskan tidak boleh ada kekosongan hukum, maka aparat penegak hukum terpaksa menggunakan pasal – pasal KUHP dan KUHAP yang konvensional, yang justru masih mengandung banyak kelemahan terutama dalam hal pembuktian dan ketidak - tepatan dalam menetapkan pasal – pasal yang dituduhkan.
Padahal, selain kuantitas semakin banyak, kualitas kejahatan cyber juga semakin canggih. Pelaku dan korban tidak hanya berada pada dimensi ruang dan waktu yang sama, namun sudah lintas batas, lintas negara, bahkan lintas benua. Operasi kejahatan cyber belakangan semakin canggih, dan selalu muncul cara – cara baru yang membuat penegak hukum sering memerlukan waktu lama untuk memahaminya.
Di sisi lain, ternyata muncul persoalan di kalangan praktisi TI yang relatif buta hukum, dan tidak memahami implikasi hukum yang terkandung dalam setiap tindakan pengelolaan data dan informasi di lingkungannya bekerja. Masih banyak praktisi TI yang tidak memahami bahwa membawa keluar (dari lingkungan organisasi/perusahaan) sebagian atau seluruh data perusahaan tanpa seijin pemilik perusahan atau pejabat yang berwenang dapat dikategorikan sebagai pencurian data. Akibatnya ketika terjadi ketidak-sengajaan terbawanya data keluar organisasi praktisi TI tersebut dituduh telah mencuri data perusahaan, dan celakanya, polisi langsung menyatakan praktisi TI tersebut telah melanggar pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimum 5 tahun.
Perkembangan kejahatan menggunakan sistem komputer melalui Internet dengan sistem komputer lain sebagai sasarannya (cybercrime) di Indonesia dari segi kuantitas dan kualitas semakin meningkat, namun demikian penanganan terhadap masalah ini belum dilaksanakan dengan landasan hukum yang sesuai untuk jenis kejahatan yang tergolong baru. Aparat penegak hukum sering terlihat antusias menangani kasus ini, namun ada kalanya juga tidak terlalu bernafsu, atau bersemangat tetapi tidak dilandasi dengan pemahaman yang mencukupi mengenai seluk beluk Komputer, Teknologi Informasi, Telekomunikasi, dan Internet.


Apakah penanganannya sudah optimal sehubungan dengan belum adanya regulasi yang tegas mengenai hal tersebut?

Jika dilihat dari keberhasilan memperkarakan kasus kejahatan cyber ini ke pengadilan, dan kemudian menghukum pelakunya, dapat dikatakan sudah optimal. Apalagi bila mengingat SDM penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang masih sangat sedikit di antara mereka yang memahami Komputer, Teknologi Informasi, Telekomunikasi, dan Internet. Selain masih minimnya sarana investigasi yang dimiliki polisi.
Namun demikian persoalannya tidak hanya di situ, ada permasalahan mendasar yang mengandung keadilan dan perlindungan bagi manusia (baik pelaku kejahatan maupun korban). Penggunaan landasan hukum konvensional dalam penanganan kejahatan cyber mengandung resiko: tidak diterimanya barang bukti yang diajukan para pihak yang berperkara; penetapan pasal tuntutan yang tidak tepat, sehingga berdampak pada terganggunya rasa keadilan pada diri korban maupun pelaku kejahatan.

UU Telematika yang mana RUU-nya masih masih mengendap di DPR ditengarai masih belum tegas mengatur tentang Cyber Crime? Bagaimana pendapat Anda?
Sedikit koreksi, tidak ada RUU Telematika, yang ada RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE) yang merupakan penggabungan dari dua RUU: Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) dan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IKTE). RUU-ITE belum mengendap di DPR, tetapi masih tersimpan rapi di tangan pemerintah (Kementrian Kominfo, dan Sekretariat Negara). November 2003 saya dengar tinggal menunggu Amanat Presiden (Ampres) untuk dapat diajukan ke DPR, namun terakhir (Mei 2004) saya mendapat info, Sekneg tidak setuju dengan draft final yang telah dibuat sejak 1998 dengan melibatkan dua lembaga penelitian dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia (UI dan Unpad) serta dibahas oleh berbagai pakar hukum dan Telematika.
Terlepas dari lambatnya Pemerintah memproses RUU-ITE tersebut, dari sisi substansi saya sepakat dengan pendapat pakar hukum yang mengatakan bahwa masih banyak kelemahan khususnya seperti pada: [1] definisi elektronik yang dipaksakan diterapkan pada sistem komputer, Internet, dan telekomunikasi (sehingga ada tumpang tindih dengan UU 36/99 tentang telekomunikasi); [2] konsepsi transaksi elektronik yang diterapkan pada semua aktivitas Internet; [3] aspek pidana; dan [4] penanganan kejahatan cyber lintas negara.


Menurut Anda, solusi untuk mengatur cybercrime dan semacamnya itu seperti apa? (studi banding dengan kasus-kasus di luar negeri)

Di banyak negara maju, Cybercrime diperlakukan sebagai bentuk kejahatan baru dan penanganannya juga menggunakan suatu undang – undang tersendiri (cybercrime law). Dalam konteks kerangka hukum di bidang cyber, dikenal cyberlaws, yakni serangkaian undang – undang yang mengatur masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan Komputer, Teknologi Informasi, Internet, dan Telekomunikasi.

Dalam kerangka pikir semacam ini, di Malaysia misalnya, cyberlaws terdiri dan akan terus berkembang tidak terbatas pada:
Digital Signature Act
Computer Crimes Act
Communications and Multimedia Act
Telemedicine Act
Copyright Amendment Act
Personal Data Protection Legislation (Proposed)
Internal Security Act (ISA)
Films censorship Act


Di Amerika:
Electronic Signatures in Global and National Commerce Act
Uniform Electronic Transaction Act
Uniform Computer Information Transaction Act
Government Paperwork Elimination Act
Electronic Communication Privacy Act
Privacy Protection Act
Fair Credit Reporting Act
Right to Financial Privacy Act
Computer Fraud and Abuse Act
Anti-cyber squatting consumer protection Act
Child online protection Act
Children’s online privacy protection Act
Economic espionage Act
“No Electronic Theft” Act

Dengan memperhatikan dua contoh di atas, sudah saatnya pembuat Undang – Undang (DPR dan Pemerintah) mulai membuka diri dan memikirkan perlu segera dibuatnya cybercrime law.

Salah satu upaya yang telah kami lakukan adalah dengan membuat Rancangan Undang – Undang Tindak Pidana di Bidang Teknolog Informasi (RUU-TIPITI) dan telah kami ajukan kepada DPR, dengan harapan menjadi inisiatif DPR.

Sementara menunggu disahkannya Undang – Undang TIPITI (sebagai cybercrime law Indonesia) beberapa langkah perlu dilakukan (sesuai dengan semangat Resolusi PBB 55/63):
mendidik aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) agar lebih memahami TI&K
menyediakan perangkat /laboratorium penyidikan (investigasi)
mengadakan kerjasama internasional guna penegakan cyber, dan
melakukan sosialisasi dan pencegahan kejahatan cyber.