Wednesday, May 25, 2005

Proses Cyberlaw di Indonesia

Perkembangan pembuatan cyberlaw sebenarnya sudah cukup lama, namun demikian pemahaman terhadap materi cyberlaw masih belum memadai baik di lingkungan akademik maupun praktisi. Hal ini ditandai dengan dominannya anggapan bahwa cyberlaw hanya mengatur masalah penggunaan Internet saja.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya duduk persoalan cyberlaw dikaitkan dengan makin berkembangnya pemanfaatan TI yang mengubah sebagian besar pola kehidupan atau pola transaksi di antara masyarakat maupunmunculny adampak negatid dari pemanfaatan TI tersebut.

Teori hukum mengenai perundang – undangan menyatakan bahwa undang – undang dibentuk untuk mengatasi masalah sosial. Atau ada juga pendapat lain yang menyatakan UU dibentuk untuk mengatasi suatu permasalahan tertentu. Dijelaskan mengenai teori undang – undang.

Masuk ke aspek TI yang pada gilirannya menuju pada perlunya dibentuk suatu UU yang berkaitan dengan TI. Pada awal digunakannya TI belum muncul keperluan terhadap UU yang mengatur TI. Namun demikian ketika pemanfaatan TI sudah sedemikian luasnya, sehingga menimbulkan ekses negatif, maupun adanya hal - hal yang menghendaki adanya ketentuan hukum, maka di situlah diperlukan UU yang khusus mengatur TI.

Sebagai contoh, ketika terjadi peningkatan kejahatan komputer di awal 1993, maka pemerintah AS mengeluarkan UU yang menjadi basis penindakan bagi pelaku kriminal di bidang komputer. Awal dari Cumputer Misuse Act. Demikian halnya di Singapura, Malaysia, atau di negara – negara lain. Berikutnya, ketika terjadi revolusi pertukaran informasi, di mana sebelumnya informasi dipertukarkan menggunakan media kertas, maka segala peraturan dan perundangan yang menggunakan tata kehidupan manusia ditulis di atas kertas, halnya menjadi berubah ketika informasi dapat dipertukarkan di media elektronik. Perubahan media pertukaran informasi dari kertas ke media elektronik, ternyata membawa dampak yang cukup besar yang kemudian mengubah tatanan yang sudah ada. Sebagai contoh, kalangan bisnis sudah cukup banyak yang menggunakan media elektronik, seperti CD, website Internet untuk menggantikan media kertas (brosur) dalam kegiatan promosi/pemasaran.

Hal yang sama terjadi ketika Internet menjadi sarana transaksi bisnis, kontrak bisnis yang semula harus dibuat di atas kertas sekarang sudah dapat dilakukan menggunakan media elektronik. Namun demikian ketika terjadi kebutuhan pengakuan terhadap transaksi elektronik itu sendiri, dan bukti dari adanya transaksi tersebut. Inilah sebetulnya konsep dasar dari perlunya suatu UU yang mengatur transaksi elektronik.

Pertanyannya apakah hal ini sudah cukup untuk mencegah perilaku kriminal di bidang TI? Jawabnya tentu saja belum, karena sebagaimana perluasan yang terjadi dalam pertukaran informasi yang bersifat positif, hal yang sama dapat juga terjadi untuk kejahatan.

Secara substansial UU yang mengakui transaksi dan bukti elektronik, ternyata belum mampu mengendalikan aspek kejahatan maupun penggunaan khusus TI seperti perpajakan, layanan kesehatan, e-govt dan lain sebagainya yang sifatnya berubah ketika sudah ber-Internet. Hal seperti inilah yang kemudian perlu disikapi. Maka muncullah inisiatif pembuatan RUU TIPITI, yang dimaksudkan sebagai pelengkap (komplimen), bukan sebagai pesaing dari rancangan UU ITE. Seperti halnya gula dan kopi, bukan hubungan antara teh dan kopi, yang pertama saling melengkapi, yang kedua sebagai substitusi.

Tata perundangan di Indonesia mensyaratkan ada dua sumber pembuatan UU, yakni pertama berawal dari inisiatif pemerintah, disampaikan kepada DPR, untuk kemudian dibahas dan disetujui menjadi UU. Alternatif kedua adalah usulan dari masyarakat kepada DPR mengenai permasalahan tertentu, yang kemudian dijadikan inisiatif / usulan DPR. Melihat perkembangan yang terjadi dalam proses pembuatan UU di bidang TI selama lima tahun terakhir, kami berkesimpulan bahwa sumber daya pemerintah sudah cukup banyak dialokasikan kepada RUU-ITE. Tetapi toh tahapan kemajuanya sangat lambat. Oleh karena itu, bila kami mengajukan usulan kepada DPR, sebetulnya sepenuhnya merupakan perwujudan partisipasi masyarakat dalam membangun kerangka hukum di bidang TI. Jika kemudian ada anggapan bahwa kami bersaing dengan inisitatif RUU –ITE, maka sebenarnya pendapat ini keliru besar. Atau yang memiliki anggapan tersebut masih perlu belajar lebih banyak lagi apa itu cyberlaw.

Lebih jauh kekhawatiran dengan adanya usulan DPR menjadikan RUU-ITE menjadi sia – sia belaka sebetulnya sangat tidak berasalan. Untuk itu perbedaan pendapat atau anggapan adanya persaingan upaya jegal-menjegal satu dengan lainnya sebaiknya pikiraan semacam itu segera dibuang, karena akan menjadi tidak konstruktif bagi segera dimilikinya cyberlaw. Oleh karenanya mengapa tidak saling mendukung satu dengan lainnya.

Nexus

lengang pantai berdebur ombak,
merengkuh pasir dihempas sepoi angin laut utara.
jiwa hampa penuh dusta,
dilapis kulit putih pualam rapuh,
tergoda jiwa.

di punggungmu menjerit bola melejit,
pemukul kayu tertawa di kehijauan,
bergema dibawa angin laut utara,
seolah lupa duka di seberang
berkulit sawo duka menerjang.

datang senja birahi mengundang,
melenggok bambu menjepit kaki,
semburat ludah memecah kebingaran malam,
untaian anggrek melingkari leher,
dilapis kulit putih merangsang.

kecipak air membatalkan tidur,
kemilau biru memantul sinar mentari,
menyilaukan mata memanggil selera,
membawa nafsu sorga neraka,
berjalan kembali ke alam mula.

Kota Kinabalu, 5/4/05

Karambunai

Lama kunanti senja wangi di bibir pantai,
Menatap curiga ke masa lalu,
Penuh harap,
Namun tiada tertangkap gema di angkasa

Wajah ceria menunggu dusta,
Tiada jua pelipur duka
Meski gelap merangkak pasti,
Merenggut nyawa tiada cinta.

Nexus, Kota Kinabalu, 4/4/05

Electronic Government Dan Pencegahan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi sepertinya mendapat darah segar menyusul pernyataan Presiden SBY yang menegaskan komitmennya untuk secara tegas menindak para pelaku tindak pidana korupsi. Jika kita runut ke belakang, pernyataan perlunya menindak tegas dan menghukum para pelaku korupsi sudah berulangkali dilakukan oleh semua Presiden sejak Soeharto hingga Megawati. Upaya pemberantasan korupsi melalui pendekatan institusional dengan membentuk berbagai tim atau komisi pemberantasan korupsi-pun sudah pula dilakukan.

Sementara itu, tak kalah gencarnya berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah pula membangun berbagai upaya pencegahan korupsi. Transparansi International Indonesia (TII) misalnya telah membuat Modul Pakta Integritas, Modul Prinsip Usaha Tanpa Suap, Modul Indeks Persepsi Korupsi, dan Modul Transparansi dan Akuntabilitas Publik. Demikian pula Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), wadah organisasi kaum pebisnis, tak ketinggalan membuat Modul Good Coorporate Governance. Modul Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP), dan Modul Kampanye Nasional Anti Suap. Daftar modul yang dibuat oleh berbagai elemen masyarakat lain masih dapat dibuat lebih panjang lagi, hal ini menunjukkan persoalan korupsi bukan saja menjadi urusan pemerintah, tetapi juga sudah menjadi permasalahan bagi kalangan pebisnis serta masyarakat luas pada umumnya.

Persoalan yang selalu mengusik kita adalah mengapa sudah sekian lama kita berperang melawan korupsi, dengan berbagai senjata dan bala tentara, sekian banyak analisis pakar yang mencoba menggali sebab musababnya, dan berbagai persidangan pengadilan korupsi diselenggarakan, namun tetap saja korupsi becokol kuat di keseharian masyarakat Indonesia, tidak saja di lingkungan pemerintahan, tetapi juga di organisasi bisnis, organisasi sosial nirlaba, bahkan menghinggapi beberapa akademisi yang sebelumnya terkenal komitmennya di dalam memerangi tindak kriminal termasuk korupsi. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia dapat disetarakan dengan penyakit sosial yang belum berhasil ditemukan akar penyebabnya dan oleh karena itu belum dapat ditemukan obatnya yang mujarab. Semua upaya yang telah dilakukan lebih merupakan tindakan uji coba, yang sayangnya masih lebih kuat penyakitnya dari pada obatnya.

Pendekatan serupa di atas dilakukan pula oleh para penggiat di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (Telematika) yang meyakini suatu hipotesa bahwa korupsi struktural yang terjadi di lingkungan pemerintahan dapat dicegah dengan pemanfaatan Telematika dalam bentuk electronic government (e-govt).

Banyak pihak memahami e-govt dalam konteks yang sempit, yakni sekadar instansi pemerintah memiliki situs internet (website) maka sudah ber-e-govt-lah mereka. Di pihak lain ada yang berpendirian bahwa suatu instansi pemerintah sudah menerapkan e-govt bila telah memanfaatkan aplikasi Telematika secara menyeluruh, tidak hanya sekedar memiliki website saja. Terlepas dari dua pemikiran yag berbeda tersebut, esensi yang terpenting dari e-govt adalah memanfaatkan Telematika untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Dalam konteks ini peningkatan kinerja tidak dapat diartikan dalam konteks yang sempit, namun dapat meliputi tercapainya tata pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, transparan, baik dalam pengelolaan internal maupun dalam pelayanan kepada publik.

Tata pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, dan transparan merupakan indikator dari rendahnya tingkat korupsi di lingkungan birokrasi. Secara generik, salah satu komponen utama e-govt adalah aplikasi sistem informasi pemerintahan yang mampu memberikan layanan secara online melalui media Internet. Aplikasi ini memberi fasilitas interaksi antara anggota masyarakat dengan penyelenggara layanan publik tanpa harus bertatap muka secara langsung. Berkurangnya tatap muka ini mengurangi peluang kong kali kong yang kemudian menjurus kepada kesepakatan untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu sumber korupsi terbesar adalah pada kegiatan pengadaan barang dan jasa. Dengan aplikasi pengadaan barang secara online (e-procurement) peluang terjadinya korupsi mengecil.

Masih banyak aplikasi Telematika lain dalam konteks e-govt yang menawarkan mekanisme untuk mengurangi kebocoran belanja negara, mengawasi perilaku pejabat pemerintah, meningkatkan produktivitas birokrasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, muncul pertanyaan kritis, bukankah sebagian besar instansi pemerintah pusat dan daerah sudah ber-e-govt tetapi mengapa korupsi masih juga tidak beranjak pergi? Menjawab pertanyaan ini, perlu merujuk pada suatu hasil penelitian yang menjelaskan mengapa sebagian besar proyek e-govt gagal mencapai tujuan. Pertama, para proponen e-govt sebagai besar berlatar belakang Teknologi Informasi (TI), mereka melihat e-govt sama seperti implementasi aplikasi sistem informasi di organisasi privat/bisnis. Sistem dibangun khusus sesuai dengan cara kerja yang sudah ada yang belum efisien. Para konsultan TI ini sangat senang untuk merancang sistem semacam itu karena dapat mengajukan biaya yang mahal. Kedua, praktik yang digunakan dalam membiayai pembangunan e-govt menggunakan pendekatan proyek, ketika habis masa dan anggaran proyek tersebut, maka berakhirlah riwayat e-govt. Ketiga, kurangnya komitmen dari stakeholder, terutama keteladanan dan kemauan untuk berubah dari para birokrat. Ke-empat, belum ada skenario manajemen perubahan dari sistem lama ke sistem baru. Termasuk dalam skenario ini adalah perlunya meninjau ulang serta mengubah peraturan dan perundangan yang tidak sejalan dengan karakter e-govt.

Kebijakan perang melawan korupsi yang sudah dicanangkan Presiden memperoleh sambutan positif dari kalangan penggiat Telematika di Indonesia. Sambutan ini diwujudkan dengan berpartisipasi aktif mencegah korupsi melalui karya nyata sesuai dengan bidang keahliannya. Standar modul e-procurement sebagai salah satu komponen e-govt merupakan salah satu kontribusi yang ditawarkan untuk dapat diterapkan di semua instansi pemerintah. Aplikasi modul ini dapat dibangun oleh siapa saja yang memiliki keahlian di bidang TI, dengan demikian memberikan peluang usaha bagi para pengembang aplikasi sistem informasi.

Satu hal yang perlu diperhatikan, hendaknya dalam penerapan e-govt perlu memperhatikan empat hal penyebab kegagalan, agar tidak menambah keraguan manfaat e-govt dalam mencegah korupsi.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
- Ketua, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL)
- Peneliti, Lembaga Studi Kebijakan Ekonomi dan Telematika (GASKET)
Rempoa, 12 Mei 2005

Huru Hara Layanan 3G

Pernyataan Ketua Komisi V DPR Sofhian Mile tentang larangan bagi pemegang ijin operator telekomunikasi dalam berita bertajuk “PT. CAC Tidak Boleh Jual Saham” (Kompas, 8 Maret 2005) mengundang tanda tanya kalangan pemerhati telekomunikasi, khususnya komunitas telekomunikasi. Pernyataan Ketua Komisi V DPR tersebut selain menunjukkan kekurang – tahuan yang bersangkutan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi termasuk materi Undang – Undang Telekomunikasi dan peraturan di bawahnya, juga dapat berdampak serius terhadap upaya peningkatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang sekarang sedang digalakkan di negara ini.

Sofhian Mile sebagaimana dikutip Kompas menyatakan larangan pengalihan saham sesuai dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Ternyata, sebutir katapun yang menunjukkan adanya larangan terhadap pengalihan saham bagi perusahaan operator telekomunikasi tidak pernah ada dalam UU 36/1999. Klausa tentang perijinan tercantum dalam pasal 11, ayat 1 mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri, ayat 2 tentang hal yang harus diperhatikan dalam memberikan perijinan, serta ayat 3 tentang ketentuan mengenai perijinan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan pasal 11 menyatakan bahwa perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbukan untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Selain pasal 11 dan penjelasannya, dalam UU 36/1999 tidak ada lagi pasal yang mengatur masalah perijinan. Dengan demikian yang dapat menjadi acuan berikutnya tentang masalah teknis dan konsekuensi perijinan adalah Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Perhubungan, atau Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel).

Pemerintah menerbitkan dua Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat dijadikan acuan dalam hal perijinan telekomunikasi, yakni PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan PP 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Dalam PP 52/2000 Bab IV Pasal 55 ayat 1 menyatakan penyelenggaraan telekomunikasi diberikan izin melalui tahapan izin prinsip dan izin penyelenggaraan, selanjutnya dalam pasal 56 ayat 1 dinyatakan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) diberikan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang, dan pada ayat 3 dinyatakan izin prinsip tidak dapat dipindah-tangankan.

Dalam PP 53/2000 persoalan mengenai perijinan penggunaan spektrum frekuensi diatur dari Pasal 17 hingga 26. Larangan pemindah – tanganan tercantum dalam Pasal 25 yang selengkapnya dinyatakan sebagai berikut: ayat 1, Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain; ayat 2, izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri.

Menyimak apa yang dikatakan Ketua Komisi V DPR, dapat ditarik kesimpulan yang ingin disorot beliau adalah permasalahan pemindah – tanganan izin prinsip dari pemegang izin kepada pihak lain. Pertanyaannya, apa yang dimaksud pindah – tangan dan benarkah telah terjadi izin prinsip yang telah dipindah – tangankan, bagaimana sebenarnya kondisi di lapangan berkenaan dengan perijinan penyelengaaran telekomunikasi, serta apa hubungannya dengan jual beli saham perusahaan pemegang ijin prinsip operator telekomunikasi.

Penjelasan ahli hukum menyatakan “pindah tangan” dalam kontek kepemilikan ijin adalah penggunaan ijin oleh pihak lain dengan persetujuan pemiliknya yang sah. Dalam hal ini yang diserahkan kepada pihak lain adalah ijin, untuk selanjutnya ijin tersebut digunakan oleh pihak lain seolah – olah pemilik yang sah. Praktek pemindah – tanganan jelas menunjukkan pemegang ijin yang tidak bertanggung jawab, karena telah membohongi publik. Namun demikian jika dalam pelaksanaan pembangunan untuk memenuhi komitmen ternyata pemegang ijin memerlukan tambahan investasi tentunya sah – sah saja apabila kemudian mengajak mitra investor lainnya untuk bergabung dan bersama – sama membangun jaringan dan layanan telekomunikasi. Hal ini jug aselaras dengan penjelasan Pasal 25 PP 53/2000 yang menyatakan bahwa pada prinsipnya izin stasiun radio tidak dapat dialihkan. Namun, dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan dan atau ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih, maka pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri.

Industri jasa telekomunikasi adalah sektor yang menyerap banyak dana investasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan peningkatan penetrasi telepon hanya dapat dicapai bila ada aliran investasi yang secara nyata digunakan untuk membangun jaringan telekomunikasi. Kenyataan di lapangan menunjukkan ada beberapa pemegang ijin prinsip yang memang tidak berniat membangun, hanya menunggu waktu untuk menjual perusahaan termasuk ijin yang dimilikinya kepada investor yang berminat. Kelompok ini tergolong spekulan yang mementingkan diri sendiri saja. Kelompok inilah yang sebenarnya layak menjadi sasaran dari pernyataan Ketua Komisi V DPR.

Kelompok spekulan hanyalah sedikit, yang lebih banyak adalah mereka yang memiliki izin dan benar – benar ingin membangun tetapi menghadapi keterbatasan dana, dan calon investor yang ingin ikut membangun tetapi tidak mempunyai ijin. Pertemuan dua kepentingan yang saling komplemen inilah yang akhir – akhir ini banyak mewarnai percaturan sektor telekomunikasi di Indonesia. Dalam kasus Lippo Telecom misalnya, setelah mengalami stagnan dan mendekati kebangkrutan. Akhirnya bermitra dengan Maxis dari Malaysia. Cyber Access Communication (CAC) sebagaimana ditunjuk Ketua Komisi V DPR memang sedang mencari mitra investor untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan jaringan. Mengenai PT WIN yang disebut Sofhian Mille sebagai belum beroperasi dan melayani kepentingan masyarakat, ada sedikit ketidak - akuratan yang disampaikannya. PT WIN telah memiliki ijin penyelenggaraan untuk layanan komunikasi data dengan teknologi nirkabel CDMA. Ini artinya PT WIN telah memberikan layanan kepada masyarakat meski dalam skala kecil. Kabar terakhir mengatakan untuk mengembangkan layanan agar lebih luas lagi, pemilik PT WIN telah memperoleh mitra investor dan mereka berencana menambah jenis layanan dari semula hanya komunikasi data ditambah dengan layanan suara. Dalam hal PT. WIN, tidak terjadi perubahan kepemilikan saham apalagi pemindah – tanganan izin prinsip. PT. Primasel semula memperoleh izin penyelenggaraan telekomunikasi bergerak dengan teknologi PHS, dan hanya untuk wilayah jawa Timur saja. Uji coba jaringan telah dilakukan pada tahun 1997 di kota Surabaya dan sekitarnya, namun demikian krisis moneter mengharuskan Primasel menghentikan uji cobanya.

Dapatkah Undang – Undang Telekomunikasi, Pers dan Penyiaran Diterapkan Untuk Mengatur Internet

Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

Ada pertanyaan menarik berkaitan dengan penggunaan Internet yang muncul dalam suatu diskusi, apakah regulasi atau pengaturan yang sekarang ini berlaku untuk telekomunikasi, penyiaran, dan pers dapat ditarik dan diterapkan pada Internet? Latar belakang pertanyaan ini didasarkan pada pesatnya penggunaan Internet hingga sekarang ini, dan kenyataan bagaimana Internet mengubah atau bahkan mengganti peran berbagai media komunikasi yang ada sekarang.

Pertanyaan tersebut di atas dicoba dijawab oleh Marsden dalam kumpulan essay hasil karya para ahli di bidang konvergensi Telekomunikasi, Informastika, dan Multimedia yang bertajuk Regulating The Global Information Society. Di dalam buku terbitan Routledge tahun 2000 ini ada artikel menarik tulisan Richard Collins (professor dari London School of Economics and Political Science, yang sekarang menjabat sebagai Deputy Director and head of Education at the British Film Institute) berjudul Realising Social Goals Inconnectivity and Content. Dalam salah satu bagian tulisannya Collins mengutip teori-nya Werbach (Digital Tornado: The Internet and Telecommuncation Policy, 1997), bahwa pada akhirnya Internet akan mampu menggantikan peran berbagai media komunikasi yang sekarang sudah ada seperti Televisi, Radio, dan Surat Kabar. Jika demikian halnya, besar kemungkinan regulasi atau pengaturan yang berlaku pada penyiaran dan telekomunikasi bisa ditarik dan diterapkan pada Internet. Sebagaimana sudah dicontohkan oleh the UK House of Commons Select Committee on Culture, Media, and Sport ketika mereka membuat pernyataan sebagai berikut: the Internet will become increasingly a platform for audio-visual content barely distinguishable from broadcast content.

Lebih lanjut Collins menjelaskan, ada beberapa isue yang berkaitan dengan perlu-tidaknya regulasi Internet, terutama dikaitkan dengan perlunya memenuhi universal service obligation dan universal access, serta masalah konten:
1. regulasi terhadap konten yang bernuansa negatif, bagaimana mencegah terjadinya unlawful dan atau offensive material.
2. regulasi terhadap konten yang bernuansa positif, bagaimana menjamin penyediaan konten yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
3. regulasi dan alokasi domain names dan IP address, bagaimana menjaga agar regulasi memberikan competitive advantage bagi pengguna Internet.
4. keseimbangan pemenuhan kebutuhan antara pengguna dan penyedia konten terutama berkaitan dengan masalah IPR.
5. perlindungan konsumen dari fraud dan kejahatan lain yang menggunakan Internet sebagai medianya.

Setelah membaca bagian lain dari buku tersebut, dan mengaitkan dengan kondisi Indonesia, saya berpendapat bahwa beberapa isu tersebut di atas ternyata belum semua ditangani dengan baik. Hanya yang nomor 3 (regulasi dan alokasi domain names dan IP Address) saja yang secara de facto sudah cukup bagus ditangani oleh IDNIC dan APJII, meski barangkali masih ada kurang sana - sini. Namun, jika saya amati lebih dalam lagi, keberadaaan IDNIC yang berperan sebagai institusi pengatur nama domain masih kurang kuat posisinya, dan oleh karenanya sering digoyang oleh pihak- pihak yang ingin mengambil alih. Apakah ia berbentuk organisasi nirlaba, yayasan, atau usaha profit, yang semuanya berbadan hukum. Untuk itu, akan lebih baik kiranya bila keberadaan IDNIC lebih diformalkan sehingga menjadi kecil kemungkinannya terjadi, bila di kemudian hari ada yang bermaksud untuk mengkooptasi (kecuali bila dikehendaki oleh pengurus IDNIC sendiri).Untuk item 1,2,4, dan 5, memang belum ada regulasi formalnya, namun secara sepintas saya sudah melihatnya dalam draft RUU tentang Cyberlaw dan Telematika yang masing - masing dirancang oleh tim dari Universitas Indonesia dan Universitas Pajajaran bekerja sama dengan ITB. Rasanya sudah waktunya kita memfokuskan energi dan perhatian bagi dimilikinya perundangan dan peraturan tentang Internet khususnya dan Telematika umumnya, agar arah dan hasil yang ingin dicapai dengan penggunaan Internet bisa terwujud. Ayo kita dorong bersama RUU Cyberlaw dan Telematika agar segera menjadi UU.Satu hal yang penting, sebagaimana saya kemukakan di muka, yang perlu dicermati dengan UU Cyber dan Telematika ini adalah kenyataan bahwa trend Internet menjadi substitusi media komunikasi konvensional sudah mendekati kenyataan, dan oleh karena itu, jangan sampai kenyataan ini menjadi bencana bagi pengguna Internet sebagaimana bencana yang pernah menimpa kalangan media konvensional di jaman Orde Baru. Saya setuju bagian pertama pendapat Werbach, tetapi menanggapi dengan hati - hati bagian kedua penyataannya.

Solusi Optimal Bagi Perijinan Layanan 3G

Oleh : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Ketua, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL)
Peneliti, Lembaga Studi Kebijakan Ekonomi dan Telematika (GASKET)

Harian Bisnis Indonesia (HBI) membuat sejarah baru sepanjang usia penerbitannya. Pada hari yang sama, Rabu 18 Mei 2005, sekaligus menyajikan berita utama tentang perijinan layanan 3G di halaman pertama dan ditambah dengan berita setengah halaman di lembar pertama halaman Teknologi Informasi. Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal, pertama substansi berita dianggap sangat penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak, dan kedua, HBI menunjukkan dirinya sebagai media cetak yang memiliki perhatian besar terhadap kemajuan industri telekomunikasi di Indonesia.

Menyimak substansi berita, bahwasanya Pemerintah akan menender ulang ijin penyelenggaraan selular generasi ketiga (3G), dan sekaligus akan membersihkan frekuensi 3G sebagaimana disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi dan didukung oleh Menko Perekonomian, sungguh hal ini merupakan berita yang menggembirakan, mengejutkan, namun sekaligus juga menuai banyak komentar dan pertanyaan yang tak sempat diajukan dalam acara dialog publik dengan tajuk Restrukturisasi Frekuensi untuk Keunggulan Industri Infokom di Indonesia.

Sinyal Kebijakan
Menggembirakan, karena pemerintah melalui Menteri Kominfo telah memberi sinyal komitmen untuk memperbaiki kinerja industri telekomunikasi di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, penetrasi telepon di Indonesia masih tergolong rendah, rasio satuan sambungan telepon tetap terpasang dengan populasi penduduk masih berkisar 4: 100, sementara untuk layanan nirkabel (wireless) sudah lebih baik, yakni 15:100. Rasio teledensity seperti ini mengandung makna masih diperlukannya investasi yang sangat besar untuk membangun jaringan dan layanan telekomunikasi, sehingga semakin banyak warga masyarakat yang dapat menikmati kemajuan teknologi infokom.

Jika saja semua dana yang diperlukan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi dapat disediakan oleh negara, eksistensi layanan telekomunikasi secara monopoli dapat dipertahankan dengan menugaskan badan penyelenggara telekomunikasi – sesuai mandat Undang – Undang Nomor 3 tahun 1989 - untuk menyediakan semua jenis layanan. Yang menjadi persoalan, Pemerintah dihadapkan pada keterbatasan anggaran sementara banyak sektor pembangunan yang harus mendapat prioritas. BUMN yang mengemban amanat sebagai badan penyelenggara telekomunikasi-pun masih digelayuti dengan berbagai persoalan manajerial sehingga kinerjanya hingga akhir dekade 90-an belum mampu melayani semua wilayah negeri ini. Sementara itu, desakan liberalisasi dan globalisasi ekonomi dengan karakter arus investasi yang mengalir tanpa mengenal batas negara, mendorong dilakukannya restrukturisasi pasar, dari yang semula monopolistik menjadi kompetitif.

Konsekuensi dari pasar yang kompetitif adalah adanya lebih dari satu operator telekomunikasi. Undang – Undang Telekomunikasi Nomor 36 tahun 1999 menjadi landasan hukum bagi diselenggarakannya layanan telekomunikasi secara kompetitif. Sesudah hampir enam tahun monopoli dihapuskan, ternyata kompetisi yang diidamkan belum optimal, hal ini terlihat dari masih dominannya operator lama yang menguasai hampir semua jenis layanan telekomunikasi dengan pangsa pasar untuk tiap – tiap layanan di atas 50%. Agar kompetisi dapat dioptimalkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, diperlukan kebijakan yang memberikan peluang bagi masuknya pendatang baru (new entrants), khususnya untuk layanan telekomunikasi yang tergolong baru dengan teknologi baru.

Kebijakan semacam ini telah ditunjukkan oleh Pemerintah, salah satunya dengan membuka layanan telekomunikasi selular generasi tiga (3G), dan layanan selular lain yang menempati pita frekuensi yang dialokasikan untuk layanan 3G. Pernyataan Menteri Kominfo tentang rencana membersihkan frekuensi 3G dapat dibaca sebagai sinyal kebijakan dari Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu untuk mendorong kemajuan industri telekomunikasi yang selama ini masih dirasa kurang optimal.

Keseimbangan Kebijakan
Para penganjur New Public Management (NPM) menyatakan, agar suatu regim pemerintah dapat terus berada di tampuk kekuasaan pada era globalisasi, perlu secara pragmatis mengubah pendekatan kebijakan. Pemerintahan yang otoriter cenderung tidak berusia panjang, sebaliknya yang sangat demokratis sehingga membolehkan setiap aksi massa, juga tidak dapat efektif. Pergantian regim penguasa sebaiknya tidak selalu diterjemahkan sebagai peluang untuk mengganti kebijakan yang pernah diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya. Dalam beberapa hal, kelangsungan dan keseimbangan kebijakan perlu dibangun, agar biaya sosial yang telah dibelanjakan untuk pembuatan kebijakan dapat dikompensasi dengan manfaat sosial yang seringkali perolehannya jauh sesudah suatu kebijakan diterbitkan.

Menggunakan pola pikir di atas dan diterapkan dalam persoalan yang menghangat pada akhir – akhir ini seputar perijinan layanan 3G, sungguh merupakan kejutan besar apabila pernyataan Menteri tentang pencabutan ijin layanan 3G yang sudah diberikan kepada beberapa operator jadi dilaksanakan. Dikatakan kejutan karena hal serupa belum pernah terjadi sebelumnya, demikian pula, pencabutan ijin yang diterbitkan pemerintahan terdahulu oleh pemerintahan penggantinya akan merupakan preseden baru yang berimplikasi politik, hukum, sosial ekonomi yang cukup serius.

Dikatakan cukup serius dan multi dampak cukup beralasan, karena perijinan yang diberikan kepada tiga operator layanan 3G dan satu operator layanan CDMA yang disebut Menteri Kominfo akan dicabut, sejatinya memperoleh ijin yang sudah menggunakan model Perijinan Modern / PM (modern licensing), dimana perijinan diberlakukan sebagai kontrak antara Pemerintah dan Operator. Kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban. Dalam PM, ijin penyelenggaraan layanan 3G berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang penerima ijin mengikuti ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang telekomunikasi yang berlaku. Kinerja operator ditetapkan dalam tolok ukur target pembangunan jaringan dan kinerja operasional yang dievaluasi secara menyeluruh setiap lima tahun. Sebagaimana diketahui ijin operasional 3G yang sudah diterbitkan semuanya baru dimulai tahun 2004.

Bahwasanya ada pihak yang belum memperoleh ijin layanan 3G dan hal ini dianggap sebagai suatu ketidak-adilan, atau proses pemberian ijin di masa lalu yang dinilai tidak konsisten, semua argumen ini dapat diterima. Namun demikian adanya kebijakan yang tidak seimbang dalam pengertian mendahulukan suatu pihak sementara banyak pihak yang lain harus dikorbankan, merupakan pengulangan kebijakan yang tidak konsisten, dan dikhawatirkan akan ditiru oleh regim pemerintah berikutnya. Belum lagi tentunya akan muncul keberatan atau bahkan tuntutan hukum dari para pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah tersebut, yang semua ini berdampak pada makin melambatnya laju pembangunan telekomunikasi akibat dari berkurangnya kepercayaan investor terhadap kepastian regulasi di Indonesia.

Solusi Optimal
Satu hal, terucap di media publik atau hanya bisik – bisik di lingkungan terbatas, pernyataan Menteri Kominfo tentang pencabutan ijin dan tender ulang telah menuai berbagai komentar dan pertanyaan. Ada yang ragu dan pesimis bahwa Pemerintah benar – benar akan melaksanakan ucapannya, ada pula yang mempertanyakan masa depan bisnisnya, namun ada pula yang menganggapnya sebagai terbukanya peluang untuk ikut bisnis 3G. Berbagai komentar dan pertanyaan tersebut memerlukan klarifikasi lebih detail dari Pemerintah agar laju pembangunan sektor telekomunikasi tidak tersendat atau bahkan stagnan. Selain itu, adanya klarifikasi dapat berdampak positif pada kepastian komitmen investasi.

Merupakan tugas Pemerintah untuk memperkuat fungsi monitoring yang efektif agar aktivitas utama di bidang telekomunikasi dapat berjalan dengan benar. Upaya ini dimaksudkan agar muncul transparansi dan adanya perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua operator dan calon operator yang berniat meramaikan kompetisi, membangun jaringan dan layanan telekomunikasi, memajukan industri Infokom di Indonesia. Lebih jauh, dalam fungsinya sesuai dengan makna Pasal 4 UU 36/1999, Pemerintah selain berupaya meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi dengan berbagai kebijakan yang bersifsat fasilitasi, dapat pula menaruh perhatian yang besar pada pengawasan pemenuhan komitmen dari operator atau calon operator, bukan pada kepemilikan dari perusahaan.

Jika persoalan intinya adalah perlunya Pemerintah memberikan ijin penyelenggaraan 3G kepada incumbent operators, dan adanya pemegang ijin yang masih lambat dalam memenuhi komitmennya membangun jaringan, sementara dianggap terlalu cepat dalam bermitra dengan investor internasional, maka sebenarnya hal ini tidak perlu memperlambat masuknya pendatang baru /calon operator yang memiliki komitmen untuk membangun jaringan dan layanan telekomunikasi. Isu kepemilikan menjadi kurang relevan pada era kompetisi dan globalisasi seperti sekarang ini karena arus modal dapat dan akan datang dari mana saja, sementara pada masa sekarang kita justru harus memaksimalkan penarikan dana dari luar se-efisien mungkin dengan berbagai macam cara/instrumen yang ada di luar pendanaan dalam negeri yang sangat terbatas.

Dengan memperhatikan berbagai aspek permasalahan yang terkait dengan penyelenggaraan layanan 3G, ada solusi optimal (win – win solution) yang dapat ditempuh tanpa ada pihak yang harus dirugikan, sementara tujuan pembangunan telekomunikasi dapat terwujud. Pemerintah diharapkan memanggil semua operator 3G dan calon operator CDMA di pita frekuensi 3G. Kepada semua operator ini diminta untuk membuat komitmen baru pembangunan jaringan dalam tempo setahun. Besarnya komitmen disesuaikan dengan spektrum frekuensi yang telah diberikan, semakin lebar semakin besar jumlah satuan sambungan yang harus dipasang. Komitmen baru ini dibuat secara transparan, diumumkan ke publik, dan disepakati tolok ukur keberhasilannya. Jika pada tempo yang telah ditetapkan operator tersebut tidak mampu membangun sesuai komitmennya maka kepada operator bersangkutan Pemerintah harus secara tegas menerapkan sangsi berupa pengurangan lebar pita frekuensi, atau bahkan pembatalan ijin secara keseluruhan tanpa ganti rugi.

Konsekuensi dari solusi ini, operator dipacu untuk membangun jaringan dan layanan dalam tempo singkat, jika tercapai hasilnya akan menambah penetrasi telepon. Jika komitmen pembangunan juga termasuk di wilayah – wilayah yang dikehendaki Pemerintah, maka pemerataan jaringan dan layanan telekomunikasi akan terwujud dengan lebih cepat. Konsekuensi lain, incumbent operators yang saat ini belum memperoleh ijin 3G harus bersabar, sedikitnya setahun, hingga tersedia pita frekuensi yang dikembalikan dari operator yang tidak mampu memenuhi komitmen. Jika diinginkan untuk mempercepat masa tunggu, sebelum komitmen semua operator dilaksanakan, Pemerintah dapat menguji kemampuan operator dalam mewujudkan rencana pembangunannya. Jika kemampuan keuangan tidak memadai untuk melaksanakan pembangunan jaringan dan layanan, sebaiknya sebagian lebar pita yang sudah dialokasikan dikembalikan kepada Pemerintah, untuk selanjutnya melalui mekanisme tender diberikan kepada incumbent operators.

Dengan menerapkan solusi di atas, biaya yang harus ditanggung oleh incumbent operators hanyalah ”biaya kesabaran” belaka yang implikasinya juga tidak terlalu signifikan. Wajar jika muncul kekhawatiran akan mengalami keterlambatan dalam memasuki pasar layanan 3G, tetapi bukankah second followers tidak selalu akan menjadi yang nomor buntut. Bukankan Telkomsel harus muncul belakangan dan memulai bisnis dari Batam setelah Satelindo lebih dahulu beroperasi di Jakarta, dan kita lihat sekarang, siapa operator GSM di Indonesia yang terbesar? *****

Masukan Bagi Pemerintah Tentang Perijinan Telekomunikasi Selular 3G

Masyarakat pada umumnya menyambut positif rencana pemerintah untuk menata – ulang industri telekomunikasi, khususnya penyelenggaraan layanan telepon selular generasi ketiga (3G) yang berbassis teknologi TDMA 1900, CDMA 1900, PCS 1900, dan W-CDMA. Perbaikan kebijakan perijinan hendaknya dilaksanakan secara terbuka, transparan serta memperlakukan semua pelaku secara adil dan seimbang (fair and equal treatment).

Penataan ulang alokasi spektrum frekuensi pada pita IMT-2000 untuk layanan dengan teknologi TDMA 1900, CDMA 1900, dan PCS 1900 dapat dilakukan dengan metoda optimasi di mana Telkom Flexy, Indosat StarOne, WIN dan Primasel dengan lebar pita tetap, dipindah ke Coreband IMT-2000 sehingga menghasilkan spektrum yang masih dapat digunakan sebesar 2 x 25 MHz.

Spektrum yang masih tersisa ini selanjutnya ditawarkan kepada operator baru maupun operator eksisting yang bermaksud untuk mengembangkan layanan. Jika untuk satu operator dialokasikan maksimum memperoleh 10MHz, maka terbuka peluang untuk 2 operator baru, dan sisanya yang 5MHz dapat digunakan oleh salah satu existing operator untuk pengembangan layanan.

Kepada semua operator TDMA 1900, CDMA 1900, dan PCS 1900, tanpa kecuali, diminta untuk membuat pernyataan komitmen investasi pembangunan jaringan dan layanan telekomunikasi selama paling sedikit 5 tahun, terhitung sejak 1 Juli 2005. Besarnya investasi per tahun minimal setara dengan nilai yang diperlukan untuk membangun 600 BTS, sehingga pada akhir semester pertama tahun 2010, masing – masing operator sudah mengoperasikan minimal 3,000 BTS.

Audit perijinan dan evaluasi kinerja pembangunan tidak hanya dilakukan selektif kepada beberapa operator saja, namun perlu dilembagakan, dilaksanakan secara periodik terhadap semua operator, baik pemegang lisensi lama maupun yang baru.

Memperhatikan kemampuan sumber dana investasi dalam negeri yang terbatas, kemitraan dengan pihak luar negeri menjadi suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan. Pemerintah sebaiknya memfasilitasi upaya pengerahan modal dari luar negeri, sepanjang operator yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku di bidang telekomunikasi, investasi dan lainnya yang relevan.

Kajian komprehensif untuk menentukan nilai ekonomi spektrum frekuensi perlu dilakukan segera, agar semua pihak: Pemerintah, masyarakat dan operator memperoleh manfaar sosial yang optimal *****

Jakarta, 20 Mei 20005
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Lembaga Studi Kebijakan Ekonomi dan Teknologi (GASKET)

Apa Kabar E-Government Indonesia?

Seiring pergantian kabinet, diskursus di aras nasional tentang kebijakan penerapan electronic government (e-government) ikut menyusut pula. Setidaknya pada masa pemerintahan Megawati langkah menuju diterapkannya e-government di setiap instansi pemerintah sudah diawali oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dengan berbagai aktivitas seperti pembentukan team kajian kebijakan nasional e-government, penerbitan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Electronic Government, sosialisasi dan pelatihan bagi pejabat pemerintah daerah, hingga pemberian e-government award. Berbagai aktivitas tersebut, memang belum membuahkan hasil yang optimal, namun setidaknya sudah memberikan jejak awal yang perlu ditindak lanjuti oleh kabinet penerusnya. Persoalan yang sekarang terasakan, sejak Oktober 2004 seiring terpilihnya kabinet baru dan menyusul perubahan status Kominfo dari Kementrian Negara menjadi Departemen, justru langkah yang telah diayunkan oleh pendahulunya, terlihat belum ada tindak lanjut, kalau tidak mau dikatakan mengalami kemandegan. Ada apakah gerangan yang terjadi di Departemen Kominfo? Dan adakah persoalan mendasar lain yang menyebabkan lambatnya implementasi e-government di Indonesia? Bagaimana solusinya?