Wednesday, June 29, 2005

BluePrint E-Government: Antara Mitos Dan Realita

Menyusul pergantian Kabinet Gotong Royong menjadi Kabinet Indonesia Bersatu, gema electronic government (e-government) yang sempat naik daun ternyata meredup walau tidak padam sama sekali. Departemen Kominfo yang sebelumnya sempat menjadi pengemuka dalam sosialisasi e-government, meski di dalamnya sendiri belum menerapkan aplikasi e-government, terlihat berhenti sejenak, para pilotnya masih ragu menunggu perintah terbang kembali dari Menteri. Dua minggu lalu, para pejabat eselon satu Departemen Kominfo sudah dilantik, mudah – mudahan gema e-government berdengung lagi, mewujud dalam bentuk transformasi tata pemerintahan yang berbasis elektronik, menghasilkan layanan publik yang adil, transparan, efisien, dan manfaatnya dirasakan oleh semua warga masyarakat tanpa kecuali.

Beberapa pihak yang menaruh perhatian terhadap e-government menyatakan terjadi kelambatan dalam pengembangan dan implementasi e-government di Indonesia. Sinyalemen yang mengarah kepada “tuduhan” tersebut mengatakan ada beberapa sebab kelambatan (kalau tidak mau disebut kegagalan) implementasi e-government. Pertama, di lingkungan pemerintahan banyak yang beranggapan bahwa e-government adalah urusan Kementrian/Departemen Kominfo semata. Meski banyak unit Departemen maupun Pemerintah Daerah yang meng-klaim sudah mengimplementasikan e-government, namun sebagian besar di antaranya merupakan inisiatif masing – masing unit yang acapkali menimbulkan benturan kepentingan dengan unit – unit lainnya. Padahal e-government dalam suatu departemen idealnya mengintegrasikan semua layanan pemerintahan yang dikelola oleh seluruh unit di bawahnya.

Kedua, para pendukung e-government – yang sebagian besar berasal dari atau berlatar belakang telekomunikasi dan teknologi informasi dan (Telematika) - lebih banyak yang mendekati e-government sebagai aplikasi Telematika untuk pemerintahan semata. Sangat jarang di antara mereka yang memahami tata laksana organisasi pemerintahan beserta karakteristik pemerintahan itu sendiri. Seringkali pakar Telematika yang berbicara tentang e-government sudah punya kerangka acu (template) tersendiri mengenai aplikasi e-government, seperti mereka membangun aplikasi Sistem Informasi di organisasi privat, padahal karakter lembaga pemerintahan sungguh sangat kompleks.

Hal ini pun tercermin dari hasil karya gugus tugas nasional e-government, bobot terbesar dari kerangka kebijakan e-government lebih banyak bicara memandang e-government dari kaca mata Telematika. Aspek penting non-Telematika seperti model pendanaan; kemitraan public-private; perlunya perubahan organisasi dan tatalaksana (SOP) pemerintahan; perlunya SDM yang melek Telematika; bagaimana skenario perubahan (change management) dari aktivitas pemerintahan yang berbasis kertas menjadi paperless, memang sudah termasuk dalam luaran karya gugus tugas, namun masih perlu penyempurnaan dan kebijakan operasional yang lebih detail.

Di berbagai kesempatan kegiatan sosialisasi, edukasi, workshop, pelatihan, artikel kolom, dan lain sebagainya, yang banyak dibahas aspek teknis Telematika-nya saja. Atau, meski bukan aspek teknis namun model pendekatannya masih lebih banyak diwarnai oleh pendekatan pengembangan dan pemanfaatan sistem informasi/teknologi informasi. Sebaliknya di arena internasional, setidaknya dalam berbagai diskusi di fora internasional yang berhasil dipantau, pendekatan sosialisasi dan pembangunan e-government justru menohok persoalan "reformasi birokrasi" dan "pelayanan publik" yang menjadi inti dari tujuan akhir e-government. Titik perhatian bukan pada aplikasi Telematika-nya, namun pada penguatan paradigma bagaimana birokrasi pemerintah dan layanan publik dapat lebih efisien, efektif, transparan, dan memberikan layanan secara non-diskriminatif.

Panduan yang berisi arah kebijakan beserta skenario pembangunan dan pengelolaan e-government secara makro inilah yang seharusnya menjadi bagian utama dari Blueprint e-government. Memang perlu waktu, pengalaman, sumber daya yang mencukupi untuk dapat membuat Blueprint e-government yang ideal. Berbagai kendala menjadikan Blueprint seolah mitos yang kuat menancap di angan belaka, sebagai gambaran ideal yang tak pernah terwujud, dijaga sedemikian rupa karena ketidak –mampuan dalam membangunnya. Sementara itu realita yang terjadi jauh dari ideal. Ibarat orang hendak berangkat memenuhi undangan pesta tetangga, tidak harus bersiap diri hingga bersepatu, berjas dan berdasi, sementara ketiganya belum sempat dimiliki, maka sepatu sandal, celana panjang dan baju kasual pun sudah memadai untuk disandang ke pesta. Gambaran yang sama terjadi dalam konteks pengembangan e-government di Indonesia, Pemda dan beberapa unit Pemerintah Pusat tidak dapat menunggu terbitnya Blueprint yang entah kapan terbitnya. Sehingga, sebagaimana yang kita lihat sekarang, e-government tidak lebih dari sekedar penayangan informasi melalui website, otomatisasi administrasi lembaga publik, dan salah satu cara sah menghabiskan APBN/D. Paradoks seperti ini memerlukan segera terbitnya Blueprint e-government.

Pertanyaannya, siapa saja yang perlu terlibat dalam membangun Blueprint, apa sajakah yang harus termuat, dan bagaimana mewujudkan bangunan e-government sesuai dengan Blueprint tersebut. Jika mengacu pada gugus tugas nasional e-government yang dibentuk oleh Kementrian Kominfo, di mana sebagian besar personalianya berasal dari atau berlatar belakang pendidikan teknologi informasi, tim perumus Blueprint e-government nasional perlu dilengkapi dengan para ahli atau praktisi dari bidang lain seperti pemerintahan, politik, budaya, manajemen, ekonomi, antropologi, filsafat, agama, pertanian, industri, perdagangan, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Hal ini penting karena membangun e-government tidak identik dengan membangun Telematika, membangun e-government adalah me-redefinisi dan menyusun kembali (re-engineering) sendi – sendi kehidupan dan tata laksana pemerintahan. Anggapan dan pendekatan e-government sebagai implementasi Telematika di pemerintahan sudah lewat, sekarang yang penting adalah bagaimana memastikan semua karyawan dan pejabat instansi pemerintah pusat dan daerah memahami pentingnya e-government dan memastikan layanan egovernment dapat dinikmati oleh semua pihak yang berurusan dengan pemerintah.

Luaran gugus tugas e-government nasional dapat menjadi bahan awal untuk disempurnakan menjadi Blueprint e-government nasional. Penyempurnaan terutama ditujukan untuk rekonstruksi luaran yang memuat aspek non-teknis Telematika dengan mengakomodasi masukan dari berbagai ahli bidang lain seperti tersebut di atas. Senario manajemen perubahan menjadi sangat penting bahkan syarat mutlak bagi suksesnya implementasi e-government. Pengayaan materi dari berbagai disiplin ini diharapkan akan menjadikan Blueprint mampu mencerminkan wajah sebenarnya dari Pemerintahan masa depan yang selama ini digambarkan sebagai mitos. Sebagaimana kita tahu, substansi dan lingkup tugas pemerintah sangat luas, dengan demikian menjadi wajar kiranya dalam pembuatan Blueprint melibatkan pula orang – orang non Telematika.

Seorang rekan aktivis e-government, yang meski berlatar belakang Telematika namun sudah mampu melihat e-government bukan semata perkara Telematika, selalu mengatakan ‘at the end of the day, there is only government’. Penjelasan rekan ini, e-government hanyalah sarana yang menjadi sasaran antara. Artinya, yang dituju bukan e-government-nya tetapi kondisi pemerintahan yang bersih, transparan, melayani warga tanpa diskriminiasi, murah, efisien, 24/7 dan lain sebagainya yang semuanya menjadi representasi dari public good governance. Akan halnya e-government, tak lebih menjadi sasaran antara yang diawali dengan implementasi Telematika di lingkungan instansi pemerintahan.

Dengan memahami posisi dan tujuan e-government yang benar, dan mengacu pada panduan yang terdapat pada Blueprint, semestinya sudah menjadi syarat cukup bagi suksesnya upaya membangun public good governance melalui e-government. Best practices yang dialami di negara – negara lain mengingatkan bahwa ternyata syarat cukup belumlah cukup, masih diperlukan dukungan, keberpihakan dan keteladanan dari para pemimpin politik. Memperhatikan hal ini dan menyimak pernyataan Presiden maupun Menteri Kominfo, optimistik perlu dibangun kembali, karena kedua pemimpin nasional ini telah menujukkan komitmennya untuk mewujudkan pemerintahan good governance dengan e-government sebagai sarananya. Jika demikian, mari kita bangun Blueprint e-government, tunggu apa lagi???

Ditulis oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Direktur / Peneliti Strategi dan Kebijakan Telematika
Institute for Technology and Economic Policy Studies - INSTEPS

Regulasi Netral, Mungkinkah?

Berita bertajuk “Menkominfo: Regulasi Telekomunikasi Harus Netral”di Investor Daily, Kamis 16 Juni 2005 mengundang tanya khususnya berkenaan dengan uraian yang menyatakan dengan regulasi yang netral diharapkan kepemilikan asing di perusahaan – perusahaan telekomunikasi nasional tidak merugikan kepentingan publik. Menteri Kominfo dikutip mengatakan “melalui regulasi tersebut (yang netral), pemerintah berupaya mengarahkan tujuan masuknya investor asing pada aspek mencari return investasi yang wajar ketimbang tujuan lain.” Ditambahkan bahwa terhadap fakta kepemilikan asing di sektor telekomunikasi, Menteri melihatnya dari dua perspektif, telekomunikasi telah menjadi subjek globalisasi dan begitu cepatnya asing menguasai saham perusahaan nasional telekomunikasi. Menurut Menteri, perspektif yang kedua merupakan fenomena yang terburuk.

Dengan asumsi tidak ada kesalahan dalam menulis pernyataan Menteri dan tidak ada praktek pemelintiran berita oleh wartawan dan Investor Daily, pernyatan Menteri tentang Regulasi harus netral perlu dianalisis secara kritis, sehingga tidak menimbulkan pemahaman keliru yang tidak menganggu kepastian hukum dan aliran investasi serta dapat pula memudarkan citranya sebagai petinggi negara maupun sebagai akademisi yang cukup disegani oleh sejawat dan mahasiswanya.

Netral
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka edisi kedua tahun 1996 memaknakan kata Netral dengan “tidak berpihak”. Oxford Advance Learner Dictionary, 5th edition, memuat entry Neutral (asal kata Netral) sebagai kata sifat dan kata benda yang masing – masing maknanya “not supporting or helping either side in a dispute, contest, war, etc.” dan “a person, country, colour, etc. that is neutral.” Dari dua acuan tersebut, dapat dibuat suatu pengertian bahwa agar supaya berada dalam kondisi netral, suatu entitas (kebijakan, seseorang, negara, pemerintah, organisasi swasta, publik, pejabat publik, dan lain sebagainya) dalam menghadapi persoalan yang bersifat perselisihan (dispute), suatu entitas yang terlibat mengurusi penyelenggaraan persaingan/pertandingan (contest) tidak boleh berpihak dengan mendukung, membantu membuat untung atau merugikan salah satu pihak saja.

Regulasi
Sementara itu, Robert Baldwin dan Martin Cave (1999) dalam Understanding Regulation: Theory, Strategy, and Practice menyatakan bahwa regulasi dimaksudkan sebagai alat kontrol yang dibuat dan digunakan oleh lembaga publik guna memastikan terpenuhinya kepentingan publik. Di dalam regulasi terkandung seperangkat aturan yang harus diatati oleh pembuatnya maupun kelompok sasaran. Regulasi juga secara sengaja dimaksudkan untuk mempengaruhi struktur, kinerja dan perilaku industri atau perilaku sosial masyarakat. Dengan kedua sifat tersebut, regulasi memiliki peran dalam tiga wajah. Pertama, sebagai alat untuk pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. Wujud regulasi semacam ini dalam rupa peraturan perundangan yang berisi acuan (standard), larangan dan hukuman bagi pelanggar acuan dan larangan. Kedua, sebagai sarana memfasilitasi (enabler) aktivitas kehidupan masyarakat untuk kesejahteraan dan kemakmuran, contohnya kebijakan subsidi pangan, penyediaan sarana publik, pemilihan umum secara demokratis, dan lain sebagainya. Ketiga , sebagai katalisator kegiatan ekonomi nasional dengan menempatkan pemerintah sebagai pengguna barang dan jasa yang disediakan oleh masyarakat. Kebijakan belanja negara yang terinci dalam APBN merupakan contoh peran ketiga dari regulasi.

Dilihat dari motivasi pembuatan regulasi, pada umumnya dilandasi oleh adanya upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar (market failure). Pasar yang tidak terkendali, untuk alasan tertentu, seringkali gagal untuk memberikan manfaat yang diinginkan oleh publik. Dalam hal lain, regulasi juga diperlukan untuk mengatasi persoalan kelangkaan pasar (market absence). Kegagalan atau kelangkaan pasar merupakan akibat dari kinerja industri di mana para pelakunya menyukai monopoli; selalu mengupayakan untung yang berlebih dengan usaha sekecil mungkin (windfall profit through economic rent); terjadi limpahan (spillovers) limbah, atau adanya dampak negatif yang diterima masyarakat dari proses bisnis (negative externalities); terjadi ketidak cukupan informasi (information inadequacies) atau ketidak – samaan informasi (assymetric information) yang menyebabkan keuntungan bagi salah satu pihak saja sementara pihak lain dirugikan; adanya perilaku anti persaingan dan pemangsa harga (anti-competitive and predatory pricing); kelangsungan dan ketersediaan layanan diragukan; pengusaha beritikad dan berperilaku tidak baik moral hazard dengan maksud menguntungkan diri sendiri; terjadi ketimpangan posisi tawar di antara para pelaku usaha; dan terjadi distribusi manfaat barang publik yang tidak merata.

Regulasi (harus) Netral?
Mengacu pada uraian di atas, pertanyaannya sekarang, apakah yang dimaksud dengan Regulasi harus Netral, mungkinkah Pemerintah menghasilkan Regulasi Netral? Menyimak makna, substansi, karakter dan kegunaan, dapat dikatakan bahwa Regulasi tidak pernah dapat netral sebagaimana makna netral “tidak berpihak” kepada siapapun, Artinya, regulasi tidak pernah dan tidak akan dapat netral. Di dalam regulasi selalu ada kepentingan suatu pihak yang harus dimenangkan, pihak tersebut dapat saja negara, pemerintah sendiri (selaku pembuat regulasi), pengusaha domestik, masyarakat pengguna, investor asing dan lain sebagainya. Persoalannya, selain menguntungkan satu atau beberapa pihak, regulasi yang baik harus dapat mencegah terjadinya kerugian atau mengelola kerugian seminimal mungkin pada pihak yang tidak diuntungkan. Dengan demikian, regulasi bukan Zero Sum Game, namun Positive Sum Game, manfaat sosial regulasi harus lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkannya.

Jika yang dimaksudkan Menteri dengan regulasi harus netral adalah semata hanya untuk mengarahkan tujuan masuknya investor asing pada aspek mencari return investasi yang wajar, inipun bukan regulasi yang netral. Secara implisit terkandung kepentingan untuk mengatur, mengawasi, dan mengendalikan perilaku (conduct) industri telekomunikasi yang sebagian besar sudah dimainkan oleh investor asing, agar mereka hanya memperoleh return yang wajar saja. Di luar itu, seperti – barangkali – keinginan untuk memonopoli layanan telekomunikasi, mengendalikan trafik telekomunikasi, dan lain sebagainya yang berdampak pada gangguan kedaulatan sebagai negara, sebesar mungkin dicegah.

Substansi regulasi mengenai return investasi yang wajar-pun dapat menjadi topik yang menimbulkan komentar pro dan kontra. Apa ukuran wajar?. Kenyataan perolehan EBITDA perusahaan operator telekomunikasi di atas 60% dapat dikatakan wajar bila mengingat kondisi permintaan pasar yang masih terus tumbuh, sementara nilai investasi yang dibutuhkan setiap sambungan menunjukkan tren yang semakin menurun. Kondisi pasar yang masih dinamis pada posisi transisi dari monopoli menuju persaingan sempurna menjadikan wajar saja bila perusahaan menikmati return yang cukup besar. Kondisi pertumbuhan semacam ini memerlukan regulasi yang solid dan implementasi yang tegas bila return tersebut diperoleh dari rent seeking yang menghasilkan negative externalities, dalam ligkungan bisnis yang dibuat assymetric information, di mana para eksekutif-nya melakukan predatory pricing dan moral hazard, atau hanya melayani pelanggan kaya dan mereka yang tinggal di perkotaan saja.

Pernyataan Menteri “sebagai regulator, pemerintah berupaya menerapkan kebijakan yang tepat” kiranya inilah yang perlu mendapat dukungan*****

Rempoa, Juni 2005
*)
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Direktur/Expert, Strategi dan Kebijakan Telematika
Institute for Technology and Economic Policy Studies - INSTEPS

Kode Akses: Konsekuensi Undang – Undang Telekomunikasi

Penolakan Serikat Pekerja (Sekar) Telkom terhadap kebijakan penerapan kode akses yang ditetapkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor No.6/2005 tentang pengaturan kode akses SLJJ dan Permen Kominfo No.7/2005 tentang pengaturan kode akses penyelenggaraan Internet teleponi untuk keperluan publik (ITKP) menunjukkan ketidak – taatan terhadap Undang – Undang Telekomunikasi Nomor 36 tahun 1999.

Jika ditelaah lebih lanjut, penolakan tersebut mengindikasikan adanya keinginan kuat untuk tetap memelihara monopoli, serta ketidak – siapan jajaran Direksi dan Karyawan Telkom dalam menghadapi pasar persaingan. Membawa isu penolakan ke aras politik nasional dengan melakukan lobi – lobi politik ke pimpinan dan beberapa anggota DPR, serta melakukan demonstrasi turun ke jalan alih – alih memperoleh simpati masyarakat justru sebaliknya menurunkan pamor Telkom sebagai perusahaan yang sudah go international. Sebagai warga negara Indonesia, dan secara tidak langsung pemilik Telkom karena statusnya masih sebagai BUMN, relakah kita melihat Telkom dihancurkan dari dalam oleh pihak – pihak yang hanya mengejar keuntungan pribadi dalam jangka pendek?

Penerapan kebijakan kode akses mesti dilihat dari berbagai aspek: kepentingan nasional untuk membangun sektor telekomunikasi yang lebih luas, kepentingan manajemen dan karyawan, serta kepentingan masyarakat pengguna jasa telekomunikasi. Jika kita cermati, salah satu semangat UU Nomor 36/99 adalah untuk mengakhiri regim pasar monopoli industri jasa telekomunikasi dan masuk ke pasar yang kompetitif. Alasan hakiki dari perlunya mengakhiri monopoli, adalah adanya bukti kuat bahwa monopoli menghasilkan kerugian ekonomi dan sosial (dead weight loss) yang tidak memberi manfaat bagi siapapun bahkan bagi pelaku monopoli itu sendiri. Ada sumber daya yang tidak dapat dikelola oleh pelaku monopoli sehingga mubasir dan dalam jangka panjang menimbulkan kerugian besar bagi negara. Wujud yang kita lihat dari hasil monopoli adalah penetrasi sambungan telepon (teledensity) yang masih sekitar 2% ketika monopoli dihapuskan, sementara Telkom sudah menikmati monopoli sejak Indonesia merdeka. Memang harus diakui bahwa kelambanan dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi pra UU 36/1999 tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada jajaran Direksi dan Karyawan Telkom. Ada “tangan – tangan tersembunyi” lain yang juga mesti bertanggung jawab terhadap kinerja sektor telekomunikasi pra UU 36/99. Namun demikian mencari siapa yang dapat disalahkan-pun menjadi kegiatan yang tidak produktif, yang perlu dibenahi adalah mekanisme pasar. Dalam konteks inilah pasar persaingan menjadi alternatif yang dipilih Pemerintah pada waktu itu.

Pasar persaingan dipilih bukan karena latah ikut- ikutan tren di luar negeri, atau dipaksa oleh lembaga donor internasional, atau karena keinginan untuk mematikan Telkom. Analisis kebijakan ekonomi yang paling sederhana menyatakan bahwa jika ada sedikitnya dua penyedia jasa sejenis, dead weight loss yang menjadi beban monopoli serta merta hilang, sehingga manfaat transaksi bisnis sepenuhnya dapat dinikmati oleh penjual dan pembeli. Persaingan mendorong para penjual untuk selalu menjaga kualitas barang dan jasa agar selalu disukai oleh pembeli, sebaliknya pembeli bersedia membayar lebih tinggi untuk manfaat yang nilainya lebih tinggi (consumer surplus). Dalam pasar persaingan jasa telekomunikasi yang sehat, di mana pemerintah selaku regulator mampu berlaku adil dan tegas dalam mengatur penyelenggaraan telekomunikasi, dampak positif yang dirasakan adalah cepatnya akselerasi pembangunan jaringan dan layanan telekomunikasi. Operator memperoleh untung yang optimal, sementara pelanggan mendapatkan layanan yang memuaskan.

Manfaat persaingan penyelenggaran telekomunikasi sebagaimana disebut di atas, sayangnya belum diyakini kebenarannya oleh semua pihak yang terlibat, khususnya jajaran Telkom. Hal ini tercermin dari liputan media massa yang mewartakan terjadinya pencegahan (blocking) sambungan langsung internasional 001 dan 008 milik Indosat di berbagai wilayah di Indonesia, keengganan atau penetapan syarat yang tidak praktis atau tidak ekonomis bagi operator lain untuk melakukan interkoneksi dengan Telkom, dan yang paling mutakhir munculnya berita tentang permintaan Sekar Telkom kepada DPR dan Pemerintah untuk menunda pelaksanaan kebijakan kode akses. Tidak sekedar minta penundaan, Sekar Telkom juga mengajukan tuntutan pembatalan (judicial review) Permen Kominfo No. 06 dan 07/2005 tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa argumen Sekar yang tercatat dari liputan media massa antara lain, penerapan kebijakan kode akses akan menghancurkan masa depan Telkom, atau penerapan kode akses membahayakan kepentingan bangsa dan negara karena memberi peluang kepada pihak asing untuk menguasai telekomunikasi di Indonesia, bahkan dikatakan operator baru merampok aset dan pelanggan yang sudah dibangun Telkom, sebagaimana dikatakan Ketua DPW Sekar Telkom Kalimantan Amir Fauzi (http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Ekonomi&id=117439).

Sekar Telekom melalui Amir berkeyakinan bahwa jika kebijakan kode akses diterapkan maka operator telepon tetap baru (new entrants) akan mengambil basis pelanggan Telkom yang sudah ada, suatu hal yang dianggap tidak fair bagi Telkom. Benarkah demikian? Dua hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan jaringan dan layanan telepon: optimalisasi nilai sosial (social value) jaringan, dan interkoneksi. Nilai sosial dalam wujud manfaat jaringan telekomunikasi berbanding lurus dengan jumlah nodes yang saling tersambung membentuk jaringan tersebut, semakin banyak nodes semakin tinggi manfaat sosialnya. Ketika pasar masih monopoli manfaat sosial jaringan yang dimiliki Telkom identik dengan manfaat sosial jaringan nasional. Setelah pasar kompetisi berlaku, terdapat lebih dari satu jaringan. Guna mengoptimalkan manfaat sosial dari jaringan yang dimiliki berbagai operator inilah interkoneksi antar operator diperlukan, efeknya terjadi perluasan jumlah nodes. Pada tataran teknis, dua atau lebih operator yang berada di satu area/kota perlu memperoleh nomor panggil tersendiri. Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan “kode akses 021 (Jakarta) milik Telkom Jakarta atau Kota Jakarta?” jika jawabnya milik Telkom lalu bagaimana pelanggan Telkom di kota Surabaya menghubungi pelanggan Indosat di Jakarta. Di sinilah kebijakan kode akses selaras dengan semangat kompetisi dan upaya meningkatkan nilai sosial jaringan telekomunikasi, kode area yang sudah ada sebelumnya menjadi milik bersama, sementara kepada masing – masing operator diberikan kode akses, Telkom mendapat 017 dan Indosat memperoleh 011.

Jika dilihat hanya dari satu kepentingan operator, maka sah – sah saja untuk mengatakan dengan diterapkannya kebijakan kode akses maka operator baru mengambil basis pelanggan operator lama. Namun demikian, mengingat Telkom dan Indosat keduanya masih berstatus BUMN maka yang harus didahulukan adalah kepentingan nasional, dalam hal ini meningkatkan manfaat sosial jaringan telekomunikasi dengan interkoneksi dan kode akses. Persoalannya, apakah menunggu hingga Indosat memiliki basis pelanggan yang sama besar dengan Telkom baru kode akses diterapkan, atau kode akses dari sekarang dan memaksa kedua operator telekomunikasi BUMN ini sama – sama memacu pembangunan jaringan dan layanan. Pemerintah memilih opsi kedua karena menyadari manfaat sosial jaringan harus selekasnya ditumbuh-kembangkan.

Terhadap pernyataan bahwa penerapan kode akses akan membahayakan kepentingan bangsa dan negara, argumen ini tidak mempunyai dasar yang kuat. Jika pernyataan tersebut didasari pada sentimen kepemilikan Singapore Technology Telemedia (STT) di Indosat, bukankah Singapore Telecomm (Singtel) memiliki 35% saham di Telkomsel (anak perusahaan Telkom), dan dari 48.81% saham Telkom yang telah dijual ke publik 46.41% dimiliki oleh investor asing, sementara pemodal nasional hanya memiliki 2.4%. Ini artinya, Indosat dan Telkom keduanya sama – sama sudah dimiliki oleh pihak asing. Yang membedakan hanyalah jajaran Komisaris, Direksi, dan Karyawan Telkom sepenuhnya masih diduduki oleh anak negeri, sementara di Indosat STT menempatkan wakilnya sebagai anggota Komisaris dan Direksi, sementara 100% karyawan Indosat berkewarga-negaraan Indonesia.

Kita semua menginginkan Telkom yang kuat, terus tumbuh berkembang dan menjadi operator telekomunikasi yang dicintai pelanggan dan disegani pesaing. Kiranya dapat disepakati tidak ada satupun pihak di Indonesia menghendaki kehancuran Telkom. Di pihak lain, semua pihak termasuk jajaran Telkom dan operator telekomunikasi lainnya, perlu memahami bahwa pasar jasa telekomunikasi dalam negeri tengah mengalami proses perubahan menuju lingkungan kompetitif yang memberi manfaat lebih besar bagi semua stakeholder-nya. Pasar telekomunikasi Indonesia telah meninggalkan rejim monopoli. Kita semua dikatakan melakukan langkah mundur bila masih menginginkan kembalinya pasar yang monopolis dengan satu operator dominan yang menguasai semua jenis layanan telekomunikasi dari hulu hingga hilir. Bahwasanya ada operator yang mewarisi basis pelanggan terbesar mestinya dianggap sebagai berkah bagi jajaran Direksi dan Karyawan Telkom. Perlu disadari bahwa warisan basis pelanggan dari rejim monopoli tersebut bukan sepenuhnya milik ekslusif Direksi dan Karyawan Telkom, tetapi miliki bangsa dan negara Indonesia. Direksi dan karyawan suatu ketika pensiun berganti orang lain, tetapi bangsa ini akan terus berlangsung.*****

Benarkah Astro Melanggar?

Mengacu pada UU No 32/2002 tentang Penyiaran dan UU No. 36/199 tentang Telekomunikasi, maka kegiatan PT Direct Vision (PTDV) dapat tergolong penyelenggaraan penyiaran dan sekaligus telekomunikasi.

Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU 32/2002 berbunyi Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.” Dan “Penyiaran adalah kegiatan pemancar-luasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.” Sementara itu UU 36/1999 Pasal 1 ayat 1 berbunyi “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”

Layanan PTDV tergolong layanan televisi sebagaimana dijelaskan oleh UU 32/2002 Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 13 ayat 1. Namun demikian, PTDV dapat digolongkan sebagai layanan jasa Multimedia sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 (tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi), Pasal 14 ayat 1 huruf c.

Di dalam UU 36/1999 tidak ada satu pasal-pun yang menetapkan batasan kepemilikan saham pada penyelenggara telekomunikasi. Pernyataan tentang acuan UU 36/1999 sebagai batasan kepemilikan saham asing dalam penyelenggara telekomunikasi sebesar 95% tidak benar.
UU 32/2002, Pasal 17 ayat 1 dan 2 berbunyi “Lembaga Penyiaran Swasta sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.” Dan “Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengem­bangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlah­nya tidak lebih dari 20% (dua puluh persen) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.”

Mengacu pada ketentuan di atas, berkaitan dengan Astro dan PTDV, asumsinya adalah PTDV merupakan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) “awal” yang memenuhi ketentuan Pasal 17 ayat 1, modal awal seluruhnya dimiliki oleh warga negara atau Badan Hukum Indonesia (BHI). Benarkah demikian? Sebelum diakuisisi oleh Astro, terlebih dahulu perlu dicek apakah keseluruhan saham PTDV dimiliki oleh warga negara atau BHI. Jika dimiliki oleh BHI, persoalannya UU 32/2002 tidak mengatur kepemilikan asing dalam BHI, jadi bisa saja dalam BHI, pihak asing sudah menjadi salah satu pemilik saham LPS. Di sinilah salah satu kelemahan UU 32/2002.

Kelemahan yang sama terjadi pada Pasal 17 ayat 2. Pasal dan Penjelasan Pasal ini tidak mengatur secara jelas apakah modal asing yang maksimum sebesar 20% secara langsung atau tidak langsung. Karena tidak ada penjelasan, asumsinya adalah penyertaan modal asing secara langsung. Dalam hal PTDV, Astro (pemodal asing) hanya diperbolehkan memiliki maksimum 20% dari keseluruhan saham PDTV. Bagaimana bila Astro membentuk BHI (katakan saja, BHI-L) yang 95% sahamnya dimiliki asing dan sisanya atas nama orang Indonesia. Kemudian BHI-L menguasai saham PTDV hingga melebihi 20%. UU 32/2002 tidak mengantisipasi hal ini. Jadi untuk memastikan apakah Astro telah melanggar, perlu dilihat Akta Pendirian PTDV dan perubahannya yang terakhir, yang pasti di dalamnya memuat proporsi kepemilikan saham. Jika saham Astro tercatat secara langsung, maka jelas melanggar UU 32/2002, tetapi jika melalui BHI Astro tidak dapat dikatakan melanggar, yang perlu diperbaiki justru Undang – Undang Penyiaran-nya.

Perihal indikasi pelanggaran Astro karena tidak memiliki landing right, hal ini perlu dibuktikan terlebih dahulu. Pihak Ditjen Postel perlu terlibat aktif dengan menanyakan kepada PTDV, satelite siapa yang digunakan untuk membawa trafik ke Indonesia. Postel pasti tahu siapa yang punya hak dan siapa yang tidak.

Menyimak kasus PTDV, hal ini merupakan produk kebijakan publik dari rejim yang terkotak – kotak, tidak ada koordinasi antara unit organisasi pemerintah yang satu dengan lainnya. Lebih jauh, hal ini juga mencerminkan kelemahan dalam pembuatan undang – undang karena pembuatnya tidak mengantisipasi perkembangan yang terjadi di dunia bisnis. Berkaitan dengan koordinasi, sekarang Depkominfo sudah membawahi urusan penyiaran dan telekomunikasi dalam satu naungan. Sinkronisasi kebeijakan perlu dilakukan.Mengacu pada azas hukum dan kepatutan dalam penerapan kebijakan publik, kedua UU 32/2002 dan 36/1999 dapat diterapkan sekaligus secara bersama dan sinkron.

Untuk mengatasi permasalahan kepemilikan saham, gunakan ketentuan UU 32/2002 sedangkan permasalahan penyelenggaraan jasa multimedia menggunakan UU 36/1999 beserta aturan pelaksanaannya. Sudah cukup? Ternyata belum. Masih perlu dilihat UU Penanaman Modal Asing dan UU maupun peraturan lain yang terkait. Untuk apa? Tujuannya, selain mempermudah dan meningkatkan kepastian investasi, juga mengawasi perilaku investor.*****