Monday, August 15, 2005

Membangun Strategi SI/TI, Menetapkan Proses Yang Efektif

Membangun strategi SI/TI dimaksudkan sebagai berpikir strategis dan merencanakan manajemen jangka panjang yang efektif serta pengaruh optimal informasi dalam segala bentuk: Sistem Informasi dan Teknologi Informasi dengan menggunakan sarana manual dan sistem komputer, teknologi komputer dan telekomunikasi. Termasuk di dalamnya aspek organisasi dari manajemen SI/TI.

Lederer dan Sethi mendefinisikan membangun strategi SI/TI sebagai suatu proses memutuskan sasaran organisasi SI/TI dan mengidentifikasikan aplikasi SI/TI potensial yang harus diimplementasikan oleh organisasi secara keseluruhan. Perspektif lanjut, yang mendukung hubungan erat antara bisnis dan strategi SI “ Strategi SI membawa bersama tujuan bisnis perusahaan, pemahaman mengenai informasi yang diperlukan untuk mendukung tercapainya tujuan, dan implementasi sistem komputer untuk menyediakan informasi yang dimaksud. Membangun strategi SI/TI merupakan rencana untuk membangun sistem menuju visi masa depan dari peran SI dalam organisasi. Definisi lebih baru, yang cocok dengan pendekatan buku ini, adalah “proses mengidentifikasi portofolio aplikasi berbasis komputer untuk diimplementasikan, yang keduanya diselaraskan dengan strategi perusahaan dan memiliki kemampuan untuk menciptakan keunggulan atas para pesaing.

Sasaran umum bagi organisasi yang memakai proses strategi SI/TI adalah:

Penyelarasan SI/TI dengan bisnis guna mengidentifikasikan di mana SI/TI memberi kontribusi paling besar, dan penentuan prioritas investasi;

Memperoleh keunggulan kompetitif dari peluan bisnis yang diciptakan dengan memanfaatkan SI/TI;

Membangun infrastruktur masa depan yang fleksibel dan hemat biaya;

Memperkuat sumber daya dan kompetensi dalam memanfaatkan SI/TI dengan sukses di organisasi.

Bab ini berkenaan dengan menetapkan kerangka kerja dan proses untuk membangun strategi SI/TI, yang diasumsikan terintegrasi secara erat dengan strategi bisnis, dan agar efektif, harus merupakan proses yang berkelanjutan, dengan aliran deliverables yang menyambung dengan luaran pemikiran dan perecanan strategi bisnis.

Apabila proses formulasi strategi SI/TI belum ditetapkan, mungkin diperlukan untuk mengambil inisiatif dalam satu atau lebih area bisnis, untuk membangun pengembangan kesadaran mengenai pentingnya memberikan manfaat nyata kepada bisnis melalui aplikasi SI/TI dalam mendukung kebutuhan kritis bisnis, dan untuk mencapai transisi dalam rentang waktu yang dapat diterima. Hal ini juga menawarkan peluang untuk memastikan metoda perencaan kuno diakhiri, dan pendekatan yang lebih baik, lebih komprehensif digunakan. Proses ini harus mengenalkan bidang pengetahuan yang diperlukan, kendali dan teknik baru, menetapkan hubungan yang lebih baik, dan identifikasi tugas dan tanggun jawab dan sekaligus mendefinisikan kebutuhan sumber daya perencanaan. Namun demikian, segera setelah itu, proses strategi SI/TI membutuhkan utuk menjadi bagian integral dari pengembangan strategi bisnis, rencana bisnis dan implementasi selanjutnya.

Salah satu argumen yang paling memaksakan untuk integrasi bisnis dan formulasi strategi SI/TI adalah keterbatasan sumber daya bisnis dapat dialokasikan dalam cara yang logis untuk rencana dan strategi yang secara kolektif akan memberian manfaat bagi bisnis.

Proses Strategi SI/TI: Beberapa Kejelasan Definisi
Penulisan strategi SI/TI dapat sedikit membingungkan, paling tidak karena berbagai istilah yang digunakan dan penggunaan bahasa secara tidak konsisten untuk konsep yang hampir mirip. Dalam literatur penelitian “perencanaan sistem informasi strategis” (SISP), “perencanaan sistem informasi” (ISP), “perencanaan strategi sistem informasi” (ISSP) dan “perencanaan sistem bisnis” merupakan beberapa istilah yang sering ditemukan. Memperhatikan makna dari konsep ini terlihat esensinya sebetulnya sama. Penekanan pada “perencanaan” kemungkinan muncul sebagau konsekuensi menampilkan SI/TI sebagai bagian dari implementasi strategi bisnis. Investasi SI/TI dirancang ketika strategi bisnis telah diformulasikan. Seiring meningkatnya strategi bisnis, aspek yang mempengaruhi strategi harus mendapat perhatian lebih besar.

Dalam buku ini dibuat pembedaan antara formulasi strategi SI/TI dengan perencanaan SI/TI. Formulasi berkenaan dengan strategi SI/TI dan dibahas dalam buku ini melalui proses penyelarasan dan pengaruh kompetitif. Sesudah strategi diformulasikan, berikutnya rencana implementasi dapat dibentuk. Proses strategi SI/TI mengacu pada formulasi dan perencanaan. Sementara strategi SI/TI menentukan perencanaan SI/TI, membangun rencana SI/TI dapat membuka berbagai aspek yang menyebabkan strategi SI/TI harus diperiksa ulang.

Evolusi Proses Strategi SI/TI: Dari Fokus Teknologi Hingga Fokus Strategik
Riset telah membuktikan bahwa di banyak organisasi, pendekatan formulasi strategi SI/TI cenderung mengikuti proses evolusi. Dalam tahap pertama, pusat perhatian pada perencanaan untuk menyediakan teknologi. Pada tahap kelima, organisasi telah mencapai tahap kedewasaan di mana penekanan lebih pada menilai pengaruh kompetitif SI/TI dan memastikan penyelarasan antara strategi bisnis dan investasi SI/TI. Evoluasi ini dapat dilihat dari penjelasan berikut:

Tahap 1 - Perencanaan Data Processing, departemen TI perlu merencanakan antarmuka antara aplikasi yang dibangun terpisah, proyek demi proyek, agar supaya mereka bekerja secara efektif dan efisien, baik dalam operasi bisnis dan pemanfaatan teknologi. Memperoleh pemahaman manajemen dalam hal meningkatnya ketergantungan bisnispada sistem merupakan sasaran utama, agar supaya lebih koheren, dan tidak sepotong – sepotong. Utamanya, aplikasi – aplikasi pendukung yang sedang dibangun dan manajemen menerima SI/TI dalam peran terbatas, namun ketergantungan masih tetap meningkat.


Tahap 2 – manajemen, pada tahap ini mulai menyadari (seringkali karena krisis atau kegagalan sistem utama), menginisiasikan kajian top-down terhadap aplikasi SI/TI dengan memperhatikan ketergantungan bisnis – prioritas disetujui berdasar pada relatif pentingnya kebutuhan bisnis. Sebagi contoh, haruskah pengembangan ulang proses order perlu mendahului sistem analisa penjualan baru? Pendekatan yang digunakan sangat mengandalkan metoda, biasanya menggunakan turunan dari IBM “Perencanaan Sistem Bisnis” atau metoda yang serupa, dan melibatkan konsensus manajemen pada saat kritis maupun untuk memperoleh prioritas.

Tahap 3 – berpusat pada perencanaan SI/TI secara detil, untuk menentukan cara terbaik mengimplementasikan aplikasi dan teknologi pendukung, atau dalam beberapa kasus, mengimplementasikan kembali sistem yang sudah ada dengan cara yang lebih tepat, terintegrasi dan hemat biaya. Kebutuhan portofolio diseimbangkan – perhatian lebih besar diberikan kepada sistem operasional kunci dan sedikit sumber daya dialokasikan untuk aplikasi – aplikasi pedukung, yang semula telah diprioritaskan dalam tahap 2. Konsep meja bantuan (helpdesk) atau Pusat Dukungan Aplikasi dapat diterapkan untuk mendukung aplikasi, dnpaket aplikasi akan diperkenalkan untuk mengganti sistem yang dibangun sendiri. Tahap 3 ini dapat mengambil waktu yang cukup lama untuk implementasi secara efektif dan sementara sedang berlangsung, tidak ada hal lain yang terjadi, karena semua sumber daya TI dianggarkan untuk perencanaan 2 – 3 tahun ke depan.


Dari tahap 1 hingga 3, merupakan evolusi dari aplikasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi bergeser menuju sistem efektif yang terintegrasi, namun sasaran penggunaan SI/TI belum dinyatakan dengan jelas untuk membangun keunggulan kompetitif; tujuan utama adalah untuk menghentikan SI/TI menjadi problematik dan untuk memastikan SI/TI tidak menimbulkan kerugian.

Tahap 4 – pengguna memegang kendali, tidak perlu dianjurkan oleh manajemen senior, namun juga tidak dilarang, karena mereka tidak menghendaki pengguna melihat peluang baru dalam memanfaatkan SI/TI.

Seri Pengenalan Cyberlaw: Apa dan Bagaimana

Pendahuluan
Perbincangan mengenai cyberlaw di Indonesia sudah mulai ramai sejak awal tahun 1998 menyusul makin maraknya pemanfaatan Internet di kalangan pemerintahan maupun bisnis dan menjadi semakin intensif belakangan ini menyusul pembahasan Rancangan Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Namun demikian, hingga hari ini sebetulnya belum ada kesepahaman di antara pelaku dan mereka yang terlibat dalam wacana cyberlaw mengenai apa dan bagaimana sebenarnya cyberlaw di Indonesia. Kesepahaman mengenai definisi, sifat, ruang lingkup, substansi, dan daya - tindak mengenai cyberlaw menjadi isu strategis mengingat dari tataran ini, akan ditindak lanjuti dengan langkah – langkah konstruktif untuk membangun cyberlaw. Sayangnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mempersiapkan apa yang mereka sebut “cyberlaw” tidak menggunakan pola pengembangan kebijakan publik yang sistematis, melainkan menggunakan pendekatan politis-pragmatis sehingga yang muncul adalah suatu rancangan kebijakan berupa RUU yang hanya sepotong – sepotong mengatur pemanfaatan teknologi yang sudah begitu luas penggunaannya di berbagai aspek kehidupan manusia.

Munculnya diskursus cyberlaw tidak lepas dari fenomena konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi yang wujudnya dengan mudah dikenali dalam bentuk Internet. Ketika telekomunikasi masih didominasi oleh teknologi analog, kemampuan yang dimilikinya masih relatif terbatas, baik dalam kelengkapan (features) maupun berbagai jenis layanan yang dapat ditawarkan. Sebagai contoh, pesawat dan jaringan telepon tetap (PSTN), ketika masih menggunakan teknologi analog tidak dapat menyediakan fasilitas redial atau menyimpan nomor – nomor telepon tertentu. Dengan teknologi digital, pesawat telepon rumah sudah lazim dilengkapi dengan fasilitas redial, memory, bahkan dapat digunakan untuk mengirim dan menerima Short Message Services (SMS), sebagaimana pada hand phone. Kemajuan dalam layanan telepon ini, menjadi lazim sesudah teknologi telekomunikasi menggunakan teknologi digital yang menjadi dasar dari sistem kerja komputer. Perkembangan lebih jauh dari pemanfaatan teknologi komputer dalam telekomunikasi salah satunya ditandai dengan adanya layanan yang berbeasis jaringan pintar (Intelligent Network), yakni pengendalian berbagai layanan telekomunikasi yang dilakukan oleh sistem komputer dengan sedikit keterlibatan manusia.

Di sisi lain, teknologi informasi yang semula hanya berbicara di wilayah teknologi digital dan komputer beserta peripheral pendukungnya lambat laun bergeser ke pemenuhan tantangan bagaimana satu sistem komputer dapat berkomunikasi dengan sistem komputer lainnya. Dari sinilah muncul apa yang kemudian disebut Komunikasi Data, yang mendasari dibangunnya Local Area Network (LAN). Untuk memenuhi kebutuhan komunikasi antar-sistem komputer dalam wilayah geografis yang lebih luas, suatu LAN tidaklah mencukupi. Sebagai solusinya maka digunakanlah teknologi telekomunikasi untuk mendukung teknologi informasi. Muncullah kemudian Internet, suatu jaringan komputer global di mana penggunanya dapat mengakses ke jaringan dari mana saja, kapan saja dan dapat berbicara dengan siapa saja.

Internet merupakan revolusi dalam kehidupan manusia yang semakin menguatkan pendapat bahwa teknologi informasi dapat memasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Selanjutnya, Internet dianggap memiliki dua peran: sebagai alat (means) dan sebagai tujuan (ends). Hakikat alat adalah mempermudah pekerjaan, demikian pula dengan Internet. Dalam berbagai hal, Internet mempermudah pekerjaan manusia. Karena kemampuannya dalam mempermudah pekerjaan manusia dan dampaknya bagi perbaikan tata sosial kemasyarakatan maupun perekonomian serta digunakannya penguasaan teknologi informasi sebagai indikator kemajuan suatu bangsa, tak pelak penetrasi Internet menjadi salah satu tujuan pembangunan berbagai negara. Dengan demikian Internet tidak hanya sebagai alat, namun ia juga sebagai dambaan dari banyak manusia di bumi.

Sebagaimana lazimnya suatu alat yang bersifat netral, jika dipergunakan dengan baik Internet dapat membawa manfaat bagi masyarakat luas. Namun sebaliknya, bila digunakan oleh orang jahat yang berniat merugikan pihak lain, maka jadilah Internet alat kejahatan yang tak kalah hebatnya dari senjata api atau bahkan bom yang mampu menewaskan ribuan orang. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan Internet oleh masyarakat. Berbagai upaya dapat dilakukan, dari yang bersifat teknis seperti penggunaan teknik atau metoda pengamanan (security) sampai yang non teknis seperti sosialisasi penggunaan Internet secara benar dan bertanggung jawab. Namun demikian, semua upaya di atas dianggap belum cukup karena belum sepenuhnya dapat melindungi pengguna Internet dari kejahatan. Oleh karena itu, perlu dibuat ketetapan hukum berupa Undang – Undang di bidang pemanfaatan Internet khususnya maupun teknologi informasi dan telekomunikasi pada umumnya.

Permasalahannya, sebagaimana disebutkan di depan bahwa konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi yang berwujud Internet ini telah memasuki dan merasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Ekstremnya, tidak ada bagian dari aktivitas kehidupan manusia yang tidak dapat difasilitasi teknologi informasi dan telekomunikasi. Kegiatan pendidikan, pemerintahan, perbankan, asuransi, transportasi, penegakan hukum, penegakan demokrasi, peneguhan agama, dan masih banyak lagi adalah area yang dapat ditingkatkan kinerjanya menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi. Oleh karena itu dampak yang dihasilkan adanya penyalah gunaan Internet menjadi lebih serius dari yang diperkirakan semula. Jika semula orang mengira bahwa dampak dari penyalah – gunaan Internet terbatas hanya pada aktivitas perdagangan elektronik (e-commerce), yang terjadi adalah adanya ancaman bahaya dan atau kerugian pada hampir semua kegiatan manusia yang menggunakan Internet.

Beberapa contoh kasus yang sudah sering kita dengar antara lain: penggunaan nama domain yang berlanjut pada persidangan pidana dengan tuntutan praktek persaingan tidak sehat, penipuan transaksi jual beli menggunakan kartu kredit milik orang lain yang dilakukan melalui Internet (sering disebut carding), pemalsuan halaman depan situs Internet suatu bank, dan lain – lain. Selain kasus – kasus tersebut, ada kekhawatiran dari sementara kalangan yang selama ini menjalankan e-commerce mengenai tiadanya perlindungan hukum atas suatu transaksi ekonomi yang dilakukan melalui Internet. Demikian pula adanya keresahan dari masyarakat khususnya pengguna Internet mengenai hilang atau berkurangnya nya privasi individu, sehingga dengan mudah orang dapat mengetahui identitas pribadi orang lain yang sebenarnya hanya berhak diketahui oleh pihak lain dengan seijin pihak pemiliknya.

Kepolisian sebagai salah satu pilar penegakan hukum, seringkali menghadapi hambatan dalam penyelidikan dan penyidikan kasus – kasus sengketa maupun pidana di bidang teknologi informasi ini. Pasalnya, alat bukti kejahatan mudah sekali hilang atau dihilangkan. Lebih dari itu, ternyata, pengadilan belum menerima dan mengakui catatan elektronik sebagai bukti yang sah di pengadilan. Padahal, tanpa bukti yang benar dan sah, susah bagi hakim untuk menentukan putusan yang adil.

Implikasi pemanfaatan Internet secara negatif tidak hanya pada hukum pidana, namun pula memasuki wilayah hukum perdata. Tidak hanya pada lingkup kecil kalangan praktisi teknologi informasi semata, namun meluas pada berbagai sektor kegiatan. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam mengenai apa dan bagaimana tata aturan perundangan yang dibutuhkan dalam pemanfaatan Internet.

Ruang Lingkup Cyberlaw
Secara teknis, perubahan yang signifikan dari pemanfaatan Internet dalam keseharian hidup manusia adalah adanya perubahan pola hubungan dari yang semula menggunakan kertas (paper) menjadi nirkertas (paperless). Selain paperless, Internet juga dapat memfasilitasi suatu perikatan tanpa para pihak yang akan melakukan kontrak bertemu secara fisik dalam dimensi ruang dan watu yang sama. Hambatan jarak dan waktu menjadi bukan masalah lagi. Perubahan – perubahan ini membawa implikasi hukum yang cukup serius bila tidak ditangani dengan benar.

Beberapa isu yang muncul dari kemampuan Internet dalam memfasilitasi transaksi antar pihak ini antara lain: masalah keberadaan para pihak (reality), kebenaran eksistensi dan atribut (accuracy), penolakan atau pengingkaran atas suatu transaksi (non-repudiation), keutuhan informasi (integrity of information), pengakuan saat pengiriman dan penerimaan, privasi, dan jurisdiksi.

Keberadaan para pihak yang bertransaksi perlu dipertegas mengingat bisa saja “seseorang” yang menjadi lawan transaksi sebenarnya bukan orang sungguhan namun sudah diganti dengan mesin atau sistem layanan otomatis. Oleh karena itu pengecekan untuk mengetahui kebenaran eksistensi para pihak menjadi sangat penting. Jika tidak, bisa saja seorang C mengaku sebagai A tanpa sepengetahuannya dan bertransaksi dengan B. Karena tanpa mengecek kebenaran atribut mitra transaksinya, B memiliki potensi untuk dirugikan oleh C, demikian pula dengan A yang namanya digunakan dalam transaksi tersebut.

Dalam “dunia kertas” tidak mudah bagi seseorang untuk menolak atau tidak mengakui bahwa ia telah berbuat sesuatu, karena adanya bukti fisik yang dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa seseorang telah melakukan sesuatu. Tidak demikian halnya dengan “dunia nirkertas”. Seseorang dengan mudah bisa saja menolak bahwa ia telah berbuat sesuatu di Internet karena tidak ada bukti fisik yang memaksanya untuk mengakui bahwa ia telah berbuat sesuatu. Agar penolakan semacam ini tidak terjadi di dunia Internet, secara teknis sudah mampu disediakan teknologi yang mampu membuktikan adanya suatu transaksi. Namun ini masih belum cukup, dan perlu diperkuat dengan ketentuan hukum dalam undang – undang. Ketentuan mengenai larangan pengingkaran suatu transaksi melaui Internet ini disebut dengan non-repudiation.

Akibat dari perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan perkembangan interaksi di bidang sosial dan ekonomi berlangsung dalam dunia maya (cyberspace) maka diperlukan pengaturan yang bersifat khusus, tidak lagi tertampung oleh hukum atau peraturan perundang – undangan konvensional. Suatu pemahaman yang hanya meninjau kegiatan e-commerce sebagai satu – satunya kegiatan di dalam cyberspace sehingga secara kondisi logis pengaturan yang diperlukan terbatas pada kasus – kasus yang terjadi di dalam kegiatan e-commerce, dapat diasumsikan sebagai terlalu menyederhanakan permasalahan yang sedang dan akan muncul dalam kegiatan di dalam cyberspace secara keseluruhan. Akibat dari pemahaman tersebut, seringkali muncul keliruan bahwa cyberlaw adalah hanya semata – mata hukum yang mengatur kegiatan e-commerce[1].

Dari sudut pandang secara praktis, dapat dipahami bahwa dalam kegiatan e-commerce memerlukan sense of urgency untuk dicarikan jalan keluar atas akibat- akibat atau permsalahan hukum yang muncul. Namun demikian, pada sisi lain, dengan memperhatikan praktek di negara lain, nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak ada pembatasan secara sempit ruanglingkup cyberlas itu sendiri[2].

Dalam upaya mendapatkan informasi dan pemahaman yang menyeluruh tentang cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus atas kegiatan – kegiatan di dalam cyberspace, Jonathan Rosenoer, dalam Cyberlaw – The Law of Internet, sebagaimana dikutip Saefullah dan Budhijanto dan pakar cyberlaw lainnya mengingatkan ruang lingkup dari cyberlaw antara lain mencakup:
Hak Cipta (Copy Rights)
Hak Merek (Trademark)
Pencemaran nama baik (Defamation)
Fitnah, penistaan, penghinaan (Hate Speech)
Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
Pengaturan Sumberdaya Internet seperti IP-adress, Domain Name, dan lain – lain.
Kenyamanan Individu / Privasi (Privacy)
Prinsip kehati – hatian (Duty Care), termasuk dalam hal ini adalah negligence
Tindakan kriminal (Criminal Liability) biasa yang menggunakan TI sebagai alat.
Isu prosedural, seperti jurisdiksi, pembuktian, penyidikan, dan lain – lain
Kontrak / Transaksi elektronik dan tanda tangan digital/elektronik
Pornografi, termasuk pornografi anak - anak
Pencurian melalui Internet
Perlindungan konsumen
Pemanfaatan Internet dalam aktivitas keseharian manusia, seperti e-perdagangan, e-penyelenggaraan-negara, e-perpajakan, e-pendidikan, e-layanan-kesehatan, dan lain sebagainya.

Common Ground
Sebagaimana dikatakan Jim Dempsey bahwa kebijakan publik dalam pengaturan pemanfaatan Internet haruslah berdasarkan pada: (1) sekumpulan undang – undang yang terkait (mix of laws), (2) pengaturan yang dibuat oleh industri terkait (industry self-regulation), dan (3) standar teknis yang memberi kuasa kendali kepada penggunanya, maka jika diamati dengan cermat, dalam berbagai bentuk pemanfaatan Internet baik untuk aktivitas yang bersifat positif maupun negatif, ada tiga hal yang menjadi landasan umum (common ground), yakni: Informasi Elektronik, Bukti Elektronik, dan Transaksi Elektronik. Dikatakan sebagai landasan umum, karena ketiga hal ini menjadi esensi dari pertukaran informasi antar-pihak yang dilakukan melalui media Internet. Lingkup pengertian transaksi tidak sekedar pertukaran yang dapat dilihat secara fisik sebagaimana terjadi pengertian konvensional, seperti jual dan beli, namun diperluas mencakup pertukaran informasi elektronik melalui media elektronik (Internet). Adapun Bukti elektronik menjelaskan adanya informasi elektronik yang dipertukarkan dalam transaksi elektronik. Di atas tiga hal tersebut di atas barulah terletak berbagai keperluan dan kondisi yang langsung dirasakan dan dilihat oleh manusia, apakah itu e-commerce, pornografi, kejahatan melalui Internet, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, menggunakan kerangka pikir diatas, dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang saat ini sedang diproses oleh pemerintah, bukan merupakan satu – satunya cyberlaw yang perlu dibuat di Indonnesia, karena menilik dari nama dan substansi secara umum, hanya mengatur tiga hal yang termasuk Common Ground. Dalam upaya memberikan perlindungan hukum dari pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Internet) secara negatif masih diperlukan adanya perangkat hukum lainnya yang khusus mengatur pemanfaatan khusus dan atau lebih lanjut dari Internet, seperti e-perdagangan, e-penyelenggaraan negara, e-kriminal, dan lain sebagainya termasuk hal – hal yang menyangkut isu prosedural, seperti jurisdiksi, pembuktian, penyidikan, dan lain – lain.

Saran dan Langkah Selanjutnya
Memperhatikan kurangnya perangkat hukum yang mengatur masalah pemanfaatan Teknologi Informasi (Internet) disarankan agar pemerintah dan stakeholder di bidang Telematika perlu segera :
Melakukan inventarisasi berbagai peraturan perundangan yang sekiranya (dapat) berhubungan atau menggunakan teknologi informasi.
Melakukan identifikasi pemanfaatan Teknologi Informasi (Internet) secara negatif yang tergolong perdata dan pidana.
Menyusun peta kerangka penegakan hukum (semacam road map) di bidang Teknologi Informasi (Internet)
Menyempurnakan Rancangan Undang – Undang yang mengatur masalah common ground (RUU – ITE).
Menyusun atau memperbaiki undang – undang yang mengatur kegiatan manusia yang berkaitan atau menggunakan Teknolgi Informasi (Internet).

Daftar Pustaka
Mieke Komar Kantaatamadja, et.al., Cyberlaw: Suatu Pengantar, ELIPS, 2001.
Assafa Endeshaw, Internet and E-Commerce Law, With a Focus on Asia-Pacific, Prentice Hall, 2001.
Kelli Arena, et.al., Cybercrime: An International Problem For Every Lawyer, Business & Country, Report on Annual Meeting of American Bar Association, 2002.
Asril Sitompul, SH., LL.M, Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, 2001.
Yaman Akdeniz, Clive Walker and David Wall, eds., The Internet, Law and Society, Longman, 2000
Douglas Thomas & Brian D. Loader, eds., Cybercrime: Law Enforcement, Security and Surveillance in The Information Age, Routledge, 2000. Jim Dempsey, Trust and Security in Cyberspace: The Legal and Policy Framework For Addressing Cybercrime, Center for Democracy and Technologi, 2002 at www.internetpolicy.net
[1] E.Saefullah Wirapradja, Danrivanto Budhijanto, Perspektif Hukum International Tentang Cyberlaw, dalam Mieke Komar Kantaatamadja, et.al., Cyberlaw: Suatu Pengantar, ELIPS, 2001.
[2] Ibid.

Siklus Perencanaan Strategi SI/TI

Siklus secara berurutan terdiri dari aktivitas:


1. Menetapkan Kebutuhan Bisnis dan Informasi
2. Mendefinisikan Sasaran SI
3. Mendefinisikan dan memilih Strategi SI/TI
4. Membangun Rencana Implementasi

Menetapkan Kebutuhan Bisnis dan Informasi dilakukan dengan:
a. Membuat gambaran komprehensif dari kegiatan bisnis dan rencana proyek pengembangan bisnis yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
b. Analisa lingkungan bisnis, dan
c. Analisa lingkungan SI.

Mendefinisikan Sasaran SI dilakukan dengan:
a. Menetapkan peluang – peluang SI
b. Mendefinsikan Sasaran Aplikasi

Mendefinisikan dan memilih Strategi SI/TI dilakukan dengan:
a. Identifikasi opsi implementasi permulaan
b. Membangun kerangkan Strategi SI/TI
c. Membangun Aspek Teknologi
d. Membangun Aspek Organisasi dan Manajemen
e. Memilih dan Menetapkan Strategi SI/TI

Membangun Rencana Implementasi dilakukan dengan:
a. Membuat rencana implementasi strategi SI/TI

Dalam perencanaan strategi SI/TI ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh CIO atau eksekutif penanggung jawab di bidang SI:
Dimana wewenang pengembangan SI/TI?
Siapa yang melaksanakannya?
Bagaimana tipe manager yang tepat?
Kalau di perusahaan yang multi-bisnis bagaimana?
Resourcing untuk melaksanakan strategi? Insource atau outsource? Apa saja?
Struktur organisasai SI/TI?
Pimpinan SI/TI melapor kepada siapa?


Sesudah menetapkan Strategi SI/TI, pertanyan berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah “Apa yang selanjutnya harus dikerjakan untuk mencapai sasaran Strategi SI/TI?”

Apa dan Mengapa
a. Strategi SDM TI yang berkualitas, gaji, karir, retention, pengembangan SDM?
b. Dengan dana terbatas, bagaimana membuat prioritas proyek TI?
c. Dalam kuadran yang berbeda? Bagaimana standarnya?
d. Adakah resiko-resiko dalam implementasi rencana SI/TI?
e. Apa penanggulangannya?
f. Common technologies (mis: jaringan, database, tools, etc.) apa saja yang akan dipergunakan?
g. Bagaimana teknologi itu bisa memberikan nilai tambah bagi bisnis?Jika memaksa, manajemen perubahan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana supaya mulus?

Uang, Persahabatan dan Hukum

Apa yang bisa merusak persahabatan? Di antara berbagai kemungkinan jawaban salah satunya adalah uang.

Persahabatan dibangun dari kesamaan minat, lingkungan tempat tinggal, profesi, dan lain sebagainya. Ia muncul sebagai sifat alamiah manusia dalam memenuhi kebutuhan untuk bersosialisasi. Ada perilaku saling beri dan terima yang tidak dilandasi oleh motivasi tertentu.

Persahabatan memiliki beberapa karakteristik:

1. Persahabatan alamiah
2. Persahabatan profesional
3. Persahabatan struktural
4. Persahabatan intentional

Persahabatan alamiah seperti halnya kita hidup bertetangga, ia muncul dengan sendirinya, tidak ada pilihan untuk menolak. Teman sekolah misalnya, tergolong dalam persahabatan alamiah.

Persahabatan profesional, di kantor, ketika seseorang menjadi anggota organisasi bisnis, atau partai politik

Persahabatan struktural, karena adanya jabatan patron – klien. Di birokrasi, organisasi bisnis, tentara dan lain sebagainya.

Persahabatan intentional, karena adanya kepentingan antar dua pihak, semisal, seorang pengusaha yang berusaha menjadi sahabat pejabat hanya untuk memperoleh kesempatan mendapatkan proyek.

Kualitas hubungan persahabatan ditentukan oleh frekuensi interaksi namun dapat juga ditentukan oleh seberapa besar masing - masing pihak memperoleh manfaat dafri pihak lainya.

Uang seringkali menjadi perekat dalam persahabatan.namun ia pula yang acapkali merusak hubungan erat yang sudah lama terjalin.

RUU IETE Memang Perlu Diperbaiki

Judul berita di halaman T1 Harian Bisnis Indonesia tanggal 7 Agustus bertajuk “Perbaikan RUU IETE libatkan tim ad hoc” tidak mengagetkan namun cukup serius untuk dikaji dan ditindak-lanjuti lebih jauh. Tidak mengagetkan karena sudah banyak desakan untuk memperbaiki rancangan undang – undang (RUU) yang diajukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi baik yang secara tidak langsung maupun terbuka melalui media massa. Salah satu contoh misalnya berita di harian yang sama tanggal 30 Juli 2003 yang bertajuk “Salah konsepsi RUU IETE” yang menyajikan pendapat saudara Inderanta Depari seorang praktisi hukum dari Universitas Indonesia bahwa terjadi salah konsepsi dalam RUU IETE yang dianggap untuk mengatur Internet. Menurut Inderanta Depari, kesalahan yang sangat fatal adalah lahirnya UU IETE nantinya ditujukan untuk mengatur Internet, padahal ada begitu banyak persoalan yang terjadi di dalam cyberspace yang tidak akan terangkum dalam RUU tersebut. Komentar Inderanta ini senada dengan pendapat seorang dosen senior di fakultas hukum perguruan tinggi yang sama yang mengatakan bahwa RUU IETE yang diajukan Kementrian Kominfo sebagai hasil pembahasan sejumlah pakar telematika dan hukum serta sudah dibahas oleh birokrat dari berbagai departemen (interdep) tersebut cenderung menjadi RUU-A3, atau rancangan undang – undang apa aja ada.

Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen bahwa RUU IETE - yang dari namanya saja selalu berubah mengikuti perkembangan pembahasan - mengandung kesalahan konsepsi, adanya pernyataan Menteri Kominfo bahwa bila dianggap kurang sempurna RUU itu akan diperbaiki, serta tambahan informasi dari Sekretaris Menteri Kominfo JB Kristiadi yang mengemukakan bahwa RUU IETE yang sudah disampaikan kepada Presiden kemungkinan masih ada beberapa hal yang perlu disempurnakan mengindikasikan dua hal. Pertama para petinggi Kementrian Kominfo sebagai instansi yang memiliki kewenangan membuat kebijakan di bidang komunikasi dan informasi akhirnya mengakui bahwa RUU IETE`yang sudah dihasilkan masih perlu perbaikan. Kedua sejalan dengan pengakuan ini, muncul sederet pertanyaan antara lain: mengapa perlu diperbaiki dan perbaikan apa saja yang perlu dilakukan terhadap RUU IETE ini? Dalam konteks yang lebih luas, pertanyaan yang seringkali dilontarkan namun belum pernah terjawab tuntas adalah apakah RUU IETE akan menjadi satu – satunya undang – undang di bidang pemanfaatan teknologi informasi (Cyberlaws) di Indonesia? Atau masih diperlukan undang – undang lain yang mengatur masalah ini.

Fakta di berbagai negara yang telah mulai mengatur pemanfaatan teknologi informasi menunjukkan tidak ada satupun negara yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi hanya dengan satu undang – undang saja. Namun demikian, tidak ada keseragaman tentang apa saja yang perlu diatur dan bagaimana mengaturnya. Malaysia misalnya, memulai dengan membuat Computer Missuse Act (CMA) yang diundangkan tahun 1997 namun baru dapat berlaku sejak tahun 2000. Setelah membuat CMA, berturut – turut sesuai kebutuhan Malaysia membuat Telemedicine Act, E-Commerce Law, dan sekarang sedang dalam proses pembuatan Cybercrime Act. Meskipun terjadi perbedaan dalam prioritas pembuatan cyberlaw, arah penyediaan perangkat hukum makin menuju pada dua undang – undang pokok yang mendasari pemanfaatan teknologi informasi, khususnya Internet, yaitu penyediaan undang – undang yang mengatur masalah transaksi yang dilakukan melalui Internet, dan undang – undang yang mengatur pencegahan dan penindakan atas kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat maupun sasaran. Selain kedua undang – undang tersebut, ada berbagai macam ketentuan yang mengatur pemanfatan Internet baik pada level undang – undang semacam Telemedicine Act di Malaysia atau swa-pengaturan oleh komunitas seperti pengaturan Nama Domain yang cukup diatur oleh cc-TLD saja. Jika kita sepakat mengikuti trend dunia, maka draft awal RUU IETE yang semula dibuat oleh Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKHT-FHUI) sebenarnya sudah berada pada jalur yang benar. Konsepsi dasarnya adalah menyediakan perangkat hukum yang mengakui catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan maupun dalam perikatan yang memiliki konsekuensi hukum. Bahwasanya sebagian besar transaksi elektronik terjadi pada media Internet, bukan berarti bahwa RUU IETE hasil kajian LKHT FHUI ini dimaksudkan sebagai justifikasi untuk menjadi solusi bagi diboikotnya transaksi kartu kredit via Internet dari Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh salah satu petinggi Kementrian Kominfo di atas.

Adanya kekurang-pahaman mengenai bagaimana sebaiknya membuat kerangka hukum di bidang teknologi informasi inilah yang menjadi salah satu pendorong digabungnya dua RUU yang sebetulnya sifat dan semangatnya berbeda satu dengan lainnya. Maka lahirlah evolusi nama RUU dari semula RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI ) dan RUU IETE menjadi RUU Informasi, Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU-IKTE), dan akhirnya menjadi RUU Informasi Dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE). Meski namanya menjadi RUU ITE, namun sebetulnya - menurut ahli bahasa yang menjadi salah satu anggota pembahasan interdep - nama ini merupakan kepraktisan dari RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Ketentuan dalam pembuatan undang – undang menyatakan bahwa harus ada kesesuaian antara nama dan substansi. Jika kemudian namanya kembali menjadi RUU IETE, maka mengacu pada ketentuan tadi, seharusnya substansi yang diatur-pun dikembalikan kepada semangat semula, tanpa ditambahi dengan dengan ketentuan lain yang tidak relevan.

Ternyata rancangan final RUU IETE yang diajukan kepada Presiden masih mengandung ketentuan – ketentuan yang tidak relevan dengan jiwa dan semangat pembuatan RUU IETE yang semula dimaksudkan hanya untuk mengatur transaksi elektronik. Beberapa bagian yang tidak relevan antara lain Bab VI tentang nama domain, hak kekayaan intelektual dan perlindungan hak pribadi (privasi), Bab VII tentang pemanfaatan teknologi informasi dan perlindungan sistem elektronik, Bab IX tentang peran pemerintah dan masyarakat, serta Bab XII tentang ketentuan pidana. Argumen yang mendasari pendapat ini selain karena bab – bab tersebut di atas di luar jiwa dan semangat pengaturan mengenai transaksi elektronik, juga karena pertama, pengaturan nama domain tidak perlu diatur dalam suatu undang – undang, karena sudah berjalan dengan baik dengan mekanisme pengaturan yang ditetapkan oleh ICANN pada cakupan internasional dan IDNIC di tataran nasional. Berbagai pihak mengakui kinerja IDNIC sangat bagus, dan tidak perlu lembaga lain yang ikut – ikutan mengatur masalah nama domain. Kedua, pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual sudah diatur dalam serangkaian undang – undang lain (UU 14/2001, UU 15/2001, dan UU 19/2002), sehingga walau hanya diatur dengan satu pasal sekalipun (pasal 27) ketentuan ini menimbulkan duplikasi dengan ketiga undang – undang tersebut yang sudah ada terlebih dahulu.

Ketiga, pasal 28 yang dimaksudkan untuk memberi perlidungan terhadap privasi individu selain kurang relevan dengan substansi informasi dan transaksi elektronik, juga masih sangat minim untuk dapat dikatakan sebagai alat perlindungan privasi individu. Permasalahan perlindungan privasi tidak sesederhana sebagaimana cukup diatur dalam satu pasal saja. Di Amerika Serikat, perlindungan mengenai privasi perlu dibuat undang – undang tersendiri, begitu pula di beberapa negara eropa. Kecenderungan makin tidak dipedulikannya pentingnya privasi di dunia maya menjadi permasalahan di banyak negara. Berbeda dengan Indonesia yang (berusaha) menyelesaikannya hanya dengan satu pasal, negara maju mengatasi perlunya perlindungan privasi individu tidak tanggung – tanggung, dibuat undang – undang tersendiri, karena mereka percaya inilah penghargaan dan perlindungan terhadap manusia.

Keempat, pada Bab VII yang terdiri dari 8 pasal (29 s.d. 36) sekali lagi terjadi kerancuan antara judul bab dan substansi yang diatur dalam pasal – pasal. Judulnya tentang pemanfaatan teknologi informasi dan perlindungan sistem elektronik namun isinya tentang larangan yang tidak relevan sama sekali dengan tujuan dari RUU IETE yakni mengakui catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Pembelaan atas susunan Bab VII ini dapat saja diajukan seperti mencegah pemanfaatan secara negatif terhadap sistem elektronik, namun demikian penyusunan semacam ini dapat menimbulkan kerancuan pemahaman terhadap undang – undang itu sendiri, sebagai akibat tidak sinkronnya antara judul dan substansi.

Kelima, menjadi pertanyaan apakah bila tidak dicantumkan dalam undang – undang ini peran pemerintah dalam meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi tidak ada sama sekali? Demikian pula bukankah tanpa disebutkan dalam undang – undang partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi sudah ada dan dirasakan manfaatnya jauh sebelum rancangan undang – undang ini dibicarakan. Memang ada banyak undang – undang yang muncul sesudah atau menjelang runtuhnya orde baru menegaskan peran pemerintah dan masyarakat. Namun hendaknya disadari bahwa sebagian besar atau hampir semua undang – undang tersebut mengatur bidang yang sebelumnya dikuasai pemerintah atau perusahaan milik pemerintah yang mengandung proteksi dan monopoli serta sangat minimnya keterlibatan masyarakat di dalamnya. Dalam hal teknologi informasi khususnya trasaksi elektronik, keterlibatan pemerintah selama ini sebetulnya kecil sekali, yang menonjol justru peran masyarakat yang tanpa diatur-pun sudah mampu mengembangkan pemanfaatannya. Pencantuman pasal 43 dan 44 menegaskan kembali betapa pemerintah masih ingin campur tangan kegiatan masyarakat yang sebenarnya sudah dapat diatur sendiri.

Keenam, jika dikaitkan dengan kecenderungan global dalam penyediaan perangkat hukum di bidang cyber, tidak jelas apakah pasal 48 s.d. 52 ini dimaksudkan untuk memerangi cybercrime secara total. Dipertanyakan demikian karena jika memang dimaksudkan untuk memerangi cybercrime, rasanya masih jauh dari mencukupi. Banyak ragam kejahatan cyber yang belum diancam hukuman dengan hanya lima pasal tersebut. Sebaliknya kalau dibiarkan seperti itu, pasal – pasal ketentuan pidana yang bermaksud memenjarakan mereka yang melanggar ketentuan dalam Bab VII menjadi tidak relevan lagi dengan jiwa, semangat, dan tujuan RUU IETE.

Jika sepakat dengan uraian di atas, dan bersedia melepas ego pribadi demi terciptanya perangkat hukum di bidang telematika yang implementable di lapangan, hendaknya beberapa item di atas dapat dijadikan masukan bagi tim ad hoc yang kelak akan dibentuk. Perbedaan pendapat dalam memandang apa dan bagaimana sebaiknya undang – undang dibuat hendaknya disikapi dengan perilaku akademik yang santun bukan dengan memarginalkan mereka yang berbeda pendapat. Apabila hal tersebut tetap dilaksanakan, menunjukkan betapa kerdilnya mentalitas birokrat pemerintah.

Mengapa Divestasi Indosat Bermasalah

Pemerintah akhirnya kembali berhasil menjual sahamnya di PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) sebesar 41.94% setelah sebelumnya pada Mei lalu menjual 8.1%, sehingga pada saat ini kepemilikan saham pemerintah di Indosat tinggal 14.96%. Dikatakan berhasil, karena bila dilihat dari kepentingan pemerintah untuk mengumpulkan dana guna menutup defisit anggaran setidaknya telah memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp. 6.72 triliun. Dengan dana sebesar ini kebutuhan penerimaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun fiskal 2003 sudah cukup aman. Ucapan selamat juga dapat dilayangkan kepada jajaran Menteri Negara urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah memenuhi tugasnya “menjual” aset negara untuk membiayai pembangunan.

Terkait dengan divestasi saham Indosat di atas, rupanya keberhasilan pemerintah di sisi lain menuai komentar dan pertanyaan dari berbagai pihak yang pada intinya mempermasalahkan proses, nilai dan implikasi divestasi saham pemerintah di Indosat tersebut.

Menyusul krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun1997, pemerintah berketetapan untuk melakukan privatisasi dengan menjual saham – sahamnya di BUMN. Dengan privatisasi ini pemerintah secara bertahap merestrukutrisasi perekonomian dan selanjutnya memperoleh tambahan dana untuk menutup utang luar negeri dan defisit anggaran. Kebijakan yang baik ini pada tahap implementasinya ternyata tidak semulus yang diharapkan. Banyak kendala yang harus dihadapi pemerintah yang datang dari internal BUMN yang akan diprivatisasi, dari lingkungan eksternal, maupun dari pemerintah sendiri. Bertabrakannya berbagai kepentingan ini menyebakan proses privatisasi dalam bentuk divestasi saham pemerintah di BUMN menjadi penuh liku dan seringkali menimbulkan berbagai pertanyaan.
Beberapa pertanyaan publik yang muncul berkaitan dengan proses divestasi saham Indosat antara lain: [1] siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan untuk menjual aset negara, [2] apakah peraturan dan perundangan yang digunakan sebagai acuan dalam penjualan aset negara sudah sesuai dengan kondisi sosial politik yang berkembang pada saat ini, dan [3], apakah pejabat pemerintah yang diberi kewenangan untuk mengurusi penjualan aset negara sudah melaksanakannya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang ada. Selain tiga hal tersebut, masalah transparansi dipersoalkan menyusul temuan bahwa yang bertransaksi dengan pemerintah Indonesia adalah Indonesian Communication Limited (ICL) suatu perusahaan yang berbadan hukum di Mauritius, sementara publik memperoleh keterangan resmi dari pemerintah bahwa yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technology Telemedia (STT). Ketidak-konsistenan dalam membuka siapa sebenarnya pembeli saham Indosat yang nota bene miliki publik, menimbulkan berbagai dugaan akan terjadinya proses penjualan yang tidak wajar.

Menanti E-Government

Telematika tidak hanya menjadi bagian dari gaya hidup manusia saja, tetapi ia juga dapat mempercantik kinerja pemerintahan. Demikian pendapat salah seorang pakar yang kebetulan juga birokrat dalam suatu diskusi mengenai impelementasi Telematika di organisasi pemerintah. Sejalan dengan makin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap Telematika, dan banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa Telematika akan menjadi lokomotif bagi terbentuknya era ekonomi baru, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah Telematika dapat merubah tata kerja birokrasi? Jika jawabnya ya, bagaimana kira – kira bentuknya di Indonesia? dan apa saja kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikam Telematika di pemerintahan.

Beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat sudah mulai menerapkan tata laksana kepemerintahan berbasis elektronik, yang disebut e-Government. Sebetulnya, e-Government dalam bentuknya seperti sekarang ini, bukan hal baru di negara – negara tersebut, karena sebelumnya hampir di setiap negara pasti ada Sistem Informasi Pemerintah (SIP). Tetapi, jika sebelumnya SIP ini bagaikan sekumpulan pulau yang tidak saling terhubung satu dengan lainnya, sekarang dengan munculnya Internet, terjadi integrasi antar sub-sistem pendukung SIP. Keterhubungan dan kesesuaian antar element di dalam SIP menjadi salah satu syarat bagi sukses tidaknya implementasi e-Government.

Selain membutuhkan keterhubungan dan kesesuaian, pada level strategis, impelementasi Telematika di pemerintahan juga menuntut dukungan pemimpin nasional serta komitmen untuk bersedia melakukan perubahan mendasar terhadap paradigma kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak pejabat pemerintah yang menganggap dirinya adalah penguasa yang memiliki kewenangan membuat kebijakan dan keputusan, meski kadang keputusan yang dihasilkan tidak bijak. Pada kondisi seperti ini, proses administrasi pemerintahan yang telah diotomatisasi, menjadi tidak bermanfaat bila pada simpul – simpul proses tertentu diinterupsi hanya untuk memenuhi kepentingan kekuasaaan. Padahal, e-Government hanya akan berfungsi dengan optimal bila manusia pengelolanya juga mengikuti karakter Telematika yang bebas dari interest. Dengan demikian, keberhasilan impelementasi e-Government di negara – negara tersebut di atas, salah satunya adalah karena adanya kesediaan dari birokrasi dan cabang pemerintah lainnya untuk tunduk dan sepenuhnya taat pada perubahan yang mereka buat sendiri.

Di Indonesia, inisiatif penggunaan e-Government sudah diwujudkan oleh beberapa pemerintah kabupaten dengan membangun portal pelayanan publik. Pemerintah pusat sendiri sejauh ini masih berkutat pada ketidak- jelasan mengenai siapa yang memiliki wewenang koordinatif untuk menetapkan kebijakan nasional tentang e-Government. Belum tersedianya kebijakan nasional dan adanya ketidak jelasan siapa yang paling berhak menjadi lokomotif pembangunan e-Government menimbulkan potensi ketidak-sesuaian atar-lembaga pemerintah yang makin tinggi. Fakta menunjukkan terjadi banyak ketidak samaan dalam mendefinisikan e-Government. Ada yang berpendapat bahwa e-Government adalah menampilkan informasi lembaganya di Internet, dipihak lain, ada yang mengatakan bahwa e-Government adalah pelayanan pubilik secara online melalui Internet. Demikian pula ada kecenderungan masing – masing instansi ingin membangun sesuai seleranya sendiri. Jika kondisi demikian dibiarkan, bukan mustahil pulau – pulau informasi yang sudah ada akan tetap menjadi pulau yang walau sudah dapat terhubung satu dengan lainnya, namun tidak memberi manfaat kepada masyarakat.

Mengantisipasi hal tersebut, sekelompok pakar dan aktivist di bidang Telematika mengadakan diskusi intensif guna mengidentifikasi aspek – aspek yang terkandung dalam e-Government, tidak hanya yang bersifat teknis, namun juga menyangkut aspek non-teknis seperti perubahan manajemen pemerintahan, sumber daya manusia, implikasi terhadap regulasi yang ada, hingga sosialisai kepada lingkungan pemerintah dan masayarakat. Dari identifikasi ini selanjutnya dirancang strategi pembangunan e-Government di mana di dalamnya termasuk membangun model – model e-Government dari tingkat pusat hingga daerah.

Banyak sekali tantangan dan hambatan yang menghadang dalam merealisasikan e-Government di Indonesia. Dari yang relatif mudah diatasi seperti kelangkaan infrastruktur telekomunikasi, belum tersedianya aplikasi, masih mahalnya harga perangkat, hingga yang sulit dirubah yaitu perilaku birokrat dan masyarakat yang selama ini diketahui tidak transparan dan tidak efisien. Satu hal yang sering dilupakan oleh kita semua adalah menetapkan tujuan ketika kita mengerjakan segala sesuatu. Bagi Singapura tujuannya jelas, sebagaimana dikatakan oleh Lee Kua Yew: “meningkatkan kemakmuran masyarakat dengan memberi pelayanan publik yang murah, cepat dan akurat”. Sayangnya, hal seperti ini belum pernah muncul dari pemimpin kita. Lalu kapan kita dapat memiliki e-Government? Jawabannya masih kita tunggu.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Country Advocate GIPI – Indonesia,
Anggota Mastel

Tarif Telekomunikasi Yang Adil, Mungkinkah?

Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Country Coordinator GIPI Indonesia & Ketua MASTEL

Perbincangan mengenai tarif telekomunikasi (baca: telepon) terus bergulir seiring dengan belum tuntasnya kebijakan pemerintah mengenai tarif telekomunikasi. Tak kurang dari Kementrian Pendaya-gunaan Aparatur Negara (Menpan) ikut membuat proyek penelitian untuk mengkaji masalah ini dengan melibatkan para pakar dari dua perguruan tinggi negeri terkenal, serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) beberapa kali mengadakan workshop dengan mengundang berbagai pihak untuk menelisik adakah perilaku monopoli operator telekomunikasi berdampak pada kebijakan tarif telekomunikasi. Tak hanya mereka berdua, DPR dan masyarakat-pun berada di pihak yang kurang jelas posisinya, karena di samping yang secara populis menolak usulan kenaikan tarif di pihak lain ternyata ada pula yang mendukung. Rupanya permasalahan tarif telekomunikasi sudah bukan lagi urusan operator telekomunikasi dan Direktorat Jenderal Postel (selaku regulator) semata, namun sudah menjadi urusan nasional yang berdampak pada kepentingan bisnis, masyarakat, dan politis. Menjadi wajar kiranya jika kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah Indonesia berhasil menerbitkan kebijakan tarif telekomunikasi yang adil bagi semua stakeholder?

Kenyataan bahwa telekomunikasi sudah menjadi kebutuhan penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sudah sulit dipungkiri. Oleh karena itu, penyelenggaraan telekomunikasi menjadi bersifat strategis, karena tidak saja dibutuhkan oleh banyak pihak, namun, sebagaimana layaknya infrastruktur ekonomi, penyediaan sarana telekomunikasi dipercaya mendorong tercapainya sasaran pembangunan nasional. Di sisi lain, perubahan ekonomi global mendorong terjadinya pergeseran struktur pasar jasa telekomunikasi dari yang semula sepenuhnya monopoli, saat ini, di beberapa negara termasuk Indonesia, tinggal beberapa jenis layanan saja yang masih dalam status monopoli, selebihnya bersifat kompetisi.

Entah karena kurang efektifnya kebijakan pembangunan sektor telekomunikasi selama periode orde baru, atau terlalu kuatnya regim monopoli atau kurangnya investasi di sektor telekomunikasi sehingga pada saat ini dapat dikatakan bahwa pembangunan jaringan dan jasa telekomunikasi berjalan lambat. Rasio penyediaan sambungan telepon tetap (yang sering digunakan sebagai acuan keberhasilan pembangunan telekomuikasi) dibandingkan jumlah populasi penduduk baru mencapai angka kurang dari 4%, suatu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan negara – negara tetangga di Asean. Di antara berbagai permasalahan penting yang dihadapi sektor telekomunikasi, salah satunya yang tak kunjung selesai adalah persoalan kebijakan tarif. Persoalan tarif menjadi penting, karena menyangkut keadilan bagi semua pihak: operator, pelanggan, dan pemerintah. Tarif yang terlalu tinggi memberatkan pelanggan, sebaliknya tarif yang rendah menyurutkan minat investor untuk membangun dan memberi pelayanan yang baik, sementara kegagalan membuat kebijakan tarif yang dapat diterima semua pihak merupakan cermin ketidak-mampuan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Undang – Undang Telekomunikasi 36/1999 menyatakan bahwa pengaturan formula tarif telekomunikasi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan besaran tarifnya ditentukan oleh operator. Mengacu pada ketentuan ini, persoalan tarif seolah menjadi urusan pemerintah (baca: Ditjen Postel) dan operator (baca:Telkom) belaka. Pada kenyataannya, penetapan tarif tidak sesederhana itu, karena, entah dengan dasar peraturan apa, DPR-pun ikut mempengaruhi ketetapan Pemerintah mengenai tarif, sebagaimana halnya sebagian anggota masyarakat yang “diwakili” oleh pakar telekomunikasi. Masalahnya menjadi semakin rumit, ketika regulator masih menggunakan formula tarif yang berlaku untuk pasar monopoli, yang menggunakan parameter eksternal perusahaan sebagai acuan dari pada kondisi internal perusahaan yang menjadi pendorong diperlukannya penyesuaian tarif. Meski dikatakan bahwa formula tersebut digunakan oleh berbagai negara, namun terdapat kelemahan mendasar, karena penyesuaian (naik atau turun) ditentukan oleh indek inflasi dan efisiensi industri yang sebetulnya tidak mencerminkan secara langsung kondisi internal perusahaan operator telekomunikasi.

Persoalan tarif dalam penyediaan layanan publik, bukan hanya urusan bisnis semata, namun juga menyangkut keadilan. Keadilan tidak muncul bila pengguna jasa diharuskan menanggung ongkos di luar biaya yang diperlukan untuk menyediakan suatu pelayanan. Oleh karena itu, sangat beralasan dan demi terwujudnya keadilan ketika dinyatakan bahwa tarif telekomunikasi harus ditetapkan berdasarkan biaya aktual (cost- based pricing) bukan lagi menggunakan formula lama yang jauh dari keadilan.
Ada dua permasalahan besar dalam kebijakan cost-based pricing. Pertama, operator harus mampu mengidentifikasi, memisahkan dan menetapkan kontribusi sumber daya yang merupakan elemen biaya yang diperlukan untuk menyediakan suatu jenis layanan. Jika satu sumber daya dipakai hanya untuk satu jenis layanan saja masalahnya menjadi mudah. Persoalannya, di layanan jasa telekomunikasi, satu sumber daya dapat dipakai untuk berpuluh bahkan beratus jenis layanan, sementara untuk sesuai karakter layanan jaringan telekomunikasi selalu terjadi ekstrem biaya (minimal dan maksimal) yang selisihnya cukup signifikan dan harus diakomodasi dengan tarif yang sama. Persoalan kedua, berkenaan dengan metoda penghitungan biaya, apakah didasarkan pada historical costs yakni menggunakan dasar harga perolehan barang dan jasa, atau current costs (market price) yakni memperhitungkan lingkungan yang terus berubah, menurunnya harga peralatan telekomunikasi, depresiasi mata uang Rupiah, dan lain sebagainya

Dari aspek makro, kebijakan tarif yang ideal harus dapat mendukung beberapa sasaran berikut: masuknya para pemain baru (new entrants) ke dalam industri jaringan dan jasa telekomunikasi; meningkatnya penggunaan jaringan dan jasa telekomunikasi; tarif harus memiliki keterhubungan terhadap biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan layanan; menghasilkan pendapatan (revenue) yang mencukupi bagi penyedia layanan (operator); membantu keseimbangan stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi; serta
memfasilitasi pembangunan di bidang sosial yang memperhatikan kepentingan semua pihak.

Kriteria makro kebijakan tarif di atas diterapkan dalam konteks mikro untuk berbagai janis layanan telekomunikasi yang masing – masing memiliki dasar perhitungan tarif yang berbeda. Dari segi mobilitas, dibedakan antara telepon tetap dan bergerak. Dari aspek jangkauan, dibedakan antara lokal, jarak jauh, dan internasional. Dari aspek ketersambungan antar operator, dibedakan antara sambungan intra-operator (trunk) dan sambungan antar-operator (interkoneksi). Dari segi sumber panggilan dibedakan antara incoming dan outgoing; dan dari segi layanan antar-operator nasional, dibedakan antara single transit dan double transit. Kombinasi dari berbagai variasi layanan telekomunikasi memiliki implikasi biaya yang berbeda, namun demikian semuanya dimuarakan pada formula tarif telepon tetap lokal yang menjadi acuan bagi tarif jenis layanan telekomunikasi lainnya. Di sinilah terjadi keunikan (anomali kebijakan harga) dalam perhitungan tarif telekomunikasi, karena, meski besaran biayanya berbeda – beda untuk berbagai variasi konfigurasi dalam menghasilkan suatu jenis layanan, namun harga yang ditawarkan kepada pelanggan harus tetap sama.

Selain menggunakan biaya untuk menentukan tarif, dapat ditambah kebijakan lain guna memperkuat terwujudnya rasa keadilan. Beberapa negara menerapkan kebijakan tarif rata (flat rate) di mana sambungan percakapan dalam suatu area geografis tertentu tidak dibebani biaya atau tarif panggilan tetap (metered untime call) yakni panggilan kepada atau percapakan di dalam satu area geografis tertentu dibebani biaya tetap tanpa memperhitungkan durasi. Kebijakan tarif ini dapat melengkapi kebijakan saat ini yang masih menggunakan durasi dan jarak sebagai besaran utama menghitung ongkos percakapan telepon. Pembedaaan harga (price discrimination) untuk biaya variabel sesuai (bukan untuk biaya tetap) sesuai dengan kondisi pelenggan sebagaimana layaknya berlaku di industri jasa penerbangan sudah saatnya untuk dipertimbangkan diterapkan di jasa telekomunikasi.

Selain faktor biaya, dalam menentukan model tarif telekomunikasi, operator perlu memperhatikan faktor non-biaya yang bersifat sosial seperti: Transparansi, informasi yang digunakan dalam menentukan tarif dapat dengan mudah diakses oleh publik guna keperluan analisa; Kepraktisan, model pentarifan dapat diimplementasikan pada berbagai kondisi permintaan yang berbeda dan masih tetap memberikan manfaat bagi operator maupun pelanggan; Kausalitas, model pentarifan menunjukkan hubungan sebab-akibat antara biaya dan harga serta sumber daya yang digunakan untuk menyediakan layanan dengan memperhatikan faktor penentu biaya yang relevan; Efisiensi, model pentarifan harus memberikan manfaat (output) yang lebih besar dibandingkan agregat input yang diperlukan untuk menyediakan layanan tertentu; Income per capita atau Standar hidup (standard of living); Kelompok masyarakat yang disasar sebagai pelanggan, dibedakan berdasarkan kota/pedesaan atau kaya/miskin, perusahaan/individu, komersial/sosial, dan lain sebagainya; Tingkat penetrasi telepon (teledensity) pada masing – masing wilayah; dan Elastisitas permintaan.
Komentar populis yang hanya mengutak – atik angka tarif sambungan lokal, dan interlokal sungguh tidak menyelesaikan masalah bahkan cenderung menyesatkan, dan menjauhkan persoalan tarif telekomunikasi dari keadilan. Keadilan bagi operator adalah bila kepada mereka diberikan ketetapan formula tarif yang memberi peluang untuk memperoleh keuntungan dan mengembangkan investasi. Sedangkan keadilan bagi pelanggan adalah tarif yang terjangkau yang sepenuhnya mencerminkan biaya layanan yang efisien. Keadilan bagi kedua pihak ini akan memberi kesempatan bagi anggota masyarakat yang belum memiliki sambungan telekomunikasi, sehingga terjadi penyebaran keadilan. Dengan demikian, persoalannya sekarang bukan apakah tarif telepon perlu naik atau turun, tetapi mampukah kebijakan tarif menjawab tuntutan keadilan semua pihak yang terlibat dalam persoalan penyelenggaraan dan penggunaan telekomunikasi. Soal naik atau turun mestinya dipandang sebagai akibat, bukan sebagai tujuan*****

Jaringan Sosial Dalam Konteks Telematika

Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang telekomunikasi mendefinisikan jaringan telekomunikasi sebagai rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Dari definisi ini terlihat bahwa unsur utama yang menjadi perhatian adalah sekumpulan peralatan hasil teknologi. Sebagaimana hasil teknologi lainnya, jaringan telekomunikasi tidak akan memiliki makna bila tidak mampu memberikan manfaat kepada manusia. Sampai di sini, kita masih dapat mengatakan bahwa jaringan telekomunikasi tentu saja bermanfaat bagi kebutuhan hidup manusia. Namun demikian, ketika telekomunikasi sudah berkonvergensi dengan teknologi informasi membentuk telematika yang mendorong terbentuknya tata hubungan bisnis dan sosial yang berbeda dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, pengertian dan manfaat jaringan tidak hanya untuk pemenuhan sarana fisik saja melainkan juga untuk membangun jaringan lain, yakni jaringan antar manusia itu sendiri yang kemudian disebut jaringan sosial (social networks). Kedua jaringan ini, meski muncul dari dua kepentingan yang berbeda, tetapi ada suatu keadaan di mana keduanya, bila digunakan secara tepat, dapat memperkuat terbentuknya modal sosial (social capital). Apa dan bagaimana jaringan sosial serta implikasinya terhadap tatanan sosial dan ekonomi, khususnya dalam era ekonomi baru setelah munculnya telematika, menjadi pertanyaan yang perlu dibahas lebih lanjut.

Gordon Marshal dalam Dictionary of Sociology (1998) menjelaskan bahwa jaringan sosial terbentuk dari individu atau sekelompok individu yang terhubung satu dengan lainnya oleh hubungan sosial. Keluarga, suku, perusahaan, asosiasi, dan pertemanan, adalah contoh dari jaringan sosial. Tata hubungan dalam jaringan sosial ini yang oleh J.L. Moreno dapat digambarkan dalam bentuk tabel sociomatrix. Studi mengenai jaringan sosial semula menitik-beratkan pada struktur hubungan dalam kelompok sosial yang berukuran kecil dengan fokus pada perilaku angggota jaringan dan kerekatan hubungan di antara mereka. Dalam kelompok sosial yang anggotanya sedikit, dapat dengan mudah dilihat adanya unsur – unsur jaringan seperti perekat atau penghubung (bridges), seseorang yang menjadi pengikat antar-sesama anggota; dan penyeimbang (balance) yakni pihak yang menahan berkembangnya klik (clique) atau subjaringan, yang pada kondisi tertentu dapat melemahkan hubungan sosial antar anggota.

Ikatan dalam jaringan sosial yang semula kuat karena bertumpu pada kedekatan lokasi, emosional dan fisikal, dengan berjalannya waktu dan terjadinya diaspora, menjadi melemah. Pelemahan keterhubungan ini makin diperbesar dengan makin kuatnya pengaruh budaya individualistik akibat globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi, yang di satu sisi menjadikan dunia terasa kecil seukuran layar monitor, dikatakan memiliki sisi negatif bila dilihat dari dampaknya dalam melemahkan jaringan sosial yang terdapat pada masyarakat tradisional.

Yang menggembirakan, demikian kata Henslin dalam Sociology, A down to Earth Approach, (1999), Internet yang semula haya dipakai oleh kalangan akademik, setelah dikembangkan oleh pelaku bisnis menjelma menjadi media baru yang dapat mengeratkan kembali simpul – simpul jaringan sosial. Bahkan pola hubungan bisa menjadi sangat berbeda dari jaringan sosial dalam konteks tradisional. Berjuta –juta manusia yang berasal dari berbagai budaya dan latar belakang masuk ke belantara informasi yang dinamakan Internet. Pada akhirnya, pola hubungan sosial yang semula didasarkan pada kesamaan almamater, asal – usul, suku, keluarga, partai politik, dan ikatan primordial lainnya, dengan makin berkembangnya penggunaan Internet pola hubungan berubah dan lebih didasarkan pada kesamaan kepentingan, hoby, bidang profesi, tanpa melihat dari keluarga mana, atau dari almamater apa mereka berasal. Karakter sosial yang terbentuk melalui media Internet misalnya, sangat berbeda dengan jaringan sosial yang konvensional. Atribut tradisional yang cenderung membentuk hirarki dalam jaringan sosial tradisional berubah menjadi sekedar nama, yang posisinya dilihat dari seberapa besar kontribusinya dalam pola hubungan yang horisontal peer to peer. Pola hubungan yang didorong oleh penggunaan Internet inilah yang kemudian membentuk komunitas – komunitas elektronik (electronic communities). Bahkan akibat adanya interaksi intensif melalui Internet belakangan bermunculan electronic primary groups, yang oleh sementara orang dikembangkan sebagai peluang usaha baru, seperti electronic commerce.

Sampai di sini mulai terlihat benang merah hubungan antara jaringan sosial dan jaringan telekomunikasi. Dalam kontek telematika di Indonesia, jaringan sosial yang terbentuk dari munculnya Internet memang belum terlihat jelas contoh dan wujudnya, namun demikian keberadaannya akan menjadi sangat penting pada dua ekstrem keadaan. Ketika teledensity dan dan penetrasi Internet masih relatif rendah seperti sekarang ini, jaringan sosial bertumpu pada hubungan tradisional yang bersifat primordial seperti asal - usul kedaerahan, sekolah, organisasi, kepartaian, dan lain sebagainya. Jaringan sosial semacam ini biasanya berkurang daya rekatnya ketika anggota jaringan semakin jauh lokasi keberadaannya sementara sarana telekomunikasi dan atau penggunaan sarana tersebut masih rendah. Ketersediaan jaringan telekomunikasi termasuk Internet, pada gilirannya akan memfasilitasi terbentuknya jaringan sosial baru yang berbasis pengetahuan dan informasi.

Pada ekstrem lain, ketika majoritas anggota masyarakat sudah 'terhubung' melalui jaringan telekomunikasi, kompleksitas jaringan sosial diperkirakan akan meningkat. Individu akan menemui kesulitan karena dihadapkan pada labirin informasi yang membentuk kompartemen atau kluster jaringan sosial, yang apabila tidak hati – hati memasukinya akan terjebak dalam kesia-siaan waktu, energi dan biaya. Untuk itu, pemahaman mengenai minat pribadi, kebersediaan untuk menentukan fokus atau area minat tertentu, serta penguatan disiplin pribadi menjadi kunci sukses bagi individu dalam jaringan sosial di era Internet.

Dua hal di atas apabila dapat terpenuhi akan menguatkan teorinya Fukuyama yang mengatakan bahwa teknologi informasi dan telekomunikasi pada masanya akan merubah tata hubungan komunitas. Lalu di mana peran pemerintah dalam membangun jaringan telekomunikasi dan menjaga agar jaringan sosial ini mampu menjadi kekayaan bangsa?

Berkaitan dengan upaya ekspansi pengembangan jaringan telekomunikasi, ada banyak alternatif kebijakan yang dapat ditawarkan. Dari yang bernuansa mempertahankan monopoli hingga yang berpihak pada kompetisi sesuai amanat UU 36/1999 di atas. Tetapi ternyata, ukuran sambungan phisik menjadi tidak relevan lagi di era ekonomi baru karena kebutuhan masyarakat di satu sisi tidak hanya sekedar tersambung ke jaringan, namun sejauh mana mereka dapat menggunakan jaringan phisik tersebut untuk memperoleh informasi bagi pengembangan jaringan sosial. Dengan demikian akses informasi dengan biaya murah dan berkecepatan tinggi menjadi satuan ukur baru.

Bila kita sepakat dengan pola pikir ini, kebijakan yang tepat adalah memberi kesempatan kepada pelaku pasar untuk menggunakan teknologi yang efisien, bukan mengahalangi dengan menetapkan entry barrier yang sengaja dibuat hanya guna melindungi kepentingan incumbent. Di sisi lain, bagaimanapun juga jaringan telekomunikasi masih diperlukan di daerah – daerah yang belum terlayani. Sementara incumbent tidak dapat sepenuhnya melayani daerah tersebut.

Dalam kerangka keadilan, pemerataan, dan perlakuan yang sama bagi pengusaha, kebijakan yang memberi kesempatan kepada pemain baru untuk menawarkan jasa telekomunikasi yang murah dan efisien perlu dibuka selebar – lebarnya. Selain itu dalam upaya perluasan jaringan telekomunikasi dan pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation), kepada pemain baru yang menawarkan jasa murah dan efisien tersebut seharusnya juga diberi kewajiban membangun jaringan telekomunikasi dan menyediakan sarana akses Internet. Dengan demikian satu kebijakan akan bermanfaat bagi semua pihak, tidak hanya menguntungkan salah satu saja.
Dalam arus globalisasi Internet, hampir semua negara menyepakati bahwa sebaiknya pemerintah menerapkan minimum regulations, sediakan sarananya dan biarkan komunitas mengatur dirinya sendiri. Jadilah pemerintah sebagai promotor, fasilitator dan katalisator. Lupakan paradigma lama yang menganggap pemerintah berlaku sebagai penguasa. Akibat perubahan pola hubungan dalam jaringan sosial, birokrat sebenarnya hanya sebagai civil servant, atau service provider, bukan power holder lagi. Bila kita sependapat dengan ajakan ini, sebetulnya tidak diperlukan proyek pemerintah dengan anggaran jutaan dolar, cukup sediakan kebijakan. Sudah cukup? Barangkali belum.

Average MArgin Per User (AMPU)

Perkenalkan terlebih dahulu nama saya Haryo Adjie (wartawan dari majalah Selular). Melalui email ini saya ingin bertanya kepada bapak Wigrantoro seputar AMPU (Average Margin Per User). Dimana disebutkan selama ini parameter performance yang diunggulkan oleh operator masih berupa ARPU (Average Revenue per User). Sedang beberapa operator selular di luar negeri sudah mensosialisasikan AMPU sejak lama.Beberapa yang yang ingin saya tanyakan adalah :1. Mengapa AMPU belum dipergunakan sebagai salah satu parameter keberhasilan / performance operator selular di Indonesia ? mengingat hingga kini baru istilah ARPU saja yang sering digunakan ?

[mwrs]
parameter AMPU belum banyak digunakan di Indonesia, menurut hemat saya karena 2 hal:

pertama, AMPU belum popular, ARPU sudah cukup lama menjadi defcato untuk mengukur kinerja industri jasa telekomunikasi, selain itu, regulator dan operator telekomunikasi belum memahami secara komprehensif pengertian AMPU.

Kedua, bisa jadi regulator dan operator sudah memahami namun masih menemui kendala untuk mengaplikasikannya. Hal ini mengingat jika pada ARPU maka cukup hanya menggunakan dua variabel ukur saja (total revenue dan total pelanggan), sementara jika hendak menerapkan AMPU, selain menghitung total revenue, masih diperlukan untuk menghtiung total cost, padahal cost yang dipersyaratkan di sini adalah activity cost, bukan accounting cost. Untuk menghitung activity cost, setiap activitas yang diperlukan dalam proses penyajian layanan (cost driver) harus dihitung secara proporsional, sementara jika menggunakan metoda accounting cost, data biaya yang disajikan merupakan agregat seluruh biaya.2. Komponen apa saja yang dihitung dalam AMPU ? Atau biaya-biaya apa saja yang dikeluarkan oleh operator ? Jika tidak keberatan mohon diberikan ilustrasi nya.

[mwrs]
rumus AMPU = total margin dibagi jumlah pelanggan
total margin = total revenue dikurangi total cost
jumlah pelanggan terdiri dari prepaid dan postpaid
dengan demikian AMPU bisa dibagi tiga kategori, AMPU, AMPU-prepaid dan AMPU-postpaid, sehingga AMPU = AMPU-prepaid + AMPU-postpaid.

Yang perlu dicermati, di antara kedua jenis layanan pre dan post ada sumber daya yang dipakai bersama yang memunculkan biaya bersama (shared costs) seperti (dalam layanan cellular): capex dan opex untuk network dan infrastruktur yang meliputi bts, bsc, msc, backbone, approach link, general support, dll. Sementara untuk biaya yang dapat dipisahkan antara lain billing (pre-paid tidak perlu billing system), marketing, advertising, sdm, dll.
3. Mulai sejak kapan ARPU mulai dipergunakan oleh operator di Indonesia ? Apakah kedepan AMPU juga akan dipergunakan sebagai patokan performance ?

[mwrs]
metoda ARPU sudah dipakai sejak pertama kali muncul layanan telekomunikasi selular di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penggunaan metodak sejenis pada layanan telepon tetap.

Ke depan, AMPU dapat saja digunakan dengan pertimbangan bahwa AMPU lebih mencerminkan kesehatan dan kinerja sesungguhnya suatu operator telekomunikasi. Pendorong dari pemanfaatan AMPU dapat saja dimulai dari lingkungan di luar industri jasa telekomunikasi seperti analis bisnis yang menekuni bidang telekomunikasi, atau media massa yang khusus menyirit soal telekomunikasi.

Saya katakan perlunya pendorong dari luar, karena pada dasarnya jika tidak ada keperluan bagi penggunaan parameter baru sebagai indikator keberhasilan, maka operator telekomunikasi cenderung untuk tidak berubah. 4. Apa saja keuntungan dan kerugian menggunakan perhitungan berdasarkan ARPU dan AMPU ?

[mwrs]
ARPU hanya mencerminkan satu variabel saja, yakni tingkat pendapatan, sedangkan AMPU dapat mencerminkan tingkat profitabilitas operator telekomunikasi. Dalam hal ini, walaupun ARPU-nya rendah tidak berarti layanan telekomunikasi tidak menarik. Sepanjang total cost dapat dipertahankan selalu lebih redanh dari total revenue-nya maka suatu layanan masih dapat menyumbangkan profit. Di sinilah manfaat AMPU, untuk selalu mengingatkan operator bahwa yang perlu diperhatikan adalah margin (profit) bukan hanya revenue saja.

Selain itu dengan AMPU yang di-breakdown per wilayah layanan akan dapat mencerminkan tingkat keuntugan di suatu layanan tersebut. Bisa jadi revenue-nya sama tetapi jika manajer mampu mengelola biaya dengan baik, maka margin (profit) yang dapat disumbangkan ke perusahaan lebih besar.

Kerugian menggunakan AMPU, adalah pertama, perlunya terus menerus memonitor biaya. Kedua diperlukan metoda penghitungan biaya yang mencerminkan keadaan sebenarnya (activity-based costing), padahal, hingga saat ini hampir semua operator telekomunikasi di Indonesia belum dapat melakukan activity-based costing.
5. Apakah data-data hasil perhitungan AMPU lebih akurat ketimbang ARPU ? Banyak dikatakan bahwa AMPU dapat lebih baik dalam memprediksi profit perusahaan.

[mwrs]
Yang jelas, menghitung ARPU lebih mudah dari pada menghitung AMPU.

Akurasi perhitungan AMPU ditentukan oleh metoda yang digunakan perusahaan untuk menghitung revenue, biaya, dan jumlah pelanggan aktif sebagaimana saya uraikan di atas.

Akan halnya AMPU dapat lebih baik dalam memprediksi profit memang benar, namun demikian AMPU masih sama dengan ARPU hanya digunakan sebagai indikator awal kinerja sektor telekomunikasi, Jika diperlukan analisis mendalam mengenai kinerja perusahaan operator telekomunikasi maka AMPU tetap tidak mencukupi. Analisis keuangan masih tetap diperlukan.
6. Untuk wilayah regional Asia, operator mana saja yang sudah menerapkan AMPU ?

[mwrs]
Saya tidak begitu tahu. Suatu operator menggunakan ARPU atau AMPU tidak ada bedanya bagi pelanggan, bukan? ARPU atau AMPU bukan suatu keharusan untuk digunakan, keduanya hanya merupakan indikator saja.Demikian pertanyaan saya, sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyakterima kasih kepada bapak Wigrantoro selaku Ketua Umum MASTEL (Masyarakat Telekomunikasi).[mwrs]
Koreksi, saya bukan Ketua Umum MASTEL, namun hanya salah seorang Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) saja. Ketua Umum MASTEl dijabat oleh Bp. Giri Suseno (mantan Menteri Perhubungan)


Best Regards,Haryo Adjie NSJournalistMajalah SelularPh : 0812 9656 843

WIMAX: Antara Janji Dan Realita

Akhir April 2005 lalu, penulis berkesempatan mengikuti case study workshop bertajuk Visions for Broadband Wireless: WiMax and 3G yang diselenggarakan oleh US Trade and Development Agency (USTDA) di Bangkok. Workshop ini meruakan salah satu rangkaian acara US-Southeast Asia Telecommuication and ICT Conference. Ada yang menarik dari paparan dalam workshop tersebut yang barangkali dapat menjadi masukan bagi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) atau bagi calon operator WiMax.

Salah satu penyaji mengatakan bahwa Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMax) merupakan teknologi pita-lebar nirkabel (wireless broadband technology) yang menawarkan biaya rendah, bisa dioperasikan pada frekuensi yang dengan atau tanpa izin, dan dirancang untuk melayani koneksi pada area yang luas (Wide-Area Connections). Lebih jauh dikatakan, WiMax juga merupakan cara baru guna memperoleh layanan data kecepatan tinggi bagi pengguna yang memiliki karakteristik menetap (fixed), berpindah (nomadic), dan bergerak (mobile). Tidak hanya itu, dijanjikan pula bahwa WiMax akan mampu menjadi komplemen dari jaringan telekomunikasi kabel dan nirkabel, terutama sebagai jaringan tulang punggung (backhaul) untuk layanan akses data berbasis Wi-Fi, Digital Subscriber Line (DSL), dan menjadi pendamping bagi layanan selular generasi tiga (3G).

Sekilas memang tampak hebat, apalagi bila ditambah dengan kemampuannya mengirim data dengan kecepatan hingga 10 – 50 Mega bit/detik, dengan jaminan Quality of Service (QoS) yang mendekati 100% sehingga dikatakan sangat tepat digunakan untuk layanan VoIP, Internet Gamming, Video Conference, dan Layanan Multimedia Interaktif. Semua kehebatan ini masih ditambah dengan kemampuan untuk transmisi gelombang elektromagnetik yang tidak harus dalam konfigurasi satu garis lurus (non-line-of sight) sebagaimana layaknya persyaratan utama pada transmisi gelombang mikro. Dengan demikian WiMax sangat cocok dipasang di daerah perkotaan yang seringkali terkendala oleh banyaknya gedung pencakar langit.

Dari aspek keamanan, WiMax dikatakan pula memiliki tingkat kehandalan dan keamanan yang tinggi karena didukung oleh sistem pengendalian trafik secara peer to peer, dan data yang dikirim secara otomatis di-enkripsi dengan standar enkripsi yang tergolong susah untuk mengurainya jika tidak mengunakan kode autentikasi yang semestinya. Pendek kata, WiMax dipromosikan sebagai “pendatang baru” yang akan mengubah kemapanan teknologi telekomunikasi yang pernah ada hingga hari ini.

Mendengar paparan yang menjanjikan feature yang sedemikian hebatnya, reaksi yang muncul justru tanda tanya besar, benarkah janji – janji tersebut akan terealisasi dalam bentuk manfaat optimal bagi masyarakat?

Sebagaimana produk teknologi lainnya, apalagi di era yang serba terstandarisasi seperti sekarang ini, munculnya penawaran produk teknologi baru selalu menimbulkan reaksi, baik yang menyambut antusias karena berharap memperoleh sumber rejeki baru, bereaksi dengan kritis agar memperoleh informasi yang seimbang, menolak karena khawatir kemapanannya terganggu, ataupun acuh tak acuh karena tidak merasa punya kepentingan. Pilihan jatuh kepada alternatif kedua, dengan pertimbangan jika keunggulan WiMax memang benar dan keberadaannya dapat mendukung upaya peningkatan teledensity maupun penyebaran sarana akses informasi, maka seyogyanya Pemerintah perlu segera membuat kebijakan yang dapat memfasilitasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi ini.

Ternyata, apa yang dijanjikan belum dapat sepenuhnya dinikmati, ada beberapa persoalan yang masih dibahas di aras internasional, sementara implementasi di negeri ini juga masih menyaratkan diterbitkannya sejumlah kebijakan publik. Bila melihat roadmap pengembangan standar WiMax, semua keunggulan yang dijanjikan sepertinya baru dapat dinikmati pada tahun 2009. Namun demikian sekarang-pun sebenarnya beberapa pihak sudah merasakan features Wimax yang masih terbatas. Persoalan yang mendasari kondisi seperti ini adalah karena standar WiMax untuk layanan fixed (802.16-2004) baru disepakati tahun lalu, sementara untuk standar layanan mobile (802.16e) direncanakan terbit tahun 2008.

Selain persoalan standar, kritik terhadap WiMax terutama mengenai keraguan terhadap janjinya untuk menyediakan solusi yang kompatibel untuk layanan fixed dan mobile. Keraguan ini didasari pada perbedaan lebar data antara Fixed Wimax (256-point OFDM) dan Mobile Wimax (128, 512, 1024, dan 2048-point OFDMA). Demikian pula, janji untuk menyediakan dukungan bagi berbagai layanan telekomunikasi dan komunikasi data masih dipertanyakan mengingat tidak adanya harmonisasi spektrum frekuensi global. Singkat kata, demikian argumen para kritikus, WiMax merupakan produk teknologi yang belum mature, tidak sebagaimana teknologi CDMA, GSM ataupun 3G. Masih banyak kelemahan WiMax yang belum terungkap.

Salah satu realita yang harus dihadapi Indonesia dalam mengadopsi WiMax adalah persoalan alokasi frekuensi dan penetapan siapa yang layak menjadi operatornya. Hari Senin lalu, Direktur Frekuensi dan Orbit Satelit Ditjen Postel menyatakan ada beberapa alternatif pita frekuensi yang dapat dialokasikan untuk layanan WiMax. Persoalannya, di manapun akan ditempatkan, lahan yang tersedia sudah diduduki untuk layanan lain, lebar pita yang tersedia-pun juga terbatas, sementara peminatnya jauh melebihi kapasitas.

Mengenai siapa yang layak menjadi operator WiMax pun menjadi persoalan. Di satu sisi ada yang berpendapat bahwa lisensi Wimax perlu diberikan kepada UKM penyedia akses informasi. Sementara itu, pengalaman membuktikan banyak pemegang izin yang tidak mampu membangun layanan karena keterbatasan dana sehingga akhirnya berubah menjadi license squaters. Bila ditanya, siapa yang memiiki peluang besar untuk membangun tentu jawabnya yang punya dana, sayangnya pihak terakhir ini bukan dari kalangan UKM. Rupanya kita masih harus bersabar menunggu, hingga janji menjadi nyata.****

Berapa Sebaiknya Nilai Ekonomi Spektrum 3G?

Di antara rangkaian pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika berkaitan dengan penataan kembali perijinan telekomunikasi, ada dua hal yang menarik untuk disimak, yakni rencana penetapan pemberian ijin layanan 3G menggunakan metoda lelang (auction) dan pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi (BHP-frekuensi) spektrum 3G di depan (up front fee payment). Menarik, karena dua hal ini, jika jadi dilaksanakan, akan menandai diterapkannya ketentuan baru dalam rejim perijinan jaringan dan jasa telekomunikasi di Indonesia. Sebagaimana yang tengah berjalan hingga hari ini, Postel selaku regulator telekomunikasi menerapkan metoda proses adminisitrasi – siapa yang lebih dahulu mendaftar diberi kesempatan pertama (first come first served) – dan metoda seleksi berdasarkan kriteria administrasi dan teknis (beauty contest). Pada dua metoda ini pemegang ijin tidak diharuskan membayar sejumlah nilai tertentu untuk dapat menguasai spektrum frekuensi, namun demikian diharuskan membayar BHP-frekuensi yang dilakukan setiap tahun selama perusahaan tersebut masih memegang ijin. Besarnya BHP-frekuensi didasarkan pada formula yang ditetapkan Postel.

Lelang Spektrum
Tren penggunaan lelang (auction) sebagai metoda alokasi dan pemberian ijin penggunaan spektrum diawali pada tahun 1990-an sebagai bagian dari upaya reformasi regulasi telekomunikasi secara lebih luas. New Zealand tercatat sebagai negara yang pertama kali menerapkan lelang spektrum. Kebijakan lelang dimaksudkan untuk menggantikan metoda proses administrasi, lotere, dan beauty contest. Argumen yang mendukung mengacu pada teori ekonomi, lelang menunjukkan hasil terbaik di antara semua metoda yang ada. Terbaik dalam kontek untuk memperoleh penghasilan pemerintah yang lebih besar, menunjukkan praktek birokrasi yang transparan, memastikan tercapainya sasaran kebijakan publik, dan menghindari kembalinya praktek monopoli oleh incumbent dengan memberi peluang kepada pemain baru.

Keunggulan metoda lelang bukan tanpa prasyarat. Lelang spektrum berbeda dengan lelang pengadaan barang pemerintah. Pada yang terakhir, pemerintah telah memiliki anggaran belanja maksimum, peserta lelang yang mengajukan penawaran terendah akan memenangkan pekerjaan. Sementara itu, metoda lelang spektrum akan menguak berapa sebenarnya nilai yang layak bagi suatu pita spektrum. Agar efisien, sebelumnya regulator telekomunikasi diharapkan telah memperkirakan berapa besar perusahaan akan mengajukan penawaran, bukan seberapa besar yang diinginkan diperoleh dari lelang tersebut. Angka penawaran tertingi dalam lelang spektrum akan mencerminkan nilai ekonomi suatu pita spektrum, namun demikian nilai ekonomi tersebut menjadi tidak optimal bila, (a) tidak cukup banyak peserta lelang untuk menciptakan suasana kompetisi yang sebenarnya; (b) peserta tender tidak cukup yakin berapa angka yang tepat untuk diajukan guna mencerminkan nilai spektrum yang sesuai dengan kemampuan masing – masing. Dengan demikian lelang spektrum tidak sekedar upaya meraup sejumlah besar uang untuk menambah kas pemerintah. Melalui lelang spektrum akan terkuak nilai tertinggi yang menunjukkan kebersediaan perusahaan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat sebagai ganti sumber daya publik yang dikuasainya.

Potensi Kegagalan Lelang Spektrum
Pada awal diberlakukannya ketentuan lelang, terjadi hal – hal yang menggagalkan atau mengurangi keberhasilan kebijakan tersebut. Kerugian tidak hanya harus ditangggng pemerintah namun juga oleh masyarakat, hal yang kemudian menyulut adanya anggapan lelang tersebut menjadi tidak adil. Keadaan seperti ini pernah dialami New Zealand. Kejadian pertama, peserta yang dinyatakan sebagai pemenang ternyata membayar tidak sebesar nilai tertinggi yang diajukan dalam lelang, pada waktu itu, penawaran tertinggi sebesar NZ$100,000 tetapi karena penawar tertinggi mengundurkan diri, penawar tertinggi kedua sebesar NZ$6 dinyatakan sebagai pemenang. Kejadian kedua, peserta lelang hanya 3, penawaran tertinggi sebesar NZ$7 juta, sedangkan dua penawaran lain masing – masing sebesar NZ$5,000 dan NZ$250. Kejadian ketiga, untuk suatu lelang spektrum televisi pesertanya hanya satu orang, mengajukan penawaran sebesar NZ$1. Dia dinyatakan sebagai pemenang dan berhak memperoleh ijin penggunaan spektrum frekuensi televisi dengan biaya yang sangat murah. Kejadian keempat, konsultan yang disewa pemerintah memperkirakan perolehan dari lelang spektrum sebesar NZ$240 juta untuk layanan selular, ternyata perolehan yang didapat hanya sebesar NZ$36 juta.

Belajar dari praktek lelang spektrum di negara – negara lain, Pemerintah perlu merancang lelang spektrum sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat di satu pihak dan peserta lelang di lain pihak memperoleh manfaat yang optimal. Ada dua model teori yang lazim diacu dalam lelang spektrum, model nilai umum (common-value model) dan model nilai-privat-independen (independent-private-value model). Jika ketidak – pastian tentang teknologi yang akan digunakan masih tinggi dan permintaan terhadap layanan menggunakan teknologi tersebut pada pita spektrum yang dilelang masih rendah, serta ada tidaknya pasar sekunder (ijin dapat dijual kepada operator lain), pendekatan perhitungan nilai ekonomi spektrum pada umumnya menggunakan model yang pertama. Sebaliknya, jika masing – masing peserta lelang sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai jasa yang akan dijalankan pada spektrum yang akan dilelang, memiliki kemampuan sumber daya yang berbeda dalam mengelola spektrum yang diinginkannya, kencenderungan peserta lelang menggunakan model kedua lebih besar.

Metoda
Berkaitan dengan rencana penyelenggaraan lelang spektrum bagi calon operator layanan 3G yang belum memiliki ijin, ada baiknya Pemerintah memperhatikan metoda asesment yang lazim digunakan untuk menentukan nilai spektrum frekuensi dari kaca mata operator telekomunikasi (investor). Hal ini sesuai dengan model kedua di atas, dan untuk mengimbangi kencederungan penggunaan model pertama yang sering digunakan kalangan regulator telekomunikasi.

Metoda pertama disebut Nilai-kini BHP-selamanya, yakni menghitung nilai sekarang (present value) dari penerimaan BHP untuk jangka waktu selama perusahaan beroperasi. Sebagai contoh, suatu operator 3G yang menguasai 10MHz, untuk melayani cakupan nasional perlu mengoperasikan 500 BTS dengan rata – rata 2 carrier dan 500 stasiun radio transmisi gelombang mikro berkewajiban membayar total BHP setiap tahunnya – misalnya – Rp. 26 Milyar. Jika ijin operasi berlaku – misalnya – selama 20 tahun, maka total BHP yang harus dibayarkan selama periode tersebut adalah sebesar Rp. 520 Milyar. Dengan asumsi tingkat bunga sebesar 12%, maka nilai-kini-BHP adalah sebesar Rp. 248.12 Milyar. Dengan kurs US$ 1 = RP. 9,900, maka perkiraan nilai ekonomi spektrum 3G per MHz kurang lebih sebesar US$ 2.5 juta.

Metoda kedua dinamai Acuan Internasional (international benchmark) karena mengacu pada angka perolehan yang didapat negara – negara yang sudah melakukan lelang. Dari 5 negara Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Jerman dan Yunani) yang telah mengadakan lelang pada tahun 2001 nilai perolehan tertinggi didapat Austria (832 juta Euro) dan terendah Jerman (50 juta Euro). Rata – rata perolehan lelang dari lima negara tersebut sebesar 260 juta Euro dengan masa berlaku perijinan selama 20 tahun. Sehingga biaya lisensi pertahun untuk pita selebar 10 MHz adalah 13 juta Euro atau setara dengan US$ 15.756 juta, artinya rata – rata nilai ekonomi yang didapat dari lelang spektrum 3G per MHz di lima negara Eropa tersebut sebesar US$ 1.58 juta saja.

Metoda ketiga dinamai GDP-ARPU-approach model. Model ini mangaitkan hubungan antara gross domestic product (GDP), pendapatan per kapita, Average Revenue per User (ARPU), dan BHP-Frekuensi. Sementara statistik menunjukkan tren peningkatan GDP per kapita, di sisi lain ARPU per GDP per kapita justru menunjukkan angka yang semakin menurun. Artinya, di tengah peningkatan jumlah pelanggan selular, ternyata operator harus dihadapkan pada penurunan laju pendapatan. Padahal, BHP-Frekuensi yang besarnya rata – rata sebesar 3.5% dari ARPU harus tetap dibayar walaupun ARPU-nya makin menurun. Dengan estimasi pertumbuhan pelanggan selular dari 45 juta di tahun 2005 dan mencapai 130 juta di tahun 2015 dan estimasi jumlah pelanggan 3G sebesar 1% hingga 25% dari total pelanggan selular selama 10 tahun, serta tingkat diskonto 15% per tahun, Net Present Values (NPV) BHP frekuensi untuk pita selebar 60 MHz (sesuai alokasi ITU untuk pita IMT-2000) diperoleh sebesar US$ 162 juta. Artinya nilai ekonomi spektrum frekuensi 3G yang wajar adalah sebesar US$ 2.7 juta per MHz.

Metoda keempat dinamai model pertimbangan belanja modal (capex consideration model). Di dalam menentukan nilai ekonomi spektrum perusahaan akan menempatkan BHP-frekuensi yang harus dibayar di depan sebagai bagian dari belanja modal (capital expenditure – capex). Komponen lain dari belanja modal adalah pengadaan gedung kantor, penyediaan sarana pendukung operasional, penyediaan jaringan dan sistem informasi. Dengan masuknya BHP-frekuensi sebagai komponen belanja modal, maka besaran persentasi komponen lainnya harus dikurangi. Dengan besaran investasi yang telah ditetapkan, semakin besar BHP-frekuensi yang harus dibayar di depan, semakin mengurangi kemampuan perusahaan untuk menyediakan belanja modal lainnya. Persoalannya, yang sering dikorbankan justru investasi untuk penambahan jaringan. Padahal ketersediaan jaringan akan memberi efek pengungkit (leverage) bagi perolehan pendapatan. Perusahaan dihadapkan pada dilema, mengajukan penawaran setinggi – tingginya berarti mengurangi kemampuannya untuk membangun, sementara mengajukan nilai yang rendah mengurangi peluang untuk memenangkan lelang. Hukum pareto 20-80 sering digunakan dalam mengatasi dilema semacam ini. Artinya maksimum yang boleh dibelanjakan untuk membayar belanja modal yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan hanya sebesar 20% dari total rencana investasi di tahun pertama. Dengan asumsi kebutuhan investasi tahun pertama untuk memenuhi komitmen perijinan modern sebesar US$100 juta, maka besarnya maksimum BHP-frekuensi yang layak adalah sebesar US$ 20 juta. Persoalan dengan model ini adalah tidak diketahui berapa lebar pita yang akan diberikan, jika 10MHz, maka nilai ekonomi spektrum 3G hanya sebesar US$2 juta per MHz atau US$ 4 juta per MHz untuk yang hanya menguasai 5MHz.*****

*)
Direktur, Institute for Technology and Economic Policy Studies <>Ketua, Masyarakat Telematika Indonesia [MASTEL]

Evaluasi Investasi Teknologi Informasi

“83% Direktur Teknologi Informasi (TI) mengakui bahwa analisa biaya – manfaat yang diajukan dalam mendukung proposal investasi TI ternyata fiktif.” Demikian kesimpulan Grindley, dalam hasil kajiannya yang bertajuk Managing IT at Board Level (1993). Meski riset dilakukan awal tahun 1990-an, namun kesimpulan Grindley masih relevan hingga sekarang. Setidaknya hal ini terlihat dari pernyataan yang hampir menjadi klise, yang selalu menyertai setiap proposal investasi TI. Bahkan di banyak perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan bidang TI atau Sistem Informasi (SI), masih saja diajarkan pernyataan kualitatif mengenai manfaat SI/TI, dengan terminologi standar seperti: meningkatkan efisiensi, produktivitas, ketepatan dan kecepatan proses layanan, keunggulan bersaing, dan lain sebagainya. Seorang CEO perusahaan multinasional mengatakan “Seperti ada konspirasi spontan untuk membesar – besarkan manfaat investasi SI/TI.”

Kelangkaan Metoda
Meski sudah banyak yang menyatakan investasi SI/TI harus dinilai (assessed) dan didukung dengan alasan (justified) mengenai pentingnya bagi organisasi, namun sayangnya belum ada standar yang diterima sebagai acuan untuk melaksanakannya. Memang ada beberapa metode yang ditawarkan, tetapi belum dapat diterima sebagai standar penilaian investasi SI/TI, karena setelah diterapkan ternyata tidak konsisten untuk berbagai jenis perusahaan. Kelangkaan metoda penilaian (assessment) investasi SI/TI menyebakan setidaknya 70% organisasi pengguna SI/TI tidak memiliki dasar kebenaran formal proses evaluasi pasca implementasi investasi SI/TI (Cooke dan Parrish, 1992). Sementara itu, hasil kajian lain menemukan bahwa hanya separo dari proyek investasi SI/TI yang disertai dengan taksiran pra-investasi yang bersifat formal.

Kelangkaan metoda penaksiran dan evaluasi investasi SI/TI memberi inspirasi bagi digunakannya teknik analisa keuangan untuk menghitung tingkat kembalian investasi yang lazimnya digunakan pada proyek – proyek lain. Namun demikian, pada prakteknya metoda ini mengalami hambatan cukup besar sehingga menjadi tidak representatif dan tidak efektif. Pada investasi properti misalnya, arus kembalian investasi relatif mudah diidentifikasi dan dikuantitatifkan. Tidak demikian pada investasi SI/TI, semakin kompleks implementasi investasi SI/TI, semakin sulit untuk mengkuantifikasikan manfaatnya. Persoalannya menjadi semakin rumit ketika Pedoman Standar Akuntansi Keuangan belum mengakomodasikan perhitungan manfaat TI yang terkandung dalam setiap transaksi bisnis.

Logika Penghitungan
Tingkat kembalian investasi teknologi tidak dapat dihitung hanya dengan instrumen return on investment (ROI) semata, perlu dilihat juga sejauh mana teknologi baru tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik sekaligus memberi kontribusi bagi peningkatan angka produksi dan efisiensi. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula faktor – faktor non-teknologi yang justru mempengaruhi kinerja investasi teknologi. Sebagian besar investasi teknologi dilandasai pada kemampuan memberikan output setelah teknologi tersebut dioperasionalkan. Persoalannya, spesifikasi dan kualifikasi yang melekat pada teknologi tidak selalu memberikan outcome sesuai dengan yang dijanjikan sebagaimana tertera dalam proposal investasi. Sebagian besar penyebabnya terletak pada faktor di luar teknologi itu sendiri seperti, pengelola (manusia) dan pengelolaannya (manajemen).

Logika penghitungan lain yang juga mempengaruhi penilaian investasi SI/TI adalah perlakuan akuntansi. Dalam banyak hal, sistem akuntansi yang dibakukan belum memperlakukan manfaat investasi SI/TI sebagai pendapatan (revenue) atau pengurangan biaya akibat efisiensi. Hal ini sangat nyata terutama di perusahaan – perusahaan yang memperlakukan unit organisasi SI/TI sebagai pusat laba (profit center). Praktek lain di bidang akuntansi yang belum mencerminkan dukungan bagi penghitungan manfaat investasi SI/TI antara lain perlakukan yang berbeda terhadap biaya pengembangan yang tidak sepenuhnya dicatat. Lazimnya, biaya pengadaan perangkat keras dan lunak dicatat secara rinci, namun tidak demikian halnya untuk biaya yang berhasil dihemat dari pemanfaatan SI/TI tersebut. Data akuntansi menjadi sangat penting dalam menghitung manfaat investasi SI/TI karena - bagaimanapun - analisis keuangan akan bersumber pada data akuntansi tersebut.

Alternatif
Ward (2003) menyarankan digunakannya kombinasi antara tiga type aplikasi yang masing – masing bersifat substitusi, komplementer, dan inovatif dengan teknik evaluasi manfaat investasi. Substitusi dalam pengertian seberapa jauh investasi SI/TI dapat menggantikan peran manusia dalam meningkatkan efisiensi. Komplementer, dalam konteks seberapa optimal investasi SI/TI mampu meningkatkan produktifitas organisasi dan efektifitas karyawan sebagai fasilitas baru yang memungkinkan organisasi/karyawan bekerja dengan proses dan prosedur yang baru. Inovatif, dalam rangka mencapai keunggulan bersaing dengan mengubah proses dan menciptakan peluang pasar.

Adapun alternatif teknik evaluasi manfaat investasi SI/TI yang ditawarkan masing – masing adalah:
(1) Analisa Biaya-Manfaat Tradisional, mengacu pada peningkatan efisiensi di dalam proses organisasi yang dihasilkan dari otomatisasi, seperti misalnya otomatisasi tagihan (invoice) dan mengirimkannya secara elektronis kepada pelanggan melalui layanan electronic commerce, penghematan biaya data entry karena digunakannya Optical Character Reader (OCR).
(2) Pertalian Nilai, mengacu pada perkiraan peningkatan kinerja bisnis yang diperoleh dari hubungan antara penghematan dan perubahan proses bisnis. Contoh dari pertalian nilai antara lain, otomatisasi rekonsiliasi penjualan dan account receivables memberi peluang bagi staff keuangan untuk lebih banyak memberi perhatian kepada upaya peningkatan kepuasan pelanggan, dan peningkatan kolektibilitas tagihan.
(3) Akselerasi nilai, mengacu pada pertimbangan waktu terhadap manfaat yang diterima oleh semua departemen setelah implementasi investasi SI/TI. Laju penerimaan manfaat SI/TI berbeda – beda pada setiap bagian dalam organisasi, perbedaan ini disebabkan oleh karakter aplikasi yang dioperasikan. Aplikasi SI yang mendukung operasional akan menerima manfaat segera, sementara aplikasi yang bersifat stratejik maupun potensial untuk menjadi stratejik akan menerima manfaat belakangan. Pemahaman mengenai akselerasi nilai dikaitkan dengan periodesasi akuntansi akan memberikan gambaran manfaat investasi SI/TI yang lebih akurat pada kurun waktu tertentu. Menyediakan data penjualan harian kepada para manajer penjualan membantu mereka meningkatkan kemampuan untuk merespon terhadap perubahan pasar dan posisi tawar dalam negosiasi dengan pemasok.
(4) Restrukturisasi Nilai, mengacu pada peningkatan produktivitas yang dihasilkan dari perubahan proses, organisasi, serta peran setiap fungsi dalam organisasi. Tugas – tugas yang banyak berhubungan dengan pengumpulan dan pengelolaan informasi seperti perencanaan dan peramalan seringkali hanya dapat ditingkatkan dengan kombinasi sistem yang bagus dan perubahan dalam tanggung jawab organisasi.
(5) Evaluasi Inovasi, mengacu pada cara memperkirakan nilai manfaat bagi organisasi atas diterapkannya strategi bisnis baru yang mengandalkan pada pemanfaatan SI/TI. Peluncuran layanan electronic banking dapat mengubah citra perusahaan dan menarik kelompok nasabah baru.
Dengan menerapkan teknik penilaian sebagaimana diuraikan di atas, manajemen diharapkan dapat mengungkap keseluruhan manfaat ekonomi dari investasi Teknologi Informasi. Dengan demikian keluhan para CIO yang belakangan ini semakin santer terdengar tentang sulitnya menyajikan manfaat investasi TI secara akurat dan business-wise setidaknya menjadi berkurang.*****

Optimalisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak Dari Penggunaan Spektrum Frekuensi 3G

1. Latar Belakang Permasalahan
Penyelenggaraan telekomunikasi selular generasi ketiga (3G) di Indonesia diawali dengan diterbitkannya izin prinsip layanan 3G kepada PT Cyber Accesss Communication (CAC) pada bulan Oktober 2003 dan izin penyelenggaraan setahun kemudian. Perizinan yang diberikan kepada CAC didasarkan pada hasil tender yang pada waktu itu diikuti oleh tujuh perusahaan. Pada sekitar pertengahan tahun 2004, Pemerintah melalui Menteri Perhubungan menerbitkan izin penambahan spektrum frekuensi kepada PT Natrindo Telepon Selular (NTS) yang memungkinkan NTS menyelenggarakan layanan 3G. Alasan yang dikemukakan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel) waktu itu adalah untuk membantu NTS dari kebangkrutan karena selama ini NTS sebagai operator GSM regional Jawa Timur menghadapi banyak kendala akibat perubahan kebijakan.

Sementara itu, Pemerintah juga memberikan izin penggunaan spektrum frekuensi IMT-2000[1] kepada operator telekomunikasi untuk layanan CDMA, antara lain kepada TelkomFlexi (Telkom), StarOne (Indosat), dan Wireless Indonesia (WIN). Dan pada pertengahan tahun 2005 ini, Pemerintah kembali mengeluarkan izin percobaan layanan 3G kepada Telkomsel dan XLCom.

Permasalahan muncul ketika pada kuartal pertama tahun 2005 muncul berita di media massa yang mempertanyakan kesepakatan penjualan sebagian saham NTS kepada Maxis (Malaysia) dan CAC kepada Hutchinson (Hongkong). Sofyan Mile, Ketua Komisi V DPR, sebagaimana dikutip Kompas (8 Maret 2005) mengatakan PT. CAC tidak boleh jual saham. Di pihak lain, ada sebagian pihak yang beranggapan bahwa pengalihan kepemilikan saham di kedua perusahaan pemegang izin 3G tersebut tidak menyalahi peraturan perundang – undangan yang ada. Menyusul pro-kontra pengalihan saham CAC dan NTS, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sofyan Djalil dengan surat bertanggal 18 Maret 2005 membentuk Tim Audit Perijinan 3G, untuk memeriksa fakta yang ada dalam proses perizinan 3G yang diberikan kepada dua operator tersebut.

Persoalan berlanjut hingga ke ruang sidang DPR. Dari acara Rapat Dengar Pendapat antara Komisi V DPR dengan jajaran Kominfo, media massa mengutip pernyataan Menteri dalam rapat tersebut bahwa pemerintah bermaksud menata – ulang perizinan 3G. Termasuk dalam konteks ini adalah mengkaji kembali efisiensi alokasi spektrum, prosedur penetapan perizinan, besaran Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP), dan metoda pembayaran BHP.


2. Sasaran Kebijakan
Berangkat dari permasalahan sebagaimana tersebut di atas dan sejalan dengan perlunya mengoptimalkan penggunaan spektrum frekuensi sebagai sumber daya publik, dikaitkan dengan keperluan untuk memperluas jaringan dan layanan telekomunikasi, suatu kebijakan pengaturan layanan 3G yang baik perlu diterbitkan dengan sasaran:
menciptakan prosedur perizinan layanan telekomunikasi khususnya 3G agar lebih adil, transparan dan bermartabat;
menata ulang pemanfaatan spektrum frekuensi IMT-2000;
meningkatkan pendapatan negara bukan pajak dari pemanfaatan spektrum frekuensi IMT-2000;
memfasilitasi peningkatan investasi di sektor telekomunikasi;
meningkatan teledensitas telepon selular khususnya layanan 3G; dan
mengawasi penggunaan spektrum frekuensi IM-2000 dari penggunaan non 3G.


3. Landasan Pemikiran
Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menyatakan “Cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”. Lebih lanjut dalam Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 Pasal 3 dinyatakan “Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.” Spektrum frekuensi sebagai salah satu media telekomunikasi dapat digolongkan sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Selain itu, spektrum frekuensi juga merupakan sumber daya ekonomi untuk kepentingan publik yang jumlahnya relatif terbatas. Oleh karenanya pemanfaatan spektrum frekuensi harus diatur secara efektif dan efisien, agar manfaatnya dapat dinikmati sebesar – besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Sebagai barang publik yang langka, pemanfaatan spektrum frekuensi bersifat ekslusif, artinya ketika suatu pita spektrum frekuensi telah diduduki untuk penyelenggaraan suatu layanan tertentu, maka pita spektrum frekuensi tersebut tidak dapat digunakan oleh pihak lain dalam radius pancaran yang sama sesuai dengan karakteristik yang melekat padanya. Akibatnya, jika suatu spektrum telah “diduduki” maka anggota masyarakat lainnya telah kehilangan peluang untuk menggunakannya. Atas dasar inilah pengguna spektrum frekuensi harus membayar kompensasi kepada anggota masyarakat lainnya yang telah kehilangan peluang untuk memanfaatkan spektrum frekuensi tersebut. Pengenaan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) merupakan kebijakan untuk mewujudkan konsep kompensasi di atas.

Pemerintah selama ini telah memiliki ketentuan yang mengatur besaran BHP yang harus dibayar untuk suatu pita spektrum tertentu. Selain itu, Postel selaku regulator telekomunikasi menerapkan metoda proses adminisitrasi – siapa yang lebih dahulu mendaftar diberi kesempatan pertama (first come first served) – dan metoda seleksi berdasarkan kriteria administrasi dan teknis (beauty contest). Pada dua metoda ini pemegang ijin tidak diharuskan membayar sejumlah nilai tertentu untuk dapat menguasai spektrum frekuensi, namun demikian diharuskan membayar BHP yang dilakukan setiap tahun selama perusahaan tersebut masih memegang ijin. Besarnya BHP didasarkan pada formula yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri.


3.1. Azas - azas
Pergantian kabinet yang diikuti penggabungan Postel ke dalam naungan Kominfo membawa angin perubahan. Prosedur yang selama ini berlaku dianggap kurang mencerminkan semangat yang tercermin dalam Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 Pasal 2, yang mengimplikasikan pemanfaatan pita spektrum frekuensi sebagai bagian dari penyelenggaraan telekomunikasi harus berdasarkan azas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.

Azas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Azas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil-hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.

Azas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi. Azas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.

Azas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Azas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Azas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.

Intinya, perubahan yang dikehendaki adalah bagaimana dalam menetapkan siapa yang akan diberi hak untuk memanfaatkan spektrum frekuensi 3G, menentukan berapa besar kompensasi yang harus dibayarkan oleh operator, dan kapan kewajiban membayar kompensasi tersebut harus ditunaikan, semuanya harus didasarkan pada keseluruhan azas di atas.


3.2. Konsep Ekonomi Telekomunikasi
Literatur ekonomi memberikan dua alasan utama bagi pengaturan layanan telekomunikasi (Davis, 1994), Pertama, terdapat skala ekonomi dan jangkauan produksi yang selanjutnya menjadi alasan bagi diterapkannya monopoli dalam layanan telekomunikasi. Kedua, penyelenggaraan layanan telekomunikasi mengandung dua jenis positive consumption externalities. Yang pertama disebut call externality, pemanggil memberikan manfaat kepada yang dipanggil (biaya percakapan ditanggung oleh pemanggil, sementara manfaat percakapan ditanggung oleh pemanggil). Kedua, disebut network externality, ketika pelanggan baru bergabung ke suatu jaringan, pelanggan lama akan menikmati manfaat yang lebih besar tanpa harus membayar biaya tambahan, manfaat diperoleh dari bertambahnya peluang yang lebih besar untuk berkomunikasi. Kekuatan monopoli dan network externality keduanya dapat menghasilkan kekuatan pasar bagi operator lama (incumbent). Untuk mengimbangi kekuatan incumbent yang cenderung mendistorsi pasar, struktur pasar jasa telekomunikasi perlu diubah menjadi pasar persaingan. Pada tahapan lanjut, persaingan tidak saja pada penyediaan layanan namun juga termasuk persaingan dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.

Selain menghitung besaran investasi yang harus dikeluarkan untuk pengadaan barang modal, dalam melakukan invetasi di sektor telekomunikasi, investor pada umumnya menghitung besarnya biaya transaksi (transaction cost), biaya hangus (sunk costs), hambatan masuk (entry barriers) dan tentu saja tingkat kembalian investasi (ROI). Biaya transaksi mengacu pada eksekusi pasar atau semua biaya yang dibutuhkan berkaitan dengan perolehan kontrak, baik kontrak dengan pemasok, pelanggan dan dengan pemerintah dalam bentuk perolehan perizinan. Semakin tinggi biaya transaksi, semakin menunjukkan lingkungan industri yang tidak kondusif bagi investasi.

3.3. Kepemilikan Spektrum
Ada dua pendekatan dalam hal perizinan penggunaan spekrum frekuensi. Pertama, dalam pendekatan tradisional, perizinan pemanfaatan spektrum diberlakukan sebagai “hak untuk mengoperasikan” (right to operate) atau “hak untuk menggunakan” (right to use). Kedua, dalam pendekatan baru, pemberian izin pemanfaatan spektrum frekuensi mengacu kepada pemindahan hak milik (transfer of property). Pada pendekatan pertama, terkandung pengertian regulator (sebagai institusi yang diberi legitimasi untuk mengelola sumber daya publik) menganugerahkan hak untuk menggunakan spektrum frekuensi kepada operator telekomunikasi yang dianggap memenuhi kriteria. Sebaliknya dalam pendekatan kedua, regulator menstranfer hak milik negara (property of the State) berupa spektrum frekuensi dengan cara menjualnya kepada operator telekomunikasi. Dikatakan menjual, pada dasarnya karena operator diwajibkan membayar BHP baik dilakukan selama pemegang izin menggunakan spektrum (going concern), maupun di depan (up front) segera setelah diberi izin prinsip. Spektrum frekuensi yang dianggap memiliki sifat sebagai property ini diperlakukan sama dengan property lainnya, yang apabila tidak dibutuhkan lagi dapat dijual kepada pihak lain.

Pendekatan yang lebih kini memberlakukan spektrum frekuensi sebagai sumber daya alam yang dapat dibagi ke dalam paket (parcel) dan dijual atau disewakan. Dalam pendekatan ini spektrum dianalogikan seperti sebidang tanah yang dibagi dalam kavling – kavling. Pemilik tanah dapat mengelola sendiri tanahnya, menyewakannya kepada orang lain atau menjualnya. Spektrum juga demikian, regulator dianggap sebagai pemilik yang mempunyai hak penuh untuk mengelolanya sendiri[2] menyewakannya kepada operator telekomunikasi dengan cara membayar BHP selama operator masih memakai spektrum tersebut, atau menjualnya kepada oerator dengan maksud memperoleh penghasilan di muka.


4. Lelang Spektrum
Kebijakan perizinan yang menggunakan metoda proses administrasi (first come first served) dilandasi paradigma pasar monopoli dan pengelolaan sumber daya publik sepenuhnya dilakukan oleh negara. Adapun metode seleksi berdasarkan kriteria administrasi dan teknis lebih tepat menjadi metode transisi menuju pasar sumber daya telekomunikasi yang kompetitif. Ketika pasar sudah kompetitif sebagaimana yang dikehendaki oleh semangat Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999, maka metoda yang tepat adalah lelang (auction).

Tren penggunaan lelang sebagai metoda alokasi dan pemberian ijin penggunaan spektrum diawali pada tahun 1990-an sebagai bagian dari upaya reformasi regulasi telekomunikasi secara lebih luas. New Zealand tercatat sebagai negara yang pertama kali menerapkan lelang spektrum. Kebijakan lelang dimaksudkan untuk menggantikan metoda proses administrasi, lotere, dan beauty contest. Argumen yang mendukung mengacu pada teori ekonomi, lelang menunjukkan hasil terbaik di antara semua metoda yang ada. Terbaik dalam kontek untuk mempromosikan efisiensi ekonomi, mengungkapkan kemauan (willingness) pengguna/operator untuk membayar dengan nilai yang menguntungkan bagi dirinya dan masyarakat, memaksimalkan pendapatan pemerintah yang lebih besar, menunjukkan praktek birokrasi yang transparan, memastikan tercapainya sasaran kebijakan publik, dan menghindari kembalinya praktek monopoli oleh incumbent dengan memberi peluang kepada pemain baru.

Keunggulan metoda lelang bukan tanpa prasyarat. Lelang spektrum berbeda dengan lelang pengadaan barang pemerintah. Pada yang terakhir, pemerintah telah memiliki anggaran belanja maksimum, peserta lelang yang mengajukan penawaran terendah akan memenangkan pekerjaan. Sementara itu, metoda lelang spektrum akan menguak berapa sebenarnya nilai yang layak bagi suatu pita spektrum. Agar semua manfaat lelang tercapai secara optimal, sebelum pelaksanaan lelang regulator telekomunikasi diharapkan telah memperkirakan berapa besar peserta lelang akan mengajukan penawaran, bukan seberapa besar yang diinginkan diperoleh dari lelang tersebut.

Angka penawaran tertinggi dalam lelang spektrum akan mencerminkan nilai ekonomi suatu pita spektrum, namun demikian nilai ekonomi tersebut menjadi tidak optimal bila,
(a) tidak cukup banyak peserta lelang untuk menciptakan suasana kompetisi yang sebenarnya;
(b) peserta tender tidak cukup yakin berapa angka yang tepat untuk diajukan guna mencerminkan nilai spektrum yang sesuai dengan kemampuan masing – masing;
(c) tidak ada persyaratan awal berupa kemampuan teknis, keuangan dan manajemen yang harus dipenuhi peserta lelang, sehingga siapapun dapat mengikuti lelang;
(d) jumlah lisensi yang akan dilelang tidak disesuaikan dengan spektrum frekuensi yang tersedia, dan lebar bandwidth untuk masing – masing alokasi tidak seragam;
(e) tidak ada kejelasan mengenai batasan penggunaan spektrum, apakah untuk layanan tunggal (misalnya untuk 3G saja) atau boleh untuk layanan lainnya[3] atau boleh juga untuk layanan beragam (multi services in one spektrum);
(f) tidak ada peraturan tentang jadwal pembangunan yang mewajibkan pemenang lelang harus membangun jaringan dan jangkauan layanan dalam jumlah, wilayah, dan periode tertentu;
(g) tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa pemenang lelang akan memperoleh hak interkoneksi dengan operator telekomunikasi lainnya;
(h) tidak ada penjelasan tentang cakupan perizinan, apakah mencakup nasional atau regional;
(i) tidak ada jaminan dari Pemerintah bahwa spektrum yang dilelang sudah bersih dari pengguna lain.

Dengan demikian lelang spektrum tidak sekedar upaya meraup sejumlah besar uang untuk menambah kas pemerintah. Melalui lelang spektrum akan terungkap nilai tertinggi yang menunjukkan kebersediaan perusahaan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat sebagai ganti sumber daya publik yang dikuasainya. Lelang juga memberikan konsekuensi yang harus diberikan pemerintah, yakni terpenuhinya semua azas penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diamanatkan Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999.



5. Potensi Kegagalan Lelang Spektrum
Pada awal diberlakukannya ketentuan lelang, terjadi hal – hal yang menggagalkan atau mengurangi keberhasilan kebijakan tersebut. Kerugian tidak hanya harus ditanggung pemerintah namun juga oleh masyarakat, hal yang kemudian menyulut adanya anggapan lelang tersebut menjadi tidak adil. Keadaan seperti ini pernah dialami New Zealand. Kejadian pertama, peserta yang dinyatakan sebagai pemenang ternyata membayar tidak sebesar nilai tertinggi yang diajukan dalam lelang, pada waktu itu, penawaran tertinggi sebesar NZ$100,000 tetapi karena penawar tertinggi mengundurkan diri, penawar tertinggi kedua sebesar NZ$6 dinyatakan sebagai pemenang. Kejadian kedua, peserta lelang hanya 3, penawaran tertinggi sebesar NZ$7 juta, sedangkan dua penawaran lain masing – masing sebesar NZ$5,000 dan NZ$250. Kejadian ketiga, untuk suatu lelang spektrum televisi pesertanya hanya satu orang, mengajukan penawaran sebesar NZ$1. Dia dinyatakan sebagai pemenang dan berhak memperoleh ijin penggunaan spektrum frekuensi televisi dengan biaya yang sangat murah. Kejadian keempat, konsultan yang disewa pemerintah memperkirakan perolehan dari lelang spektrum sebesar NZ$240 juta untuk layanan selular, ternyata perolehan yang didapat hanya sebesar NZ$36 juta.

Belajar dari praktek lelang spektrum di negara – negara lain, Pemerintah perlu merancang lelang spektrum sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat di satu pihak dan peserta lelang di lain pihak memperoleh manfaat yang optimal. Ada dua model teori yang lazim diacu dalam lelang spektrum, model nilai umum (common-value model) dan model nilai-privat-independen (independent-private-value model). Jika ketidak – pastian tentang teknologi yang akan digunakan masih tinggi dan permintaan terhadap layanan menggunakan teknologi tersebut pada pita spektrum yang dilelang masih rendah, serta ada tidaknya pasar sekunder (ijin dapat dijual kepada operator lain), pendekatan perhitungan nilai ekonomi spektrum pada umumnya menggunakan model yang pertama. Sebaliknya, jika masing – masing peserta lelang sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai jasa yang akan dijalankan pada spektrum yang akan dilelang, memiliki kemampuan sumber daya yang berbeda dalam mengelola spektrum yang diinginkannya, kencenderungan peserta lelang menggunakan model kedua lebih besar.




6. Metoda Perkiraan Nilai Ekonomi
Berkaitan dengan rencana penyelenggaraan lelang spektrum bagi calon operator layanan 3G yang belum memiliki ijin, ada baiknya Pemerintah memperhatikan metoda asesment yang lazim digunakan untuk menentukan nilai spektrum frekuensi dari kaca mata operator telekomunikasi (investor). Hal ini sesuai dengan model kedua di atas, dan untuk mengimbangi kencederungan penggunaan model pertama yang sering digunakan kalangan regulator telekomunikasi.

Literatur kebijakan ekonomi telekomunikasi menunjukkan setidaknya ada empat model pendekatan untuk menaksir nilai ekonomi suatu spektrum yang dikaitkan dengan perolehannya secara lelang. Keempat model tersebut adalah: nilai kini BHP-selamanya (present value of frequency usage charge – going concern), acuan internasional (international benchmark), pertimbangan makro (macro concern), dan pertimbangan belanja modal maksimum (maximum capex-concern).

6.1. Nilai Kini BHP-Selamanya
Metoda pertama disebut Nilai Kini BHP-Selamanya (present value of frequency usage charge – going concern), yakni menghitung nilai sekarang (present value) dari penerimaan BHP untuk jangka waktu selama perusahaan beroperasi. Sebagai contoh, suatu operator 3G yang memperoleh 10MHz, untuk melayani cakupan nasional perlu mengoperasikan 500 BTS[4] dengan rata – rata 2 carrier dan 500[5] stasiun radio transmisi gelombang mikro berkewajiban membayar total BHP setiap tahunnya – misalnya – Rp. 26 Milyar[6]. Jika ijin operasi berlaku – misalnya – selama 20[7] tahun, maka total BHP yang harus dibayarkan selama periode tersebut adalah sebesar Rp. 520 Milyar. Dengan asumsi tingkat bunga sebesar 12%[8], maka nilai-kini-BHP adalah sebesar Rp. 248.12 Milyar. Dengan kurs US$ 1 = RP. 9,900, maka perkiraan nilai ekonomi spektrum 3G per MHz kurang lebih sebesar US$ 2.5 juta.



6.2. Acuan Internasional
Metoda kedua dinamai Acuan Internasional (international benchmark) karena mengacu pada angka perolehan yang didapat negara – negara yang sudah melakukan lelang. Dari 5 negara Eropa[9] (Austria, Belgia, Denmark, Jerman dan Yunani) yang telah mengadakan lelang pada tahun 2001 nilai perolehan tertinggi didapat Austria (832 juta Euro) dan terendah Jerman (50 juta Euro). Rata – rata perolehan lelang dari lima negara tersebut sebesar 260 juta Euro dengan masa berlaku perijinan selama 20 tahun. Sehingga biaya lisensi pertahun untuk pita selebar 10 MHz adalah 13 juta Euro atau setara dengan US$ 15.756 juta, artinya rata – rata nilai ekonomi yang didapat dari lelang spektrum 3G per MHz di lima negara Eropa tersebut sebesar US$ 1.58 juta saja.


6.3. Pertimbangan Makro
Metoda ketiga dinamai Pertimbangan Makro (macro concern). Model ini mengaitkan hubungan antara gross domestic product (GDP), pendapatan per kapita, Average Revenue per User (ARPU), dan BHP. Sementara statistik menunjukkan tren peningkatan GDP per kapita, di sisi lain ARPU per GDP per kapita justru menunjukkan angka yang semakin menurun. Artinya, di tengah peningkatan jumlah pelanggan selular, ternyata operator harus dihadapkan pada penurunan laju pendapatan. Padahal, BHP diberlakukan sebagai komponen biaya tetap (fixed cost) yang besarannya berkisar antara 3.5% hingga 5% dari ARPU, dan harus tetap dibayar walaupun ARPU-nya makin menurun. Dengan proyeksi pertumbuhan pelanggan selular dari 45 juta di tahun 2005 dan mencapai 130 juta di tahun 2015 dan estimasi jumlah pelanggan 3G sebesar 1% hingga 25% dari total pelanggan selular selama 10 tahun mendatang, serta estimasi tingkat diskonto sebesar 15% per tahun, Net Present Values (NPV) BHP frekuensi untuk pita selebar 60 MHz (sesuai alokasi ITU untuk pita IMT-2000) diperoleh sebesar US$ 162 juta[10]. Artinya nilai ekonomi spektrum frekuensi 3G yang wajar adalah sebesar US$ 2.7 juta per MHz[11].


6.4. Pertimbangan Capex
Metoda keempat dinamai model pertimbangan belanja modal maksimum (maximum capex-concern). Dibanding tiga model lainnya, model ini paling mendekati realita yang dirasakan oleh investor. Apabila pembayaran BHP ditetapkan dengan metoda bayar di muka (upfront fee) kebijakan ini akan berdampak pada arus kas (cash flow) perusahaan. Di dalam menentukan nilai ekonomi spektrum, peserta lelang akan memberlakukan BHP yang harus dibayar di depan sebagai bagian dari belanja modal (capital expenditure – capex). Komponen lain dari belanja modal adalah pengadaan gedung kantor, penyediaan sarana pendukung operasional, penyediaan jaringan dan sistem informasi. Dengan masuknya BHP sebagai komponen belanja modal, maka besaran persentasi komponen lainnya harus dikurangi. Dengan total besaran investasi yang telah ditetapkan, semakin besar BHP yang harus dibayar di depan, semakin mengurangi kemampuan perusahaan untuk menyediakan belanja modal lainnya.

Persoalannya, yang sering dikorbankan justru investasi untuk penambahan jaringan. Padahal ketersediaan jaringan akan memberi efek pengungkit (leverage) bagi perolehan pendapatan. Perusahaan dihadapkan pada dilema, mengajukan penawaran setinggi – tingginya berarti mengurangi kemampuannya untuk membangun, sementara mengajukan nilai yang rendah mengurangi peluang untuk memenangkan lelang.

Hukum pareto 20-80 sering digunakan dalam mengatasi dilema semacam ini. Artinya maksimum yang boleh dibelanjakan untuk membayar belanja modal yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan hanya sebesar 20% dari total rencana investasi di tahun pertama. Dengan asumsi kebutuhan investasi tahun pertama untuk memenuhi komitmen perijinan modern sebesar US$100 juta, maka maksimum besarnya BHP yang layak adalah sebesar US$ 20 juta.

Kelemahan model ini adalah hanya menitik – beratkan pada ketersediaan dana investasi yang dimiliki perusahaan peserta lelang, yang bervariasi satu dan lainnya. Selain itu model ini juga tidak memperhitungkan berapa besar spektrum yang akan dialokasikan untuk setiap operator. Oleh karena itu nilai ekonomi yang diperkirakan dari model ini bervariasi. Jika operator mendapat bandwidth 10MHz, maka nilai ekonomi spektrum 3G hanya sebesar US$2 juta per MHz atau US$ 4 juta per MHz untuk yang hanya menguasai 5MHz.


6.5. Estimasi Pendapatan
Dengan menggunakan besaran parameter berdasarkan asumsi yang mendekati nilai sebenarnya, simulasi keempat model di atas menghasilkan rentang nilai ekonomi spektrum frekuensi 3G dari US$ 1.58 - US$ 2.7 juta per MHz-nya. Nilai inilah yang mencerminkan harga spektrum frekuensi 3G dan dapat dianggap sebagai kesediaan membayar (willingness to pay) dari peserta lelang 3G di Indonesia. Menggunakan penetapan alokasi IMT-2000 spektrum 3G sebesar 60MHz, maka minimum penghasilan Pemerintah yang diperoleh dari penataan kembali spektrum frekuensi 3G berkisar antara US$ 94.8 hingga US$ 162 juta.


7. Klasifikasi Operator 3G
Pendapatan Pemerintah dari penataan ulang spektrum frekuensi 3G sebesar antara US$ 94.8 hingga US$ 162 juta dikatakan minimum karena masih ada peluang untuk meningkatkan potensi pendapatan hingga sebesar – besarnya. Caranya adalah dengan membagi operator 3G ke dalam 3 golongan, yakni operator 3G baru, operator 3G berijin namun belum beroperasi penuh, dan operator layanan non-3G yang beroperasi menggunakan spektrum frekuensi IMT-2000. Penggolongan ini penting, karena masing – masing memiliki perbedaan, selain itu juga merupakan upaya semua pihak untuk taat pada semua azas sebagaimana termaktub dalam pasal 2 Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999.

7.1. Operator 3G Baru
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang terhitung pada tanggal ditetapkannya peraturan penataan ulang 3G belum memiliki Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Selular Generasi 3 (3G). Suatu operator telekomunikasi meskipun telah lama beroperasi dengan izin layanan telepon tetap atau telepon bergerak selular generasi 2 (GSM), tetap digolongkan sebagai operator baru 3G, jika pada saat kebijakan penataan ulang 3G diterbitkan yang bersangkutan belum memiliki izin penyelenggaraan dimaksud. Dalam hal ini, Telkomsel dan Exelcomindo yang baru memiliki izin percobaan 3G tetap dimasukkan dalam kelompok oerator 3G baru.

7.2. Operator 3G Berijin Namun Belum Beroperasi Penuh
Yang termasuk kelompok ini adalah perusahaan yang telah memperoleh Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Selular Generasi 3 (3G) namun karena sesuatu dan lain hal sebagai alasan yang dapat diterima oleh regulator, belum beroperasi secara penuh. Batasan beroperasi secara penuh antara lain, telah memenuhi komitmen pembangunan jaringan dan layanan sesuai tahapan yang tercantum dalam Perizinan Modern serta telah memasuki tahap komersial. NTS dan CAC termasuk dalam kelompok ini.

7.3. Operator non-3G yang beroperasi pada spektrum frekuensi IMT-2000
Yang termasuk kelompok ini adalah operator telekomunikasi bergerak selular non 3G, namun memperoleh alokasi untuk beroperasi menggunakan spektrum frekuensi IMT-2000. Telkomflexi, StarOne dan WIN tergolong dalam kelompok ini.


8. Metoda Penetapan
Selain membuat klasifikasi operator 3G upaya optimalisasi pendapatan negara bukan pajak dari penataan ulang spektrum frekuensi 3G, haru sdikaitkan pula dengan metoda penetapannya. Metoda penetapan adalah cara yang digunakan untuk menentukan besaran nilai ekonomi (harga) spektrum berdasarkan klasifikasi operator 3G sebagaimana diuraikan di atas. Setidaknya ada tiga model penetapan yang masing – masing lebih cocok untuk satu klasifikasi operator 3G saja.

8.1. Lelang
Penetapan perzinan dengan metoda lelang ini lebih tepat diterapkan hanya bagi operator baru, hal ini mengingat pertimbangan perlunya jaminan kepastian hukum bagi operator 3G maupun non 3G yang sudah memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi pada pita IMT-2000. Selain itu, dengan lelang, Pemerintah dapat menetapkan estimasi nilai ekonomi spektrum di atas sebagai nilai penawaran awal.

Persoalan yang perlu diwaspadai adalah apabila ternyata investor yang mengikuti lelang hanya satu atau dua perusahaan saja, sementara spektrum yang ditawarkan cukup untuk lebih dari dua operator. Dalam hal seperti ini, metoda lelang dapat menemui kegagalan dalam mencapai target perolehan.

8.2. Harga Dasar Plus Premium
Penetapan perizinan menggunakan metoda harga dasar plus premium lebih tepat diterapkan bagi Operator 3G Berizin Namun Belum Beroperasi Penuh, atau pada kondisi di mana metoda lelang tidak dapat dijalankan dengan sempurna. Pertimbangan metoda ini khususnya bagi operator 3G yang berizin namun belum beroperasi penuh adalah azas keadilan, azas kepastian hukum, dan azas manfaat. Menjadi tidak adil bagi masyarakat apabila operator yang telah diberi izin tetapi tidak memanfaatkan izin yang dimilikinya secara optimal. Demikian pula tidak adil bagi operator tersebut apabila diharuskan mengikuti kembali proses perizinan seperti yangtelah dilakukan sebelumnya. Perizinan yang sudah dimiliki harus dihormati untuk menjunjung azas kepastian hukum. Namun demikian mengacu pada azas keadilan dan manfaat, operator tersebut perlu memberi kompensasi atas spektrum yang sudah diterimanya.

Perkiraan nilai ekonomi spektrum di atas dapat digunakan sebagai acuan (harga dasar) dalam negosiasi antara Pemerintah dengan operator. Dalam negosiasi, perlu diperoleh kesediaan operator untuk memberikan premium (nilai tambahan) terhadap harga dasar yang telah ditetapkan.


8.3. Harga dasar plus premium plus kompensasi nilai
Bagi operator non-3G yang beroperasi pada spektrum frekuensi IMT-2000 metoda penetapan perizinan yang tepat adalah harga dasar plus premium plus kompensasi nilai. Artinya, selain proses yang dijalani sebagaimana butir 8.2 di atas, Pemerintah dapat pula meminta kompensasi tambahan apabila operator tersebut masih tetap akan menggunakan spektrum IPT-2000 untuk layanan non-3G. Alasan dari permintaan kompensasi tambahan ini adalah karena penggunaan yang tidak semestinya mengakibatkan berkurangnya manfaat agregat (ekonomi dan sosial) bagi masyarakat.


9. Metoda Pembayaran
Selain memperhatikan kepentingan untuk mengumpulkan pendapatan bagi kas negara, Pemerintah perlu pula memperhatikan kekuatan keuangan operator dan atau calon operator. Hal ini penting karena menyangkut kelangsungan hidup perusahaan, pemberian peluang bagi masuknya pemain baru, maupun akomodasi prioritas investasi.

9.1. Pembayaran Di Muka
Pembayaran BHP di muka (upfront fee) diperkirakan tidak menjadi masalah besar bagi operator lama yang telah memiliki banyak cadangan investasi. Selain itu, operator lama (existing operators) yang termasuk operator 3G baru pada umumnya telah memiliki jaringan telekomunikasi dalam jumlah besar, sehingga ketika memperoleh izin 3G tidak harus membangun dari nol. Fasilitas yang ada dapat dimanfaatkan juga untuk layanan 3G.


9.2. Pembayaran Dengan Jangka Waktu
Bagi operator pemegang izin 3G yang masih memerlukan investasi awal untuk membangun jaringan dan layanan, ada baiknya diberi kesempatan untuk memenuhi kewajiban pembayaran BHP dengan jangka waktu. Penetapan jangka waktu ini pun harus pula mempertimbangkan kepentingan Pemerintah. Maksimum jangka waktu yang diberikan (grace period) paling lama satu tahun, dan kepada operator dikenakan bunga untuk kompensasi nilai waktu. Apabila ternyata setelah jangka waktu satu tahun perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya, demi keadilan dan kepastian hukum, izin yangtelah diberikan dapat dicabut.


10. Simpulan
Guna mencapai sasaran kebijakan yang sejalan dengan upaya penataan ulang spektrum frekuensi 3G ada berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan aspek ekonomi yang perlu diperhatikan. Penentuan nilai ekonomi spektrum merupakan salah satunya. Mengingat belum adanya formula baku, dalam upaya meningkatkan manfaat spektrum Pemerintah perlu meninjau berbagai metoda penaksiran yang lazim digunakan. Angka yang diperoleh dalam paper ini menggunakan asumsi yang dapat saja berbeda dari satu pihak ke pihak lainnya, meskipun demikian metodanya merupakan metoda yang lazim digunakan dalam perhitungan bisnis dan investasi.

[1] Spektrum IMT–2000 adalah pita frekuensi antara 1920 – 1980 KHZ yang ditetapkan ITU untuk layanan 3G
[2] Ketentuan mengenai telekomunikasi khusus yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan pemerintah mengacu pada konsep ini. Instansi pemerintah penyelenggara telekomunikasi khusus dianggap sebagai bagian dari pemilik sumber daya telekomunikasi, dan oleh karenanya dibebaskan dari ketentuan membayar BHP frekuensi dan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi.
[3] Seperti sekarang ini, Telkom, Indosat dan PT. WINmasing – masing menggunakan spektrum IMT-2000 untuk layanan berbasis teknologi CDMA (TelkomFlexi, StarOne, dan WIN).
[4] Asumsi 500 BTS didasarkan pada perkiraan cakupan maksimum layanan 3G yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Diperkirakan permintaan layanan 3G hanya akan terpusat di kota – kota besar saja, sehingga jumlah BTS yang harus dibangun pun tidak perlu sebesar layanan selular 2G.
[5] Selain BTS, dalam menghitung kewajiban pembayaran BHP juga perlu dimasukkan radio gelombang mikro yang digunakan untuk transmisi terestrial, baik untuk jaringan backbone maupun akses antar BTS.
[6] Karena formula BHP untuk 3G belum dibakukan, angka ini dihasilkan dari penghitungan BHP menggunakan formula layanan selular CDMA yang tergolong layanan 2.5G. Acuannya, 500 BTS dan 500 stasiun radio gelombang mikro, dipasang di zona 1 dan 2 sesuai dengan target layanan 3G.
[7] Mengacu pada praktek yang sudah berlaku di Eropa, lisensi 3G yang diperoleh dari lelang berlaku untuk waktu selama 20 tahun.
[8] Tingkat bunga yang dipakai adalah tingkat bunga kredit yang berlaku pada saat paper ini dipersiapkan.
[9] Lihat lampiran 1, yang berisi data mengenai pemberian lisensi 3G di sejumlah negara Eropa, data ini diperoleh dari Koran Bisnis Indonesia, Senin 20 Juni 2005.
[10] Lihat Lampiran 2, Penjelasan rinci perhitungan menggunakan model Pertimbangan Makro.
[11] Diperoleh dari US$ 162 juta dibagi 60 MHz.