Wednesday, December 07, 2005

Regulasi WIMAX, Perlukah?

Salah satu realita yang harus dihadapi Indonesia dalam mengadopsi WiMax adalah persoalan alokasi frekuensi dan penetapan siapa yang layak menjadi operatornya. Artikel kali ini akan menyoal bagaimana sebaiknya Pemerintah dalam mengatur penggunaan WIMAX menyusul desakan sejumlah kalangan agar segera diterbitkan kebijakan tentang penggunaan WIMAX. Pertanyaannya, perlukah Regulator Telekomunikasi secara khusus mengatur penggunaan WIMAX?

Persoalan pertama, yang harus mendapat perhatian adalah perlu adanya regulasi yang mengatur tentang batasan wilayah (zoning) dan perencanaan alokasi frekuensi. Jika kelak WIMAX mulai digunakan secara massal, perubahan menyolok yang akan tampak adalah munculnya antenna piringan (dish antenna) di atap atau di sisi gedung perkantoran, di atap rumah tinggal atau di mana saja yang memungkinkan diperolehnya sinyal terbaik untuk menangkap dan mengirim gelombang elektromagnet pada frekuensi kerjanya. Penggunaan piringan antenna dalam ukuran mini sudah lazim di Indonesia, khususnya sejak diizinkannya layanan siaran langsung melalui satelit (Direct Broadcasting Services / DBS). Tidak banyak menimbulkan masalah karena antenna piringan tersebut digunakan hanya untuk menerima sinyal dari satelit. Antenna WIMAX sebaliknya, selain untuk menerima juga untuk mengirim sinyal, persis seperti antenna untuk layanan Very Small Apperture Terminal (VSAT). Persoalan yang diperkirakan akan muncul adalah interferensi antar pesawat WIMAX yang phisiknya terpasang berdekatan, atau pola sinyalnya (signal pattern) bersimpangan (cross interference). Belajar dari dampak pengaturan pita frekuensi 2.4 GHz yang dialokasikan untuk akses Internet tanpa harus memperoleh ijin khusus, jika kelak penyelenggaraan WIMAX ditetapkan dengan izin, namun tidak disertai dengan kebijakan batasan wilayah diramalkan kekacauan sebagaimana terjadi pada pita frekuensi 2.4 GHz akan dialami oleh pengguna WIMAX.

Persoalan kedua, berkenaan dengan standar. Guna memperoleh efisiensi global dalam pemanfaatan WIMAX dibuatlah standar yang menetapkan berbagai hal sebagai acuan, seperti protokol komunikasi, pola sinyal, frekuensi kerja, lebar pita (bandwidth), format data, modulasi, dan lain sebagainya. Standar ini sedang dibangun oleh sebuah kelompok kerja internasional yang menyebut dirinya sebagai WIMAX Forum. Konon ada beberapa perusahaan Indonesia yang ikut menjadi anggota forum ini, namun dari pengamatan keanggotaan mereka pada umumnya bersifat pasif, lebih banyak sebagai pendengar dari pada proaktif mengusulkan ini-itu yang kelak menguntungkan Indonesia. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), menurut informasi yang penulis terima, tidak atau belum menjadi anggota WIMAX Forum.

Tidak atau belum menjadi anggota, atau sudah menjadi anggota namun pasif saja sebetulnya tidaklah menjadi persoalan benar bagi Republik ini. Yang menjadi persoalan adalah bila BRTI, karena desakan vendor dan calon operator WIMAX, tergesa – gesa menetapkan kebijakan penggunaan WIMAX sementara standar internasional belum terbit. Ada resiko, bila ternyata kebijakan tadi tidak sejalan dengan standar internasional maka masyarakat Indonesia, khususnya calon pengguna WIMAX harus menanggung biaya tinggi, karena mereka harus membeli perangkat WIMAX dengan spesifikasi khusus sesuai standar nasional yang telah ditetapkan oleh BRTI. Sialnya, vendor akan menawarkan harga yang lebih tinggi untuk dapat menyediakan perangkat dengan spesifikasi khusus. Sebagai perbandingan, Korea dan Jepang tidak perlu menunggu terbitnya standar internasional untuk mulai memanfaatkan WIMAX. Korea bahkan membuat standar sendiri yang disebutnya WiBro, dan Jepang menetapkan pita frekuensi 4.9 GHz sebagai frekuensi kerja WIMAX di negara tersebut. Kedua negara ini tidak memperoleh masalah karena mereka mampu membangun perangkat sendiri, sementara pasar wireless broadband mereka tergolong sudah besar. Indonesia? Kita semua tahu, Indonesia bukan negara pembuat teknologi WIMAX.

Yang menjadi pertayaan, haruskah kita menunggu hingga standar 802.16d (fixed) dan 802.16e (mobile) terbit? Jika jawabnya YA, tentu vendor dan calon operator WIMAX akan bersungut – sungut karena mereka harus menanti setidaknya dua tahun lagi untuk layanan fixed dan lima tahun lagi untuk layanan mobile. Padahal, peluang bisnis yang menguntungkan sudah harus mereka wujudkan kalau perlu sejak awal tahun 2005 ini. Apa yang dapat dikerjakan BRTI agar kepentingan vendor dan calon operator terakomodasikan? Jawabnya sederhana, kembali saja kepada prinsip kebijakan netral teknologi (neutral technology policy).

Kebijakan netral teknologi mengacu pada prinsip pengaturan sumber daya ekonomi secara netral tanpa mengindahkan betapapun canggihnya suatu teknologi tertentu telah tersedia dan dimiliki oleh kalangan tertentu untuk memanfaatkan (utilize) sumber daya ekonomi tersebut. Dalam prinsip ini kebijakan harus mengacu pada azas perlakuan yang sama, keadilan, dan manfaat. Dengan demikian yang menjadi pokok pengaturan adalah aspek generik yang melandasai semua teknologi terapan di atasnya. Aspek generik tadi dapat juga berupa teknologi, namun sudah dipakai sebagai basis bersama oleh berbagai produk teknologi. Dalam hubungan ini WIMAX berdiri di atas teknologi nirkabel, sama seperti GSM, CDMA dan 3G. Teknologi nirkabel menjadi generik, dan oleh karena itu sebaiknya BRTI memfokuskan pada pengaturan nirkabel saja beserta dampak ikutannya seperti alokasi dan penetapan penggunaan frekuensi. Kecenderungan yang terlihat akhir – akhir ini, BRTI dalam membuat kebijakannya menjadi tidak netral. Hal ini terlihat dari sibuknya membebaskan pita IMT-2000 yang akan dialokasikan untuk layanan berbasis WCDMA atau 3G.
Kembali ke persoalan standar, mengacu pada tren teknologi wireless yang siklus hidupnya makin cepat, penetapan pita frekuensi untuk teknologi tertentu memiliki resiko kadaluwarsa (obsolescence) yang makin cepat pula. Kebijakan yang tepat adalah unified licensing, yakni memberikan izin penggunaan suatu pita frekuensi kepada operator jaringan telekomunikasi untuk digunakan layanan apa saja, tanpa melihat teknologi yang akan digunakan, sepanjang tidak menimbulkan gangguan terhadap operator lain. Jika kebijakan unified licensing ini dipercepat, kelihatannya vendor dan calon operator WIMAX tidak perlu harus menunggu lama sampai mereka benar – benar membuktikan apakah layanan WIMAX ini menguntungkan atau sekedar janji tanpa bukti.*****

Siapa Perlu Peduli Ancaman Cybercrime?

Kelompok Kerja e-Security, suatu unit aktivitas di dalam wadah Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pacific (APEC) kembali menggelar Konferensi Cybercrime dengan mengambil thema “Membangun Kapasitas Penegak Hukum dan Legislasi Untuk Memerangi Cybercrime”. Setelah dua kali peristiwa serupa diselenggarakan di Bangkok (2003) dan Hanoi (2004), konferensi kali ini mengambil tempat di Seoul, Korea. Agenda utama konferensi membahas persoalan yang dihadapi dalam proses legislasi dan peningkatan kapasitas penegak hukum di bidang cyber. Indonesia diwakili oleh lima orang peserta, masing – masing dua orang dari Bank Indonesia, satu orang dari Departemen Kominfo (Staf Ahli Menteri), satu orang dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan penulis mewakili sektor swasta.

Kejahatan yang dilakukan melalui atau terjadi di lingkungan Internet (Cybercrime) sudah lama menjadi perhatian serius berbagai kalangan di seluruh dunia. Pada masa Internet baru diperkenalkan untuk dipakai kalangan sipil, frekuensi kejahatan masih sedikit begitupun modusnya masih sederhana, sehingga dampak negatif yang dihasilkan masih belum dianggap sebagai ancaman serius bagi masyarakat dunia. Seiring perkembangan Internet yang semakin canggih dan mengglobal, demikian pula insiden cybercrime mengalami perkembangan yang sangat pesat. Angka kerugian melewati setengah milyar US$, demikian pula sebaran korbannyapun makin meluas, di wilayah Asia Pasifik dan Eropa, dilaporkan tidak ada negara yang belum pernah menjadi korban cybercrime.

Dilihat dari jenis serangan, selain cara konvensional yang masih dilakukan seperti pembuatan dan pengiriman virus, akses ilegal dengan memalsukan identitas, perusakan situs Internet (hacking dan cracking), pengiriman spam, dan lain sebagainya belakangan ini muncul modus kejahatan baru yang diberi nama Phishing dan Botnet. Dilaporkan, phishing telah merugikan banyak lembaga bisnis seperti bank, penerbit kartu kredit, dan penyelenggara e-commerce seperti e-Bay dan PayPal. Cara kerja phishing adalah dengan mengirim email palsu atau spam yang seolah dikirim oleh insitusi bisnis terkenal dengan maksud merayu atau menawarkan layanan tertentu, agar penerima email memberikan username, password, account-ID yang ada pada kartu kredit atau ATM yang dimilikinya. Penerima email tidak menyadari bahwa mereka telah digiring masuk ke suatu situs palsu yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data nasabah atau pemegang kartu kredit, kartu ATM, dan lainnya. Data tersebut kemudian digunakan oleh pelaku kejahatan untuk membuat transaksi, mengambil/transfer uang atau membeli sesuatu dari situs yang sah.

Botnet belakangan menjadi perhatian karena penyerang dapat mengendalikan personal komputer secara jarak jauh tanpa disadari oleh pemiliknya untuk menyerang komputer lain, mengirim spam, menghentikan layanan (DDOS), mengintai aktivitas seseorang, menyebarkan virus, mencuri informasi sensitif (key-logging), dan lain sebagainya. Dalam kata lain, suatu komputer yang telah dijadikan botnet seolah menjadi “budak” atau perantara (messenger) yang dapat melakukan apa saja tanpa diketahui pemiliknya.

Munculnya berbagai jenis kejahatan cyber di atas, dan makin menyebarnya penggunaan Internet untuk mendukung aktivitas bisnis dan pemerintahan mendorong perlunya peningkatan upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan cyber. Peningkatan upaya pencegahan dilakukan dengan sosialisasi pemanfaatan komputer secara lebih aman, bagi diri sendiri maupun orang lain. Aktivitas edukasi masyarakat ini sebaiknya dilakukan di sekolah – sekolah, perguruan tinggi, lembaga kursus yang menggunakan komputer, instansi pemerinta dan swasta, sarana akses informasi publik, maupun melalui berbagai kegiatan sosial masyarakat lainnya yang berkaitan dengan akses dan penyebaran informasi melalui Internet.

Berkaitan dengan sosialisasi pemanfaatan komputer secara lebih aman, hal penting kedua yang perlu menjadi perhatian bagi semua pihak adalah bahwa ancaman cyber crime yang berujung pada kerugian moril dan material dan dapat menimpa siapa saja. Jika dilihat dari statistik pemilik dan pengguna komputer dan Internet di Indonesia memang angkanya masih relatif kecil dibandingkan populasi penduduk, namun demikian potensi kerugian yang ditimbulkannya tidak berbanding lurus dengan jumlah pengguna, atau dengan kata lain potensi kerugian tidak dapat diperkirakan nilainya maupun jumlah korbannya. Sebagai contoh, kerugian yang menimpa lembaga sebuah lembaga perbankan di suatu anggota APEC akibat phising dilaporkan hampir membuat bank tersebut harus menutup layanannya karena selain bank tersebut merugi, juga haruis menanggung tuntutan dari nasabah yang dirugikan karena sistem keamanannya lemah.

Industri perbankan merupakan salah satu sasaran kejahatan cybercrime yang memiliki potensi kerugian besar sekali, apalagi dengan mulai berlakunya layanan perbankan secara electronik dalam bentuk e-banking dan electronic fund transfer. Sektor lembaga keuangan lain yang rentan terhadap serangan cybercrime termasuk jasa asuransi, pembiayaan (leasing), bursa saham, bursa komoditi, dan perdagangan valas. Namun sayangnya perhatian dan dukungan dari kalangan industri perbankan maupun lembaga keuangan lainnya terhadap penanggulangan masalah cybercrime di Indonesia masih tergolong minimal. Masih rendahnya kepedulian terhadap ancaman cybercrime di Indonesia juga ditunjukkan oleh pelaku ekonomi di sektor – sektor lain, seperti perdagangan, perhubungan, dan lembaga penyedia layanan publik. Sebagai mana diketahui, perkembangan penggunaan komputer khususnya Internet di kalangan perusahaan swasta sebagai sarana operasional dan manajerial sudah cukup maju. Ada kecenderungan, semakin maju (advance) dalam memanfaatkan komputer dan Internet , kinerja perusahaan akan semakin tergantung kepada komputer dan Internet yang dikelolanya dalam suatu sistem informasi. Persoalannya, jika sistem informasi berbasis komputer/Internet tersebut mengalami gangguan akibat kejahatan, dapat dipastikan perusahaan akan mengalami goncangan yang luar biasa besarnya. Banyak eksekutif petinggi perusahaan yang belum menyadari hal ini, mereka masih beranggapan bahwa keberadaan komputer dan sistem informasi masih belum menjadi bagian integral dari strategi bisnis, sehingga akibatnya mereka merasa tidak perlu peduli terhadap ancaman kejahatan cyber yang sewaktu – waktu dapat menyerang.

Keengganan mendukung upaya perang terhadap kejahatan cyber dengan memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dan membentuk undang – undang anti kejahatan cyber juga ditunjukkan oleh birokrat dan para politisi di Parlemen. Indikasi keengganan Parlemen ini setidaknya terlihat dari komentar beberapa anggota Dewan tentang masih belum perlunya Indonesia memiliki cyberlaw karena pengguna komputer masih sedikit, didominasi orang kaya, dan terpusat di perkotaan. Ada juga anggota Dewan yang masih mempertanyakan perusahaan atau pihak mana yang menjadi sponsor dan berkepentingan terhadap dibentuknya cyberlaw. Kondisi di kalangan birokrasi tidak jauh berbeda dengan Parlemen, persoalan ancaman cyber dilihat sebagai persoalan sektoral, urusan Kementrian Kominfo (sekarang menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika). Padahal, perlu diketahui bahwa seluruh instansi pemerintah dari pusat sampai daerah yang menggunakan komputer memiliki potensi menjadi korban kejahatan cyber.

Uraian di atas berusaha menjelaskan, siapa saja - tanpa kecuali - yang menggunakan komputer baik untuk dipakai secara stand alone, terhubung ke suatu jaringan lokal, atau terhubung ke jaringan global (Internet) memiliki peluang untuk menjadi korban kejahatan cyber. Berbeda dengan kejahatan konvensional yang dampaknya relatif mudah dilokalisasi, maksimum nilai kerugiannya sebesar nilai yang melekat pada sasaran kejahatan, pada kejahatan cyber pelaku dan korban tidak harus berada pada dimensi ruang dan waktu yang sama, sehingga lebih sulit untuk dilokalisir pelakunya, dan nilai kerugian yang ditimbulkannya tidak terbatas pada nilai material yang melekat pada sasaran, artinya nilai kerugian seringkali jauh lebih besar dan bahkan sering tak ternilai harganya. Sebagai contoh, suatu kejahatan cyber menyerang sistem komputer milik suatu bank, yang menjadi sasaran langsung (diserang melalui Internet) adalah satu unit komputer yang berfungsi sebagai data base server dengan nilai fisik – misalnya – Rp. 100 juta, di dalam server ini tersimpan data base nasabah, transaksi perbankan dan data penting lainnya yang nilainya tak terhingga besarnya, data base server ini terhubung ke sejumlah workstation dan server aplikasi yang di dalamnya terdapat aplikasi perbankan dengan total nilai – misalnya – Rp. 50 milyar rupiah. Kejahatan cyber tidak perlu merusak fisik seluruh workstation dan kedua server tersebut, namun kerugian yang menimpa bank tersebut bisa mencapai sedikitnya Rp. 50 milyar karena perusakan aplikasi piranti lunak, atau maksimum tak terhingga besarnya karena perusakan record di dalam database.
Pertanyaannya, selain pemahaman terhadap bahaya cybercrime oleh seluruh elemen masyarakat, hal mendesak apa yang perlu dikerjakan dalam upaya memerang kejahatan cyber? Dan siapa pula yang harus melaksanakannya? Jawabannya hanya dua. Pertama, Indonesia harus segera memiliki undang – undang yang mengatur tentang pemanfaatan teknologi informasi (cyberlaw), termasuk dalam kelompok ini adalah undang – undang tindak pidana teknologi informasi (cyber crime law), Dan kedua, Pemerintah Republik Indonesia harus segera memberi perhatian besar kepada upaya peningkatan kapasitas penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk memerangi kejahatan cyber.*****

Strategi Inovasi Mengantisipasi Prospek Bisnis Telekomunikasi Tahun 2006

Pengantar
Industri jasa telekomunikasi terus mengalami evolusi. Banyak perubahan besar diawali oleh berbagai hal seperti: munculnya teknologi baru, pergantian regim politik, dinamika sosial masyarakat, desakan perluasan atau perubahan preferensi pasar. Dinamika lingkungan eksternal dan internal yang dialami entitas bisnis telekomunikasi pada akhirnya menuntut manajemen dan seluruh personalia untuk mengelola perusahaan secara benar (good governance). Namun, seiring era transformasi pasar monopoli menjadi pasar kompetitif yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1999, upaya good governance-pun belum cukup untuk memastikan bahwa perusahaan akan selalu tumbuh dan mencapai sasaran yang diinginkan. Diperlukan strategi perusahaan yang mampu membangkitkan kreatifitas dan inovasi di kalangan internal perusahaan.

Munculnya teknologi selular mengubah kemapanan yang telah lama dinikmati oleh Public Switch Telephone Network (PSTN). Jika semula majoritas layanan telekomunikasi hanya untuk suara saja, teknologi selular menawarkan berbagai layanan baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Bila pada PSTN kreativitas dan inovasi layanan telekomunikasi dibatasi oleh kemampuan teknologi, konvergensi komputer dan teknologi selular memungkinkan berbagai layanan baru, hambatannya hanyalah kemampuan manusia pengelolanya untuk berkreasi dan inovasi mengubah proses atau membuat produk layanan baru.

Di sisi lain, persaingan jasa telekomunikasi sudah semakin tajam, jumlah operator telekomunikasi bertambah banyak, sementara laju pertumbuhan pelanggan baru khususnya di daerah perkotaan sudah mulai menunjukkan grafik mendatar. Melambatnya laju pertumbuhan pelanggan baru tidak saja disebabkan karena segmen utama sasaran pasar sudah terpenuhi, tetapi juga diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti: adanya regulasi baru yang mengharuskan pengguna pre-paid harus didaftar identitasnya; kondisi ekonomi menyusul kenaikan BBM, yang tidak mendukung bertambahnya belanja sekunder; dan keterbatasan daya jangkau operator khususnya di daerah – daerah yang dianggap belum ekonomis untuk dilayani. Persoalan bertambah susah ketika mereka yang sudah menjadi pelanggan tidak “produktif” dalam bertelekomunikasi sehingga pertumbuhan pendapatan juga tidak terlalu tajam.

Menyimak beberapa hal tersebut di atas, kiranya manajemen operator telekomunikasi perlu melengkapi strategi bisnis yang sudah ada dengan strategi inovasi.


Q&A

Q. Bagaimana gambaran bisnis telekomunikasi di Indonesia tahun 2005?
A. Secara umum selama Januari hingga Desember 2005 ini tidak ada peristiwa besar di sektor bisnis telekomunikasi Indonesia. Saya membatasi pengamatan pada industri jasa telekomunikasi dan tidak memasukkan bisnis Internet, dan komunikasi data. Awal tahun 2005 kita diliputi dengan berita pengalihan saham dua operator 3G yang kemudian memunculkan serangkaian komentar pro dan kon. Pemerintah bereaksi dengan mengeluarkan statemen yang terus berubah dari keras hingga melunak, sehingga sebagian pihak berangapan pemerintah tidak konsisten. Bagi Pemerintah, pelajaran yang dapat dipetik dari kasus 3G menurut hemat saya adalah perlunya segera menetapkan kembali roadmap atau cetak biru telekomunikasi, apakah akan mengejar ketertinggalan teledensity atau mengumpulkan PNBP guna memenuhi target setoran ke kas negara.

Perubahan kebijakan terus dilakukan pemerintah. Namun demikian perubahan kebijakan dan regulasi ini dampaknya berbeda dari satu operator dengan operator lainnya. Bagi operator lama dan besar, meskipun regulasi tadi menuntut adanya perubahan di internal, namun dengan statusnya sebagai BUMN digunakan untuk memperkuat posisi tawar, sehingga proses perubahan sebagaimana diamanatkan oleh regulasi baru dapat diperlambat sesuai keinginan mereka. Tidak demikian halnya dengan operator kecil dan atau baru. Dengan posisinya sebagai pesaing (atau calon pesaing), dalam hal tertentu membuat sulit untuk dapat memperoleh akses ke dan dari operator lama. Sebagaimana kita tahu manfaat sosial ekonomi jaringan telekomunikasi akan semakin besar ketika anggota suatu jaringan dapat terhubung dengan anggota dari semua jaringan yang ada (interkoneksi).

Dari sisi pertumbuhan jumlah pelanggan baru-pun angka pertumbuhan rata – rata diduga hanya sekitar 8%, sementara investasi jaringan diduga bertambah sekitar 12%. Jika angka ini benar, berarti terjadi ketidak sinkronan antara pertumbuhan investasi dan pelanggan baru. Selama 2005 juga ditandai dengan tidak adanya ijin baru yang diberikan kepada operator telekomunikasi. Yang pasti, wacana 3G yang menghangat di paruh pertama tahun 2005, gaungnya makin berkurang pada akhir tahun. Justru yang produktif selama tahun 2005 adalah regulator, tercatat setidaknya 25 peraturan baru diterbitkan dan sebagian besar mengenai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi.

Barangkali yang masih dapat dicatat adalah peluncuran satelit Telkom-2 untuk menggantikan satelit B-2 nya Telkom yang sudah habis masa layanannya.

Q: Kalau melihat gambaran tahun 2005 seperti tadi, bagaimana kira – kira proyeksi MasWig tentang bisnis telekomunikasi 2006?
A: Kalau ditanya proyeksi, saya akan meniru pakar ekonomi yang selalu menggunakan asumsi dalam memproyeksikan kecenderungan – kecenderungan di masa mendatang. Teorinya, maju mundurnya bisnis telekomunikasi ditentukan oleh empat hal: ketersediaan dana, adopsi teknologi, regulasi yang mendukung, dan kapasitas/kemampuan manajemen. Dengan asumsi ada peningkatan kestabilan keamanan, dukungan regulasi dan kebijakan investasi, dan kepastian hukum saya memprediksi aliran investasi asing maupun lokal masih tetap akan meningkat. Saya mengamati, selama tahun 2005 ini ada sejumlah besar tambahan investasi dari luar negeri untuk sektor telekomunikasi mengalami hambatan masuk karena faktor ketidak – konsistenan perijinan. Adapun potensi dana domestik untuk sektor telekomunikasi sebetulnya juga besar, persoalannya model industri dan rejim perijinan masih dianggap sebagai kendala besar bagi investor domestik yang berminat berbisnis di layanan akses Internet atau menjadi mitra operator untuk membangun jaringan dengan pola bagi hasil.

Dari sisi adopsi teknologi, Indonesia dapat dikatakan sebagai quick adopters, sebagai contoh, dalam mengadopsi teknologi WIFI, menurut pakar telekomunikasi dari India (mantan Direktur ITU) Indonesia tergolong paling cepat dan paling besar di kawasan Asia tenggara. Teknologi WIMAX yang masih diperdebatkan standarnya-pun sudah ada calon operator yang siap mengoperasikannya. Demikian halnya dengan teknologi – teknologi telekomunikasi lainnya seperti CDMA, 3G, IPv6, OFDM, setiap perkembangan baru, dalam waktu tidak terlalu lama kita sudah dapat menikmatinya. Persoalan dengan adopsi teknologi di Indonesia salah satunya adalah kenyataan Indonesia bukan sebagai penemu dan atau produsen teknologi, hanya sebagai pengguna, sehingga ketergantungan terhadap vendor tinggi sekali, dan proporsi terbesar dari investasi teknologi telekomunikasi mengalir kembali ke luar negeri.


Dampak regulasi terhadap kinerja perusahaan telekomunikasi tergolong besar. Jika melihat semangat dari Menteri dan Dirjen Postel kemungkinan besar perubahan – perubahan kebijakan akan terus berlangsung. Persoalannya kebijakan perubahan ini sebetulnya juga menuntut terjadinya perubahan paradigma, perilaku aparat pemerintah dan yang terpenting perubahan manajemen pemerintahan. Kemaren dalam acara Sosialisasi Regulasi Postel yang diikuti oleh segenap jajaran Postel saya menuntut perubahan di internal instansi pemerintah. Jangan hanya dapat membuat kebijakan yang mengharuskan operator untuk berubah, tetapi aparat dan manajemen pemerintah tidak berubah. Persoalan besar lain yang membuat saya terus harap – harap cemas adalah konsistensi ucapan dan tindakan pejabat tinggi jajaran Departemen Kominfo. Jika akhirnya mereka terkontaminasi oleh intervensi kepentingan politik atau kepentingan bisnis tertentu yang hanya menguntungkan segelintir kelompok saja, maka bangunan yang sudah dirintis bersama – sama akan runtuh kembali.

Tahun 2005 juga ditandai dengan berakhirnya masa kerja Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2003 – 05. Minggu lalu pemerintah mengumumkan rekrutmen anggota BRTI baru untuk periode 2006 – 2008. Bila tidak ada perubahan mendasar pada BRTI khususnya mengenai fungsi, kedudukan, dan kewenangan dalam membuat dan melaksanakan regulasi, maka dapat diperkirakan kebijakan telekomuniasi akan masih tetap didominasi oleh kepentingan pemerintah.

Q: Anda tadi sebutkan juga kapasitas dan kemampuan manajemen berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, rasanya kita semua sepakat dengan hal tersebut. Persoalannya, dalam suasana kompetisi yang semakin ketat, sementara derajat ketidak-pastian masih relatif tinggi kemampuan yang bagaimana yang sebaiknya dimiliki oleh manajemen perusahaan telekomunikasi?
A: Ini pertanyaan menarik dan menantang. Menarik karena pada umumnya sebagian besar eksekutif telekomunikasi memiliki jam terbang yang cukup lama di sektor ini, dan dari data yang saya miliki belum ada satupun perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang harus ditutup karena merugi yang disebabkan salah urus. Jika-pun ada beberapa yang di-merger, lebih karena kesamaan nasib akibat pendeknya siklus hidup teknologi yang semula mereka pilih. Ini artinya, tingkat keberhasilan eksekutif telekomunikasi di Indonesia tergolong tinggi.

Menjadi menantang karena perkembangan bisnis membawa perubahan pula pada perubahan ukuran keberhasilan eksekutif. Keberhasilan di masa lalu dengan suatu strategi bisnis, bukan jaminan akan mengalami sukses serupa di masa depan. Artinya, eksekutif masih dituntut untuk selalu waspada terhadap dinamika eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Kewaspadaan ini-pun belum cukup, masih dibutuhkan kemampuan untuk dapat bertindak secara antisipatif, pro-aktif maupun reaktif menanggapi dinamika lingkungan persaingan.


Q: Kemampuan antisipatif, pro-aktif dan reaktif, contoh kongkritnya apa?
A: Kemampuan antisipatif adalah kemampuan untuk memperkirakan apa saja yang kemungkinan besar akan terjadi dalam jangka waktu relatif lama sehubungan dengan gejala – gejala yang muncul pada saat sekarang. Dengan kemampuan antisipatif ini eksekutif perusahaan dapat merencanakan aktivitas yang akan diperlukan untuk mengurangi potensi rugi atau memperbesar peluang sukses. Kemampuan semacam ini bukan diperoleh dari mistik atau supranatural, ia dapat dibangun dari dimiliki dan berfungsinya sistem informasi intelligent atau kemampuan membangun jaringan sosial. Sebagai contoh, mengantisipasi munculnya WIMAX, dengan memperhatikan keunggulan dan kompatibilitas WIMAX terhadap infrastruktur GSM atau 3G yang dalam kemampuannya membawa trafik dengan protokol IP, sementara investasinya jauh lebih muah dari GSM dan 3G, maka strategi antisipatifnya adalah menjajagi kemungkinan penambahan perijinan WIMAX atau kerjasama dengan mereka yang akan menjadi operator WIMAX.

Kemampuan proaktif adalah kemampuan untuk selalu mengawali munculnya isu atau produk tertentu sebelum orang lain bahkan memikirkannya atau menemukan solusi atas suatu persoalan yang diperkirakan akan muncul. Kemampuan proaktif dapat mempengaruhi proses dan luaran (outcome) dari suatu diskursus publik. Contoh yang aktual untuk menggambarkan kemampuan proaktif adalah ketika suatu operator memperluas cakupan lokal menjadi satu pulau sebelum operator lain melakukannya. Dalam kasus ini operator tersebut menjadi first mover dan lainnya menjadi reaktif (followers).

Kemampuan antisipatif dan proaktif mengandung sifat kreatif dan inovatif. Ini berbeda dengan kemapuan reaktif yang hanya merespon terhadap persoalan yang sudah muncul, pada umumnya bersifat perbaikan (korektif) atau dalam konteks tertentu – seperti misalnya regulasi – hanya menaatinya saja.

Q: Anda menyebut inovasi, apakah yang dapat dilakukan operator telekomunikasi dengan inovasi terutama jika dikaitkan dengan makin tajamnya persaingan dan makin ketatnya regulasi?
A: Beberapa literatur yang saya pelajari menyebutkan bahwa inovasi yang dikelola dalam suatu strategi inovasi berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. Studi Terziovski (2002) membuktikan inovasi meningkatkan kepuasan pelangan, produktivitas, dan daya saing teknologi. Dikaitkan dengan konsep Balanced Score Card-nya Norton dan Kaplan, yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan akan memudahkan tercapainya sasaran finansial dan oleh karenanya menjamin kelangsungan hidup perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa inovasi merupakan suatu hal yang sangat penting dan oleh karenanya perlu dikelola dengan baik.

Saya menganjurkan kepada semua operator telekomunikasi untuk membentuk strategi inovasi guna melengkapi strategi bisnis yang sudah ada. Wujud strategi inovasi yang saya maksud, tentunya dipengaruhi oleh faktor – faktor internal dan eksternal perusahaan seperti struktur, jangkuan pelayanan, rentang kendali, ukuran/skala bisnis, usia organisasi,
budaya, pola hubungan antar-individu atau kelompok, ada – tidaknya kebijakan tentang penghormatan terhadap hak cipta, prosedur manajemen, model bisnis, dan adopsi teknologi khususnya teknologi informasi. Kombinasi semua faktor tersebut memberi peluang kepada manajemen untuk menentukan orientasi inovasi, apakah menitik-beratkan pada peningkatan nilai (value) kepada stakeholders, perubahan rantai supply (supply chain), mengubah sasaran atau preferensi pasar/pelangan, mengubah produk atau jasa, mengubah atau meningkatkan proses produksi atau proses operasional organisasi, atau meningkatkan efisiensi pemanfaatan teknologi.

Q: Kalau tidak salah, tadi MasWig menyebut ada enam orientasi inovasi, lalu bagaimana para manajer operator telekomunikasi dapat memulai suatu strategi inovasi?
A: Sebelumnya saya ingatkan terlebih dahulu, tidak ada jaminan bahwa strategi inovasi yang berhasil diterapkan di suatu perusahaan, akan membuahkan hasil serupa bila diterapkan di perusahaan lain, bahkan di unit berbeda dalam perusahaan yang sama. Artinya, strategi inovasi sangat unik dan menuntut partisipasi semua pihak, bukan hanya para eksekutifnya saja. Davila, Epstein dan Shelton dalam bukunya “Making Innovation Work” terbitan Juli 2005 dan beberapa literatur lain yang terbit sebelumnya menyebutkan ada tiga type inovasi dikaitkan dengan implementasinya: Incremental, Semi-radikal (integrated) dan Radikal. Incremental mengacu pada peningkatan dalam skala kecil atas produk dan atau proses, yang dilakukan secara kontinyu. Inovasi radikal dilakukan bila hasil yang diinginkan berbeda sama sekali dengan yang sudah dicapai sebelumnya. Perubahan model bisnis dan implementasi teknologi baru dapat digunakan guna mendukung strategi inovasi radikal. Di antara incremental dan radikal ada strategi semi radikal yang diterapkan bila teknologinya baru tetapi model bisnisnya tidak berubah atau sebaliknya model bisnisnya baru tetapi teknologinya masih yang lama.

Apapun orientasi ataupun strategi yang dipilih yang penting dan oleh karenanya perlu diperhatikan adalah manajemen perlu menerapkan pengukuran terhadap kinerja dari implementasi strategi inovasi ini. Hal ini penting untuk mengetahui apakah inovasi yang dilakukan berhasil atau belum membawa perubahan.

Q: Wah menarik juga strategi inovasi ini ya…. Kembali ke bisnis telekomunikasi, dari pengamatan MasWig apakah sudah ada operator telekomunikasi yang menerapkan strategi inovasi secara sinergis dengan strategi bisnis?
A: Keterbatasan informasi internal terutama yang berkenaan dengan strategi perusahaan dapat menyebabkan jawaban saya kurang akurat, untuk itu sebelumnya saya mohon maaf. Tanggapan atas pertanyaan Pak BT hanya didasari oleh pengamatan luar dari apa yang terlihat, tersaji di situs Internet atau keluar dari bincang – bincang dengan para eksekutif telekomunikasi.

Kesimpulan saya, memang banyak terjadi perubahan – perubahan kecil sedang dan besar yang berkaitan dengan penambahan jumlah produk, peningkatan kualitas produk, atau perubahan proses yang terjadi pada operator telekomunikasi, namun hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi bisnis, belum dilakukan sebagai suatu implementasi dari strategi inovasi. Lebih banyak yang bersifat reaktif ketimbang proaktif, apalagi antisipatif.

Q: Berhubung keterbatasan waktu, rupanya kita harus akhiri diskusi kita, namun sebelum itu, apa ada pesan dan saran yang ingin MasWig sampaikan?A: Terima kasih Pak. Singkat saja, perusahaan yang reaktif adalah perusahaan biasa, sementara perusahaan yang pro-aktif menikmati benefit jangka pendek namun diragukan dalam jangka panjang, perusahaan antisipatif membentuk keunggulan jangka panjang melalui inovasi yang terencana dan belum dlakukan orang lain. Di tengah persaingan yang semakin tajam, inovasi menjadi semacam menu harian yang apabila ditinggalkan akan mendekatkan perusahaan pada kematian. Salam.

Membangun Strategi Kompetisi

Selama dua dekade terakhir perusahaan dihadapkan pada keharusan untuk berhadapan dengan sejumlah ketentuan baru. Perusahaan dituntut cepat tanggap terhadap persaingan dan perubahan pasar. Upaya menjadi terunggul dalam industri melalui peningkatan kompetensi menjadi keniscayaan yang tak dapat dielakkan bila masih ingin tetap eksis. Manajer dituntut untuk dapat memilih dan memilah berbagai konsepsi strategi yang ditawarkan. Suatu konsepsi yang setelah diimplementasikan memberi hasil optimal pada suatu masa, harus dikaji ulang ketika konteks persaingan berubah. Sebagai contoh, konsepsi Strategic Positioning – pernah menjadi acuan utama bagi kalangan bisnis – menjadi kurang relevan ketika pasar berubah dinamis dan teknologi memungkinkan pesaing untuk meniru keunggulan yang dimiliki. Keunggulan menjadi bersifat sementara, dan resiko menghilang menjadi lebih besar. Sementara itu, regulasi cenderung menghilangkan hambatan persaingan, dan semakin banyak perusahaan yang berusaha keras menjadi ramping dan lebih cekatan. Hasilnya, pasar global tak terelakkan dan kompetisi pada setiap lini industri sangat kuat (hypercompetition). Pertanyaannya, mengapa demikian banyak perusahaan gagal memiliki strategi? Mengapa manajer menghindar dari membuat pilihan strategi? Atau, meski sudah berhasil membangun strategi, tetapi mengapa seringkali membiarkannya menjadi kabur dan kehilangan daya manfaat.

Selain ancaman dari luar yang disebabkan perubahan teknologi, preferensi pasar dan perilaku persaingan, ancaman terbesar justru berasal dari lingkungan internal perusahaan. Akar persoalan, menurut Porter terletak pada kegagalan manajer membedakan antara strategi dan efektivitas operasional. Upaya menghasilkan produktivitas, kualitas, dan daya tanggap telah menelorkan perangkat dan teknik manajemen yang terkenal seperti: TQM, benchmarking, time-based competition, outsourcing, partnering, reengineering, change management, dan lain sebagainya. Namun demikian, meskipun semuanya itu berdampak pada peningkatan kinerja secara dramatis, banyak perusahaan yang tidak mampu mengubah kinerja unggul tadi menjadi kemampuan menghasilkan laba yang menjamin kelangsungan hidup (sustainable profitability). Lambat laun manajer terjebak pada mengutak – atik teknik manajemen saja, sementara mereka justru tidak memperhatikan strategi. Teknik – teknik manajemen diperlukan untuk memperbaiki efektivitas operasional, tetapi hal ini tidak mencukupi, masih diperlukan strategi guna meraih keunggulan dalam jangka panjang.

Perusahaan dapat mengungguli pesaing – pesaingnya hanya jika mampu menjadikan dirinya berbeda melalui: memberikan value kepada pelanggan lebih besar dari yang dapat dilakukan pesaing, dan menciptakan comparable value dengan biaya yang lebih rendah. Langkah pertama memberi peluang kepada perusahaan untuk menentukan harga lebih tinggi, sementara tindakan kedua menghasilkan efisiensi. Kedua aktivitas di atas, secara umum menggambarkan strategi dasar dalam mengelola berbagai aktivitas internal perusahaan agar selalu lebih baik dari pesaing. Hal ini berbeda dengan konsep strategic positioning, yang dimaknai sebagai melakukan berbagai aktivitas yang berbeda dari pesaing, atau melakukan aktivitas yang sama dengan cara yang berbeda. Guna mengetahui seberapa maksimum perusahaan mengelola operasionalnya secara efektif dalam menghasilkan produk dan atau jasa menggunakan teknologi, ketrampilan, teknik manajemen, dan input lainya Porter menawarkan konsep Productivity Frontier, yakni situasi yang menunjukkan praktek terbaik (state of best practice).

Memilih atau membangun strategi yang tepat bagi perusahaan pada suatu periode waktu menjadi kata kunci yang harus dijawab oleh manajer. Beberapa pertanyaan dapat digunakan untuk membantu manajer dalam memilih konsepsi strategi: Diantara berbagai produk dan jasa yang ditawarkan, mana yang paling khusus (distinctive), mana yang memberikan keuntungan paling tinggi; siapa di antara pelanggan yang paling puas; pelanggan atau distributor atau event mana yang memberikan keuntungan tertinggi; dan aktivitas apa di dalam rantai nilai (value chain) perusahaan yang paling berbeda dan paling efektif. Selain pertanyaan panduan tersebut di atas, masih ada hal lain yang perlu menjadi pertimbangan. Pilihan strategi pertumbuhan cenderung mendorong manajer menjadi kompromis dan inkonsisten. Jika ini berlangsung terus, keunggulan yang dimiliki dapat terkikis, timbul kebingungan di tingkat pelaksana dan memperlemah motivasi organisasi. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Di antara tarik – menarik berbagai kepentingan untuk memilih strategi yang tepat, diperlukan kerangka pemikiran yang dapat memberikan arahan bagi pembangunan strategi perusahaan.

Strategi perusahaan disesuaikan dengan ukuran dan karakter perusahaan. Pada perusahaan yang telah melakukan diversifikasi bisnis, pada umumnya memiliki dua tingkatan strategi: strategi unit bisnis atau sering disebut sebagai competitive strategy yang menitik-beratkan pada upaya membangun keunggulan pada setiap bidang usaha yang digeluti perusahaan, dan strategi korporasi yang menentukan berbagai bisnis yang akan diusahakan termasuk pengelolaan keseluruhan portofolio bisnis perusahaan tersebut. Setiap strategi korporasi yang sukses menyokong sejumlah dasar pemikiran baru. Hal ini merupakan fakta hidup tentang diversifikasi. Fakta ini tidak dapat diubah, dan bila tidak diindahkan akan menjelaskan mengapa strategi korporasi mengalami kegagalan.

Pertama, kompetisi terjadi pada level unit bisnis. Perusahaan induk (yang melakukan diversifikasi) tidak terlibat langsung dalam persaingan. Strategi korporasi berpeluang sukses jika memberi perhatian utama pada pemeliharaan keunggulan tiap – tiap unit bisnis. Kedua, tidak dapat dihindarkan diversifikasi akan menambah biaya dan hambatan bagi unit bisnis yang sudah ada. Hambatan tak terlihat dan biaya tersembunyi (hidden costs) yang dibebankan kepada unit bisnis, meski tidak semuanya dapat dihilangkan, namun secara terencana harus dikurangi. Ketiga, pemegang saham (share holders) memiliki kesiapan untuk melakukan diversifikasi sendiri dengan memilih protofolio bisnis yang resiko dan return-nya sesuai dengan preferensi mereka. Hal ini menandakan strategi korporasi tidak dapat sukses kecuali ia dapat memberikan tambahan nilai bagi shareholders, dan industri di mana unit bisnis baru yang dibentuk memiliki struktur yang mendukung dihasilkannya return yang lebih tinggi dari biaya modal.

Paragraf di atas menjelaskan mengapa suatu industri menarik (attractive) atau sebaliknya tidak menjanjikan return bagi investasi. Selain itu, total biaya masuk (cost-of-entry) ke suatu industri harus lebih rendah dari potensi keuntungan periode mendatang. Pertimbangan lain dalam strategi korporasi adalah apakah unit bisnis baru dapat menghasilkan keunggulan bersaing dari hubungannya dengan unit – unit bisnis lain atau dengan induk perusahaan. Lebih lanjut, Porter menguraikan emapt konsep strategi korporasi yang telah banyak diaplikasikan: portfolio management, restructuring, transferring skills, dan sharing activities. Portfolio management mendasarkan pada sejumlah asumsi vital. Diversifikasi dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti akuisisi, merger, atau membangun unit bisnis baru (greenfield company). Jika alasan diversifikasi untuk masuk ke industri yang masih memiliki daya tarik dan cost-of-entry-nya rendah, maka strategi yang tepat adalah mengakuisisi perusahaan yang baik tetapi undervalued.

Sebaliknya, melalui strategi restructuring, perusahaan korporasi mencari perusahaan yang tidak terlalu maju (undeveloped), sedang sakit, atau yang sedang menghadapi kesulitan akibat perubahan lingkungan bisnis yang tidak dapat diatasi. Perusahaan induk melakukan intervensi dengan mengubah tim manajemen, mengubah strategi bisnis, memasukkan (infused) teknologi baru, atau menjual/menutup unit – unit yang tidak efisien atau yang tidak terkait langsung dengan kompetensi inti unit bisnis terkait. Dalam transferring skills, terjadi sinergi dan proses aktif untuk mengubah strategi atau operasional unit bisnis. Prospek perubahan dalam unit bisnis sebagai sasaran transfer ketrampilan harus spesifik dan dapat dikenali, serta melibatkan semua aktivitas yang secara signifikan mendukung terwujudnya keunggulan bersaing. Hampir mirip dengan transferring skills, dalam sharing activities antar - unit bisnis menggunakan beberapa sumber daya dalam value chain secara bersama.

Pada tataran global, variabel penentu keunggulan bersaing sangat berbeda dari persaingan domestik. Untuk dapat sukses di arena bisnis global, pertama perusahaan perlu mengubah diri menjadi pelaku usaha internasional (multidomestic competitor), yang memungkinkan anak – anak perusahaan (subsidiaries) dapat bersaing secara independen di berbagai pasar domestik. Selanjutnya, perusahaan induk berevolusi menjadi organisasi global (global competitor) yang mampu mengadu seluruh system produk dan posisi pasarnya melawan berbagai global lainnya. Tantangan bagi global competitor adalah membangun dan sekaligus menerapkan strategi korporasi yang dilandasi oleh pemikiran: inovasi stratejik apa yang perlu terus diupayakan sehingga perusahaan memiliki keungulan global; apakah merupakan langkah yang tepat untuk mempertahankan keunggulan dan strategi global yang ada; dan sumber daya apa sajakah – dalam jangka panjang – yang akan diperlukan untuk mencapai dan memantapkan posisi terbaik. Pelajaran yang dapat dipetik dari sukses pemain global menunjukkan pada umumnya mereka mengubah dinamika industri dan menarik diri dari pesaing utama.

Strategi untuk memenangi bisnis global menjadi kebutuhan baru. Strategi global, demikian kita sebut, melibatkan pengerahan dan pengelolaan sumber daya yang tersebar di berbagai negara, memerlukan perhitungan skala ekonomi yang menuntut perusahaan untuk mampu berasimilasi dengan berbagai lingkungan domestik sementara harus secara konsisten menerapkan standar atau prosedur global. Terlihat di sini, orientasi global menjadi sangat menonjol, namun demikian manajer perlu memperhatikan fenomena global paradok. Walau bagaimana-pun lokasi di mana perusahaan beroperasi atau dikendalikan masih menempati peran krusial dalam membangun keunggulan bersaing. Global paradox disebabkan oleh adanya perbedaaan kondisi ekonomi di suatu negara, atau antar wilayah di dalam satu negara. Kondisi ekonomi ini nampak terlihat pada tersedia atau tidaknya industri pendukung. Hal lain yang menyumbang global paradox terletak pada preferensi atau pilihan dalam menetapkan home base, banyak perusahaan yang sudah beroperasi global namun tetap memilih negara tertentu sebagai home base-nya, meski keberadaan home base di negara tersebut tidak selalu menguntungkan.
Guna terhindar dari global paradok, manajer global perlu mengenali kerangka umum strategi global. Porter mengemukakan perluasan penerapan konsep rantai nilai (value chain) sebagai dasar dari strategi global. Yang membedakan dari penerapam value chain paa perusahaan non-global adalah pada diperlukannya kemampuan untuk melakukan konfigurasi yang mencakup lokasi dimana elemen rantai nilai tersebut dioperasionalkan, koordinasi semua aktivitas unit bisnis yang tersebar di berbagai negara tersebut dalam suatu kendali, sehingga margin atau value (what buyers are willing to pay) tercapai.*****

Strategy Under Uncertainty

What makes for a good strategy in highly uncertain business environments? There are three alternatives to answer the question: [1] shaping the future with high-stakes bets, [2] hedging bets by making a number of smaller investments, or [3] investing in flexibility that allows companies to adapt quickly as markets evolve. How should executives facing great uncertainty decide whether to bet big, hedge, or wait and see? Unfortunately, executives would love to pick traditional approach, although traditional strategic-planning processes won’t help much. Firms utilizing traditional frameworks first focus on their core competencies and then try to see if these competencies can be used to reach the destination. It is virtually impossible to see multiple options with this traditional approach. One danger is that traditional approach leads executives to view uncertainty in a binary way-to assume that the world is either certain, and therefore open to precise predictions about the future, or uncertain, and completely unpredictable. Such systems clearly push managers to underestimate uncertainty in order to make a compelling case for strategy. Underestimating uncertainty can lead to strategies that neither defend against the threats nor take advantage of the opportunities that higher levels of uncertainty may provide. Risk-averse managers who think they are in very uncertain environments don’t trust their gut instincts and suffer from decision paralysis. They avoid making critical strategic decisions about the products, markets, and technologies they should develop. They focus instead on reengineering, quality management, or internal cost-reduction programs. Although valuable, those programs are not substitutes for strategy. What follows, then, is a framework for determining the level of uncertainty surrounding strategic decisions and for tailoring strategy to that uncertainty.

Four Levels of Uncertainty
Even the most uncertain business environments contain a lot of strategically relevant information. First, it is often possible to identify clear trends, such as market demographics, that can help define potential demand for future products or services. Second, there is usually a host of factors that are currently unknown but that are in fact knowable-that could be known if the right analysis were done. The uncertainty that remains after the best possible analysis has been done is what we call residual uncertainty. Courtney (et all) classify the situation into four categories. Level 1: A Clear – Enough Future, managers can develop a single forecast of the future that is precise enough for strategy development. Level 2: Alternate Futures, the future can be described as one of a few alternate outcomes, or discrete scenarios. Analysis cannot identify which outcome will occur, although it may help establish probabilities. Level 3: A Range of Futures, a range of potential futures can be identified. That range is defined by a limited number of key variables. The actual outcome may lie anywhere along a continuum bounded by that range. Level 4: True Ambiguity, multiple dimensions of uncertainty interact to create an environment that is virtually impossible to predict. The range of potential outcomes cannot be identified, let alone scenarios within that range. Level 4 situations are quite rare, and they tend to migrate toward one of the other levels over time. Nevertheless, they do exist.

Tailoring Strategic Analysis to the Four Levels of Uncertainty
At least half of all strategy problems fall into levels 2 or 3, while most of the rest are level 1 problem. A different kind of analysis should be done to identify and evaluate strategy options at each level of uncertainty. To find solution for level situation, managers can use the standard strategy tool kit – market research, analyses of competitors’ cost and capacity value chain analysis Michael Porter’s five – forces framework, and so on. Level 2 situations are a bit more complex. First, managers must develop a set of discrete scenarios based on their understanding of how the key residual uncertainties might play out. Secondly, a classic decision-analysis framework can be used to evaluate the risks and returns inherent in alternative strategies. The analysis in level 3 is very similar to that in level 2. A set of scenarios needs to be identified that describes alternative future outcomes and analysis should focus on the trigger events signaling that the market is moving toward one or another scenario. Situation analysis at level 4 is even more qualitative. Managers need to catalog systematically what they know and what is possible to know. Managers can also identify what information they would have to believe about the future to justify the investments they are considering.

Postures and Moves
A company may have three strategic postures in dealing with uncertainty: shaping, adapting, or reserving the right to play. In addition, there are three types of moves in the portfolio of actions that can be used to implement that strategy: big bets (focused strategies with positive payoffs in one or more scenarios but a negative effect in others), options (decisions that yield a significant positive payoff in some outcomes and a small negative effect in others), and no-regrets moves (strategic decisions that have positive payoffs in any scenario). Fundamentally, posture defines the intent of strategy relative to the current and future state of an industry. Shapers aim to drive their industries toward a new structure of their own devising. Their strategies are about creating new opportunities in a market in industries with higher levels of uncertainty. They play a leadership role in establishing how the industry operates, for example: by setting standards or creating demand. Adapters pursue to win through speed, agility, and flexibility in recognizing and capturing opportunities in existing markets. While Reservers tend to invest sufficiently to stay in the game but avoid premature commitments.

Strategy in Level 1’s Clear-Enough Future, in predictable business environments, most companies are adapters. The best level 1 adapters create value through innovations in their products or services or through improvements in their business systems without otherwise fundamentally changing the industry. Strategy in Level 2’s Alternate Futures, shapers in level 1 try to raise uncertainty, in levels 2 through 4 they try to lower uncertainty and create order out of chaos. In level 2, shaping strategy is designed to increase the probability that a favored industry scenario will occur. Shaping strategies can fail, so the best companies supplement their shaping bets with options that allow them to change course quickly if necessary. Strategy in Level 3’s Range of Futures, shaping takes a different form in level 3, if at level 2 shapers are trying to make a discrete outcome occur, at level 3, they are trying to move the market in a general direction because they can identify only a range of possible outcomes. Strategy in Level 4’s True Ambiguity, even though level 4 situations contain the greatest uncertainty, they may offer higher returns and involve lower risks for companies seeking to shape the market than situations in either level 2 or 3.

A New Approach to Chaotic Situations
At the heart of traditional approach to strategy lies the assumption that by applying a set of powerful analytic tools, executives can predict the future of any business accurately enough to allow them to choose a clear strategic direction. In relatively stable businesses that approach continues to work well. But it tends to break down when the environment is so uncertain that no amount of good analysis will allow them to predict the future.

Traditional approach may sometime leading to the trap of inside out thinking – focusing on what you do best and not if this is something that you should be thinking about. Basically, inside – out is the wrong way to think about strategy. However, focusing on customer needs is of little help in visualizing multiple business models. The question is then, what is the ultimate outcome the customer is looking for? Traditional market research and focus groups are not very useful in identifying out-comes. Companies are much better off observing customer behavior and rephrasing their needs in term of outcomes. The notion of competitive objective allows us to understand the logic of the output that we can deliver. The competitive objective should be designed not only to ensure that the outputs can deliver the customer outcomes, but also to avoid any increased risk of loss.

Reviewing three risk categories, demand risk represents the risk that customers will not but the firm’s product or service at the expected level. Competitive risk represents the risk that competitors can imitate what firm does and take customers away. Capability risk represents the risk that a firm may not be able to deliver the value to its customers and capture some of the value for shareholders. Three-steps process to identify and mitigate these three risks when designing a strategy. First, in order to sell what a firm makes, managers must ensure that whatever the firm is doing internally (internal objectives) must results in delivering the outcomes that customer are willing to pay for. The next step is focus on the most promising objective(s) and articulates the objective in manner that captures how the strategy will make money. These then followed by choosing between a differentiation (avoid competitive risks) or low – price (avoid demand risk) strategy to capture some of the value that a company is giving to its customers. Finally, the strategy designers need to repeat the process by selecting a second set of objectives until they are comfortable with the risk at each stage.

Symbolic Politics (SP)
SP can be defined as a political process, in which certain goals and measures are announced and enforced, which already at the very early stage of publication either represent sheer rhetoric and thus only target a signaling effect, or are designed in such a way that these goals and measures should or could not be realized and implemented in the same way as they are announced. SP occurs basically in two different forms. First, it can be regarded as a tolerated or even calculated failure of politics, as regulation for some reason does not reach its final goal. Second, SP might be designed as a tool to initiate processes in society by announcing certain intentions which government is not willing or able to fulfill. For some business, SP would be seen as a problematic since often it creates chaotic situation leading to uncertainty. SP often focused on issues not yet fully explained by scientific evidence.

In response to SP, a company takes a strategy depending on two factors: degree of transparency in the regulated field of politics, and corporate involvement in the political process. Risk Oriented strategy and proactive strategy will be taken when degree of transparency is high while corporate involvement is low. On the other hand, when both transparency and involvement are low company tends to ignorance or apathy. These are in contrary with the situation where corporate involvement is high. Industry applies self-regulation and stakeholder collaboration when transparency is high, but still striving for compliance strategy or PR/Communication-based strategy even when transparency is low.

Pronouncements of important corporations
Organizations have considerable prestige. The corporation is the organization of choice of the western democracies for the conduct of economic activity. The great corporations are the producers of the most sophisticated products even when government might be the customer as for infrastructure and instruments of war. Several authorities question the role the corporation plays in society and attribute many of society’s deficiencies to the lack of corporate account-ability. In many survivals is not realistically in question although it is frequently mentioned to keep everyone on their toes
In this complex world people in general and investors in particular draw comfort from rules or conventions to guide their decisions. One class of decision-making support is follow the sure fire rule especially if everyone else is doing the same. The economic cycle is thought to follow a repeating pattern whereby certain sectors lead or lag economic growth up to the peak that leads into decline and ultimate recovery and repeats. This stylized image suggests that investments follow a predictable pattern akin to the hours of day. The investment decision is thus determined not by inherent worth of the stock or sector but by whose turn it is. *****

Strategi Korporasi

Strategi korporasi dapat meresap (pervasive) ke dalam sendi – sendi kehidupan perusahaan dan berdampak panjang (Collis &Montgomery (2005). Hal ini terjadi karena karena strategi korporasi menimbulkan konsekuensi yang terbesar dibandingkan keputusan – keputusan manajerial lainnya. Mengapa demikian?

Riset membuktikan bahwa 60% aset di USA dikendalikan oleh perusahaan multi-bisnis. Di Eropa keadaannya juga serupa, sementara di negara – negara sedang membangun, kelompok usaha besar mendominasi kepemilikan aset nasional. Persoalannya, kinerja efisien dari ekonomi modern dalam konteks global seperti sekarang ini dipengaruhi oleh efektivitas strategi korporasi, dan bagaimana eksekutif perusahaan merancang dan mewujudkan rancangan tersebut. Hrebiniak dalam Making Strategy Work (2005) berargumen, mewujudkan strategi yang berhasil lebih susah dibandingkan dengan membuatnya. Untuk itu, perlu dibuat suatu kesamaan konsepsi mengenai strategi korporate agar upaya restrukturisasi, re-fokus, rasionalisasi dan rekayasa organisasi menjadi tepat aksi dan tepat sasaran (Collis & Montgomery, 2005). Hal ini penting, karena perkembangan terakhir menunjukkan para investor mulai menaruh perhatian lebih banyak pada shareholder value, yang peluang untuk memperolehnya dapat mereka lihat dari strategi korporasi.

Uraian di atas secara implisit menunjukkan adanya tiga faktor penting dalam strategi korporasi. Pertama berkaitan dengan penciptaan nilai (value creation) sebagai tujuan utama strategi korporasi. Faktor kedua berhubungan dengan konfigurasi berbagai sumber daya yang ada guna menunjang usaha (venture) pada berbagai lingkup bisnis, dan faktor ketiga terkait dengan bagaimana perusahaan mengkoordinasikan semua aktivitas bisnisnya dalam hirarki korporasi untuk mewujudkan penciptaan nilai. Tiga serangkai (value, konfigurasi, dan koordinasi) penting dipahami oleh eksekutif bisnis. Banyak eksekutif perusahaan induk justru merusak value yang sudah terbangun dan menjadi kekuatan unit bisnis (Campbell, 2003). Lebih jauh Campbell menjelaskan, ada empat cara di mana perusahaan induk dapat mempengaruhi kinerja perusahaan anak (subsidiary) yang berdampak pada penghapusan atau penciptaan value: secara langsung dan berdiri sendiri (stand-alone), secara tidak langsung (linkage), melalui fungsi dan layanan yang berada di perusahaan induk, serta melalui aktivitas pengembangan korporasi.

Argumen lain yang mendukung pentingnya penciptaan nilai dalam strategi korporasi diajukan oleh Hubbard (2000), namun alasan yang mendasarinya sedikit berbeda. Secara agregat, strategi korporasi harus menghasilkan value yang lebih tinggi dibandingkan dengan value yang dimiliki semua unit bisnis jika secara terpisah dijumlahkan. Jika value yang dihasilkan dari strategi korporasi lebih kecil dari penjumlahan value dari semua unit bisnis, Hubbard mengatakan, tidak ada alasan kuat untuk menggabungkan unit – unit bisnis tersebut, atau dapat pula dikatakan strategi korporasi tidak berfungsi dengan baik. Dalam penciptaan nilai, kata kuncinya adalah sinergi (De Wit dan Meyer, 2005). Namun itupun tidak cukup, karena value yang dihasilkan dari sinergi unit bisnis ini masih harus diuji dengan value yang dimiliki oleh kelompok – kelompok usaha lainnya (Porter, 1998).

Jika demikian, ada dua permasalahan yang perlu dicermati; bagaimana membangun strategi korporasi, dan sekaligus melaksanakannya agar berhasil. Menjawab yang pertama, ada banyak model yang pernah dibangun, satu dengan lainnya saling melengkapi atau sebaliknya berbeda sama sekali bahkan ada yang berlawanan cara pandangnya. Hal ini terjadi karena penekanan masing – masing model berbeda, sebagai contoh Ansoft (1965) dan Andrew (1971) berada pada satu kubu ketika mereka mengajukan Concept of Corporate Strategy yang menekankan pentingnya peran manajer umum (general managers) dalam pengembangan strategi korporasi. Sebaliknya, pada periode yang hampir bersamaan Chandler (1962), Bower (1970), dan Vancil (1978) mengemukakan konsep strategi korporasi menggunakan pendekatan struktur organisasi. Kontribusi pemikiran mereka yang hingga kini masih banyak dianut adalah “structure follows strategy”. Collis dan Montgomery (2005) melalui Resourse-Based View (RBV) mengajukan model Segitiga Strategi Korporasi, yang sisi –sisinya merepresentasikan sumber daya (resources), bisnis, dan organisasi. Di dalam segitiga ini terdapat Visi, Sasaran (goals) dan objektif yang menentukan besaran (magnitude) penggunaan ketiga aspek tadi dalam pergulatannya mencapai keunggulan korporasi (corporate advantage).

Di pihak lain, muncul pemikiran bahwa pembangunan strategi korporasi merupakan konsekuensi dari aktivitas multi-bisnis atau diperlukan karena adanya diversifikasi usaha (Hubbard, 2000). Dengan demikian, ancangan awalnya adalah memahami alasan – alasan diversifikasi serta memiliki pengetahuan tentang karakteristik berbagai jenis bisnis yang dikelola oleh perusahaan induk. Secara implisit pendekatan Hubbard ini hampir serupa dengan model segitiga-nya Collis dan Montgomery, perbedaannya terletak pada cara pendekatan, Collis dan Montgomery beranjak dari apa saja yang dimiliki korporasi (inside-out approach) sementara Hubbard mengawali dari lingkungan luar yang kemudian menjadi pemicu bagi pengembangan strategi korporasi (outside-in approach). Dukungan kepada inside-out approach dalam menciptakan value makin menguat pada dekade pertama di abad milenium ini (Campbell, 2003) sebagaimana dicontohkan Canon ketika mengembangkan produk – produk barunya, ABB ketika menerapkan strategi yang didasari pada ketrampilan komersial dan orientasi manajer, serta Emerson yang dalam penciptaan nilai berlandaskan pada penajaman pemikiran strategik dalam pengelolaan sumber daya dan biaya secara efektif dan efesien.

Terkait dengan pelaksanaan strategi korporasi, isu atau lingkup aktivitas dan tingkatan (level) strategi yang terdapat didalamnya perlu dikenali dengan baik (Hrebiniak, 2005). Implementasi strategi korporasi dilakukan pada level korporat, unit bisnis, dan antar unit bisnis. Pada level korporate, isu – isu yang menjadi perhatian antara lain berkenaan dengan manajemen portofolio, diversifikasi, termasuk integrasi vertikal, dan alokasi sumber daya lintas-bisnis. Sedangkan pada level unit bisnis, fokus perhatian diberikan pada antara lain: penentuan produk dan atau jasa yang akan ditawarkan, bagaimana melaksanakan persaingan untuk mencapai posisi unggul dalam industri terkait, dan bagaimana pula dengan membedakan diri (differentiate) dari para pesaing. Lebih jauh Hrebiniak mengemukakan, dalam hal pelaksanaan strategi korporasi, agar tingkat keberhasilannya lebih besar perhatian utama perlu diberikan kepada pilihan struktur dan integrasi seluruh elemen organisasi yang merefleksikan dan konsisten dengan sasaran strategi bisnis. Namun sebelum itu perlu diperhatikan pula bahwa strategi yang jelas (clear) dan fokus memiliki peluang yang lebih baik dibandingkan dengan strategi yang meluas dan tidak jelas. Kejelasan meliputi format, substansi dan isu – isu yang menjadi ciri pada masing – masing tingkatan strategi.

Melengkapi konsepsi Hrebiniak, De Wit dan Meyer (2005) menambahkan pentingnya perusahaan agar selalu tanggap (responsive) terhadap perubahan atau dinamika yang terjadi di dalam dan luar (internal and external environment). Strategi korporasi harus mampu mengatasi berbagai problem yang terkandung dalam lingkungan multi-bisnis; seperti: tingginya biaya untuk mewujudkan kepatuhan (governance costs), lambatnya proses pembuatan keputusan, ketidak-akuran (incongruence) strategi unit bisnis, tidak berfungsinya (disfunctional) pengendalian, serta tumpulnya (dull) kebijakan insentif. Selain persoalan tersebut di atas, potensi bahaya juga muncul pada strategi korporasi yang cenderung agresif dan berorientasi perluasan usaha di luar core competency-nya (Zook, 2004). Hasil riset Zook periode tahun 1997 – 2002 menyimpulkan 75% dari strategi ekspansif dengan cara mendirikan bisnis baru yang berdekatan/terkait dengan bisnis utama (yang sukses) mengalami kegagalan.

Dari uraian diatas dapat dibuat beberapa kesimpulan. Pertama, ukuran perusahaan tidak menjadi hambatan bagi dikembangkannya strategi korporasi. Yang menjadi alasan perlunya dibangun strategi korporasi lebih besar terletak pada bagaimana mengelola berbagai unit bisnis yang berada pada satu naungan atau kendali. Mengacu pada kondisi multi-bisnis ini, rancangan strategi korporasi harus dapat menjawab tuntutan penciptaan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang diberikan oleh masing – masing unit bisnis secara terpisah. Untuk itu diperlukan konfigurasi struktur organisasi dan koordinasi sumber daya. Kedua, dalam membangun strategi korporasi para manajer di tingkat korporat perlu memiliki wawasan yang komprehensif, tidak hanya menguasai aspek bisnis terkait tetapi diperlukan pemahaman tentang stakeholder dan dinamika lingkungan bisnis global. Ketiga, hambatan dan kesulitan yang dihadapi pada tahap perencanaan dan pengembangan relatif masih kecil, tidak demikian halnya ketika masuk tahap implementasi. Mengatasi hal tersebut, strategi korporasi harus ditindak-lanjuti dengan serangkaian aksi yang terkendali dan terukur.
Meskipun dikatakan bahwa strategi korporasi fit-in untuk semua ukuran perusahaan sepanjang mengelola multi-bisnis, dan pendekatan inside-out merupakan trend yang sedang berkembang sehingga banyak kelompok usaha yang mengembangkan bisnisnya terkait dengan bisnis inti, namun pada kenyataannya banyak juga yang gagal. Kritik terhadap ini semua adalah masih tetap diperlukannya kearifan (wisdom) dalam kepemimpinan (leadership) pada perusahaan induk atau pimpinan tertinggi (CEO). Strategi korporasi ternyata tidak menjadi penentu utama dalam keberhasilan bisnis.*****

Resource-Based Value Strategy

Teori pengembangan strategi menggunakan pendekatan resources organisasi (RBV) tergolong relatif baru dalam disiplin manajemen stratejik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan berbeda dari lainnya? Mengapa suatu perusahaan memperoleh laba yang lebih besar dari lainnya? Apa yang membuat keunggulan bersaing (competitive advantage) tetap lestari (sustainable)? Salah satu kekuatan pendekatan RBV tercermin dalam kemampuannya untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan memiliki keunggulan bersaing dalam bisnis tunggal dan keunggulan perusahaan yang melewati berbagai bisnis.

Strategi Unit Bisnis
Strategi pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi dua keperluan vital, pertama terkait dengan penempatan posisi relatif terhadap lingkungan luar perusahaan (external positioning) yang membutuhkan pemahaman terhadap lingkungan di mana perusahaan berada. Kedua, untuk penyelerasan lingkungan internal perusahaan (internal alignment) yang mencakup semua kegiatan dan investasi. Dengan strategi, setiap keuntungan unit bisnis dapat dipisahkan ke dalam dua komponen: tingkat keuntungan rata-rata industri dan pemisahan rata-rata tersebut yang diterapkan kepada keunggulan (atau kelemahan) dalam persaingan sebagai akibat dari strategi dalam industri tersebut. Analisa industri secara sistematis dikembangkan oleh Michael Porter, yang mencakup strategi generik (generic strategies).

Resources (Resources)
Resources diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: tangible assset, intangible asset dan kemampuan organisasi (organizational capability). Perusahaan memiliki sejumlah resources yang unik, inilah yang membedakan satu perusahaan dengan lainnya. Keunikan dan karakteristik resources yang tidak dapat dikumpulkan dalam waktu yang relatif pendek, menyebabkan pilihan strategi perusahaan dibatasi oleh ketersediaan resources serta kecepatan dalam menghimpun resources baru. Ketersediaan resources, kendala laju perubahan merupakan faktor yang menjadikan perusahaan lain tidak mudah untuk menetapkan strateginya. Jika faktor – faktor tersebut mudah didapat oleh perusahaan lain, maka dengan mudah strategi dapat ditiru. Menciptakan kondisi resources tidak simetris (resource asymmetries) oleh karenanya merupakan substansi strategi. Nilai resources yang dimiliki suatu perusahaan terdapat pada jalinan kompleks antara perusahaan dan lingkungan kompetitif-nya terkait dengan demand, scarcity, dan appropriability.

Upaya secara terus menerus membangkitkan resources baru merupakan kondisi agar resources tersebut bermanfaat terutama dalam hubungannya dengan mempertahankan demand. Sementara itu, resources yang memfasilitasi tercapainya keunggulan bersaing harus tidak banyak dimiliki pihak lain (uncommon). Oleh karenanya, perusahaan perlu menciptakan kondisi kelangkaan sumber saya (rarity of resource) - yang menjadi kekuatan daya saingnya – selamanya. Mencegah agar tidak ada peniruan (inimitability) resources merupakan upaya stratejik guna membatasi persaingan. Empat karakteristik yang menyulitkan peniruan resources: secara fisik bersifat unik, akumulasinya memerlukan waktu relatif lama dan tidak dapat dipercepat (path dependency), peniru tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang sumberdaya yang hendak ditirunya (causal ambiguity), kompetitor memiliki kemampuan untuk mereplikasi resources-nya tetapi karena ukuran pasar memilih untuk tidak melakukannya (economic deterrence). Karakteristik umum yang berpengaruh terhadap nilai suatu resources ditentukan dari hubungan komplek di dalam sistem pesaing, pelanggan, pemasok. Sedangkan karakteristik lain dari resources bersifat intrinsik.

Economic Rent
Ricardian berpendapat economic rent disebabkan oleh keterbatasan supply, sementara Schumpeterian berkeyakinan economic rent diperoleh dari hasil inovasi. Perbedaan penting dari dua pendapat ini, Ricardian rent karena sifatnya yang sulit ditiru memiliki peluang berumur panjang, sementara Schumpeterian rent karena mudah ditiru beresiko tidak berumur panjang.

Resource-Based Strategy (RBS)
Langkah – langkah dalam membangun RBS diawali dengan mengidentifikasi dan mengumpulkan (inventory) resources perusahaan. Selanjutnya, menilai semua resources menggunakan kriteria competitive superiority, scarcity, dan appropriability. Berikutnya, mengidentifikasi kesenjangan (gap) dari semua resources dibandingkan dengan kebutuhan resources yang akan menjadi modal utama RBS. Guna mendapatkan gambaran gap yang ada, selanjutnya dilakukan pemisahan (disaggregate) resources.

Investasi resources dilakukan dengan mempertimbangkan Continuity dan Adaptability, Commitment dan Flexibility. Kualitas resources dengan beberapa cara: memperkuat resources yang ada dengan meningkatkan kualitasnya, menambah resources yang bersifat komplemen guna memperkuat posisi pasar, dan mengembangkan resources baru yang dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi perusahaan untuk memasuki pasar atau industri baru.

Strategi Level Bisnis (SLB)
Keunggulan bersaing hanya dicapai bila perusahaan dapat menciptakan superior value kepada pembeli/pelanggannya lebih baik dari para pesaingnya. Superior value melekat pada produk atau jasa yang ditawarkan. Perusahaan yang tidak fokus pada keterbatasan kombinasi produk-pasar beresiko menghadapi sejumlah persoalan: low economies of scale, slow organizational learning, unclear brand image, unclear corporate identity, high organizational complexity, dan limit to flexibility.

SLB perlu memperhatikan lingkungan industri, segmentasi pasar, mendefinisikan dan memilih binis, memposisikan dalam bisnis relatif terhadap pemain lain. Lebih lanjut, basis paling penting yang perlu diperhatikan antara lain: harga, kelengkapan (feature), bundling, kualitas, availability, citra perusahaan, dan hubungan dengan stakeholder.

Melestarikan Keunggulan Bersaing
Kelestarian (sustainability) tergantung pada dua faktor utama; competitive defendability yakni kemampuan perusahan untuk berada satu langkah di depan pesaing, dan environmental consonance yakni kemampuan perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Strategi menyeimbangkan antara organisasi dan lingkungan dicontohkan oleh Bally pemimpin pasar mesin permainan pinball. Di tahun 1990-an kekuatannya dalam bidang pembuatan peralatan elektro-mekanikal tidak lagi sesuai dengan permintaan pasar, beberapa pesaing telah mengubah preferensi permintaan. Bally dihadapkan pada pilihan, meningkatkan teknologi agar sesuai dengan perkembangan pasar atau membangun kompetensi baru dari awal lagi. Akhirnya Bally memutuskan untuk meninggalkan bisnis mesin pinball dan mengalihkan bisnisnya kepada bisnis baru slot machine yang saat itu sedang tumbuh.

Perspektif Pada SLB
Dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan, muncul pertanyaan “siapa yang harus menyesuaikan siapa?” – apakah perusahaan mengadaptasi dirinya dengan lingkungan (sebagai kesengajaan), atau apakah dengan sendirinya perusahaan akan beradaptasi dengan lingkungan. Manajer dengan perspektif outside-in percaya bahwa perusahaan tidak boleh self-center, namun sebaiknya secara terus menerus memperhatikan lingkungannya ketika menentukan strategi (market driven). Analisa lingkungan diperlukan untuk mengidentifikasi pasar (peluang) dan kompetisi (ancaman). Kodak dengan digital imaging-nya memberi contoh perspektif outside-in. Di lain pihak, manajer dengan perspektif inside-out percaya bahwa strategi mesti dibangun dari kekuatan perusahaan. Kelompok ini berargumen bahwa perusahaan yang sukses menghimpun basis resources yang kuat selama periode tertentu, memiliki peluang membuka pasar dalam jangka pendek dan menengah. Penekanan perspektif inside-out terutama pada pentingnya perusahaan memiliki kompetensi dalam mengelola tangible resources (competence-based view) atau capabilities-based view. Red-Bull – perusahaan minuman energi – memberi contoh implementasi perspektif inside-out.

Strategi Dalam Organisasi Penyedia Jasa
Perbedaan penting antara penyedia produk dan jasa terletak pada perbedaan keterhubungan (contact) antara perusahaan dan pelanggannya. Aktivitas penyedia produk (dapat) terpisah dari pelanggan, sementara perusahaan jasa dalam memberikan layanan berinteraksi secara langsung dengan pelanggannya. Cakupan industri jasa telah meluas dan berkembang pesat. Data menunjukkan peningkatan output industri jasa dalam menyumbang GDP di banyak negara. Industri jasa menghasilkan output bukan dalam bentuk fisik namun berupa intangible experience atau intangible product yang dihasilkan, ditransfer, dan dikonsumsi pada saat yang sama. Karakteristik jasa ditandai dengan intangibility, heterogenity, simultan produksi dan konsumsi, serta perishability.

Manajemen Intangible
Heskett memperkenalkan strategi “the service triangle” yang menjelaskan hubungan antara perusahaan jasa, pegawai, dan pelanggan yang mengandalkan manajemen internal sistem operasi dan prosedur. Selain itu, model rantai nilai (value chain) dapat pula diterapkan untuk strategi perusahaan jasa.

Kesimpulan
RBV merupakan salah satu pendekatan dalam merancang suatu strategi mencapai keunggulan (competitive strategy) dengan mengunakan resources internal yang dimiliki perusahaan. Keunggulan dicapai bila resources tersebut hanya dimiliki oleh perusahaan atau pesaing tidak mudah menirunya. Untuk itu perlu dikenali faktor yang mempengaruhi eksistensi resources apakah dari keterbatasan supply atau dari upaya inovasi yang dilakukan terus menerus. Strategi berbasis resources (RBS) dikembangkan dengan memperhatikan ketersediaan resources. Pengelolaan resources dalam kaitan dengan strategi dipengaruh oleh perspektif manajer, apakah outside-in atau inside-out.
Aplikasi kedua perspektif dalam pengelolaan resources ini dapat diterapkan pada perusahaan penyedia jasa dalam skala kecil atau industri jasa dalam skala luas. Mengingat karakteristik jasa, maka strategi meraih keunggulan berbasis resources perlu memperhatikan kesulitan (pitfalls) seperti misalnya perbedaan ekspektasi dan kebutuhan dari berbagai pelanggan pada saat yang bersamaan. Strategi yang sukses pada dasarnya merupakan hasil dari bagaimana seluruh eksponen perusahaan melaksanakan tanggung jawabnya, tanpa melihat di level mana jabatan mereka, atau apakah perusahaan tersebut dilengkapi dengan teknologi atau tidak. Pengelolaan resources sebagai basis strategi bisnis di perusahaan dan industri jasa memerlukan antar-muka (interface) antara strategi dan operasional, karena hal ini mempengaruhi pengalaman pelayanan oleh pelanggan.

Ekspansi Dalam Diversifikasi

Pendahuluan
Perusahan besar yang melakukan diversifikasi dengan menguasai berbagai macam bisnis telah lama menjadi perhatian banyak pihak. (Gold & Luchs, 1993). Pendapat sinikal terhadap diversifikasi didasari pada anggapan bahwa perusahaan yang beranjak dari satu type aktivitas ke multi-aktivitas adalah tidak baik, khususnya jika dikaitkan dengan proses menjadi bisnis besar. Tidak disukai karena kecenderungan menjadi sangat powerful, dan dalam hal tertentu melakukan subsidi silang antar unit bisnis untuk mendesak pesaing keluar dari industri. Perusahaan yang melakukan diversifikasi dikatakan cenderung anti kompetisi. Selain anti-kompetisi, perusahaan diversifikasi juga tidak menambah nilai bagi bisnis utama (Porter, 1987)

Diversifikasi sebagai salah satu alternatif strategi korporasi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis: konsentrik, konglomerate, dan horisontal (David, 1997). Ketiga jenis diversifikasi tersebut termasuk dalam kelompok alternatif strategi dalam membangun Grand Strategy, yang dimaksudkan untuk memberi arah dan landasan bagi upaya koordinasi dan pencapaian sasaran jangka panjang (Pearce & Robinson, 2003). Dari pendekatan lain (Hill & Jones, 1998), diversifikasi dapat pula dibedakan ke dalam dua type: terkait (related diversification) dan tak terkait (unrelated diversification). Keterkaitan mengacu pada hubungannya dengan bisnis utama yang sedang digeluti, atau beberapa bisnis yang membentuk rantai nilai (value chain) dalam suatu kelompok usaha (Nathanson & Casanno, 1982 dalam Besanko et all, 1996).

Beberapa persoalan krusial dalam diversifikasi antara lain kapan sebaiknya perusahaan melakukan diversifikasi, bagaimana manajer menciptakan value melalui diversifikasi, apa saja pilihan bisnis yang dapat diambil, dan bagaimana strategi untuk memasuki bisnis baru dalam konteks diversifikasi.


Alasan Diversifikasi
Sebagian besar perusahaan mempertimbangkan untuk melakukan diversifikasi ketika menghasilkan sumber daya keuangan yang melebihi (in excess) dari jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan keunggulan daya saing (competitive advantage) bisnis utamanya (Penrose, 1959). Penrose menunjuk dua alasan diversifikasi, internal dan eksternal yang merupakan dorongan (inducement) bagi pertumbuhan. External inducement merupakan dorongan dari yang memberi peluang bagi dibukanya bisnis baru., seperti munculnya Internet membuka peluang bagi penerbit koran cetak untuk membua bisnis layanan koran online. Dalam hal lain dorongan luar dapat pula dalam bentuk ancaman yang kemudian ditanggapi dengan membentuk usaha baru. Contoh klasik fenomena ini ketika perusahaan operator telekomunikasi ramai – ramai memasuki bisnis layanan Voice Over IP (VoIP) ketika menyadari bahwa pendapatan mereka cenderung turun setelah munculnya layanan VoIP yang lebih efisien dibandingkan dengan teknologi sirkit switch. Internal inducement, di lain pihak, adalah kondisi di dalam perusahaan yang memberi sinyal untuk diversifikasi disebabkan oleh kesadaran bahwa perusahaan tidak lagi mampu melayani pasar yang sedang digelutinya, atau keinginan untuk mendaya – gunakan resource base yang ada.

Pada perkembangan lanjut, alasan diversifikasi berkisar dari upaya tradisional untuk peningkatan efisiensi seperti eksploitasi lingkup ekonomis (economic of scope), dan mendisiplinkan manajer yang kinerjanya jelek, hingga yang didasari kebutuhan untuk mengatasi munculnya masalah – masalah baru seperti penyalah-gunaan kewenangan oleh manajer puncak (Besanko et all, 1996). Diversifikasi yang dimaksudkan untuk mencapai skala ekonomis maupun lingkup ekonomis dilakukan dalam dua cara: menjual produk sejenis (similar products) atau menjual kepada pasar yang sama (similar market). Perusahaan dengan tingkat keaneka-ragaman produk dan pasar yang rendah memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyebarkan kemampuannya dan mengeksploitasi lingkup ekonomis dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat keaneka-ragaman produk dan pasarnya tinggi.

Selain alasan untuk memperoleh economies of scope, ada tiga alasan lain untuk diversifkasi: sinergi keuangan (financial synergies), economizing on transaction costs, dan memenuhi objektif manajerial. Sinergi keuangan dilandasi pada pemikiran bahwa untuk mencapai sukses jangka panjang, suatu perusahaan yang sedang tumbuh memerlukan portofolio bisnis yang menjamin kecukupan dan kestabilan arus kas agar dapat mendanai semua aktivitas perusahaan. Strategi portofolio memungkinkan perusahaan induk memanfaatkan profit yang diperoleh suatu unit bisnis untuk mensubsidi unit bisnis lainnya. Namun demikian strategi semacam ini tidak menciptakan nilai tambah kepada pemilik perusahaan (share holders). Jika demikian, pemilik perusahaan dapat melakukan diversifikasi sendiri tanpa keterlibatan manajer perusahaan

Meskipun economies of scope sebagian besar menjadi alasan utama diversifikasi, permasalahan biaya transaksi (transaction costs) juga relevan disebut sebagai alasan lain bila diversifikasi dilakukan melalui merger dan akuisisi (Teece, 1982). Perusahaan multiproduk merupakan pilihan efisien ketika koordinasi di antara perusahaan yang beroperasi secara independen sulit dilakukan oleh adanya permasalahan biaya transaksi dan persoalan – persoalan lain yang tersembunyi. Persoalan biaya transaksi muncul mana kala proses produksi melibatkan sejumlah aset khusus seperti Sumber Daya Manusia (SDM), Standard Operating Procedures (SOP), dan lainnya yang sifatnya proprietary.

Alasan manajerial untuk melakukan diversifikasi berorientasi pada kepentingan untuk menjaga dan memperluas posisi eksekutif dalam membuat keputusan dari pada motif peningkatan efisiensi atau menambah kekayaan pemegang saham. Dalam hal seperti ini, diversifikasi efisien untuk manajer, tetapi tidak efisien untuk pemegang saham. Untuk mengurangi resiko kehilangan pekerjaan manajer terpaksa harus mengurangi resiko berkinerja buruk, salah satu caranya adalah melalui akuisisi tak terkait. Namun demikian masih ada sisi positif yang didapat dari motif manajer dalam melakukan diversifikasi. Diversifikasi tak terkait yang dihasilkan dari keputusan manajer dapat meningkatkan insentif dengan mengurangi biaya motivasi manajer dalam skema pay-for-performance (Debra Aron, 1988 dalam Besanko et all, 1996). Prahalad & Bettis (1986) mengajukan argumen, lingkup ekonomi dapat dicapai melalui penyebaran ketrampilan manajemen puncak yang tergolong langka ke dalam bisnis lain yang tidak terkait dengan bisnis utama.


Menciptakan Value Melalui Diversifikasi
Majalah Fortune melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 33 hingga 50% akuisisi berakhir dengan divestasi (Dess, Lumpkim, & Taylor, 2004). Hal ini mengindikasikan bahwa peluang sukses strategi diversifikasi hampir sama dengan resiko kegagalannya. Pertanyaannya, mengapa ada diversifikasi yang sukses namun mengapa ada pula yang gagal? Jawaban kunci atas pertanyaan ini adalah sinergi. Menciptakan value bagi shareholder saja tidak cukup. Sinergi antara bisnis utama dan bisnis baru hasil diversifikasi baik yang terkait (related) maupun tak terkait (unrelated) diperlukan guna memastikan tercapainya value yang maksimum dari langkah diversifikasi yang diambil. Bentuk sinergi diwujudkan dalam hubungan horisontal atau vertikal. Hubungan horisontal berupa penggunaan bersama oleh beberapa unit bisnis atas sumber daya tak berwujud (intangible resources) seperti kompetensi inti dan sumber daya berwujud seperti fasilitas produksi, saluran distribusi, dan lain sebagainya. Adapun hubungan vertikal merupakan penciptaan value yang diturunkan dari induk perusahaan.


Strategi Diversifikasi
Karakteristik diversifikasi ditentukan dari keterkaitan dengan bisnis utama yang menjadi kompetensi inti (Barney, 2001). Dalam menjalankan strategi diversifikasi, perusahaan dapat memilih tiga alternatif: diversifikasi terbatas (limited diversification), diversifikasi terkait (related diversification), atau diversifikasi tak terkait (unrelated diversification). Ada kesamaan dan perbedaan antara argumen Barney dan David. Dilihat dari esensinya konsentrik dalam David sama dengan diversifikasi terkait dalam Barney. Demikian halnya, konglomerat dapat disamakan dengan diversifikasi tak terkait. Sementara pengertian diversifikasi terbatas tidak persis sama dengan diversifikasi horisontal. Diversifikasi terbatas terjadi ketika

Mengacu David, konsentrik merupakan penambahan portofolio bisnis baru yang masih terkait dengan bisnis utama, sebagai contoh Kelompok Usaha Kompas masuk ke bisnis penerbitan (Elexmedia Komputindo), toko buku (Gramedia) dan penyiaran (Radio Sonora dan TV7). Konglomerat, menambah bisnis baru yang tidak terkait dengan bisnis utama, sebagai contoh, Kelompok Usaha Kompas masuk ke bisnis Hotel (Santika) atau ritel (Grasera). Sedangkan diversifikasi horisontal dilakukan dalam wujud menambah bisnis baru yang tidak terkait dengan produk jasa bisnis utama, yang ditawarkan kepada pelanggan bisnis utama. Contoh horisontal, Kelompok Usaha Kompas membuka bisnis jasa konsultansi perjalanan (travel biro) yang khusus ditujukan bagi pelanggan Koran dan Majalah Kelompok Kompas – Gramedia.


Tentang AJB Bumiputera
Bumiputera berdiri atas prakarsa seorang guru sederhana bernama M. Ng. Dwidjosewojo – Sekretaris Persatuan Guru-guru Hindia Belanda (PGHB) sekaligus Sekretaris I Pengurus Besar Budi Utomo. Dwidjosewojo menggagas pendirian perusahaan asuransi karena didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap nasib para guru bumiputera (pribumi). Ia mencetuskan gagasannya pertama kali di Kongres Budi Utomo, tahun 1910. Dan kemudian terealisasi menjadi badan usaha – sebagai salah satu keputusan Kongres pertama PGHB di Magelang, 12 Februari 1912 (http://www.bumiputera.com).
Tidak seperti perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) – yang kepemilikannya hanya oleh pemodal tertentu; sejak awal pendiriannya Bumiputera sudah menganut sistem kepemilikan dan kepenguasaan yang unik, yakni bentuk badan usaha “mutual” atau “usaha bersama”. Semua pemegang polis adalah pemilik perusahaan – yang mempercayakan wakil-wakil mereka di Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk mengawasi jalannya perusahaan. Asas mutualisme ini, yang kemudian dipadukan dengan idealisme dan profesionalisme pengelolanya, merupakan kekuatan utama Bumiputera hingga hari ini.
Hingga semester pertama 2005 Bumiputera mengkaryakan sekitar 18.000 pekerja, melindungi lebih dari 9.7 juta jiwa rakyat Indonesia, dengan jaringan kantor sebanyak 576 di seluruh pelosok Indonesia; tengah berada di tengah capaian baru industri asuransi Indonesia. Sejumlah perusahaan asing menyerbu dan masuk menggarap pasar domestik.
FALSAFAH
Sebagai perusahaan perjuangan, Bumiputera memiliki falsafah sebagai berikut :

Idealisme, Senantiasa memelihara nilai-nilai kejuangan dalam mengangkat kemartabatan anak bangsa sesuai sejarah pendirian Bumiputera sebagai perusahaan perjuangan.

Kebersamaan, mengedepankan sistem kebersamaan dalam pengelolaan perusahaan dengan memberdayakan potensi komunitas Bumiputera dari, oleh dan untuk komunitas Bumiputera sebagai manifestasi perusahaan rakyat.

Profesionalisme, memiliki komitmen dalam pengelolaan perusahaan dengan mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan
senantiasa berusaha menyesuaikan diri terhadap tuntutan perubahan lingkungan.
VISI
Bumiputera ingin menjadi asuransinya bangsa Indonesia.
C. MISI
Menjadikan Bumiputera senantiasa berada di benak dan di hati masyarakat Indonesia, dengan:
Memelihara keberadaan Bumiputera sebagai perusahaan perjuangan bangsa Indonesia.
Mengembangkan korporasi dan kooperasi yang menerapkan prinsip dasar gotong-royong.
Menciptakan berbagai produk dan layanan yang memberikan manfaat optimal bagi komunitas Bumiputera.
Mewujudkan perusahaan yang berhasil baik secara ekonomi dan sosial.


Analisis Diversifikasi Kelompok Usaha Bumiputera
Kesejarahan dan Alasan Diversifikasi
Mardi Mulyo dan Redball, diterima sebagai anak perusahaan karena faktor kesejarahan dengan keluarga pendiri dan direksi. Bumida, didirikan untuk menambah lini bisnis melayani asuransi kerugian. Bank Bumiputera, didirikan menyambut pakto 88, dan meniru asuransi jiwa di Jepang dan Swiss. Wisma Bumiputera, Informatik OASE, Bumiputera Multimedia, Mitrasarana, dan Hotel Bumi Wiyata pada awalnya didirikan untuk melayani kebutuhan internal. Bumiputera-BOT Finance dan Bapindo-Bumi Sekuritas didirikan sebagai strategi aliansi penyaluran excessive financial. AJJHI merupakan aliansi dengan JH of USA untuk melayani asuransi kumpulan (group / corporate).

Kinerja Kelompok Usaha Bumiputera
Perusahaan induk selalu untung. Sebagian besar unit bisnis yang tidak terkait, tidak menyumbang keuntungan, ketergantungan kepada induk besar, namun tetap dipertahankan karena interest manajer. Unit bisnis terkait menghasilkan laba, Bank Bumiputera dan Bumida sudah go publik.

Kontribusi Unit Bisnis Dalam Rantai Nilai
Unit bisnis tidak terkait dianggap sebagai supporting elements sebagaimana konsep rantai nilai yang dikembangkan Porter. Unit bisnis terkait, menghasilkan sinergi (horisontal dan vertikal).


Simpulan dan Saran
Simpulan
Keputusan melakukan diversifikasi di Kelompok Usaha Bumiputera lebih banyak dipengaruhi oleh konteks kesejarahan, kelebihan likuiditas, motivasi manajer untuk menciptakan jabatan, dan membangun sinergi. Ketidak – mampuan unit - unit bisnis tak terkait secara konsisten menghasilkan laba dipengaruhi oleh faktor ketergantungan mereka kepada induk, dan rendahnya enterpreneurship para manajer. Strategi diversifikasi KU Bumiputera mendekati kebenaran pernyataan Porter.

SaranDalam jangka panjang beberapa unit bisnis tak terkait akan terus membebani induk. Keputusan melepas (spin off) unit yang terus merugi perlu dipertimbangkan. Penambahan unit bisnis baru, jika diinginkan, sebaiknya yang terkait dengan bisnis utama, dengan memperhatikan resource base dan core competency yang dimiliki, serta mitra sinergi yang memiliki corporate value yang bersesuaian. Era diversifikasi bermotifkan perluasan jabatan sebaiknya diakhiri.

Analisis Sumberdaya dan Kapabilitas Internal

Mengapa suatu perusahaan secara terus menerus mampu mengungguli perusahaan lainnya? Salah satu jawaban yang ditawarkan terhadap pertanyaan ini adalah implementasi Resource-Based View - RBV (Peteraf, 1993). RBV dikatakan sebagai pendekatan baru dalam formulasi strategic management, dan dalam penjelasan lain merupakan upaya membangun keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan kompetitif yang dihimpun dari RBV, merupakan hasil (resultant) dari keaneka-ragaman (heterogeneity), ex post limits to competition, imperfect mobility, dan ex ante limits to competition.

Munculnya RBV berawal dari pendekatan klasik dalam formulasi strategi yang pada umumnya berangkat dari penilaian terhadap kompetensi dan sumber daya perusahaan, di mana hal – hal yang berbeda (distinctive) atau superior dari pesaing dapat menjadi basis keunggulan kompetitif (Andrews, 19971; Thompson dan Strickland, 1990). Asumsi dasar RBV adalah bahwa sumberdaya dalam perusahaan bergabung menjadi satu (bundles) dan kemampuan yang mendasari produksi tidak sama satu dengan lainnya (heterogeneous). Perusahaan yang memiliki serta menggunakan sumberdaya dan kemampuanny asecara efisien memiliki peluangyang lebih besar untuk beroperasi secara lebih ekonomis dan atau lebih baik dalam memuaskan pelanggan. Keaneka-ragaman (heterogeneity) menunjukkan secara tidak langsung bahwa suatu perusahaan yang memiliki berbagai kemampuan dapat berkompetisi dan hasil minimal yang diperolehnya setidaknya impas (breakeven). Sementara perusahaan dengan sumberdaya marginal hanya dapat berharap memperoleh impas, namun perusahaan dengan sumberdaya superior akan memperoleh rents.

Menggunakan pendekatan Ricardian rent, dapat disimpulkan bawah perusahaan yang memiliki sumberdaya superior - yang tersedia secara terbatas - dan menggunakannya secara efisien dapat mempertahankan (sustain) keunggulan kompetitifnya sepanjang mampu mengendalikan sumberdayanya agar tidak dimiliki pihak lain secara bebas atau ditiru oleh pesaing. Keadaan semacam ini mirip dengan monopoly rent, perbedaannya terletak pada dalam model monopoli keaneka-ragaman dihasilkan dari kompetisi spasial atau perbedaan produk. Keuntungan (profit) monopoli diperoleh dari pembatasan output yang dilakukan secara sengaja, sementara dalam Ricardian rents, keuntungan diperoleh dari kelangkaan yang sudah menjadi sifat (inherent scarcity) dari pasokan sumberdaya. Terlepas dari kedua rents di atas, agar keunggulan kompetitif tetap bertahan kondisi keaneka-ragaman sumberdaya harus tetap dipelihara dengan menjaga rents tetap di atas biaya (ex ante limits to competition).

Kajian mengenai RBV terpusat pada dua faktor kritis yang membatasi ex post competition: imperfect imitability dan imperfect substitutability. Kedua upaya ini disebut sebagai mekanisme isolasi (Rumelt, 1987), atau mobility bariers (Caves dan Porter, 1977), atau perluasan entry barriers (Bain, 1956). Sebaliknya, Yao (1988) berpendapat bahwa kegagalan keunggulan pasar secara mendasar disebabkan oleh ekonomi produksi dan sunk costs, transaction costs dan imperfect information. Faktor – faktor lain yang dapat menghambat imitasi adalah time compression diseconomis, asset mass efficiencies, interconnectedness of asset stocks, asset erosion, dan causal ambiguity (Dierickx dan Cool, 1989). Faktor imobilitas atau imperfect mobility merupakan kebutuhan kunci lain untuk keunggulan yang lestari (sustainable).

Analisa sumberdaya perusahaan dan posisinya dalam persaingan (competitive position) merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan strategi menggunakan RBV (Thompson et all, 2005). Pada tataran praktikal, analisa diawali dengan mempertanyakan seberapa baik strategi yang ada, kemudian melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan sumberdaya perusahaan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang ada di luar lingkungan perusahaan. Langkah berikutnya mengevaluasi apakah harga produk/jasa dan biaya sudah unggul (competitive) dari para pesaing. Ketiga langkah di atas kemudian digunakan untuk menganalisis apakah perusahaan lebih kuat atau lebih lemah dari para pesaing. Dengan mengetahui posisi perusahaan relatif terhadap pesaing dalam suatu industri, manajemen dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengidentifikasi isu – isu strategis yang memerlukan perhatian, terutama bila strategi yang ada belum mampu menjawab perubahan yang terjadi di lingkungan luar, atau tidak dapat memanfaatkan sumberdaya perusahaan secara efisien dan efektif.

Jika manajemen memutuskan untuk mengubah strategi yang ada, pertanyaannya adalah tindakan (actions) apa saja yang diperlukan untuk mempromosikan pelaksanaan strategi dengan lebih baik. Thompson et all (2005) menawarkan lima tindakan manjerial yang memfasilitasi eksekusi strategi, sementara Afuah (2004) menawarkan pengelolaan sumber penghasilan (sources of revenues) dan sasaran pasar. Lima tindakan yang disebutkan Thompson et all mencakup: penyusunan sumberdaya yang mendorong eksekusi strategi dengan baik; penerapan kebijakan dan prosedur yang dimaksudkan untuk memfasilitasi eksekusi strategi; memakai best practices dan mengupayakan peningkatan berkelanjutan dalam aktivitas rantai nilai (value chain); memasang (install) sistem informasi dan operasi yang memungkinkan personalia perusahaan untuk melaksanakan peran strategis masing – masing dengan cakap; dan memberikan hadiah (rewards) dan atau insentif kepada semua eksponen perusahaan atas pencapaian strategi maupun sasaran keuangan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Afuah (2004) berargumen bahwa keberhasilan strategi perusahaan dapat diukur dari nilai (value) kepuasan pelanggan yang tercermin dari berulangnya mereka membeli produk/jasa perusahaan. Persoalannya value yang diharapkan berbeda dari satu pelanggan ke pelanggan lainnya, oleh karenanya menjadi penting bagi perusahaan untuk memutuskan pelanggan atau kelompok pelanggan mana yang akan dijadikan sasaran layanan, serta seberapa banyak permintaan value mereka akan dilayani. Selain itu pada suatu sasaran pasar seringkali terdapat peluang untuk memperoleh lebih dari satu sumber pendapatan, dan tambahan revenue ini bahkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari sumber utamanya. Dicontohkan penjual (dealer) mobil, selain memperoleh keuntungan dari penjualan mobil juga mendapat tambahan penghasilan dari jasa perbaikan dan pemeliharaan yang memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari penjualan mobil.

Selain memberi value kepada pelanggan yang lebih baik dari pesaing serta mengidentifikasi sumber – sumber penghasilan dari target pasar, Afuah menambahkan perlunya menghubungkan (connect) semua aktivitas di dalam internal perusahaan guna memfasilitasi model bisnis yang menguntungkan. Kemampuan perusahaan menawarkan value (melalui low-cost or differentiated products) merupakan hasil dari serangkaian aktivitas nilai-tambah yang mendukung (underpin) kreasi produk atau layanan. Aktivitas nilai tambah yang dimaksud merupakan kombinasi antara pengelolaan sistem bisnis yang mengandalkan sumberdaya perusahaan, sistem nilai (value system) yang berlaku pada suatu industri, dan keterkaitan vertikal (vertical linkage) dengan industri terkait.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa RBV merupakan pendekatan alternatif dalam menyusun strategi perusahaan. Strategi ini mengandalkan kekayaan sumberdaya yang ada, namun juga memperhatikan lingkungan luar baik dapat dikendalikan maupun yang di luar kemapuan perusahaan untuk mengendalikannya. Kunci sukses penerapan strategi berbasis sumberdaya ini, terletak pada kemampuan perusahaan memelihara keaneka-ragaman (heterogeneity), mencegah pesaing meniru atau memiliki sumberdaya yang secara unik dikuasai (ex post limits to competition), menjadikan pesaing selalu mengalami imperfect mobility, dan mengelola semua sumberdaya secara efisien dan efektif dalam penggunaannya (ex ante limits to competition). Analisis sumberdaya dan kapabilitas internal juga perlu melibatkan pemahaman mengenai faktor – faktor yang menjadi sifat industri seperti competitive and macro forces, cooperative forces, dan industry value drivers. Selain itu, guna memastikan tingkat keuntungan – sebagai hasil dari strategi bisnis - perusahaan perlu memastikan posisinya relatif terhadap: customer value, segmen pasar yang menjadi sasaran, sumber – sumber penghasilan, persaingan pasar, dan harga produk/jasa yang ditawarkan.
Mengacu referensi yang menjadi sumber utama paper ini, satu kritik terhadap RBV terutama pada belum adanya definisi yang jelas mengenai peran sumber daya manusia (SDM) di dalam lingkungan perusahaan sebagai bagian dari strategi, apakah diperlakukan sebagai aset atau liability. Hal ini mengingat tidak semua personalia perusahaan dapat digolongkan sebagai aset. Jika demikian, perusahaan yang SDM-nya lebih sebagai liability harus mengubahnya terlebih dahulu sehingga menjadi aset, sebelum menerapkan strategi berbasis sumberdaya. Dalam hubungannya dengan perubahan orientasi pasar dari monopoli, captive menjadi persaingan (competitive market) , keraguan juga muncul, apakah basis pelanggan (customer base) dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat di-internalized, atau harus dianggap sebagai faktor luar merupakan variabel yang sulit diperkirakan preferensinya. Beberapa perusahaan memperlakukan customer base sebagai aset yang mempengaruhi nilai perusahaan (industri jasa telekomunikasi dan perbankan), namun demikian perusahaan pada kedua industri ini seringkali mengalami kesulitan ketika pelanggan tidak lagi puas dengan value yang ditawarkan sehingga beralih kepada pesaing. Dalam kondisi seperti ini, sumberdaya dan saya saing perusahaan menjadi berkurang.*****