Wednesday, January 30, 2008

Sumber Daya Strategik – Bahan Bakar bagi Kinerja Perusahaan

Sebagian besar manajer mengerti pentingnya membangun atau memelihara sumberdaya bagi binis mereka, baik yang bersifat tangible seperti staf dan pelanggan, dan intangible seperti moralitas staf dan dukungan investor. Sumber daya interdependen - kualitas produk yang baik - hanya memberi value yang sedikit jika penyampaiannya merusak reputasi di hadapan pelanggan, dan wiraniaga yang hebat sekalipun tidak dapat melakukan apapun terhadap berbagai produk yang buruk. Sumber daya merupakan hal penting bagi perusahaan, namun sumberdaya bukanlah satu-satunya yang terpenting. Satu sumber daya yang baik perlu diimbangi dengan sumberdaya lainnya. Artinya di antara sumberdaya terjadi keterkaitan, saling mempengaruhi.

Sumber daya strategik (strategic resources), dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berguna ketika perusahaan memiliki akses untuk memanfaatkannya. Kapabilitas dan kompetensi (sesuatu yang perusahaan bagus dalam melakukannya) tidak dapat digolongkan sebagai sumberdaya strategik. Proses yang terjadi di dalam perusahaan (seperti pengurangan biaya, rekayasa produksi, order processing) juga tidak dapat dimasukkan sebagai sumberdaya. Jika dimasukkan dapat tumpang-tindih (overlap) dengan daftar kapabilitas yang menunjukkan apa yang dikerjakan perusahaan dari pada apa yang dimiliki perusahaan. Item lain yang sebaiknya tidak dimasukkan dalam sumberdaya strategik adalah semua item yang terdapat di laporan laba rugi atau pernyataan cashflow. Item – item tersebut lebih menunjukkan satu tingkat (rate) pada suatu periode di mana aktivitas keuangan terjadi dari pada besaran (amount) sesuatu yang dimiliki perusahaan pada suatu waktu.

Diskusi tentang bagaimana sumberdaya memberi kontribusi bagi keunggulan kompetitive dapat ditemukan di berbagai literatur. Lihat Penrose (1959), Wernerfelt (1984), Barney (2001) dan Grant (2001). Beberapa pertimbangan dalam menentukan kualitas sumberdaya:
• Seberapa tahan lama (durable)? sumber daya yang dapat rusak, luntur, atau menjadi obsolete tidak dapat mendukung sustainable advantage. Mesin-mesin pabrik menjadi usang, ketrampilan pegawai menurun, antusiasme investor untuk mendanai perusahaan menghilang. Atau dalam hal lain, sumber daya tidak berubah (seperti efisiensi fasilitas produksi atau standar layanan) tetapi secara efektif menjadi tidak durable karena kemajuan teknologi atau meningkatkan ekspektasi pelanggan yang tidak dapat dipenuhi pelanggan.

• Seberapa mudah berpindah (mobile) atau dapat dipertukarkan (tradeable)? Berbagai sumber daya, sementara penting bagi operasi bisnis yang efektif, juga mudah didapat atau dipindahkan dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya, di mana hal ini dapat berdampak pada berkurangnya sustainable advantage. Sumberdaya bersifat mobile jika ia dapat dengan mudah dibeli atau dijual. Produsen peralatan sangat bersemangat menjual teknologinya kepada siapa saja (termasuk pesaing). Pegawai dapat tergoda oleh gaji lebih tinggi yang ditawarkan oleh pesaing. Sumber daya dapat berpindah dari perusahaan karena alasan apapun di luar harga.

• Seberapa mudah dibuat tiruannya (replicable)? Banyak sumber daya yang dengan mudah dapat ditiru oleh pesaing, dan akibatnya mengurangi competitive advantage. Perusahaan dapat menambah produk baru, dan melakukan kampanye pemasaran untuk meningkatkan pangsa pasar dalam waktu singkat, namun jika produk tersebut dengan mudah dapat di-copy, manfaatnya akan menguap dalam jangka pendek.

• Dapatkah sumber daya digantikan (substituted)? Meski suatu bisnis tidak dapat membeli atau meniru sumber daya yang dimiliki pesaing, tidak berarti kehilangan peluang untuk mendapatkan competitive advantage, jika mampu menciptakan sumber daya alternatif (pengganti) yang mampu memenuhi tujuan serupa. Contohnya, penggunaan pesanan melalui telepon atau website untuk mengatasi kesenjangan akses kepada toko ritel.

• Apakah sumberdaya saling melengkapi (complementary)? Apakah di antara sumberdaya dapat bekerja sama dengan baik? Pemahaman yang tinggi terhadap suatu merek hanya memberikan sedikit value jika tidak disertai dengan saluran distribusi untuk menghasilkan penjualan.

Yang perlu diperhatikan, karakter sumberdaya yang direpresentasikan dalam menjawab pertanyaan di atas tidak selalu absolute atau bersifat hitam-putih. Jarang sekali sumber daya sepenuhnya bersifat durable, absolut tidak dapat dipertukarkan, atau sama sekali tidak dapat ditiru atau digantikan. Pada kenyataannya hanya pada tingkat tertentu dapat memenuhi kriteria tersebut. Selain itu, kemampuan untuk merawat, memindahkan, meniru atau mencari pengganti sumber daya secara inherent merupakan isu dinamis. Dengan pengecualian sumberdaya yang dapat dipertukarkan, tidak ada yang dapat dengan mudah didapat dalam tempo segera. Selalu terjadi masalah seberapa cepat suatu sumber daya dapat dibangun atau mulai berkurang manfaatnya. Tanpa sarana pengukuran dan penyajian laju perubahan level sumber daya, kemajuan di dalam memahami skala dan variasi competitive advantage perusahaan menjadi sulit.*****

Faktor Industri dan Kinerja Perusahaan

Analisa kondisi kompetisi pada level industri telah mendominasi upaya peneliti dalam memahami dan meramalkan kinerja perusahaan selama dua puluh tahun terakhir (Warren, 2002). Dominasi ini muncul dari pengaruh paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) dalam ekonomi industri. Paradigma SCP beragumen bahwa perilaku manajerial dalam strategi perusahaan (entry, differensiasi, pricing, dll.) lebih banyak ditentukan oleh kondisi industri yang membatasai kemampuan perusahaan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari perusahaan-perusahaan lain secara signifikan. Kondisi industri terkait dengan barriers yang menghalangi perusahaan lain yang berniat memasuki atau meninggalkan industri, atau beralih kepada supplier dan atau produk lain. Hambatan ini dapat berupa financial (seperti biaya membangun kapasitas, mendapatkan akses pasar, membangun produk yang kompertitif) atau yang bersifat strategik (memperkirakan tidak-balasan pesaing, keengganan pelanggan untuk beralih dari supplier yang telah dipercayainya).

Implikasi SCP bagi manajemen strategik cukup berarti. Jika kondisi industri mendominasi kinerja perusahaan, yang dapat dilakukan hanyalah memilih industri yang atraktif, dan nasib manajer lebih banyak diukur dari profitabilitas yang dicapai. Tidak ada peran lebih lanjut bagi manajemen. Pandangan ini didukung oleh fakta bahwa banyak perusahaan yang gagal untuk menampilkan kinerja yang lebih baik dari rata-rata industri, meraih profitabilitas yang signifikan dan menyingkirkan para pesaing.

Manajemen memiliki peran untuk berkiprah dalam menentukan kinerja strategik perusahaan. Pertama, studi bidang strategi mengakui bahwa kondisi industri masih menjadi salah satu faktor diperolehnya kinerja yang buruk. McGahan dan Porter (1997) menyatakan bahwa kondisi suatu industri hanya menjelaskan 15% dari varians dalam profitabilitas di antara sejumlah besar perusahaan. Suatu hal yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana beberapa perusahaan berhasil memperoleh untung atau lebih unggul dari lainnya.

Namun demikian, fakta adanya perusahaan yang gagal untuk unggul dalam industri tidak serta-merta membuktikan bahwa kondisi industri mendominasi. Kondisi ini juga bukan faktor tunggal yang mengubah melalui perubahan manajemen. Alasan kedua, karena adanya perbedaan kinerja di antara perusahaan. artinya unit bisnis juga punya andil dalam mencapai kinerja tertentu.

Kegagalan faktor – faktor industri untuk menjelaskan kinerja perusahaan menimbulkan pertanyaan terhadap paradigma SCP sebagai basis dalam mengiden-tifikasi peluang strategik atau memberi saran bagi manajemen bagaimana yang terbaik untuk mengambil peluang tersebut. Kinerja merupakan fungsi langsung dari sumberdaya strategik yang dimiliki atau yang dapat dikelola oleh perusahaan.*****

Strategi Bisnis

Strategi pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi dua keperluan vital, pertama terkait dengan penempatan posisi relatif terhadap lingkungan luar perusahaan yang membutuhkan pemahaman terhadap lingkungan di mana perusahaan berada. Kedua, untuk penyelerasan lingkungan internal perusahaan yang mencakup semua kegiatan dan investasi. Dengan strategi, setiap keuntungan unit bisnis dapat dipisahkan ke dalam dua komponen: tingkat keuntungan rata-rata industri dan pemisahan rata-rata tersebut yang diterapkan kepada keunggulan (atau kelemahan) dalam persaingan sebagai akibat dari strategi dalam industri tersebut.

Konsep tradisional strategi disusun dalam kaitannya dengan posisi sumber daya (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki perusahaan, alam hal ini sumber daya dan produk dapa dianggap sebagai dua sisi mata uang, dimana posisi pasar untuk produk unggul ditentukan oleh kepemilikan sumber daya yang langka dan spesifik. Para pendukung RBT mencoba mencari penegasan perbedaan antara RBT dan IO dengan menekankan intrinsic inimitability of scarce; sumber daya berharga untuk berbagai alasan; kemampuan mendapatkan sumber daya tertentu dapat tergantung dari keunikan, kondisi historis yang tidak dapat diciptakan oleh pesaing; hubungan antara sumber daya yang dimiliki perusahaan dan sustainable competitive advantage yang tidak dipahami dengan baik; atau sumber daya yang berperan besar dalam tercapainya keunggulan daya saing mungkin kompleks secara sosial dan di luar kemampuan perusahaan untuk secara sistematis mengelola dan mempengaruhinya (Ghemawat, 2002, 67) .

Resource Based View
Mengapa suatu perusahaan secara terus menerus mampu mengungguli perusahaan lainnya? Salah satu jawaban yang ditawarkan terhadap pertanyaan ini adalah implementasi Resource-Based View - RBV (Peteraf, 1993). RBV dikatakan sebagai pendekatan baru dalam formulasi strategic management, dan dalam penjelasan lain merupakan upaya membangun keunggulan kompetitif yang merupakan hasil (resultant) dari hubungan antara keaneka-ragaman, ex post limits to competition, imperfect mobility, dan ex ante limits to competition.

Munculnya RBV berawal dari pendekatan klasik dalam formulasi strategi yang pada umumnya berangkat dari penilaian terhadap kompetensi dan sumber daya perusahaan, di mana hal – hal yang berbeda (distinctive) atau superior dari pesaing dapat menjadi basis keunggulan kompetitif (Andrews, 19971; Thompson dan Strickland, 1990). Asumsi dasar RBV adalah bahwa sumberdaya dalam perusahaan bergabung menjadi satu (bundles) dan kemampuan yang mendasari produksi tidak sama satu dengan lainnya. Perusahaan yang memiliki serta menggunakan sumberdaya dan kemampuannya secara efisien memiliki peluang yang lebih besar untuk beroperasi secara lebih ekonomis dan atau lebih baik dalam memuaskan pelanggan. Keaneka-ragaman (heterogeneity) menunjukkan secara tidak langsung bahwa suatu perusahaan yang memiliki berbagai kemampuan dapat berkompetisi dan hasil minimal yang diperolehnya setidaknya impas (breakeven). Sementara perusahaan dengan sumberdaya marginal hanya dapat berharap memperoleh impas, namun perusahaan dengan sumberdaya superior akan memperoleh rents.

Teori pengembangan strategi menggunakan pendekatan RBV tergolong relatif baru dalam disiplin manajemen stratejik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan berbeda dari lainnya? Mengapa suatu perusahaan memperoleh laba yang lebih besar dari lainnya? Apa yang membuat keunggulan bersaing tetap sustainable? Salah satu kekuatan pendekatan RBV tercermin dalam kemampuannya untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan memiliki keunggulan bersaing dalam bisnis tunggal dan keunggulan perusahaan yang melewati berbagai bisnis.
RBV merupakan salah satu pendekatan dalam merancang suatu strategi mencapai keunggulan (competitive strategy) dengan mengunakan resources internal yang dimiliki perusahaan. Keunggulan dicapai bila resources tersebut hanya dimiliki oleh perusahaan atau pesaing tidak mudah menirunya. Untuk itu perlu dikenali faktor yang mempengaruhi eksistensi resources apakah dari keterbatasan supply atau dari upaya inovasi yang dilakukan terus menerus. Strategi berbasis resources (RBS) dikembangkan dengan memperhatikan ketersediaan resources. Pengelolaan resources dalam kaitan dengan strategi dipengaruh oleh perspektif manajer, apakah outside-in atau inside-out.

Aplikasi kedua perspektif dalam pengelolaan resources ini dapat diterapkan pada perusahaan penyedia jasa dalam skala kecil atau industri jasa dalam skala luas. Mengingat karakteristik jasa, maka strategi meraih keunggulan berbasis resources perlu memperhatikan kesulitan (pitfalls) seperti misalnya perbedaan ekspektasi dan kebutuhan dari berbagai pelanggan pada saat yang bersamaan. Strategi yang sukses pada dasarnya merupakan hasil dari bagaimana seluruh eksponen perusahaan melaksanakan tanggung jawabnya, tanpa melihat di level mana jabatan mereka, atau apakah perusahaan tersebut dilengkapi dengan teknologi atau tidak. Pengelolaan resources sebagai basis strategi bisnis di perusahaan dan industri jasa memerlukan antar-muka (interface) antara strategi dan operasional, karena hal ini mempengaruhi pengalaman pelayanan oleh pelanggan.

Sumber Daya (Resources)
Resources diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: tangible assset, intangible asset dan kemampuan organisasi (organizational capability). Perusahaan memiliki sejumlah resources yang unik, inilah yang membedakan satu perusahaan dengan lainnya. Keunikan dan karakteristik resources yang tidak dapat dikumpulkan dalam waktu yang relatif pendek, menyebabkan pilihan strategi perusahaan dibatasi oleh ketersediaan resources serta kecepatan dalam menghimpun resources baru. Ketersediaan resources, kendala laju perubahan merupakan faktor yang menjadikan perusahaan lain tidak mudah untuk menetapkan strateginya. Jika faktor – faktor tersebut mudah didapat oleh perusahaan lain, maka dengan mudah strategi dapat ditiru. Menciptakan kondisi resources tidak simetris (resource asymmetries) oleh karenanya merupakan substansi strategi. Nilai resources yang dimiliki suatu perusahaan terdapat pada jalinan kompleks antara perusahaan dan lingkungan kompetitif-nya terkait dengan demand, scarcity, dan appropriability.

Upaya secara terus menerus membangkitkan resources baru merupakan kondisi agar resources tersebut bermanfaat terutama dalam hubungannya dengan mempertahankan demand. Sementara itu, resources yang memfasilitasi tercapainya keunggulan bersaing harus tidak banyak dimiliki pihak lain (uncommon). Oleh karenanya, perusahaan perlu menciptakan kondisi kelangkaan sumber saya (rarity of resource) - yang menjadi kekuatan daya saingnya – selamanya. Mencegah agar tidak ada peniruan (inimitability) resources merupakan upaya stratejik guna membatasi persaingan. Empat karakteristik yang menyulitkan peniruan resources: secara fisik bersifat unik, akumulasinya memerlukan waktu relatif lama dan tidak dapat dipercepat (path dependency), peniru tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang sumberdaya yang hendak ditirunya (causal ambiguity), kompetitor memiliki kemampuan untuk mereplikasi resources-nya tetapi karena ukuran pasar memilih untuk tidak melakukannya (economic deterrence). Karakteristik umum yang berpengaruh terhadap nilai suatu resources ditentukan dari hubungan komplek di dalam sistem pesaing, pelanggan, pemasok. Sedangkan karakteristik lain dari resources bersifat intrinsik.

Economic Rent
Ricardian berpendapat economic rent disebabkan oleh keterbatasan supply, sementara Schumpeterian berkeyakinan economic rent diperoleh dari hasil inovasi. Perbedaan penting dari dua pendapat ini, Ricardian rent karena sifatnya yang sulit ditiru memiliki peluang berumur panjang, sementara Schumpeterian rent karena mudah ditiru beresiko tidak berumur panjang. Menggunakan pendekatan Ricardian rent, dapat disimpulkan bawah perusahaan yang memiliki sumberdaya superior - yang tersedia secara terbatas - dan menggunakannya secara efisien dapat mempertahankan keunggulan kompetitifnya sepanjang mampu mengendalikan sumberdayanya agar tidak dimiliki pihak lain secara bebas atau ditiru oleh pesaing.

Keadaan semacam ini mirip dengan monopoly rent, perbedaannya terletak pada dalam model monopoli keaneka-ragaman dihasilkan dari kompetisi spasial atau perbedaan produk. Keuntungan (profit) monopoli diperoleh dari pembatasan output yang dilakukan secara sengaja, sementara dalam Ricardian rents, keuntungan diperoleh dari kelangkaan yang sudah menjadi sifat (inherent scarcity) dari pasokan sumberdaya. Terlepas dari kedua rents di atas, agar keunggulan kompetitif tetap bertahan kondisi keaneka-ragaman sumberdaya harus tetap dipelihara dengan menjaga rents tetap di atas biaya (ex ante limits to competition).

Resource-Based Strategy (RBS)
Langkah – langkah dalam membangun Resource-Bases Strategy (RBS) diawali dengan mengidentifikasi dan mengumpulkan sumberdaya (inventory resources) perusahaan. Selanjutnya, menilai semua resources menggunakan kriteria competitive superiority, scarcity, dan appropriability. Berikutnya, mengidentifikasi kesenjangan dari semua resources dibandingkan dengan kebutuhan resources yang akan menjadi modal utama RBS. Guna mendapatkan gambaran gap yang ada, selanjutnya dilakukan pemisahan (disaggregate) resources. Investasi resources dilakukan dengan mempertimbangkan Continuity dan Adaptability, Commitment dan Flexibility. Kualitas resources dengan beberapa cara: memperkuat resources yang ada dengan meningkatkan kualitasnya, menambah resources yang bersifat komplemen guna memperkuat posisi pasar, dan mengembangkan resources baru yang dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi perusahaan untuk memasuki pasar atau industri baru.

Kajian mengenai RBS terpusat pada dua faktor kritis yang membatasi ex post competition: imperfect imitability dan imperfect substitutability. Kedua upaya ini disebut sebagai mekanisme isolasi (Rumelt, 1987), atau mobility bariers (Caves dan Porter, 1977), atau perluasan entry barriers (Bain, 1956). Sebaliknya, Yao (1988) berpendapat bahwa kegagalan keunggulan pasar secara mendasar disebabkan oleh ekonomi produksi dan sunk costs, transaction costs dan imperfect information. Faktor – faktor lain yang dapat menghambat imitasi adalah time compression diseconomies, asset mass efficiencies, interconnectedness of asset stocks, asset erosion, dan causal ambiguity (Dierickx dan Cool, 1989). Faktor imobilitas atau imperfect mobility merupakan kebutuhan kunci lain untuk keunggulan yang lestari (sustainable).

Analisa sumberdaya perusahaan dan posisinya dalam persaingan merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan strategi menggunakan RBV (Thompson et al, 2005). Pada tataran praktikal, analisa diawali dengan mempertanyakan seberapa baik strategi yang ada, kemudian melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan sumberdaya perusahaan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang ada di luar lingkungan perusahaan. Langkah berikutnya mengevaluasi apakah harga produk/jasa dan biaya sudah unggul dari para pesaing. Ketiga langkah di atas kemudian digunakan untuk menganalisis apakah perusahaan lebih kuat atau lebih lemah dari para pesaing. Dengan mengetahui posisi perusahaan relatif terhadap pesaing dalam suatu industri, manajemen dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengidentifikasi isu – isu strategis yang memerlukan perhatian, terutama bila strategi yang ada belum mampu menjawab perubahan yang terjadi di lingkungan luar, atau tidak dapat memanfaatkan sumberdaya perusahaan secara efisien dan efektif.

Jika manajemen memutuskan untuk mengubah strategi yang ada, pertanya-annya adalah tindakan (actions) apa saja yang diperlukan untuk memromosikan pelaksanaan strategi dengan lebih baik. Thompson et al (2005) menawarkan lima tindakan manajerial yang memfasilitasi eksekusi strategi, sementara Afuah (2004) menawarkan pengelolaan sumber penghasilan (sources of revenues) dan sasaran pasar. Lima tindakan yang disebutkan Thompson et al mencakup: penyusunan sumberdaya yang mendorong eksekusi strategi dengan baik; penerapan kebijakan dan prosedur yang dimaksudkan untuk memfasilitasi eksekusi strategi; memakai best practices dan mengupayakan peningkatan berkelanjutan dalam aktivitas rantai nilai (value chain); menggunakan sistem informasi dan operasi yang memungkinkan personalia perusahaan untuk melaksanakan peran strategis masing – masing dengan cakap; dan memberikan hadiah (rewards) dan atau insentif kepada semua eksponen perusahaan atas pencapaian strategi maupun sasaran keuangan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Afuah (2004) berargumen bahwa keberhasilan strategi perusahaan dapat diukur dari nilai kepuasan pelanggan yang tercermin dari berulangnya mereka membeli produk/jasa perusahaan. Persoalannya, value yang diharapkan berbeda dari satu pelanggan ke pelanggan lainnya, oleh karenanya menjadi penting bagi perusahaan untuk memutuskan pelanggan atau kelompok pelanggan mana yang akan dijadikan sasaran layanan, serta seberapa banyak permintaan value mereka akan dilayani. Selain itu pada suatu sasaran pasar seringkali terdapat peluang untuk memperoleh lebih dari satu sumber pendapatan, dan tambahan revenue ini bahkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari sumber utamanya. Dicontohkan penjual mobil, selain memperoleh keuntungan dari penjualan mobil juga mendapat tambahan penghasilan dari jasa perbaikan dan pemeliharaan yang memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari penjualan mobil.

Selain memberi value kepada pelanggan yang lebih baik dari pesaing serta mengidentifikasi sumber – sumber penghasilan dari target pasar, Afuah menam-bahkan perlunya menghubungkan (connect) semua aktivitas di dalam internal perusahaan guna memfasilitasi model bisnis yang menguntungkan. Kemampuan perusahaan menawarkan value (melalui low-cost or differentiated products) merupakan hasil dari serangkaian aktivitas nilai-tambah yang mendukung kreasi produk atau layanan. Aktivitas nilai tambah yang dimaksud merupakan kombinasi antara pengelolaan sistem bisnis yang mengandalkan sumberdaya perusahaan, sistem nilai yang berlaku pada suatu industri, dan keterkaitan vertikal (vertical linkage) dengan industri terkait.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa RBS merupakan pendekatan alternatif dalam menyusun strategi perusahaan.

Sebagai strategi, RBS mengandalkan kekayaan sumberdaya yang ada, namun juga memerhatikan lingkungan luar baik yang dapat dikendalikan maupun yang di luar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. Kunci sukses penerapan strategi berbasis sumberdaya ini, terletak pada kemampuan perusahaan memelihara keaneka-ragaman, mencegah pesaing meniru atau memiliki sumberdaya yang secara unik dikuasai (ex post limits to competition), menjadikan pesaing selalu mengalami imperfect mobility, dan mengelola semua sumberdaya secara efisien dan efektif dalam penggunaannya (ex ante limits to competition). Analisis sumberdaya dan kapabilitas internal juga perlu melibatkan pemahaman mengenai faktor – faktor yang menjadi sifat industri seperti competitive and macro forces, cooperative forces, dan industry value drivers. Selain itu, guna memastikan tingkat keuntungan – sebagai hasil dari strategi bisnis - perusahaan perlu memastikan posisinya relatif terhadap: customer value, segmen pasar yang menjadi sasaran, sumber – sumber penghasilan, persaingan pasar, dan harga produk/jasa yang ditawarkan.

Kritik terhadap RBS terutama pada belum adanya definisi yang jelas mengenai peran sumber daya manusia (SDM) di dalam lingkungan perusahaan sebagai bagian dari strategi, apakah diperlakukan sebagai aset atau liability. Hal ini mengingat tidak semua personalia perusahaan dapat digolongkan sebagai aset. Jika demikian, perusahaan yang SDM-nya lebih sebagai liability harus mengubahnya terlebih dahulu sehingga menjadi aset, sebelum menerapkan strategi berbasis sumberdaya. Dalam hubungannya dengan perubahan orientasi pasar dari monopoli, captive menjadi persaingan (competitive market) , keraguan juga muncul, apakah basis pelanggan (customer base) dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat di-internalized, atau harus dianggap sebagai faktor luar merupakan variabel yang sulit diperkirakan preferensinya. Beberapa perusahaan memperlakukan customer base sebagai aset yang mempengaruhi nilai perusahaan (industri jasa telekomunikasi dan perbankan), namun demikian perusahaan pada kedua industri ini seringkali mengalami kesulitan ketika pelanggan tidak lagi puas dengan value yang ditawarkan sehingga beralih kepada pesaing. Dalam kondisi seperti ini, sumberdaya dan saya saing perusahaan menjadi berkurang.

Strategi Level Bisnis (SLB)
Keunggulan bersaing hanya dicapai bila perusahaan dapat menciptakan superior value kepada pembeli/pelanggannya lebih baik dari para pesaingnya. Superior value melekat pada produk atau jasa yang ditawarkan. Perusahaan yang tidak fokus pada keterbatasan kombinasi produk-pasar beresiko menghadapi sejumlah persoalan: low economies of scale, slow organizational learning, unclear brand image, unclear corporate identity, high organizational complexity, dan limit to flexibility.
SLB perlu memperhatikan lingkungan industri, segmentasi pasar, mendefinisikan dan memilih binis, memposisikan dalam bisnis relatif terhadap pemain lain. Lebih lanjut, basis paling penting yang perlu diperhatikan antara lain: harga, kelengkapan (feature), bundling, kualitas, availability, citra perusahaan, dan hubungan dengan stakeholder.

Melestarikan Keunggulan Bersaing
Kelestarian (sustainability) tergantung pada dua faktor utama; competitive defendability yakni kemampuan perusahan untuk berada satu langkah di depan pesaing, dan environmental consonance yakni kemampuan perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Strategi menyeimbangkan antara organisasi dan lingkungan dicontohkan oleh Bally pemimpin pasar mesin permainan pinball. Di tahun 1990-an kekuatannya dalam bidang pembuatan peralatan elektro-mekanikal tidak lagi sesuai dengan permintaan pasar, beberapa pesaing telah mengubah preferensi permintaan. Bally dihadapkan pada pilihan, meningkatkan teknologi agar sesuai dengan perkembangan pasar atau membangun kompetensi baru dari awal lagi. Akhirnya Bally memutuskan untuk meninggalkan bisnis mesin pinball dan mengalihkan bisnisnya kepada bisnis baru slot machine yang saat itu sedang tumbuh.

Perspektif Pada SLB
Dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan, muncul pertanyaan “siapa yang harus menyesuaikan siapa?” – apakah perusahaan mengadaptasi dirinya dengan lingkungan (sebagai kesengajaan), atau apakah dengan sendirinya perusahaan akan beradaptasi dengan lingkungan. Manajer dengan perspektif outside-in percaya bahwa perusahaan tidak boleh self-center, namun sebaiknya secara terus menerus memperhatikan lingkungannya ketika menentukan strategi (market driven). Analisa lingkungan diperlukan untuk mengidentifikasi pasar (peluang) dan kompetisi (ancaman). Kodak dengan digital imaging-nya memberi contoh perspektif outside-in.

Di lain pihak, manajer dengan perspektif inside-out percaya bahwa strategi mesti dibangun dari kekuatan perusahaan. Kelompok ini berargumen bahwa perusahaan yang sukses menghimpun basis resources yang kuat selama periode tertentu, memiliki peluang membuka pasar dalam jangka pendek dan menengah. Penekanan perspektif inside-out terutama pada pentingnya perusahaan memiliki kompetensi dalam mengelola tangible resources (competence-based view) atau capabilities-based view.*****

Berpikir Positif Membuat Badan dan Jiwa Menjadi Sehat

Ada satu fakta, misalnya sebuah gelas berisi air setengah tinggi gelas. Orang bijak menyuruh para muridnya memberi komentar tentang gelas dan air tersebut. Murid pertama, mengatakan gelas tersebut tidak bisa diisi air lagi, kalau ditambah gelasnya pecah. Murid kedua bilang, mengaku baru saja meminum separo, tadinya penuh. Murid ketiga setengah curiga berkata, jangan-jangan air itu ada racunnya. Murid keempat bilang, gelas dan air itu milikku tapi diminum sebagian oleh murid kedua tanpa seizinku, murid kedua mencuri airku. Murid kelima
mengatakan, airnya memang tinggal separo, tapi bisa ditambah lagi bila murid keempat mau, tadi memang murid kedua bilang dia haus.

Nah teman, fakta yang netral ternyata dapat ditanggapi dengan berbagai komentar yang jumlahnya hampir tidak berbatas. Mereka yang pola pikirnya negatiif cenderung melihat fakta netral dari kacamata negatif, demikian sebaliknya yang pola pikirnya positif. Miurid pertama cenderung bersifat pesimis, orang seperti ini selalu dirasuki ketakutan, was-was, tidak percaya diri. Dokter psikolog mengatakan orang yang sifatnya seperti ini cenderung sering sakit fisik.

Tidak pesimis, namun tidak pula positif, cenderung cuek, tidak memedulikan orang lain, egois, tetapi berani jujur pada diri sendiri dan orang lain, itulah sifat murid kedua. Banyak orang yang sifatnya seperti murid kedua ini. Meski jujur, tapi acap merugikan pihak lain, tanpa dia menyadarinya. Orangnya easy going. Banyak kawan, tetapi tidak sedikit yang membencinya. Padahal bagi dia semua orang dianggapnya teman.

Murid ketiga, ada gejala paranoia. Cenderung suka menyalahkan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Orang lain dikatakannya tidak bermoral, tidak tahu budi pekerti, padahal mereka orang beragama. Sifat seperti murid ketiga ini juga suka mengingkari, dan suka membalikkan fakta, cenderung fitnah. Francis Fukuyama, menyebut kelompok masyarakat yang majoritasnya punya sifat seperti ini disebut low trust society.

Tahu, memiliki, namun tidak berdaya menghadapi aksi orang lain yang dianggapnya lebih berkuasa, itulah sifat murid keempat. Inilah cermin rakyat yang seringkali haknya diambil penguasa. Pasrah.

Optimis dan berpikir positif, itulah sifat murid kelima. Dia tahu murid kedua yang meminum air murid keempat, dan tahu alasan mengapa air itu diminum. Untuk sebuah harmoni hubungan sosial disarankannya air untuk ditambah, agar murid keempat dapat minum dan murid kedua minta maaf. Bagi orang seperti murid kelima, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, dan penyelesaiannyapun dipilih dengan cara yang ongkos sosialnya efisien.

Berpikir positif membantu metabolisme tubuh membentuk antioksidan yang menyehatkan fisik dan psikis. Hidup ini akan lebih indah jika cara pandang kita juga indah. Bila ada yang berlaku salah, jika si pelaku salah hanya dihujat, dicaci dan dimaki, hal ini tidak memberikan manfaat apa-apa, bagi si pelaku dan penghujat. Bangunlah dan percayakan pada sistem hukum untuk mengadili si salah. Berikan reward sepantasnya untuk yang berprestasi dan berjasa kepada sesama.

Murid yang diajari percaya diri, menghormati orang lain, melihat segala
sesuatunya dengan keindahan, kelak dapat menjadi pemimpin bangsa yang membuat negara dan bangsa menjadi semakin maju dan terhormat. Sebaliknya, jika tontonan, ucapan guru, perilaku orang tua yang disodorkan kepada anak-anak atau murid setiap hari hanya hujatan, kata kasar, ketidak-percayaan, perilaku merugikan sesama, lupa ajaran agama, maka sejatinya kita sedang mempersiapkan kehancuran masa depan umat manusia.*****

Saturday, January 05, 2008

Mengapa Berjalan Di Tempat???

Kalau saja, dan seandainya bila, para aktivis ICT Indonesia berkenan menggali arsip lama, dan wacana yang dibahas di berbagai milist: mastel, telematika, genetika, apkomindo, kadin, technomedia, dan lain-lain;

Maka akan terlihat di situ, tahun. 97-98, kita ramai bicara soal perubahan uu telekomunikasi dan perlunya ada departemen yang mengurusi telematika; tahun 99-00 kita ramaikan dengan wacana TKTI, roadmap telekomunikasi!, blue print e-commerce, software lokal versus MS, dan mulai ramae soal uu-pti versus uu iete.

Tahun 01-03, muncul inpres 6/2001 beserta 72 item action plan, lalu ada NITF, lalu ada blue print pembangunan telekomunikasi, kemudian lahir kementrian Kominfo, kadin TPM, TKTI beserta roadmap e-govt-nya, dan seabreg wacana lain seperti kerja sama Korea Indonesia yang saqmpai sekarang entah di mana rimbanya.

Tahun 04-07, tidak banyak berubah, yang berubah hanya TKTI menjadi DetikNas, judul ganti, isi belum beda atau tepatnya isunya sami mawon. E-leadetship muali menjadi kebutuhan, makanya menjadi wacana. Dalam periode ini ditandai juga dengan riuh-rendahnya beberapq kalangan (tdk usah disebut para pihaknya) berupaya berdiskusi, bermeeting ria, memenuhi permintaan petinggi waktu itu untuk membuat roadmap pembangunan ICT, sementara itu sahabat kita yang duduk di kerajaan seperti senang mengganti isu, judul, dan lakon, padahal semuanya masih dalam rencana, baru diatas buku, di dalam seminar, di tengah workshop, belum dibangun di desa sana, di kota situ, dirasakan oleh Polan dan Fulan. Satu hal, ternyata ramalan yang saya tulis di sebuah artikel majalah hukum, bahwa Indonesia baru bisa punya cyberlaw setelah tahun 2006 sudah terbukti, menjadi kanyataan, sampai akhir 2007 RUU ITE masih bertahan di Senayan.

Nah akhir 07, uda Eddy Satrya yang sekarang duduk di Menko Perekonomian dan dulu sama-sama menyusun draf Inpres 6/2001 beserta Action Plannya, lontar jumrah issue lama yang sepertinya mau dibuat dalam kemasan baru (lagi). Sebagai pegiat Telematika, saya tidak pesimis dengan apa yang akan dibahas, dan masih tetap akan aktif ikut terlibat dalam diskusi, namun ada sedikit pertanyaaqn yag mengganjal dalam otak cerdas ini.

Akankah kita terus menerus mengulang langkah dari nol setelah kita lelah payah berjalan mengayuh dayung di atas awan yang hanya sedikit melewati harapan-harapan indah tiada terwujud kini?

Mengapa tidak meniru negara tetangga yang karya nyatanya sudah mewuiud, memberi nilai-nilai bagi daya saing dan martabat bangsa dan negara di aras internasional, memberi kebanggan kepada semua warganya.

Kapan ya kita mulai bicara "mari kita labjutkan program pembangunan tahun lalu yang baru tercapai sekian persen" kapan ya kita dapat berbangga dengan apa saja yang sudah kita raih.*****

Bagaimana Agar Harga Bandwidth Internet Murah???

Soal harga bandwidth itu mah bisa dibuat mahal bisa juga dibuat murah. Kalau operator kasih harga mahal, sementara daya beli masyarakat rendah ya pastinya tidak akan laku. Tetapi, kalau dibuat mahal, masih dibeli juga oleh rakyat (demand inelastis) ya akan dibuat mahal terus.

Kalau di disiplin dinamika kompetisi (Game Theory) ada terminologi "Holdup", pada kondisi tertentu satu pihak membuat posisi (misal penawaran) sehingga pihak lain tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima penawaran tersebut. Nah, kondisi "Holdup inilah yang pernah saya lontarkan kepada khalayak - dalam berbagai kesempatan - untuk membentuk konsorsium pembeli bandwidth tunggal (nasional). Anggota konsorsium seluruh pihak yang membutuhkan bandwidth Internet, difasilitasi Pemerintah, bernegosiasi dengan first tier untuk mendapatkan harga super bulk yang super murah, dengan cara ini mudah-mudahan diperoleh harga bandwith yang murah seperti dilakukan oleh negara-negara lain. Setelah dibeli dari first tier, kemudian didistribusikan kepafa seluruh anggota konsorsium sesuai dengan call atau permintaan masing-masing.

Mengenai harga bandwidth palapa ring? Sama juga, taruh misalnya PR sudah selesai, harga dirasa masih tinggi, nah di sini, holdup strategy perlu dipadsang oleh seluruh calon pembeli. Jangan ada yang mau beli dengan harga mahal tersebut, biar kata tidak ber-Internet juga ndak apa. Nah jaga posisi ini sampai penyedia PR - yang perusahaan swasta itu - mulai mikir revenue dan harus kembalikan investasi. Mereka akan dihadapkan pada pilihan, mau jual mahal tapi tidak laku, atau jual murah namun bisnis jalan.

Jadi biarkan saja dulu konsorsium membangun PR, kalau genee haree tanya harga ya kepagian, lha ibarat nasi bungkus di warteg, lha wong berasnya saja belum kebeli (oleh Bu Warteg), sayurannya masih di Kramatjati, kok sudah nanya berapa sebungkus nasinya.

Oh ya, syarat dari holdup adalah membutuhkan kekompakan dari seluruh anggota kelompok, satu saja cheating atau mangkitr, atau jalan sendiri, maka holdup strategy tidak jalan.*****

Leadership Ala Bob Sadino dan E-Leadership

Di acara talkshow-nya jansen sinamo di QTv, nara sumber yang hadir Bob Sadino, pemilik Kemchik. Pak Bob bilang "leadership yang baik adalah ketika yang dipimpin tidak lagi merasa dipimpin, atau merasa ada yang memimpin, semua berjalan mengacu pada sistem yang telah dibangun", jika sudah sampai pada taraf tersebut, kata Jansen, hal ini sesuai dengan pelajaran yang diberikan oleh Lautze, filsuf dari negeri China.

Jadi kalau menggunakan pendekatan Pak Bob dan dikaitkan dengan e-leadership yang sedang diimpi-impikan oleh para aktivis ICT Indonesia, jangan -jangan, oleh para pemimpin negeri ini, kita sudah dapat dianggap sampai pada taraf yang dilukiskan oleh Lautze, semua orang sudah ngerti apa yang mesti dilakukannya, sehingga tidak perlu kehadiran leader (secara fisik). Makanya yang ramai diskusi ICT bukan para pemimpin namun "rakyat" seperti kita.*****

Bagaimana Telekomunikasi 2008?

Menjelang akhir tahun 2007 terbit keputusan KPPU yang memerintahkan Temasek untuk melepas saham di salah satu dari dua operator telekomunikasi yang dimilikinya, Indosat dan Telkomsel. Kemudian, terbut pula regulasi pemerintah yang meneguhkan kembali regulasi sebelumnya yang memerintahkan Telkom untuk membuka kode akses SLJJ. Dari dua kejadian di akhir tahun ini, saya memperkirakan dampaknya akan positif bagi industri telekomunikasi Indonesia. Dalam kasus Temasek, meski belum tentu Keputusan KPPU dapat terlaksana, namun setidaknya keputusan tersebut dapat menjadi sinyal bagi para investor lain dan aparat pemerintah untuk tidak bermain – main dengan peraturan dan perundangan di Republik ini. Mengingat Temasek sebagai objek hukum mengajukan banding, maka mari kita tunggu hasilnya. Namun demikian, melihat gesture dan kemampuan dua perusahaan tersebut, dapat saya katakan bahwa apakah tetap dimiliki oleh Temasek atau harus dilepas sehingga akan menjadi milik pihak lain, perubahan kepemilikan diperkirakan tidak akan berdampak banyak terhadap kinerja kedua perusahaan tersebut.

Berkaitan dengan pembukaan kode akses, saya kira regulasi ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak. hal ini mengingat, sebetulnya semua kekhawatiran yang dikemukakan oleh incumbent, masih berupa hipotesis yang belum tentu terwujud. Memang masih ada kemungkinan kekhawatiran akan merugi dapat terwujud, namun dengan adanya ketentuan mengenai treshold atau ambang batas, maupun pembukaan secara bertahap, saya perkirakan potensi kerugian bagi incumbent dapat ditekan. Jikapun incumbent masih mengalami kerugian, saya kira bukan disebakan dari dibukanya kode akses, namun bisa jadi dari faktor latent lain di dalam perusahaan. Regulasi pembukaan kode akses dengan ketentuan ambang batas ini saya perkirakan akan memacu dua operator untuk sama - sama membangun jaringan dan layanan (memperbesar customer base). Bagi Telkom, dengan semakin besar customer base-nya, hal ini akan mempersulit Indosat untuk mencapai ambang batas, di pihak lain, bagi Indosat, upaya memperbesar customer base dimaksudkan juga untuk mendekati treshold. jadi rame lah.


Di lain pihak, seperti apakah idealnya industri telekomunikasi yang ideal bagi Indonesia di tahun 2008 mendatang? Apakah tercermin dari relatif rendahnya biaya telekomunikasi, sehingga semakin banyak anggota masyarakat yang mampu berkomunikasi, layanan yang baik, atau infrastruktur memadai yang luas? Bagi saya, industri telekomunikasi yang ideal itu ya yang efisien, artinya harga yang ditawarkan mencerminkan adanya normal profit yang layak untuk investasi selanjutnya, selain terjangkau oleh masyarakat luas. Nah persoalannya, menjelang tutup tahun 2007 muncul komentar seorang petinggi telekomunikasi yang menyatakan tingkat persaingan telekomunikasi sudah semakin tinggi, sehingga operator terjebak pada persaingan harga yang menjurus predatory pricing, yang beraroma penipuan terhadap pengguna telepon. Benarkah demikian?

Dari pernyataan di atas ada beberapa kata kunci yang dapat menjadi bahan diskusi. Pertama benarkah tingkat persaingan telepon selular sudah tinggi? Apa ukurannya? Berapa tinggi? Tinggi itu seberapa? Lalu, berapa idealnya jumlah operator selular di negara ini? Kalau sudah ketemu angka ideal, dan ternyata angka tersebut di bawah jumlah operator selular yang ada, apa yang akan dilakukan? Memaksa dilakukan konsolidasi? Merger, atau dicabut izinnya bagi operator yang kinerjanya paling buruk? Jika angka ideal di atas jumlah operator, berarti pernyataan pejabat tinggi tersebut menjadi tidak relevan karena masih perlu dibuka izin bagi operator baru.

Lalu, soal predatory pricing dan tipu-menipu, dari mana ini theory-nya kok ada pernyataan seperi ini? Saya coba cari di referensi mencari hubungan predatory pricing dan menipu pelanggan kok tidak ketemu ya? Ada yang bisa bantu??? Soal-e teori yang saya temukan bilang, predatory pricing dilakukan oleh incumbent untuk menghambat laju new entrant.

Sementara, competitive tools bagi new entrant adalah low price. Predatory pricing bisa dilakukan bila incumbent memiliki slack of resources, dan merupakan short term strategy, otherwise akan menggerogoti profit. New entrant bisa pasang harga murah karena dari segi teknologi maupun operasional bisa lebih efisien dari incumbent, namun serendah-rendahnya harga tetap masih harus lebih tinggi dari marginal cost-nya, agar tetap bisa eksis.

Lha melihat fenomena perang iklan dan tawaran harga yang seolah-olah murah, hipotesis saya, kondisi ini bukan atau belum mencerminkan tingkat kompetisi yang tinggi atau adanya upaya predatory pricing dari incumbent. Namun masih dalam taraf pseudo competition alias kompetisi semu. Mengapa demikian? Jawabnya kira-kira, struktur pasar telekomunikasi di Indonesia terkonsentrasi pada empat besar, dan cenderung tight oligopoly. Dalam beberapa hal, harga ditetapkan oleh Pemerintah, terjadi penyeragaman reported cost oleh operator yang mengacu pada the least eficient one, meski actual cost-nya berbeda.

Nah dalam kondisi seperti ini, hiruk pikuk iklan tawarkan harga murah hanyalah fatamorgana di gurun sabana.

Barangkali inilah hubungannya, fatamorgana seringkali menipu khafilah lelah nan lapar dan dahaga, sehingga ketika jauh dirayu, dekat diraup yang didapat hanyalah ompong belaka. Atau dalam bahasa petinggi kita, menipu pelanggan dengan berbagai syarat yang sulit terpenuhi. Pertanyaannya, apakah cara beriklan seperti itu haram? Ambil hikmahnya. Barangkali ada maksud mulia di benak para pembuat iklan tersebut, supaya pelanggan telepon menjadi manusia cerdas yang tidak mau begitu saja dibodohi oleh iklan yang menawarkan mawar setelah meretasi onak dan belukar (syarat yang sulit terpenuhi).

Isu lain, di tahun 2008 ini, apakah ada tanda-tanda Wimax mulai bisa beroperasi? Bagaimana dengan kesiapan kebijakannya? Dugaan saya, di tahun 2008 layanan ICT berbasis Wimax belum akan bisa di-launched di Indonesia. Kesiapan kebijakan bisa segera diterbitkan, yang belum siap adalah industri dalam negeri yang mampu memproduksi perangkat Wimax. meski sebenarnya alasan ini bagi saya terasa dicari-cari (mengapa tidak diberlakukan untuk jenis teknologi lainnya), namun jika kita semua (termasuk pengusaha dan pemerintah) konsisten, dalam jangka panjang akan mendukung produksi dalam negeri.

Dengan memperhatikan berbagai faktor yang dihadapi bidang ICT, langkah apa yang harus diambil pemerintah demi membuat iklim bisnis yang baik di bidang Telekomunikasi? Untuk membangun iklim bisnis yang baik di bidang ICT: jangan ganti-ganti kebijakan yang sudah bagus, sempurnakan kebijakan yang bermasalah, gunakan data yang akurat dalam mengembangkan opsi-opsi kebijakan (jangan pakai common sense), kurangi individual vested interest dalam regulasi, konsisten dalam implementasi. kita sering melihat ganti menteri, ganti pejabat, eh ganti kebijakan.

Dan akhirnya, apa kendala yang membuat ICT di Indonesia dikatakan belum bisa dinikmati rakyat banyak dan mampu digunakan untuk mengentaskan kemiskinanserta kebodohan sebagaimana telah berhasil dilakukan di negara maju? Infrastruktur yang kurang memadai atau memang kultur budayanya? Kendala yang terbesar pertama hingga ke sepuluh adalah sikap mental, baru kendala kesebelas kita bicara soal kapasitas dan profesionalism para pelaku (birokrat, pengusaha, profesional, pengguna, dan non-pengguna), kendala ke dua belas karena adanya kendala-kendala sebelumnya akibatnya kualitas output keputusan (dalam bentuk kebijakan publik bagi lembaga pemerintahan, atau strategi bisnis bagi private sector) hanya mediocre saja, bahkan lebih rendah dari itu. sehingga berujung pada kendala ke tiga belas (angka sial) seperti yang kita lihat selama ini, budget mis-allocation, inefficiecient used of resources, flaw policy and regulations, hangky-pangky business, dll.

Jadi melihat itu semua, saya masih harus bersabar dan harus belajar menahan keinginan untuk merayakan keberhasilan pembangunan sektor ICT di tahun 2008, meski beberapa upaya kecil dan menengah tentu ada saja yang berhasil memuaskan beberapa pihak (bukan majoritas rakyat).*****

Pengaruh Evolusi Pasar Terhadap Dinamika Persaingan

Gatignon dan Soberman (2002) mengidentifikasi secara garis besar tiga hal yang menjelaskan mengapa evolusi pasar mempengaruhi respon terhadap masing-masing pesaing. Pertama, strategi pasar yang atraktif (dalam bentuk ukuran pasar yang diharapkan, pemenuhan kebutuhan konsumen, dan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan jangka panjang). Kedua, jumlah pesaing (yang berubah dengan masuk dan keluarnya perusahaan dalam persaingan) dan yang terakhir, adanya evolusi reaksi konsumen.

Strategi Pasar Atraktif
Secara keseluruhan, pertumbuhan pasar merupakan hasil dari persaingan perusahaan yang membawa kelompok-kelompok konsumen yang berbeda ke dalam pasar. Hal ini akan membentuk struktur pasar yang kompleks di mana relativitas elastisitas silang harga dalam persaingan menjadi lemah. Dalam lingkungan yang penuh dengan ketidak pastian, perusahaan akan enggan untuk memberikan respon yang besar atau bahkan menundanya.
Reaksi persaingan dalam pasar yang sedang mengalami pertumbuhan adalah kuat dan cepat. Secara umum, respon persaingan lebih kuat dalam pasar yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi. Respon persaingan lebih rendah dalam pasar yang penuh dengan ketidak-pastian dan dalam pasar yang memiliki struktur yang kompleks.
Stabilitas lingkungan. Suatu kunci faktor eksogenous yang mempengaruhi evolusi pasar adalah stabilitas lingkungan dalam bentuk basis pelanggan, sistem distribusi, sistem produksi, dan teknologi. Belum lagi, cepatnya perubahan harga dan tersedianya komoditi dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan pasar.
Teknologi dapat dimasukkan ke dalam beberapa kategori dalam bentuk produk atau proses produksi (misalnya, mikroprosesor merupakan elemen integral dalam berbagai industri yang tidak ada hubungannya). Hal ini merupakan sumber ketidakpastian, khususnya dalam produk dengan kandungan teknologi yang signifikan (Mansfield, 1961). Kunci penentu kecenderungan perusahaan untuk merespon suatu inisiatif persaingan (seperti peluncuran produk baru) merupakan budaya dan sistem perusahaan tersebut. Perusahaan diamati untuk merespon dengan cepat terhadap masuknya produk baru dalam industri yang dikelompokkan berdasarkan tingkat perubahan teknologi (Bowman dan Gatignon, 1995). Dalam pasar yang sedang mengalami pertumbuhan, faktor yang paling mempengaruhi respon terhadap persaingan adalah lingkungan.

Jumlah Pesaing
Dalam pasar yang sudah dewasa, terdapat proses penggabungan (jumlah perusahaan yang aktif turun). Selain itu, perusahaan tersebut akan membuat kategori spesifik investasi yang signifikan (fasilitas produk, tenaga penjualan, atau saluran distribusi). Inisiatif baru tersebut, memberikan ancaman yang signifikan sehingga perusahaan-perusahaan lainnya akan memberikan perhatian untuk mengawasi aktivitas persaingan dan berreaksi dengan cepat (dan secara intensif) ketika terlihat suatu ancaman. Tentu saja, mengawasi pesaing lebih mudah jika jumlah pesaingnya sedikit. Oleh karena itu, dalam industri yang telah dewasa, reaksi terhadap inisiatif baru seharusnya menjadi lebih cepat dan lebih kuat. Bagaimanapun juga, pengaruh kedua dari pemusatan (ketika jumlah perusahaan penting berkurang menjadi lima atau lebih) adalah kordinasi dan ”pembatasan” persaingan menjadi lebih mudah. Suatu perusahaan mungkin tidak bereaksi pada inisiatif persaingan kecuali jika wilayahnya dalam keadaan terancam. Karena kedua pengaruh tersebut bertindak dalam arah yang berbeda, sebagian besar penelitian menemukan bahwa konsentrasi pasar tidak signifikan dalam menjelaskan besar atau cepatnya reaksi peraingan. Pendeknya, hal pertama dalam kehidupan suatu pasar, biasanya terdapat banyak atomisasi persaing yang tidak merespon (atau bahkan tidak mengetahui) pesaing lainnya. Dalam suatu studi kategori, kemajuan relatif dalam siklus hidup pasar, Kuester et.al. (1999) menemukan terdapat pengaruh negatif yang kuat dari pemusatan terhadap kecepatan, perluasan dan intensitas reakso persaingan. Analisis longitudinal menunjukkan bahwa kecepatan, intensitas dan kekuatan reaksi persaingan berbentuk U terbalik selama siklus hidup pasar. Setelah tahap pengenalan, jumlah pesaing menurun dan reaksi incumbent dalam intensitas, kecepatan dan perluasan akan meningkat. Dalam pasar yang telah dewasa, jumlah pesaing semakin berkurang, reaksi persaingan dalam intensitas, kecepatan dan perluasan akan mengalami penurunan.

Perkembangan reaksi konsumen
Pada pasar yang telah dewasa, dapat terjadi dua hal pada struktur pasar. Pertama, type konsumen yang ikut serta dalam perubahan pasar. Pada tahap pengenalan, pembeli merupakan inovator yang sensitif terhadap harga dan berkeinginan untuk mencoba. Berbeda dengan pasar yang telah dewasa, yang didominasi oleh pengikut yang lebih takut pada resiko dan sensitif terhadap harga. Demikian, terdapat kecenderungan alami dalam pasar menjadi lebih sensitif terhadap harga. Kedua, pada pasar yang telah dewasa, terdapat peningkatan yang signifikan terhadap pengetahuan mengenai industri. Perubahan ini menunjukkan sebagai suatu pengurangan dalam sensitivitas konsumen terhadap kegiatan periklanan dan pemasaran (konsumen memberitahukan dan mengetahui apa yang mereka inginkan, sehingga tidak akan mempengaruhi aktivitas pemasaran).

Terdapat dukungan untuk peranan elastisitas pasar sebagai prediktor dalam respon terhadap persaingan. Gatignon et.al. (1989), Shankar (1997, 1998) dan Kuester et.al (1999) menemukan bahwa semakin besar elastisitas pemasaran (berhubungan dengan pesaing), maka semain kuat reaksinya. Pada pasar yang telah dewasa, elastisitas harga akan meningkat dan hasilnya, reaksi persaingan terhadap inisiatif harga akan menjadi semakin kuat. Pada pasar yang telah dewasa, elastisitas biaya (seperti periklanan, promosi, dan kekuatan penjualan) mengalami penurunan dan hasilnya, reaksi persaingan terhadap inisiatif biaya akan menjadi semakin rendah.*****