Tuesday, April 28, 2009

Pandangan Saya Tentang Regulasi:

Dalam disipin ilmu hukum dan ekonomi tidak ada definisi baku tentang regulasi, dalam konteks ini regulasi dimaknai sebagai penggunaan instrumen hukum dalam implementasi dan upaya mencapai sasaran kebijakan sosial ekonomi. Karakteristik instrumen hukum mengatakan bahwa individu atau organisasi dapat dipaksa oleh pemerintah untuk menaati ketentuan yang berlaku, atau menerima hukuman dan atau sanksi. Perusahaan dapat dipaksa untuk menjual suatu produk tertentu, dalam jumlah dan harga yang ditetapkan (oleh Pemerintah), atau memasuki atau keluar dari suatu pasar tertentu, atau mengunakan teknik atau teknlogi tertentu dalam proses produksi. Sanksi dapat berupa denda, publikasi kesalahan di media massa, pidana, penutupan usaha, dan lain sebagainya.

Perbedaan terjadi antara regulasi ekonomi dan regulasi sosial. Regulasi ekonomi terdiri dari dua type regulasi: regulasi struktural (structural regulation) dan conduct regulation. Regulasi struktural digunakan untuk mengatur struktur pasar, contohnya pembatasan ada entry dan exit ke dan dari suatu industri, atau aturan yang melarang layanan jasa profesional yang dilakukan oleh individu yang tidak memiliki qualifikasi yang sesuai. Conduct regulation digunakan untuk mengatur perilaku di dalam pasar. Contohnya, pengendalian harga, aturan yang melarang iklan dengan muatan di baah standar kualitas. Regulasi ekonomi utamanya diterapkan pada pasar yang bersifat monopli dan struktur pasar yang terlalu sedikit atau terlalu banyak kompetisi.

Bersambung

Ada WTO Di Balik Tender WIMAX

Diskursus Worldwide Inter-operability for Microwave Access (Wimax) sudah cukup lama berlangsung, namun sampai sekarang belum jua kunjung ada titik terang, apakah Indonesia jadi menerapkan teknologi komunikasi tersebut. Menyimak catatan, awal tahun 2000 muncul pertama kali isu Wimax, lambat tetapi pasti mulai merebak terutama setelah terbentuknya Forum Wimax di aras internasional yang melibatkan berbagai pihak, dari pembuat, akademisi, calon pengguna hingga wakil pemerintah. Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pengembangan Perdagangan (US Trade and Development Agency / USTDA) di tahun 2003, di Bangkok menyelenggarakan seminar dan loka karya yang membahas aspek bisnis, teknis dan legal dalam penyelenggaraan telekomunikasi berbasis Wimax. Di dalam negeri, berbagai event yang membahas Wimax diselenggarakan oleh berbagai pihak termasuk Pemerintah. Persoalannya, jika sudah diketahui apa saja manfaat dan keunggulan Wimax, mengapa sampai sekarang, di Indonesia penyelenggaraan Wimax belum juga terlaksana? Ada apa di balik semua yang terjadi.

Layaknya sifat suatu kehidupan, teknologi selalu mengikuti daur hidup, diciptakan, tumbuh, berkembang dan semakin dewasa hingga akhirnya tidak lagi mampu memenuhi tugas dan fungsinya, ketika tuntutan pengguna sudah lebih tinggi dari kemampuan teknologi tersebut. Di pihak lain, ditinjau dari perspektif dinamika persaingan, mengingat pada saat ini penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia sudah sepuluh tahun memasuki era persaingan, teknologi yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi juga harus saling bersaing. Teknologi yang terpilih akan digunakan secara komersial mengikuti daur hidupnya. Untuk dapat menjadi teknologi terpilih, suatu teknologi perlu memiliki sifat-sifat antara lain: mudah digunakan (user friendly), relatif mudah untuk dikembangkan (flexible and scalable), mudah disambungkan dengan berbagai teknologi lain (compatible), berkualias tinggi (durable), setia pada standard internasional dan nasional yang telah ditetapkan (standard compliance), dijamin eksistensinya sampai dengan batas waktu yang cukup lama (existence guaranted), serta harganya terjangkau (feasible).

Dalam konteks penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya telekomunikasi nirkabel, lebih khusus lagi komunikasi bergerak untuk pengiriman suara dan data, kita menyaksikan pergantian teknologi yang berlangsung secara terus menerus. Masih ingat Nordic Mobile Telephone (NMT) dan Analog Mobile Phone System (AMPS)? Kedua teknologi ini tergolong perintis telekomunikasi selular bergerak yang pertama kali masuk ke Indonesia. Keduanya harus rela pensiun ketika teknologi Coded Division Multiple Access (CDMA) dan Global System for Mobile Communication (GSM) menggantikan kedudukan mereka. Setelah sekitar 15 tahun bertengger di posisi dominan, eksistensi CDMA dan GSM mulai digoyang oleh kehadiran Universal Mobile Telephone System (UMTS) dan International Mobile Telephone (IMT-2000), keduanya disebut sebagai telepon selular generasi ketiga (3G). Belum lama 3G menikmati keberhasilan duduk sebagai primadona dan selagi 3G masih harus berjuang keras menundukkan kekuatan CDMA dan GSM, telah hadir Wimax, yang mengancam semua teknologi komunikasi yang sudah eksis sebelumnya.

Persaingan teknologi untuk menjadi default di suatu wilayah negara, lama kelamaan sudah menjadi biasa, yang menjadi tidak biasa dan berbeda dari suatu negara ke negara lain adalah bagaimana perjalanan suatu teknologi mencapai posisi dominan. Ketika NMT, AMPS, CDMA, dan GSM masuk ke Indonesia mereka melenggang lemah gemulai bak penari srimpi beraksi di atas panggung, tidak ada perlawanan bahkan memperoleh sambutan tepuk tangan meriah. Implikasinya biaya yang diperlukan untuk memperoleh izin pemanfaatan suatu teknologi secara formal menjadi relatif kecil. Lain halnya ketika 3G hendak masuk. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di hampir semua negara yang akan memanfaatkannya, terjadi perlawanan seru, hambatan sengaja dibuat, justru oleh regulator. Perizinan pemanfaatan 3G menjadi tidak semudah seperti yang dinikmati para pendahulunya. Walhasil, biaya akuisisi perizinan menjadi melambung tinggi, lebih dari separo total investasi yang dibutuhkan di tahun pertama.

Walaupun harus menanggung biaya akuisisi perizinan yang demikian besar, bagi investor hal tersebut tidak menjadi masalah, sepanjang return dari investasi akan diperoleh setelah memasuki tahap operasional. Persoalannya, return yang diharapkan tak kunjung mewujud, lantaran pengguna telekomunikasi masih lebih suka menggunakan teknologi generasi kedua yang ternyata ditingkatkan kemampuannya. Masih galau dengan kinerja yang didapat, muncul pula teknologi Wimax yang diperkirakan dapat menghancurkan investasi 3G. Bagaimana mengamankan investasi 3G? jawabnya keluar dari kebijakan Pemerintah yang – ibarat pantun – berbunyi “sekali dayung dua – tiga pulau terlampaui.” Jika pada waktu tender 3G dulu tidak ada keharusan bagi para operator untuk menggunakan komponen produksi dalam negeri, maka pada tender Wimax, hal tersebut merupakan suatu keharusan dengan tingkat penggunaan komponen dalam negeri (TKDN) mencapai minimal 30%.

Pro dan kon menyusul kebijakan TKDN 30% untuk penyelenggaran Wimax. Pro karena kebijakan tersebut sudah sewajarnya dan memang menjadi tugas Pemerintah untuk memberi kesempatan kepada industri dalam negeri untuk tumbuh dan berkembang. Kontra karena beberapa hal, pertama industri dalam negeri dianggap belum siap, kedua kebijakan tersebut dianggap melawan arus utama perdagangan bebas yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pihak yang kontra, jika boleh dikategorikan, adalah para produsen atau kepanjangan tangan para produsen perangkat Wimax luar negeri.

Berbagai upaya meyakinkan semua pihak telah dilakukan oleh baik yang Pro maupun yang Kontra terhadap kebijakan Pemerintah tentang TKDN. Kebijakan yang memberikan peluang kepada para wirausaha dalam negeri ini rupanya berhasil menjadi pemicu bagi munculnya produsen teknologi Wimax lokal. Setidaknya ada enam perusahaan nasional, baik yang melaui kerja sama dengan mitra asing maupun sepenuhnya didanai dari modal sendiri, yang sudah menyatakan bahwa mereka mampu memproduksi perangkat utama (transmiter dan receiver) Wimax. Dalam suatu pertemuan kajian teknologi baru yang diselenggarakan di sekretariat MASTEL, terungkap, secara agregat ke-enam perusahaan tersebut sudah mampu memproduksi pesawat transmiter hingga 1000 unit per tahun sedangkan untuk pesawat penerima atau Customer Premises Equipment (CPE) mencapai 500 ribu per tahun.

Melihat kemampuan produsen dalam negeri, rupanya hal ini membuat produsen luar negeri dan kepanjangan tangan mereka di sini keder. Bayangan keuntungan besar yang bakal diraih seolah bak fatamorgana yang semakin hari semakin menguap. Sesuai karakter profesional dan pengusaha, tentu mereka tidak mudah menyerah. Berbagai langkah dilakukan, dari membangun usaha kemitraan dengan pengusaha lokal sampai penggunaan lobby – lobby politik, baik kepada birokrat, politisi, LSM maupun pemintaan dukungan kepada pemerintah asal produk tersebut. Rupanya upaya tersebut membawa hasil. Keberhasilan ini mengindikasikan setidaknya dua hal: pertama, ketidak-cermatan Pemerintah RI dalam membuat kebijakan; dan kedua, bukti adanya dukungan pemerintah negara asing terhadap industrinya.

Dikatakan ketidak-cermatan karena, diakui atau ditolak, ternyata tidak semua jajaran pejabat di lingkungan Pemerintah RI mendukung kebijakan Departemen Kominfo tentang TKDN untuk penyelenggaraan Wimax. Jika-pun berkata mendukung, ada beberapa yang ternyata hanya lip-service belaka. Ketidak-kompakan ini dapat dipahami, bukan rahasia lagi kalau setiap domain institusi memiliki interest yang mencerminkan kepentingan pemimpinnya. Ketidak-cermatan yang lain, dapat ditunjuk pada tidak diantisipasinya kemungkinan reaksi internasional terhadap kebijakan tersebut. Reaksi internasional ini bisa datang dari negara atau beberapa negara yang merasa dirugikan, atau mereka secara bersama – sama melakukannya melalui organisasi dagang dunia (WTO).

Melalui forum sidang WTO inilah yang digunakan oleh Pemerintah negara – negara produsen utama perangkat Wimax untuk mendesak Pemerintah RI mengubah kebijakan TKDN 30% untuk penyelenggaraan Wimax. Pemerintah yang mewakili kepentingan produsen Wimax yang nota bene tergolong negara maju rupanya menyadari mereka tidak dapat lagi melakukan intervensi dagang melalui pendekatan politik, apalagi mereka mengetahui kondisi dan dinamika politik dan hukum di Indonesia pasca reformasi yang tergolong paling maju di kawasan Asia Tenggara. Sehingga langkah yang ditempuh melalui pendekatan fora internasional seperti WTO. Dalam bahasa awam, melalui WTO mereka dapat rame-rame mengeroyok Indonesia secara resmi, sopan dan jika Indonesia tidak bersedia memenuhi tuntutan, mereka mengaharapkan Indonesia dipermalukan di forum intenasional tersebut.

Sekarang persoalannya, apakah kita akan konsisten dengan kebijakan pro industri dalam negeri, atau adakah jalan tengah yang akan diambil, atau kembali menunjukkan sifat mencla-mencle, populis, takut pada tekanan asing, yang akhirnya berujung pada kemandegan, seperti halnya terjadi di sektor – sektor industri lainnya, ketergantungan kepada produk luar negeri besar sekali. Kita nantikan saja babak akhir kisah Wimax ini.*****

Ternyata Guru Juga Manusia

selain sebagai profesional, bekerja untuk sebuah perusahaan swasta dan sebagai konsultan, saya juga mengajar, sudah delapan tahun mengajar di perguruan tinggi (PT), jadi saya juga mendefinisikan diri sendiri sebagai guru. eit nanti dulu, sebagai guru di perguruan tinggi tidak lantas memperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar dari misalnya, guru SD, SMP dan atau SMK/A. mengajar di PT dengan status dosen tidak tetap, bagi saya merupakan pengabdian kepada masyarakat, jadi berapapun "dibayar" ya diterima saja.

nah terkait isu yang diramaikan di milist ini, khususnya soal guru yang lebih banyak mengejar sertifikat dari pada membekali anak didik dengan ilmu, pengetahuan dan ketrampilan, mari kita lihat masalah ini dari berbagai segi, sepertri misalnya, benarkah hal tersebut terjadi? jika benar terjadi, berapa banyak? di mana saja? fakta seperti ini perlu dikemukakan guna menghindari fitnah, dan denat kusir yang tidak bermanfaat.

tarohlah kasus (saya sebut kasus, karena tidak bisa digeneralisasi) guru mengejar sertifikat benar terjadi dan jumlahnya cukup signifikan, saya kira langkah bijak yang dapat dilakukan bersama adalah mengajukan pertanyaankep[ada diri sendiri, apakah hal tersebut merupakan kondisi atau masalah. dikatakan kondisi bila keberadaannya taken for granted, menajdi masalah bila eksistensinya merupakan deviasi dari tindakan yang semestinya, atau merupakan penyimpangan dari tugas utama guru.

misal kata kita sepakat bahwa hal tesebut merupakan masalah. lantas pertanyaan kembali kepada kita, apakah kita ingin terus membiarkan sebagai masalah, atau membahasnya secara panjang lebar sehingga malah menimbulkan masalah baru, atau bersama - sama mencari solusi?

karena kita tergolong komunitas intelektual dan sifat yang melekat pada kata GURU berkisar pada optimistik, rasional, sharing, dan caring, maka saya percaya kita (dan Anda yang berprofesi sebagai guru) lebih suka lebih suka mencari solusi dari pada membiarkan atau malah membesar-besarkan hal tersebut sehingga timbul masalah baru.

singkat kata, bagaimana mencari solusi terbaik? untuk mencari jawabnya, mari kita mulai dengan mengajukan pertanyaan "mengapa hal tersebut terjadi?" mencoba menajwab pertanyaan ini. mari kita lihat ke belakang. di masa lalu, ketika kebijakan sertifikasi guru yang berdampak pada tambahan insentif penghasilan belum diterbitkan pemerintah, adakah permasalahan ini (guru lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengejar sertifikat atau hal - hal lain di luar kewajiban mengajar) terjadi? mungkin ada satu dua, yakni mereka yang ingin menambah ilmu untuk memperkuat latar belakang pendidikan. lalu apa bedanya dengan kondisi sekarang? dulu, guru berupaya meraih sertifikat yang lebih baik, lebih tinggi masih merupakan keinginan individu, yang tidak selalu disertai dengan motif menambah penghasilan. setelah kebijakan sertifikasi guru yangdikaitkan dengan tambahan penghasilan diterbitkan, bila ada orientasi guru yang berubah, rasanay hal ini masih dapat dimengerti, terutama bila memperhatikan kondisi kesejahteraan guru yang rata - rata masih di bawah standar kesejahteraan.

jika demikian apakah kita akan menyalahkan Pemerintah yang menerbitkan kebijakan sertifikasi guru dikaitkan dengan tambahan penghasilan? jawabnya bisa YA, bisa pula TIDAK. YA karena kebijakan dibuat secara partial, kurang memperhatikan efek negatif yang kemungkinan (dan ternyata sudah) muncul. TIDAK, karena kit apecaya bahwa kebijakan sertifikasi guru perlu doilihat sebagai salah satu upaya Pemerintah meinigkatkan kualitas pendidikan.

nah, mulai bingung kan? jadi siapa doong yang mesti dijadikan tertuduh????? pada hemat saya tidak perlu ada pihak yang disalahkan atau dijadikan kambing hitam. mari kita kembali saja kepada tujuan kita menjadi guru, apakah ketika kita memutuskan berkarya sebagai guru karena kepepet tidak ada pekerjaan lain? atau karena panggilan nurani dengan menyadari segala konsekuensinya. Saya lebih suka melihat dan beranggapan bahwa majoritas guru di Indonesia terpanggil menjalani profesi sebagai guru karena panggilan nurani, dan menyadari bagaimana susah-senangnya menjadi guru.

jika demikian, TANPA bermaksud menyerah kepada keadaan, dan menyerang siapapun, barangkali menjasdi langkah bijak bila para guru yang masih terobsesi mencari setifikasi dengan melupakan tugas utama, untuk kembali kepada khithah. sertifikasi dan tambahan penghasilan perlu, namun tidak kalahperlunya adalah kehadiran Anda di depan kelas secara rutin. para siswa menanti Anda.*****

TI UAN, Benarkah ada masalah?

Minggu siang kemaren (26-4-2009) selagi latihan mukul-memukul, saya ditelepon radio ELshinta, diminta pendapat soal adanya dugaan Teknologi Informasi yang digunakan dalam sistem evaluasi Ujian Akhir Nasional (UAN) mengalami kegagalan karena banyak siswa yang try out-nya bagus, namun konon: kesulitan dalam menjawab dan kemungkinan besar angka ketidak-lulusan tinggi. sewaktu on air, bersama saya ada Pak Prof. Dr. Djaali dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan pembuat soal dan penanggung jawab UAN.

Menjawab pertanyaan reporter, saya jelaskan bahwa sistem scanning jawaban ujian sudah ada dan dipakai di Indonesia sejak zaman Skalu, Skasu, hampir 30 tahun lalu. kemampuan orang Indonesia dalam memanfaatkan sistem Optical Character Reader (OCR) dan scanning jawaban ujian sudah cukup "mature" alias mahir. meski demikian, namanya sistem pasti ada kemungkinan kesalahan (error). persoalannya, pelang error-nya di mana? dalam sistem automatic test result evaluation ini kemungkinan error terjadi pada media input, yakni lembar jawaban ujian. sistem diprogram hanya untuk membaca perbedaan pantulan warna gelap-terang pada posisi (koordinat) tertentu. jika dalam satu baris terdapat titik gelap lebih dari satu spot, atau luasan titik gelap melebihi dari yang seharusnya, maka sistem secara otomatis memperlakukan input sebagai error. kemungkinan error lain dapat terjadi karena secara umum kertas kotor atau banyak spot yang "membingungkan" mekanisme identifikasi. apabila inputnya benar, maka proses selanjutnya kemungkinan besar benar, dengan asumsi hardware dan software database-nya tidak mengalami kerusakan. untuk dua terakhir ini, akan sangat muda ditengarai bila terjadi kerusakan.

selesai wawancara, sambil berjalan ke hole berikutnya, saya berpikir, ini ada apa lagi? kesalahan pada pelaku (manusianya) mengapa akan ditimpakan kepada sistem TI. persis seperti yang terjadi di tabulasi penghitungan hasil pemilu, dari pengamatan saya, yang titik permasalahan lebih banyak pada prosedur, sejak penghitungan di TPS, pengumpulan di KPPS sampai pengisian formuir C1 dan peng-input-an formulir ke mesin scanner. sistem TI-nya sendiri sebenarnya pasif belaka. ia menerima apa saja yang dimasukkan ke dalamnya. sampah yang dimasukkan, sampah pula yang dihasilkan.

Monday, April 27, 2009

Maaf Boss

maaf Boss
tadi saya terlambat,
ban sepeda gemboss.

maaf Boss
teman kami belum terlihat,
mungkin dia akan mboloss.

maaf Boss,
badan kami sudah pegel lemes
pagi-pagi sarapan nasi setengah doss.

maaf Boss
mengapa mukanya lebam?,
apa di rumah abis saling jotoss.

maaf Boss
sedang nyoba barang baru ya??
kok giginya mrongoss.

maaf Boss
marahan sih boleh aje,
tetapi muka jangan suka melengoss.

maaf Boss
kalau pergi ke tanah batak,
pulang bawa kain uloss.

Kendal - Kaliwungu

kendal kaliwungu,
ajar kenal selagi ketemu.

kendal kaliwiru,
nyangking sandal tangi turu.

kendal kalibuntung,
ada modal cari untung.

kendal gambilangu,
golek rondo klambi biru.