Sunday, August 23, 2009

Merdeka Itu Tidak Merdeka

Ketika proklamasi disuarakan, kedaulatan direbut dari ketiak penjajah, bendera dua warna ditegakkan, berkibar. Suka riang pendahulu kita memekik “MERDEKA!!!”.

Merdeka, bergema di seantero nusantara. Nun di hutan, belantara tempat darah pejuang menetes, semangat perang bersemayam, terdengar tentara pelajar berbisik kepada teman satu kompi “benarkah kita sudah merdeka?” Tak percaya, jangan – jangan hanya angin surga yang dihembuskan dari elite pergerakan di tanah jawa.

Maka kabar tersiar ke mana – mana, sampai ke telinga bocah, yang belum tahu makna Merdeka. “Kak, apa itu merdeka?” tanya si bocah kepada kakaknya, mereka berdua baru saja kehilangan ayah lantaran berani menahan mesiu panas muntahan senjata penjajah.

Merdeka itu, kita boleh dapat makan, tidak lapar lagi seperti kemaren bulan dan tahun lalu. Merdeka itu tanah sawah ladang menjadi milik kita, bukan lagi milik tuan sinyo. Merdeka itu kita bakal sehat, tak seperti emak yang sakit-sakitan lantaran tidur di lantai tanah, berbaju karung, berbantal tikus pembawa penyakit pes. Merdeka itu kita bebas memilih sekolah. Merdeka itu.. terbebas dari segala macam mimpi buruk di masa kolonial. Ooo alangkah indahnya Merdeka itu.

Hari berlalu, bulan berganti tahun. Politik silih berganti, pemimpin enggan pergi, seumur hidup itu maunya. Aku yang membuat negeri ini merdeka, maka aku berhak duduk di kursiku. Bapak berjasa membela negara, maka layak dipuja. Ibu telah membantu, maka tiada apa ikut bersabda. Dan jadilah negeri ini kepunyaanku, begitulah anggapan mereka yang nasibnya mujur berkuasa di pemerintah.

Karena negeri ini milikku, tebangi kayu hutan, keruk tambang segala mineral, tangkap semua yang melawan. Sampai akhirnya aku kepayahan dan menyerah kalah.

Zaman berubah, merdeka masih melekat, tetapi di mana janji merdeka berada? Tanahku dikuasai manca negara, ladangku kerontang dan kebanjiran, rumahku gelap terang padahal batu bara dan minyak bumi tinggal di ladang sebelah, otakku tetap saja pandir, tak mampu sekolah tinggi kuhampiri padahal katanya sudah ada bantuan operasional sekolah, puluhan juta rupiah kalau aku ingin menikmati kerasnya kursi kampus, hatiku senantiasa was-was setiap kali keluar rumah lantaran jambret, copet, tukang pelet hingga teroris senantiasa mengancam harta dan nyawaku.

Di sebelah sana, di ruang – ruang dingin ber-ac, mereka yang mujur nasibnya, terima kasih merdeka, aku telah sukses, hartaku melimpah, perusahaanku ratusan, pegawaiku ribuan, ladang sawitku puluhan ribu hektar, kilang minyak aku punya, pesawat pribadi setia membawaku kemana kusuka.

Dua kutub membara, di tengahnya para kstaria pelayan rakyat, yang mulut anaknya perlu makan, otak cucunya butuh sekolah. Racun negara milikku-pun menetap di bilik – bilik hati para ksatria, mengubah alim menjadi serakah, karir berbalut korupsi.

Ternyata merdeka membawa petaka, bagi bangsa, bagi rakyat kecil yang dulu ikut berjuang, namun hilang penghargaan kepada mereka. Merdeka dan jiwa miskin membuat semuanya merasa bebas, bebas mencuri harta negara dan hak orang lain, bebas mengucapkan janji yang akhirnya tiada pernah ditepati, bebas membunuh masa depan anak-anak. Tiada malu bagi pejabat menerima upeti, ah itu kan wajar, aku kan baru saja dilantik jadi pejabat eselon 1, tak apalah kuterima mobil mewah ini dari mitra swastaku.

Ketika semua merasa merdeka dan bebas, lingkungan sosial menjadi tidak merdeka. Sejatinya merdeka itu tidak sepenuhnya merdeka, karena merdeka yang benar-benar bebas merdeka akan membuat semua menderita, dan derita itu tandanya tidak merdeka.

Itulah maka firman diturunkan, nabi diutus, undang-undang ditulis, aturan disepakati, adat dijunjung, syarah ditegakkan. Untuk apa? Aku rasa kalian sudah tahu jawabnya.

Rempoa, 14 Agustus 2009
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

Monday, August 10, 2009

Dapat Diduga Korupsi: Penggunaan Lahan Sekolah Negeri Untuk Kepentingan Bisnis Swasta

Hari Sabtu 1 Agustus 2009 saya diundang Himpunan Mahasiswa Elektro Politeknik Negeri Semarang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman di bidang Telekomunikasi dan Teknologi Informasi.

Selesai acara di Tembalang, saya bergerak menuju Pandanaran karena ada keperluan ke toko buku Gramedia. Selesai urusan di Gramedia, saya bergerak lagi menuju Banyumanik, karena rindu ingin melihat segenap wajah lingkungan tempat saya sekolah dulu, saya bergerak melalui Jalan Pandanaran II, menuju bunderan Air mancur, putar ke kanan, langsung naik Siranda, Sultan Agung, dan terus menuju Jatiangeleh, Srondol hingga sampai di tempat tujuan.

Ketika melewati Jalan Pandanaaran II, mobil yang saya tumpangi melambat persis di depan pintu masuk SMKN7 Semarang (dari belakang), dan setelah bergerak sedikit, saya kaget melihat, ternyata sekarang di lokasi sebelah kiri pintu masuk ada sebuah bengkel cukup besar, menghadap ke Jalan Pandanaran II. Karena senantiasa berpikir positif, secara reflek yang terpikir "wah hebat sekolah saya ini, berhasil mengelola unit produksi otomotif (atau sekarang oleh Pak Joko Sutrisno, Direktur SMK, yang teman baik saya itu, disebut sebagai Business Center), sehingga menjadi besar dan rame."

Seandainya tidak terlalu sore, karena sudah mendekati pukul 17.00, saya segera ingin berhenti dan - tentu saja - melihat - lihat sambil mengucapkan apresiasi kepada guru atau siapapun warga SMKN 7 yang sedang berada di situ. keinginan berhenti saya urungkan, jalan terus, namun keinginan untuk memberi apresiasi mendorong saya menelepon beberapa teman warga kamisetembang yang saya duga mengetahui ihwal bengkel tersebut.

dari tiga orang yang saya ajak bincang - bincang, dua dari tiga orang ini saya anggap mengerti status bengkel, cita rasa yang semula ingin memberi apresisasi berubah menjadi kecewa berat. Mengapa saya kecewa? dari info yang saya terima, ternyata bengkel tersebut dioperasikan oleh pihak lain (swasta) berdasarkan suatu "perjanjian" antara pimpinan sekolah dan pihak swasta tersebut. Saya sebut "perjanjian" karena tidak jelas, apakah itu perjanjian tertulis atau hanya lisan (verbal) antara pimpinan sekolah dan sang pengusaha swasta.

insting sebagai analist kebijakan publik dan pegiat good governance dan anti korupsi muncul begitu saja yang mendorong mulut dan tangan ini bicara. kepada sahabat tersebut, saya tanyai, bagaimana sejarahnya sehingga lahan milik negara diizinkan dipakai oleh swasta? apa dasarnya sehingga pimpinan sekolah "BERANI" memberikan hak penggunaan lahan kepada swasta? apakah ada perjanjian penggunaan lahan tersebut? Jika ada, apa saja isinya? siapa yang menanda-tangani dari pihak sekolah? apa hak dan kewajiban masing - masing pihak? apa bentuk benefit yang diterima oleh sekolah? uang? berapa banyak? kerja praktek siswa? sudah berapa banyak siswa yang kerja praktek di bengkel tersebut? jika sekolah menerima uang, apakah besarannya diketahui oleh semua atau hanya oleh beberapa orang saja? untuk apa pemanfaatan uang dari penggunaan lahan tersebut? Secara aturan Pemerintah (Daerah), apakah dibenarkan sekolah menerima uang dari penggunaan lahan? dan masih banyak pertanyaan lain yang saya semprotkan kepada teman ini dan tentu saja tidak terjawab oleh mereka berdua. saya kira mereka tidak tahu duduk persoalannya, sehingga mereka hanya bilang "MWR, aku ora ngerti".

nah, karena saya tahu pasti isi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3, yang berbunyi "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." Dan karena rasanya Anda semua tahu bagaimana KPK sukses menghukum pelaku korupsi dengan UU dan Pasal 3 ini, maka agar siapa saja pihak di SMKN 7 Semarang baik pimpinan sekarang maupun terdahulu tidak terlaporkan ke KPK dan terhukum seperti bunyi ancaman pasal 3 tersebut, maka dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai warga negara, saya mohon agar:

1. Pihak sekolah, dalam hal ini pimpinan tertinggi, supaya menjelaskan status penggunaan lahan yang digunakan untuk bengkel tersebut (supaya dijawab, semua pertayaan yang saya sebutkan di atas;
2. Semua penghasilan dari penggunaan lahan tersebut, supaya dibukukan secara transparan dan dijelaskan untuk apa saja penggunaannya.
3. Jika dalam kenyataannya, sangat sedikit manfaat (dalam bentuk finansial maupun lainnya yang diterima sekolah (secara keseluruhan), sebaiknya segera diakhiri dan lahan tidak lagi digunakan untuk bengkel swasta, ubah bengkel menjadi business center sesuai program Pemerintah.

Apa yang saya ingin cari tahu, bukan untuk membuat malu pimpinan sekolah atau siapa saja yang telah terlibat dalam urusan ini, namun semata untuk menegakkan hukum, meningkatkan citra sekolah.

COnditional Lotere Sebagai Alternatif Dalam Penmberian Izin Pengunaan Spektrum Frekuensi

Bicara soal undian (lotere) jika hanya baca sedikit sampai Bab Pendahuluan atau kata orang pada tataran common sense, yes you are right, Anda benar, akan banyak spekulan. Jadi bagaimana mencegah negative impact undian, sementara mekanisme ini juga dimaksudkan untuk efisiensi investasi jaringan?

Saya sebut sebagai "conditional lotere (CL)", pakai kata conditional karena ada prasyarat yang harus dipenuhi oleh peserta undian sebelum dinyatakan sah sebagai peserta undian. Syarat tersebut mencakup misalnya, kemampuan teknis, administrasi, keuangan dan komitmen pembangunan. Dengan mekanisme CL maka suatu region hanya boleh diikuti oleh kelas perusahan tertentu (misalnya UKM). Setiap peserta wajib menyerahkan bukti kemampuan keuangan (jaminan kepesertaan) dan jaminan pembangunan berupa cash yang disimpan dalam escrow account, yang dapat digunakan untuk membangun (dengan pengawasan dari regulator, dengan maksud mencegah penggunaan di luar keperluan pembangunan jaringan). Bila setelah menang undian perusahaan tersebut tidak melanjutkan pembangunan karena alasan apapun, maka jaminan kepesertaan dan jaminan pembangunan akan dicairkan dan menjadi milik pemerintah. selanjutnya uang ini dapat digunakan untuk membangun jaringan (oleh pemerintah) yang selanjutnya dijual kepada swasta. jadi bagi pemenang undian, bila tidak ingin jaminan kepesertaan dan jaminan pembangunannya hilang begitu saja, dia harus membangun.

lantas bagaimana dengan tujuan agar harga layanan kepada masyarakat menjadi murah? jawabnya, kebijakan BHP frekuensi dengan model up front fee (UFF) dan IPSR seperti yang sudah diberlakukan tetap bisa digunakan, hanya bedanya, tidak terjadi eskalasi Reserve Price (RP) seperti yang terjadi pada lelang BWA belum lama ini. Regulator menetapkan RP berdasar analisa kelayakan ekonomi dengan memperhatikan kondisi setiap region. Apa yang dilakukan Pemerintah sekarang ini dengan menetapkan RP setiap region sudah baik. bedanya dengan undian, kepada pemenang undian diwajibakan membayar UFF sebesar RP dan IPSR pada tahun - tahun sesudahnya misalnya 50% dari UFF. beda lainnya lagi? pembayaran UFF BUKAN pada tahun pertama segera setelah menerima lisensi, karena ini akan memberatkan investor, tetapi pada tahun kedua atau tahun ketiga setelah menerima lisensi. Jika ternyata pemenang undian gagal membangun dan mengundurkan diri sebelum tahun kedua, maka kepadanya akan dikenakan sanksi kewajiban membayar UFF, sehingga kerugian (bila tidak serius membangun) akan banyak sekali. selain itu dapat pula dikenakan sanksi sosial berupa pengumuman di media massa tidak hanya nama perusahaan, tetapi juga nama pemilik dan manajemennya.

jadi, undian itu mudah di awal, tetapi ketika sudah beruntung dan mendapat hak, maka pemenangnya harus komit, jika tidak (komit) maka ia akan menanggung rugi, menanggung malu. suatu kerugian yang wajar karena ia telah mengambil opportunity yang dapat diraih orang lain yang pada waktu undian. selain itu undian secara terbuka akan memberi peluang yang sama kepada setiap peserta yang lulus prakualifikasi, tidak ada hanky pangky, kong kali kong.

kelemahan dari undian semacam ini adalah, tidak dapat digunakan untuk cakupan nasional dengan kemampuan peserta yang beragam. tidak adil bagi perusahaan dengan kemampuan keuangan kecil menengah jika dijadikan satu kelompok dengan perusahaan besar atau multinasional. selain itu pada tahap prakualifikasi guna menentukan siapa saja yang memenuhi syarat mengikuti undian dibutuhkan profesionalisme khususnya di pihak regulator, dengan tidak memihak, sehingga seluruh peserta merasa diperlakukan adil, semua syarat kelulusan termasuk bagaimana criteria dan metode penilaian harus dibuka ke publik agar mudah dipahami oleh khalayak.*****

Masih Soal Takut: Apa Yang Membadakan Keduanya

di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua pada lema berani tertulis "mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb;" sementara di lema takut tertulis "merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana".

jadi sejatinya yang membedakan takut dan berani hanyalah kesediaan menghadapi bahaya, kesulitan, bencana. mereka yang "berani" akan mantap dan enteng saja ketika harus menghadapi resiko (akibat yang kurang menyenangkan, merugikan, membahayakan dari suatu tindakan atau perbuatan), sementara bagi petakut akan merasa ngeri menghadapi resiko.

pertanyaannya, mengapa ada orang yang takut dan ada yang berani. seperti dikatakan di atas, merek ayang berani bisa jadi karena: (1) tidak tahu ada resiko, sehingga mantap saja untuk melakukan sesuatu yang diangap berbahaya (oleh yang takut), termasuk kelompok ini adalah orang yang sembrono; atau (2) tahu ada resiko, namun mampu mengelola dirinya sehingga resiko tidak muncul sebagai kenyataan yang merugikan. masuk dalam kelompok ini, adalah para akrobatik, stuntman, manajer, pimpinan dan berbagai profesi lainnya yang membutuhkan ilmu pengetahuan, keahlian, kecakapan; atau (3) tahu ada resiko, namun siap kehilangan apapaun bila resiko tersebut terwujud. kelompok ini disebut juga kelompok nekad atau kelompok penjudi, petaruh, yang nasibjya ditentukan oleh kondisi sedang untung atau sedang apes.

di luar ketiga kelompok ini, pada kontinum takut di ujung kiri dan berani di ujung kanan, ada kelompok peragu, antara takut dan berani, tidak segera membuat keputusan; pencemas, lebih tinggi dari peragu melangkah dengan sedikit keberanian namun selalu disertai rasa takut; dan pengecut, sebetulnya takut, namun menutupi ketakutan dengan tetap melakukan tindakan, dan apabila resiko muncul dia lari meninggalkan kewajiban yang harus ditanggungnya.

mereka yang takut tetapi berani atau berani tetapi takut pada umumnya lebih bertanggung jawab dan bertindak rasional. takut tetapi berani dalam konteks positif, inilah yang saya sebut sebagai entrepreneur. takut miskin berani menjadi pengusaha, untuk itu orang ini mengerahkan segala daya upaya dan berani melakukan tindakan bagus agar tidak tertimpa resiko. mereka yang berani tetapi takut, inilah yang menjadi pasar bagi industri asuransi, berani berkarya, namun takut apabila suatu saat di luar kemampuannya muncul resiko yang harus ditanggung, maka dibagilah resiko kepada asuransi.

jadi, menurut pemikiran saya, takut dan berani itu bedanya hanya pada kesediaan menghadapi bahaya. Ki Ageng Suryo Mentaram mengajarkan suasana hati yang sebaiknya "mulur-mungkret" berkembang - mengempis. mulur mungkret ini mesti dikelola dengan panca indera agar dapat tepat menentukan kapan takut dan kapan berani. dalam suasana apa kita sebaiknya berani, dalam kondisi bagaimana sebaiknya kita takut. dicontohkan oleh Ki Ageng bagaimana suami istri mesti mulur mungkret, kalau keduanya mulur (marah - marah, merasa benar) maka ini pun akan sama akibatnya bila keduanya mungkret (diam-diaman, tidak ada komunikasi, saling acuh tak acuh). atau kalau suami istri mulur terus "anunya" inipun tidak sehat, apalagi kalau keduanya mungkret terus. yang lebih celaka kalau istrinya mulur, tetapi suaminya mungkret, bisa cari pil setan. seperti karet gelang, kalau keduanya mulur, ditarik ke ujung masing - masing akhirnya karet gelang putus, namun kalau keduanya dikendorkan tidak bisa untuk mengikat.

lebih jauh lagi, mengapa untuk urusan dunia yang sifatnya negatif orang lebih berani melakukan, sementara untuk urusan akhirat yang positif banyak yang takut melakukan? jawabnya, bagaimana kalau kita bahas pada posting selanjutnya????

Makan

Lupakan diet
rasakan nikmat
walau sedikit.

Untuk urusan perut
tidak bagus pelit
kurang bijak irit.

Semangkok lontong opor
hangat diangkat dari kompor
bikin lupa rumah bocor.

Segelas es buah
melegakan hati gundah
ingat kembali yang di rumah.

Coba nasi goreng
tambah sate kambing kelereng
duduk di lincak serasa mentereng.

Namun ingat
perut buncit
sarang penyakit.

Shangrila-Soedriman, 8 Januari 2007

Apa, Siapa Yang Pelru Diperbaiki?

Agama mengajarkan persahabatan,
tetapi mengapa dunia tidak damai.

Apakah karena orang yang mengaku beragama,
sejatinya tidak paham agama?

Atau ajaran agama-nya sendiri yang perlu disempurnakan?
tetapi bukankah para Rasul pengabar ajaran Tuhan mengatakan,
Agama yang mereka ajarkan sudah sempurna?

Jadi, ajarannya sudah sempurna, para Rasul yang mengabarkan Agama sempurna jua,
lantas, apakah manusia zaman sekarang yang sudah (pada) tidak taat lagi menjalankan ajaran Rasul?

Lantas, bukankah ulama, ustad, pastor, pendeta, rahib mereka tergolong ahli agama?
tetapi mengapa dari mulut sebagian mereka sering terdengar seruan pengkafiran,
perang melawan pemeluk agama lain? bunuh yang tidak seiman?
yang semuanya itu bukan wujud kasih Tuhan,
sumber semua Agama.

Undangan

kuterima,
undangan darimu,
surat langka nan menyayat jiwa,
tak kusangka ku kan merana,
kanda jua nan janji setia.

wahai angin kabarkan duka lara,
darah cinta berbalas tuba,
oh jejaka,
kau tak lagi ksatria.