Sunday, December 19, 2010

Tersengat Listrik 480 Volt dan Patah Tulang Lengan Kanan, Hadiah Seumur Hidup Bekerja di ARCO Indonesia

“Wig, naikin pakai manual saja, pelan-pelan, pada pusing nih” itulah perintah yang kudengar dari Handy Talki (HT) ketika sedang menaikkan life boat (kapsul) di Platform C, Central Plant sebagai bagian akhir latihan penyelematan dari bahaya kebakaran (fire drill). Hari dan tanggalnya sudah lupa, tetapi urutan peristiwa masih jelas tegambar di benak.

Waku itu, saya sedang menjalani tugas menjaga capsule station ketika kawan-kawan menaiki kapsul turun melaju meninggalkan platform. Setelah sekitar setengah jam kapsul berputar-putar di laut, salah seorang kawan mengabari bahwa mereka mau naik, maka kapsul kembali menuju wire rope yang masih menggelantung dan mengaitkan buckle agar dapat ditarik kembali ke atas. Setelah mendapat perintah “naikkan!” saya menghidupkan motor listrik untuk mulai mengangkat kapsul. Rupanya udara panas dan pengap membuat kawan-kawan di dalam kapsul tak tahan duduk tenang, sehingga dari atas terlihat kapsul bergoyang-goyang, hingga terdengarah perintah untuk menggunakan engkol.

Motor saya matikan dan ganti tangan memutar engkol menggulung wire rope ke atas, teryata gerakan ke atas sangat pelan, maklum tenaga manusia mesti kalah dibanding tenaga listrik. Setelah terasa mulai kelelahan, saya stop sebentar, tekan pedal rem dan memberi tahu kebawah lifting up akan kembali menggunakan motor.

Di sinilah mulainya petaka terjadi, ketika hendak menekan tombol start saya tidak memeriksa kembali apakah engkol telah sepenuhnya terlepas dari drum shaft karena menganggap pegas ratchet-nya berfugsi dengan baik. Ternyata tidak, sebelum menekan tombol start, pedal rem harus dilepas dulu. Nah setelah kaki kanan menginjak pedal dan tangan kanan melepas pin, kasul melorot ke bawah (karena gravitasi), tiba – tiba kepala, dan lengan kanan terpukul oleh engkol yang berputar cepat sekali seperti baling-baling. Safety Helmet dan kacamata jatuh ke lantai. Menyadari kapsul melorot ke bawah, saya masih berusaha untuk menginjak pedal dan mengunci. Namun ketika hendak mengangkat tangan kanan utuk menekan tombol start, terasa sakit. Langsung saya sadari baru saja terkena kecelakaan.

Melalui HT saya beritahu ke bawah bahwa saya baru saja terkena kecelakaan. Dan seseorang memanggil Operator, yang ternyata berdiri di balik H-Beam tanpa menyadari di sebelahnya saya mengalami kecelakaan. Saya ambil helm dan kaca mata (syukur tidak pecah), serahkan HT, kalau tidak salah ke Herry, dan berjalan menuju ke Dokter di Quarters. Semalaman tangan terasa panas, dokter tak banyak melakukan tindakan, hanya memberi obat pereda rasa sakit dan mengatakan tulang lengan saya patah.

Paginya saya langsung diterbangkan ke Halim dan langsung dibawa ke RSPP. Setelah di-rontgen tergambar satu tulang lengan kanan patah. Dokter spesialis orthopaedi (namanya lupa) langsung menawari operasi. Saya mangu-mangu, lantas berkata “bagaimana bila berobat ke Gurusinga atau Cimande?” Pak Dokter menjawab “silakan saja, tetapi bila ada apa – apa di luar tanggung jawab perusahaan”. Akhirnya saya putuskan untuk dioperasi di RSPP. Bekas operasi akan terus menjadi penanda bahwa saya pernah mengalami kecelakaan kerja di ARCO.

Luka operasi sudah mulai sembuh, callus sudah terlihat mulai menyambung tulang yang patah, aku ingin kembali kerja, tetapi tak yakin apakah masih mampu bekerja sebagaimana sebelumnya. Dokter memberi surat keterangan dapat mulai bekerja dengan pembatasan mengangkat barang maksimal seberat 20kg. Selain itu, Manager HRD, Ibu Nies Sjarifuddin (almh) memberi surat keterangan bahwa perusahaan masih berkewajiban menanggung biaya operasi pengambilan pen.

Kenyataannya, setelah kembali bekerja di offshore, surat keterangan Dokter tak punya makna apa-apa. Tugas pekerjaan yang saya terima tetap sama seperti sebelumnya, untungnya kawan-kawan sesama Electrician memahami kondisi saya dan banyak membantu. Saya pun tak mampu menolak karena berpegang pada prinsip, tak mau cengeng, tak pula hendak berlindung pada surat keterangan dokter, kalau sudah di tempat kerja, tinggal bagaimana atasan saja. Mendapat perintah, saya siap jalankan.

Lama kelamaan saya merasa diperlakukan tidak adil, mosok invalid disamakan dengan yang bugar. Selain itu saya mulai melihat masa depan, bila saya terus bekerja di laut, tak terbayang bagaimana masa depan saya dengan tangan kanan yang sudah invalid. Maka mulailah saya bantu-bantu di kantor, tetapi di sini tak mendapat penugasan khusus, barangkali saya – yang waktu itu hanya lulusan STM - dianggap tak layak bekerja di kantor. Akhirnya saya mengajukan pengunduran diri dari ARCO. Inipun tak mudah, karena alasan yang saya gunakan sebagai akibat dari kecelakaan.

Hingga pada suatu hari saya diajak Pak Muid – waktu itu Manajer NGL & Terminal menemui Pak TN Mahmud, Presiden ARCO. Sebagai anak kampung, baru kali itu saya masuk ke ruangan kerja yang besar sekali dan beliau duduk di belakang kursi yang ukurannya juga besar, sangat berwibawa dan berkuasa. Beliau bertanya mengapa saya mengundurkan diri, pas baru menjawab, eh dipotong oleh Pak Muid, Pak Mahmud bertanya lagi, mau menjawab dipotong lagi oleh Pak Muid, hingga pertanyaan ketiga dan sesudah itu kami berdua dipersilakan keluar. Sesudah itu saya mulai berurusan dengan HRD dan tak lama kemudian resmilah saya menjadi alumni ARCO, dengan mengantongi surat keterangan pernah bekerja selama lima tahun sekian bulan, dan surat keterangan kewajiban perusahaan untuk membayari biaya operasi pengambilan pen, yang sampai artikel ini ditulis tak pernah dilaksanakan. Tanpa pesangon.

Kecelakaan di atas bukan yang pertama saya alami sewaktu bekerja untuk ARCO Indonesia. Saat masih ditugaskan di Ardjuna Sakti, saya tersengat listrik 480 volt. Ketika itu kami sedang membongkar generator busbar dan pada saat bersamaan terjadi ground fault dari cargo pump yang sedang digunakan untuk loading ke kapal. Kawan – kawan yang sedang bersama-sama bekerja membongkar gas turbine generator tertawa-tawa melihat saya jatuh, mereka mengira saya sedang bercanda, malah ada yang berteriak dari atap closure “ha..ha.. mirip WTS dibekuk satpol…” Sjaiful Dahlan – sesama electrician - yang bekerja di sisi lainnya pun tak percaya bahwa saya tersengat listrik, “mana mungkin ada listrik di bus bar, saya kan juga di situ” kilahnya. Kemudian saya mengambil voltmeter dan minta dia untuk mengukur. Dengan agak sembrono dia menempelkan colokan ukur ke busbar dan “shit, fxxx up!!!” sergahnya karena ujung jarinya gosong melepuh tersengat listrik.

Dan hebohlah seisi Ardjuna Sakti. Howard Hughes lari ke lokasi disusul Murphy. Howard langsung mengambil volt meter dan mengukur ke bus bar, dia kaget juga, “why is it life?” kami berdua hanya saling pandang. Setelah diteliti mengapa arus listrik masih bisa masuk ke busbar walaupun circuit breakers dan semua sistem kontrol telah dilepas ditemukanlah fakta bahwa ada desain yang kurang sempurna pada grounding system. Peristiwa saya tersengat listrik secara tak sengaja membuka “aib” konstruksi Ardjuna Sakti yang selama lebih dari sepuluh tahun tak pernah diketahui. Dari kasus kecelakaan ini, sampai sekarang saya masih bertanya - tanya apakah layak mendapat award atau punishment. Yang jelas angka keselamatan saya berkurang.

Banyak peristiwa menarik dan berkesan kualami sepanjang masa kerja di Ardjuna Sakti dan Central Plant, seperti bagaimana kocaknya John Mamahit, “gilanya” Petrus Iskandar, “sablengnya” Anjar Andjani, bagaimana marahnya Embik Kurtubi yang hampir saja membunuhku tapi Alhamdulillah Tuhan segera menyadarkan kemarahannya, bagaimana kami suka meremas kerupuk yang dimasukkan saku oleh Pak Islah, bagaimana kami melobangi kaleng buah yang tersimpan di chiller agar airnya bocor ketika dibawa naik ke radio room oleh Alm Pak Djono, dan bagaimana kami di Ardjuna Sakti bersama-sama mengemas paket “ikan kakap merah” untuk Frans Gunterus. Ketika di Central Plant? Tak kalah serunya. Bisik-bisik “aya-aya’ pasca makan malam, menunggu adakah film “khusus” hendak diputar, dan bagaimana saya tinggal dikamar 415, serasa liliput di tengah para raksasa. Di kamar itu ada Ronald Casdy, Renal Elia, Harmanto, Alm Jusuf Judistira, Bambang Purwanto dan saya, semuanya tinggi besar kecuali saya.

Dari kenangan yang bayak sekali, peristiwa tersengat listrik 480 Volt di pelipis kanan dan patah tulang lengan kanan inilah yang akan selalu kukenang sebagai hadiah bekerja di ARCO Indonesia.*****


*) Pernah bekerja di ARCO Indonesia (ARII) sejak 1984-1989 sebagai Instrument Technician dan Electrician di Ardjuna Sakti dan Central Plant. Periode Oktober 1983-Juli 1984 menikuti Pre-employment Training Program (PTP).

Friday, December 17, 2010

Paradoks Korupsi, No Peace-No Merci

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua tahun 1996 mendeskripsikan kata “jujur’ memiliki makna lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus ikhlas. Sedangkan kata “bohong” dideskripsikan memiliki makna tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya, dusta, palsu; dengan demikian kata “berbohong” dapat diartikan sebagai menyatakan sesuatu yang tidak benar, berbuat bohong, dusta. Pada bagian lain, KBBI mendeskripsikan kata “tipu” sebagai kata benda yang bermakna perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Kata kerja ‘tipu’ menjadi menipu artinya mengenakan tipu muslihat, mengecoh, mengakali; pelakunya disebut penipu.

Mengacu uraian di atas dapat ditarik analisa bahwa seseorang (misal A) yang dengan sengaja atau tidak, atau dianggap oleh orang lain (misal B) telah melakukan perbuatan tidak jujur dapat disetarakan dengan telah melakukan kebohongan atau penipuan. Lebih jauh, terbukti atau tidak, oleh B, A dianggap telah melakukan penipuan, artinya di kepala B, si A adalah penipu.

Perbedaan
Apakah tindakan tidak jujur selalu berarti buruk? Di kalangan masyarakat barat ada istilah white lying, berbohong untuk kebaikan. Pertanyaannya, kebaikan untuk siapa? Yang berbohong, yang dibohongi, atau pihak lainya tak terkait? Besar atau kecil, dirasakan atau tidak adanya perbuatan tidak jujur dapat dipersepsi telah memnimbulkan dampak kerugian.

Apakah tidak mengatakan tentang sesuatu yang diketahui atau telah dilakukan dapat disetarakan dengan perbuatan tidak jujur? Dari segi hukum positif, jika sesuatu yang diketahui atau dilakukan berkaitan dengan tindakan lain yang tergolong kejahatan, maka orang yang mengetahui telah terjadi sesuatu namun tidak mengatakannya kepada pihak berwenang, dapat dianggap telah ikut bersekongkol dalam tindakan kejahatan tersebut. Persoalannya, tidak selalu yang diketahui dan atau dilakukan namun tak dikatakan, berhubungan dengan tindakan kejahatan. Para ahli agama mengatakan nilai sesuatu perbuatan tergantung niatnya. Kalau niatnya untuk berbohong, menutupi suatu fakta maka sudah dapat dikatakan sebagai indikasi awal menuju perbuatan tidak jujur. Sebaliknya, kalau tak ada niat apapun atau karena mempertimbangkan berbagai kepentingan yang lebih besar, atau karena perlu menunggu saat yang tepat, sikap tidak mengatakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan tidak jujur. Persoalannya, siapa yang tahu niat seseorang kalau tidak diikrarkan? Selain Tuhan dan yang bersangkutan, orang lain dapat menilainya dari apa yang kemudian dilakukan oleh si terduga.

Mengapa demikian? Teori perilaku manusia mengatakan, manusia normal cenderung melakukan sesuatu yang sebelumnya ada di benaknya, sesuatu yang diketahuinya. Jadi bila niatnya jahat, tindakan berikutnya tak jauh dari perbuatan yang terkait kejahatan. Demikian juga bila niatnya baik, aksi selanjutnya juga sesuatu yang dapat dianggap sebagai kebaikan.

Menentukan Sikap Terhadap Penipu
Lazimnya, tak ada satupun manusia suka ditipu, karena penipuan berdampak pada kerugian, baik berupa material maupun yang bersifat non-kebendaan. Dalam konteks kriminal penipuan diartikan sebagai mengambil hak orang lain dengan sepengetahuan pemilik namun tidak sesuai dengan syarat yang diperjanjikan. Ada sesuatu yang hilang dari korban penipuan, yang semestinya menjadi haknya.

Dari pengertian inilah maka penipuan mestinya dan kenyataannya diperlakukan sebagai tindakan kejahatan. Negara ikut terlibat dalam pertolongan terhadap korban penipuan, oleh karena itu KUHP memuat pasal hukuman terhadap perbuatan penipuan. Hukuman bisa bersifat fisik maupun non-fisik. Negara melalui lembaga peradilan pada umumnya memilih hukuman fisik, kurungan badan dan atau kewajiban mengembalikan kerugian yang timbul akibat penipuan yang terjadi. Bila yang ditipu hak rakyat yang diwakili oleh negara, pelaku penipuan disebut koruptor. Dari sinilah barangkali munculnya alasan mengapa koruptor harus dibenci, dihukum, dimiskinkan.

Penipuan, selain mengandung perbuatan pidana juga memiliki muatan perdata, hubungan yang terjadi antar individu ataupun badan (organisasi) selaku warga negara. Di beberapa komunitas tertentu, diberlakukan hukuman pengucilan, pembuangan, pengeluaran (exile) sebagai anggota warga kepada pelaku penipuan yang telah merugikan warga lainnya.

Paradoks Korupsi
Adalah wajar jika terhadap pelaku tindakan penipuan atau perbuatan tidak jujur diperlakukan perbuatan yang tidak menyenangkannya sebagai hukuman, agar pelaku menjadi jera. Menjadi pertanyaan, ketika yang terjadi kebalikannya, alih-alih dihukum, koruptor yang nota bene sama dengan pelaku penipuan malah dalam banyak kasus dielu-elukan, disorot media sebagai telah berjasa, dibahas tuntas dijadikan hiburan. Inilah yang saya sebut sebagai Paradoks Korupsi.

Dalam skala yang lebih kecil, paradoks juga kerap terjadi. Contoh kasus A dan B keduanya terikat dalam sebuah lembaga. Si A menganggap B telah tidak jujur, menipu. Karena anggapan ini A bersikap mengambi jarak dari B, kurang kooperatif. Paradoks terjadi karena walaupun menganggap B telah membuat rugi namun A tetap memanfaatkan sumber daya yang diberikan oleh B. Dalam kasus ini, menunjukkan A tidak mampu independen, padahal konsekuensi dari atribusi adalah independensi si penganggap dari dan ke yang dianggap.

Kembali ke skala yang lebih besar, Paradoks Korupsi terjadi karena yang seharusnya menghukum (aparat penegak hukum) tidak mampu independen dari yang harus dihukum. Ketidak-independenan ini dapat terjadi antara lain karena yang harus dihukum lebih powerfull, pangkat dan jabatannya lebih tinggi, atau ada ikatan emosional di antara mereka.

Pelajaran
Tidak ada orang yang suka ditipu. Seseorang yang terbukti melakukan perbuatan tidak jujur dan merugikan pihak lain mesti dihukum oleh yang dirugikan atau pihak berwenang mewakili kepentingan yang dirugikan. Untuk menjatuhkan hukuman, aparat penegak hukum atau yang berwenang, yang berhak memberi hukuman mestinya memiliki kemampuan independensi dari yang dihukum. Tiada kemandirian menyebabkan terbitnya Paradoks Korupsi atau Anomali Penipuan.

Dalam konteks lain yang masih bersinggungan, seseorang sebaiknya hati – hati dan cermat ketika membuat pernyataan yang isinya menuduh orang lain telah melakukan perbuatan tidak jujur. Ajukan bukti yang valid, jangan bukti sumir. Konsekuensi dari mengajukan pernyataan (claimant), yang bersangkutan harus independen dan siap menghadapi pembelaan maupun tuntutan balik di si tergugat (plaintiff). Independensi adalah energi yang dapat digunakan untuk mendaki sampai seberapapun tinggi perselisihan akan diperkarakan. Tak punya kemampuan independen walau terhubung dalam ikatan emosional, dan tak siap menghadapi serangan balik, rasanya hanya buang waktu dan energi bila berperkara. Pilihannya hanya dua: simpan tuduhan untuk diri sendiri (silent) atau bila sudah telanjur menuduh (accuse) ikuti langkah yang sering dilakukan pengacara, tarik gugatan ajukan permintaan maaf. No Peace, No Merci.*****

Saturday, December 11, 2010

mencari alternatif baru dalam pembangunan ekonomi nasional

ingat waktu Prof Bhanoji Rao berdiri di depan kelas regional economic development, kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya di sessi introduction, dalam spektrum pembangunan ekonomi suatu negara di ekstreem paling kiri adalah negara - negara yang penguasaan sumber daya ekonomi dari hulu sampai hilir sepenuhnya dikuasai oleh negara, melalui mekanisme perencanaan terpusat; dan di ujung paling kanan adalah negara - negara yang berkeyakinan bahwa sumber daya ekonomi sepenuhnya milik rakyat dan negara hanya berperan untuk melindungi dan memastikan sumber daya ekonomi tersebut dimanfaatkan secara optimal bagi pemiliknya dan bagi negara.

ujung kiri disebut sosialis dan ujung kanan diberi judul kapitalis. mana yang terbaik? di mana posisi Indonesia? apakah ada alternatif selain kapitalis dan sosialis? bagaimana profil "persaingan di antara keduanya (sosialis dan kapitalis) pada dekade terakhir? mungkinkah sosialis dan kapitalis digabung dalam satu sistem ekonomi politik? siapa saja musuh - musuh dari kedua pendekatan ekonomi politik ini?

sebelum menjawab semua pertanyaan di atas, teringat lagi kalimat Prof Mukul Asher, ketika menjelaskan tentang hubungan publik-private dalam suatu perekonomian yang cenderung mengarah ke kapitalis. mengapa dikatakan cenderung mengarah ke kapitalis? jawabnya sederhana dalam ekonomi sosialis-kapitalis, peran pemerintah sangat dominan dan private cenderung di-nihil-kan. artinya semakin sosialis, peran sperekonomian yang dilakukan oleh swasta dalam sektor - sektor strategis semakin kecil sekali (untuk menganti kata nol=zero). jadi dapat dikatakan di negara yang kapitalis pemerintahnya memberi swasta peran yang sangat besar di dalam kegiatan perekonomian dari yang sifatnya ordinary hingga yang strategik.

pergeseran dan interaksi antara pelaku bisnis dan politisi juga mewarnai sejauh mana sumber ekonomi dikelola. semakin banyak pengusaha yang beralih profesi menjadi politisi, dan di pihak lain tidak kalah banyaknya politisi yang berdiri di balik atau di depan panggung publik mendukung kekuasaan dan kekuatan pengusaha. suatu hubungan mutual resiprokal.

tiga paragraf di atas berupaya mengantarkan posisi politik ekonomi (kapitalis versus sosialis), implementasi ekonomi politik (alokasi dan pengelolaan sumber daya ekonomi), dan economy and political behaviors yang lazim terjadi lantaran antara ekonomi dan politik tidak mudah dipisahkan, saling berkelindan.

indonesia, kalau dilihat dari konstisusinya sepertinya ber-missi sosialis yang demokratis, simak saja di Pancasila dan UUD 45. namun apa yang termaktub dalam konstitusi tak serta merta dijalankan secara sinkron dalam realisasinya. Peran Pemerintah lambat laun mengeropos dan digantikan oleh pengusaha yang dalam konteks tertentu mengambil kewenangan yang dimiliki pemerintah. benarkah demikian?

sudah dulu ahh,, mau ketemu pejabat dulu.... besok-besok di sambung lagi...

Dapatkah KemKominfo Disalahkan Karena Sudah Tidak Netral (lagi)?

Peluang bisnis broadband bisa hilang' (Bisnis Indonesia, 3 November 2010). pemerintah (kemkominfo) masih bersikukuh pemenang tender BWA 2.3 mesti menggunakan Wimax 16d (dengan alasan pemenuhan TKDN), di sisi lain, industri perangkat dan kebutuhan pasar Wimax sudah meninggalkan 16d dan menghendaki Wimax 16e (versi lebih baru) bahkan sudah ancang-ancang ke Wimax 16m (mobile). Akankah terwujud Indonesia kehilangan peluang bisnis broadband? Dapatkah Pemerintah dikatakan sudah tidak netral (lagi) dalam pengaturan pemanfaatan teknologi ICT? Bagaimana solusi terbaik mengatasi stagnasi penyediaan layanan BWA?

normatif regulasi menyatakan, pemerintah selaku regulator, dalam membuat regulasi yang berkenaan dengan pemanfaatan teknologi mesti mengusung berbagai azas, salah satunya azas teknologi netral. ini maknanya pemerintah tidak boleh berpihak pada satu teknologi tertentu tanpa memertimbangkan kemaslahatan atau manfaat yang optimal bagi masyarakat. jadi menetapkan penggunaan teknologi tertentu, di tengah banyaknya alternaif teknologi ICT, boleh-boleh saja, namun mesti dengan pertimbangan teknologi yang dipilih bukan teknologi yang sudah kadaluwarsa, yang memiliki peta jalan pengembangan ke depan, yang masih didukung oleh industri perangkat tersebut tidak hanya di dalam negeri namun juga di kancah internasional, yang kemampuannya memadai untuk melayani laju pertumbuhan yang kecenderungannya semakin tinggi, yang harganya kompetitif sehingga benefit (value dibagi price) setinggi - tingginya.

kenyataannya bagaimana? sebagaimana diungkap di atas, pemerintah masih bersikukuh dengan 16d dengan alasan: (1) pembelaan terhadap TKDN, karena 16d konon sudah mampu dibuat oleh prodiusen dalam negeri; dan (2) para pemenang tender BWA sudah menanda-tangani di atas materai dokumen kesediaan memanfaatkan 16d.

dua alasan tersebut di atas, masih bisa digugat. yang pertama, apakah ketentuan TKDN hanya untuk WIMAX saja? kelihatannya faktanya demikian. coba simak, mengapa pemerintah tidak ribut soal TKDN ketika semua operator selular GSM. 3G, CDMA menggunakan teknologi 100% produksi luar negeri? mengapa pemerintah tidak ribut ketika di seluruh institusi pemerintahan menggunakan hardware dan software komputer yang juga 100% produk luar negeri? di mana KemKominfo dalam situasi seperti ini? barangkali bagi pemerintah 16e dan kelak Wimax 16m itu produk asing yang haram dimasukkan ke Indonesia. tetapi ketika operator selular mulai bicara LTE, mengapa tidak ada isu TKDN yang mencuat?

pertanyaannya, apakah tidak ada pengusaha nasional Indonesia yang mampu memproduksi Wimax 16e? Jawabnya ADA. Salah satunya Xirca. lantas mengapa tetap saja 16e tidak boleh digunakan bila ada yang mampu memproduksi dengan TKDN sesuai ketentuan Pemerintah? Ada apa ini?

yang kedua, pemenang tender sudah menanda-tangani kesediaan memanfaatkan 16d. syarat tender pada umumnya bersifat "hold up", artinya tidak ada pilihan lain kecuali bersedia menyetujui, mengambil satu-satunya opsi yang ditawarkan. dilihat dari segi ini saja, syarat tender sebetulnya tidak fair, karena tidak menyajikan alternatif yang dapat dipilih, sementara di pasar (industri) tersedia pilihan yang lebih efisien. artinya dari awal, pemerintah sudah menginginkan agar industri layanan BWA Wimax menjadi tidak efisien. atau kalaupun pemerintah menyerukan harga akses data murah, ini sama saja pejabat emerintah menekan pengusaha, karena di satu sisi harus membayar up front fee dan BHP Frekuensi yang lumayan mahal melalui mekanisme lelang, juga harus membeli teknologi yang sudah agak kuno dan mahal, ehh di ujungnya ditekan supaya harga layanannya murah.

sudah tahu bahwa 16d tidak efisien, mengapa peserta tender masih bersedia menanda-tangani pernyataan kesediaan memanfaatkannya? jawabnya, selain karena hold up juga ehh siapa tahu ada angin perubahan yang mampu meruntuhkan kekakuan birokrasi. harapan ini tentu tidak asal harapan, mungkin para pengusaha berpikir, birokrasi pemerintah yang sekarang sudah pro-industri, sudah ter-reformasi, sudah clean no KKN. kenyataannya? barangkali harapan tinggal harapan, karena sebagaimanan dinyatakan dalam tajuk di Koran Bisnis Indonesia, Indonesia bakal kehilangan peluang bisnis broadband, lantaran pihak yang dikira sudah pro-industri, sudah pro-pertumbuhan, sudah komit dalam WSIS untuk meraih MDG 2015, sudah sukses menjadi anggota Dewan ITU, ehh ternyata di kancah domestik rupanya, masih muter-muter di situ - situ saja sam seperti sebelum mendiang Pak Harto jatuh....

adakah solusinya? banyak pihak, termasuk para sahabat di birokrasi yang gajinya dibayar pakai pajak yang berasal dari rakyat, sudah tahu, apa solusi terbaik. namuuuunnn, mestikah kita semua masih harus bersabar seribua tahun lagi menunggu sang juru selamat datang?

Masih Mungkinkah ESIA-FLEXI Bergabung?

Dua hari berturut-turut, muncul dua berita yang dapat dikaitkan dengan proses penggabungan dua operator telekomunikasi Bakrie Telecomm (BTEL) dengan produknya Esia dan Telekomunikasi Indonesia (TLKM) dengan produknya Flexi . Berita Utama Bisnis Indonesia (BI) Selasa 1 Desember 2010 “Bakrie rambah seluler” di paragraf terakhir disebutkan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom menolak rencana penggabungan Flexi-Esia karena menganggap kebijakan ini sama dengan membuka rahasia negara. Di hari Rabu, head line BI bertajuk “Pertamina-Encore gagal closing”. Salah satu alasan kegagalan yang dirujuk oleh Hilmi Panigoro, Komisaris Medco Energi International, adalah rumitnya administrasi perkawinan perusahaan publik dan BUMN, selain kurangnya dukungan dari Komisi VI dan VII DPR serta Kementerian BUMN. Menjadi pertanyaan, kegagalan Pertamina-Medco, akankah menjadi pelajaran atau bahkan diikuti Esia-Flexi?

Kesamaan Kondisi
Pertamina sebagai BUMN beroperasi selayaknya korporasi. Mesti meraup laba, memberikan deviden kepada Pemerintah selaku pemegang saham, menyejahterakan pegawainya, memberi manfaat bagi pengguna produk dan jasanya, serta diharapkan terus tumbuh sepanjang usia Republik. Guna mencapai kinerja yang diharapkan, Pertamina perlu dikelola secara efisien, berdaya saing dan profesional. Manajemennya harus diberi kewenangan untuk menetapkan strategi korporasi dan bisnis guna mecapai visi dan menjalankan misi. Persoalnya, karena majoritas sahamnya dimiliki negara, apapun dan bagaimanapun strategi bisnis yang dikembangkan manajemen Pertamina mesti tunduk pada peraturan perundangan yang mengatur keberadaan BUMN. Selain itu, tak dipungkiri berbagai kepentingan ekonomis dan politis dari para elite senantiasa memengaruhi kebijakan manajemen. Saling berkelindannya berbagai kepentingan ini tak ayal cenderung menghambat laju pertumbuhan perusahaan. Padahal, pesaing sudah dengan mudah diizinkan masuk ke negeri ini, mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam nasional.

TLKM setali tiga uang dengan Pertamina, hanya bidang usahanya saja yang berbeda. Sebelum Pertamina berniat mengakuisisi Encore, TLKM lebih dahulu berbicara dengan BTEL untuk menggabungkan dua layanan mereka (Flexi dan Esia). Alasan formal keduanya pun hampir sama, untuk memastikan pertumbuhan di tengah melaju pesatnya kompetisi di masing – masing sektor bisnis.

Perbedaan
Dalam kasus Pertamina-Encore, Komisi VI dan VII DPR terlihat aktif bersuara. Seperti biasanya ada yang mendukung, ada yang diam tak jelas posisinya, namun lebih banyak suara yang keberatan dengan berbagai alasan. Barangkali, lantaran suara DPR lebih banyak menolak, Kementerian BUMN yang konon pada awalnya mendukung rencana akuisisi ini, tak sampai sebulan posisinya memudar, mengikuti majoritas rekan kerjanya di Senayan. Walhasil, meski secara bisnis akuisisi ini dapat menambah value bagi para pihak yang bertransaksi, tak ada satupun pimpinan Pertamina yang berani mengambil resiko “melawan petunjuk” pemilik perusahaan.

Di internal perusahaan, baik di Pertamina maupun di Medco tidak ada suara keberatan, jikapun ada barangkali hanya satu dua yang khawatir akan kehilangan kursi jabatan. Berbeda halnya dengan rencana penggabungan Esia-Flexi, dari Kementerian BUMN selaku pemilik dan Jajaran Kementerian Kominfo selaku pembina sektor telekomunikasi maupun Komisi I DPR tidak terdengar suara penolakan, dukungan, maupun anjuran. Semuanya senyap. BRTI selaku regulator telekomunikasi bahkan hanya bersikap menunggu saja, barangkali lantaran kewenangannya tidak sampai ke sana. Satu institusi Pemerintah yang terdengar bersuara hanya KPPU, itupun terbatas pada isu apakah penggabungan akan menciptakan monopoli, suatu struktur pasar yang sudah diharamkan oleh Undang-Undang.

Hal lain yang membedakan adalah pada penolakan Sekar Telkom, suatu organisasi karyawan yang terkenal militan, dan telah berhasil “melindungi” kepentingannya agar TLKM tetap sebagaimana yang mereka inginkan. Ketika Telkom Regional IV Jawa Tengah hendak di-akuisisi Indosat (2002), Sekar turun ke jalan, mengadu ke DPR bahkan ke Presiden untuk menolak, dan mereka berhasil. Pertanyaannya, apakah dalam menghadapi rencana penggabungan Esia-Flexi Sekar Telkom akan tetap militan dan konsisten seperti waktu-waktu sebelumnya? Atau akan terjadi kompromi sehingga sikapnya melunak?

Pelajaran
Bagi BTEL dan TLKM kegagalan akuisisi Pertamina atas Encore selayaknya menjadi pelajaran berharga, tentu bila keduanya serius untuk melaksanakan cita-citanya. Persoalannya, publik melihat rencana penggabungan Esia-Flexi, bagi BTEL hanyalah strategi alternatif saja senyampang apabila gagal meraih izin layanan Sistem Telekomunikasi Bergerak Seluler Bergerak (STBS) untuk melengkapi izin FWA dan komunikasi data. Ternyata izin STBS diperoleh. Pertanyaannya, masihkah BTEL berminat melanjutkan rencananya, apalagi muncul penolakan dari Sekar Telkom? Ditambah, kelak dihadapkan pada kerumitan adminstrasi “perkawinan BUMN-Swasta” yang membuat perusahaan sekelas Medco dan Pertamina pun tak sanggup menembusnya.

Bagi sebagian besar publik jadi atau tidaknya penggabungan Esia-Flexi mungkin tidak ada beda yang signifikan. Bagi industri jasa telekomunikasi? Bila wujudnya menciptakan perusahaan baru, inipun tak sejalan dengan keinginan Pemerintah dan pelaku usaha untuk melakukan konsolidasi industri agar lebih ramping dan efisien. Jadi bagaimana? Kita tunggu saja hasil akhirnya.*****

Akhirnya Rejeki Tak Menghampiri Sukin dan Acun

Bandara Cengkareng Terminal II Kedatangan sore itu tak terlalu ramai. Penumpang yang baru tiba datang dan pergi silih berganti. Para penjemput, seperti biasa berdiri menunggu di pintu keluar. Ada yang santai, ada pula yang terlihat tegang, semua menunggu sahabat, kerabat, pimpinan atau siapapun yang hendak tiba. Di selasar persis di luar pintu terlihat banyak lelaki berdiri seperti menunggu mereka yang baru tiba. Hanya saja, sapaan mereka kepada penumpang tiba yang membedakan dengan penjemput. Mereka adalah penjaja jasa transportasi, atau taksi tidak resmi yang menawarkan jasanya di Bandara Cengkareng.

Setiba dari Pangkalpinang, aku tidak langsung pulang, karena mesti menunggu Widi, anakku bungsu yang akan menjemput dan menunggu Nunung, istriku yang masih dalam penerbangan kembali dari Pekanbaru. Sambil menunggu Widi aku bincang-bincang dengan Saut Simatupang, rekan satu kantor yang sama-sama tiba dari Pangkalpinang. Kami duduk di bangku panjang di teras panjang bandara. Saut menunggu bis, aku menunggu Widi dan Nunung. Tak lama kemudian Widi datang, dan sesudah itu bis Damri jurusan Blok M yang ditunggu Saut datang, jadilah saya dan Widi duduk berdua. Sejurus perut terasa lapar, aku mengajak Widi ke KFC. Widi memesan ayam combo dan aku memesan fish burger. Selagi menikmati makanan, Widi berkata sambil menunjuk beberapa orang berseragam kaos ungu dan celana panjang putih "Pah, itu tim kesebelasan Malaysia" wajah mereka rata-rata lesu, dan kuyu seperti tidak terurus, saya berujar "mungkin karena mereka kalah."

Selesai makan, kami kembali ke bangku semula. Belum lama kami duduk datang seorang lelaki yang langsung duduk di sebelahku menawarkan parfum. Kami hanya senyum dan menggeleng. Tak mau menyerah, lelaki tersebut mengeluarkan sebuah bungkusan kotak dari saku jaketnya, yang ternyata parfum bermerk Bvlgary. kami tetap mengatakan tidak hingga akhirnya lelaki tersebut ngeloyor pergi. selesai tawaran parfum datang lagi lelaki lain dengan memegang sebatang rokok kali ini menanyakan apakah saya punya korek api, saya jawab "saya tidak merokok". rupanya minta api merupakan teknik perkenalan, sejurus kemudian orang ini menanyakan tujuan "mau kemana Pak?" saya jawab "pulang" dia bilang lagi "mari Pak saya antar" saya jawab "tidak usah, terima kasih" dia masih bertahan. rokok dimasukkannya ke saku dan duduk di sampingku sambil memperkenalkan diri "nama saya Sukin" saya hanya mengangguk dan mengalihkan perhatian ke Widi dengan melakukan percakapan agar Pak Sukin merasa tidak dibutuhkan.

Tak lama datang rombongan 7 orang lelaki, rupanya yang 6 orang bersama - sama baru tiba dari Batam dan yang seseorang yang ternyata rekan kerja Sukin (sebut saja Acun). Acun dengan proaktif menawarkan jasa taksi (bus kecil) untuk mengantar rombongan 6 orang ini. salah satu dari 6 orang ini meladeni pembicaraan Acun, dan 5 lainnya acuh tak acuh, mungkin lantaran kecapaian. mereka duduk di bangku sebelah saya duduk. yang paling dekat dengan saya bertanya waktu, saya jawab "6.30" dia berkata, "masih sore" saya penasaran dan bertanya "emang mau kemana Pak?" dia jawab "mau ke Cirebon" saya tanya lagi "dari mana Pak? "Kuala Lumpur, Malaysia" jawabnya. saya tak bertanya lagi. saya lihat kawan di sampingnya merogoh saku mengambil rokok dan mengeluarkan paspor warna hijau. Dari penampilan mereka yang terkesan lugu, bukan orang sekolahan, hitam legam seperti sering terkena sengatan matahari, ramput panjang, celana jean belel, baju kaos dan sepatu boot proyek, saya mengira-ira mereka ini para pekerja proyek yang baru pulang dari berkarya di luar negeri.

Acun terus menawarkan jasa dengan meyakinkan murah, pakai AC, dan lain sebagainya. Di samping saya Sukin yang semula tenang, hanya memerhatikan 6 orang ini satu persatu pelan-pelan berdiri dan berkata kepada salah satu dari mereka "sebaiknya jangan lama-lama di sini, kurang aman" yang diajak bicara diam saja hanya memandang wajah Sukin. Saya mulai mengira-ira apa hubungan Sukin dan Acun, pesaing atau "kawan bermain?' Tak mendapat respon Sukin minta api kepada salah satu dari enam orang ini yang sedang merokok, dan mulailah pembicaraan di antara mereka berdua, sementara si pemimpin pergi entah ke mana. terlihat lelaki yang diajak bicara Sukin mulai manatap kawan-kawannya untuk menerima tawaran Sukin. Acun diam saja memandang Sukin beraksi.

Tiba - tiba yang tadi bertanya ke saya kembali bertanya "Pak, jam segini masih ada Damri ke Gambir kan ya? saya jawab, "coba saja tanya ke loket" (sambil menengok ke arah loket) pria ini mengangguk dan langsung beranjak ke arah loket Damri, yang langsung dibuntuti Acun dan berusaha mencegah agar tidak bertanya ke loket. Ketika lelaki tersebut mendekati loket Damri, si pemimpin datang, kali ini disertai pria lain berbaju putih yang langsung berkata keras "ayo angkat tas, kita berangkat!!!" mendengar pria berbaju putih ini, mata Sukin menyorot tajam ke wajah si pria sambil kepalanya menggeleng, dan Acun yang sedang mengejar lelaki ke loket berbalik melarang angkat tas dan mengusir pria tersebut. Si pria tahu diri dan langsung meninggalkan kelompok ini. Si pemimpin bengong.

akhirnya lelaki yang kelihatan paling tua dan berkulit paling hitam berbicara dalam bahasa cirebonan, supaya menunggu kawan mereka yang sedang ke loket Damri. semua diam sampai si pria yang baru kembali dari loket mengajak semuanya pindah mendekati tempat berhentinya bus Damri. Sontak Acun menahan mereka dengan menawarkan diskon dan bisa berhenti di mana saja kalian suka. Sukin terlihat merangkul lelaki yang sedari tadi diajaknya bicara. sang pemimpin dan empat orang lainnya sudah berdiri dan memegang tas masing-masing, haya tinggal seorang yang masih duduk dirangkul Sukin. Si paling tua memanggil kawannya ini dan menatapnya tajam, hingga Sukin melepas rangkulan.

Berenam mereka beranjak ke arah tempat pemberhentian bis, diikuti Acun dan Sukin yang terus merayu. Acun dengan gayanya yang lugas sedikit kasar, Sukin dengan gaya halus dan tenang sambil ikut menarik tas lelaki yang tadi diajaknya bicara. ketika mereka berdelapan meninggalkan bangku saya berkata pada Widi "kita lihat, apakah rayuan dua orang tersebut berhasil" mendengar perkataan saya Widi hanya tertawa saja.

Dari kejauhan saya lihat dua orang ini masih berjuang untuk menjual jasanya, hingga tak lama kemudian datanglah bus yang ditunggu dan keenam orang ini naik. Melihat adegan ini Widi berkata "Pah, tuh Sukin gagal meraih rejeki" saya mengiyakan. Setelah bus berjalan, Acun dan Sukin berjalan kembali ke arah kami duduk dan ketika melewati bangku kami, mereka menengok ke arah saya dan saya tatap dengan wajah kosong. dalam hatiku "jangan menyerah, masih banyak rejeki lain."****

Dinamika Kompetisi Jasa Telekomunikasi – Seri 1

Dua teori yang relevan untuk menjelaskan dinamika kompetisi adalah teori perilaku producers (monopolistic, duopolistic, oligopolistic, monopolistic competition, dan perfect market); dan teori kedua, adalah access pricing theory yang memberi isyarat bahwa perilaku operator dipengaruhi oleh access structure dan price (access and retail) regulations.

Ada beberapa perilaku strategis operator yang perlu dicermati terutama yang anti-competitive (meskipun legal) antara lain perilaku yang berdampak exclusionary dan raising rival's cost seperti bundling-tying, refuse to deal, delay negotiation, price discrimination, predatory pricing. dan perilaku atau kondisi yang membuat pihak yang bersaing bertindak paralel baik disengaja maupun tidak seperti tacit collusion, conscious parallelism, dan parallel behavior.

Dalam hal hubungan antar-operator telekomunikasi yang terjadi adalah two-way access, dua network operator saling membutuhkan akses secara timbal balik. Two-way access dapat dibedakan menjadi asymmetric dan symmetric, perbedaan didasarkan dari jumlah pelanggan, trafik, dan coverage. Pada operator selular terjadi symmetric two-way access karena perbedaan besaran variabel pembanding relatif kecil. Sedangkan pada PSTN (Public Switch Telephone Network) atau telepon lokal, terjadi asymmetric two-way access.

ARPU merupakan ukuran dari tingkat pendapatan (Revenue). Pada mulanya formula menghitungnya Total Revenue dibagi Total Pelanggan. Namun karena ada pelangan yang memilki lebih dari satu nomor, dan ada pula nomor yang tidak aktif namun membebani fasilitas operator, maka pembaginya diubah menjadi total nomor yang telah diterbitkan. Artinya, hitungan ARPU bisa lebih besar ketika nomor yang churned (sudah hangus atau sudah tidak aktif) dikeluarkan dari perhitungan.

Ketika belum ada prepaid, maka minimum ARPU dapat dihitung sbb: Total Fixed subscription fee (abodemen) dibagi total jumlah pelanggan (asumsi, semua pelanggan aktif). Ketika prepaid sudah dominan, maka rumus ini menjadi kurang valid.*****