Saturday, September 17, 2011

Apa dan Bagaimana Mengukur Kinerja


Sudah jadi kelaziman, bahkan merupakan keharusan bagi perusahaan untuk menetapkan strategi bisnis. Menjelang berakhirnya tahun takwim perusahaan mulai menugaskan para manager membangun strategi untuk tahun berikutnya. Banyak upaya dan sumber daya yang dibelanjakan untuk hasilkan strategi, bahkan tak sedikit perusahaan yang menyewa konsultan untuk membangun strategi bisnis agar lebih berhasil di tahun – tahun ke depan. Dan menjelang tahun baru, jadilah strategi yang pembuatannya menghabiskan beratus jam kerja, mengerahkan semua eksekutif, dan tak jarang harus meninggalkan kantor beberapa hari hanya untuk rapat pembahasan strategi bisnis. Akan tetapi, setelah tahun takwim mulai berjalan, strategi bisnis baik yang dikerjakan sendiri ataupun yang dikerjakan konsultan, tak jarang yang berakir hanya sebagai buku tesrsimpan rapi tampak indah dilemari pajangan. Perusahaan tetap saja dikelola dengan gaya dan selera para pemimpinnya. Segala materi yang dibahas di ruang rapat, ditulis sebagai dokumen perusahaan, seolah tak membekas sama sekali. Manajemen perusahaan jarang atau bahkan tak pernah meninjau kembali untuk melihat apakah hasil yang dicapai, atau kebijakan operasional yang dijalankan sudah sesuai dengan strategi yang ditetapkan di awal tahun. Jika seperti ini kondisi yang terjadi, beberapa hal yang layak dipertanyakan; seperti adakah strategi yang dibangun sesuai dengan kondisi internal dan eksternal perusahaan? Apakah semua personal memiliki komitmen untuk menerapkannya, apakah pimpinan perusahaan memberikan komitmen untuk menjalankannya, dan adakah mekanisme pengendalian serta pengukuran kinerja sehingga setiap orang di dalam lingkungan perusahaan dapat dengan mudah mengetahui prestasi dan kinerjanya masing-masing, setiap orang dapat mengukur apakah kinerjanya sesuai dengan target yang menjadi kewajibannya?

Artikel ini dimaksudkan untuk membahas bagaimana mengukur kinerja individu, kelompok, department, divisi dan perusahaan pasca diimplementasikannya strategi bisnis. Bila sumber daya utama perusahaan (pasokan bahan baku, brainware, modal, sistem dan prosedur, serta teknologi) sudah dimiliki, sasaran semua jangka (pendek, menengah dan panjang) sudah ditetapkan, strategi bisnis sudah dibuat? apalagi yang diperlukan? apakah yang sudah dimiliki saat ini menjadi jaminan teraihnya sasaran dan sukses perusahaan? rasanya belum jaminan. lalu apa dan bagaimana yang mesti disempurnakan?

Secara umum, individu dan atau organisasi senantiasa ingin terus tumbuh menjadi lebih baik dari masa – masa sebelumnya. Peningkatan kapasitas individu, kelompok kerja, atau organisasi tak mungkin terlaksana kecuali ada suatu cara untuk mendapatkan umpan balik (fedback), yang didapat dari suatu mekanisme pengukuran. Bagi perusahaan yang ukuran bisnisnya, jumlah asetnya, jangkauan usahanya, bidang usahanya, sejarah dan track record masa lalu sudah mencapai nilai tertentu sehingga layak dikategorikan sebagai perusahaan menengah dan besar, dapat dikatakan memiliki hampir semua syarat yang dibutuhkan perusahaan tersebut untuk tetap eksis alias survive sampai kurun waktu yang masih panjang ke depan. Pertanyaan pertamanya, apakah sekedar survive? jawabnya tentu TIDAK, apalagi bila memerhatikan kompentensi dan sumber daya yang dimilikinya, suatu perusahaan sah-sah saja bercita – cita menjadi yang terbesar di sektor yang digelutinya. Tak hanya terbesar ukuran bisnisnya namun pula terbesar dari profitabilitas dan pertumbuhan bisnis dari tahun ke tahun.

Ambillah perusahaan pemegang konsensi eksplorasi migas sebagai contoh untuk kita telaah strategi dan bagaimana mengukur kinerjanya. memerhatikan sifat produknya, di sisi output rasanya tak perlu susah payah bagi perusahaan untuk menjual migas hasil produksinya. Tak usah repot-repot pasarkan ke luar negeri, pasar domestik masih membutuhkan energi migas dalam jumlah sangat besar, bahkan rasanya tak akan pernah surut. Artinya, di sisi marketing dan sales perusahaan migas tak terlalu habiskan effort dan energi besar untuk memastikan produknya laku terjual. Jika di sisi output tak perlu banyak risau, di mana mesti perlu perhatian besar?

Jawab singkatnya di faktor produksi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan operasional. apa tantangannya di sini? Banyak. Di antara yang banyak itu ada satu yang ingin saya sampaikan karena - rasanya sangat penting, dan mudah-mudahan belum tersorot oleh "lampu strategi bisnis" yang sudah dikembangkan, sehingga tulisan ini menjadi bermanfaat. satu yang saya maksud adalah secara konsisten mengembangkan dan mengaplikasikan alat ukur (parameter) kinerja.

Parameter kinerja? Ya. Kinerja individu, kelompok kerja, department, divisi hingga korporat perlu diukur dengan benar, konsisten, kontinyu dan konsekuen. Ukuran kinerja dapat dikelompokkan ke dalam dua type dasar: yang terkait dengan hasil (output atau luaran seperti keunggulan daya saing, kinerja keuangan, kinerja produksi, dan kinerja pemasaran), dan yang fokus pada input penentu hasil (determinant inputs) seperti kualitas, fleksibilitas, dan pemanfaatan sumberdaya (resource-based), dan inovasi. Hal  ini menyiratkan bahwa kerangka pengukuran kinerja dapat dibangun di sekitar konsep hasil dan penentunya.

Mengapa kinerja perlu diukur dan perlu mendapat perhatian ekstra? bukankah selama dan sekarang ini perusahaan telah menerapkan Key Performance Indicators (KPI)? dan berbagai alat ukur kinerja manajemen lainnya? apanya yang perlu diperbarui? Benar bahwa perusahaan telah menerapkan berbagai management tools untuk memberikan gambaran pencapaian dan prestasi. Persoalannya, adakah secara konsisten laporan kinerja tersebut digunakan sebagai fedback bagi improvement? layaknya peralatan instrument di pabrik memerlukan feedback sebagai sarana kendali proses? apakah kinerja individu, kelompok kerja, departmen dan divisi disajikan setiap periode secara terus menerus, sehingga upaya perbaikan, jika terjadi penurunan atau penyimpangan, dapat segera diindentifikasi, dikoreksi dan dilakukan tanpa menunggu sampai akhir tahun pada saat performance appraisal untuk menentukan merit, kenaikan gaji maupun promosi. ini yang saya sebut sebagai continuous performance managament system yang kemudian disinergikan dengan management control system atau sistem pengendalian managemen.

Yang perlu diperhatikan, disukai atau tidak, disadari atau dilupakan, pengukuran merupakan langkah pertama dari perbaikan (improvement). Perbaikan sebaiknya dilakukan setiap waktu atau segera setelah diketahui terjadi defect, tak harus menunggu berakhirnya suatu periode operasi. Dengan mengukur kinerja manajer tahu posisi relatif terhadap target atau mengetahui apakah strategi bisnis yang ditetapak di awal tahun telah secara optimal dijalankan. Para manager memegang data prestasi masing-masing untuk mengetahui posisi kinerjanya relatif terhadap orang lain, kelompok lain, maupun terhadap sasaran perusahaan. Bila prestasi pada suatu periode operasional di bawah target, pimpinan di atasnya akan mengingatkan agar lebih giat, menambah input dan atau memerbaiki proses kerja sehingga kinerjanya dapat kembali on track.

Monitoring kinerja di lapangan relatif mudah dilakukan seperti halnya monitoring kinerja proses operasional di fasilitas produksi yang sudah terotomatisasi. Pertanyaannya, apakah juga mudah (dan kalau mudah apakah sudah dilaksanakan) melakukan monitoring, evaluasi dan perbaikan kinerja terhadap staf di kantor? Di mana variabel ukur tak sepenuhnya dengan mudah diakses (muncul sendiri dari proses) atau diukur (karena sifatnya yang kualitatif) atau hal-hal lain yang menyebabkan rendahnya objektivitas dalam pengukuran.

Jika demikian, lantas bagaimana merancang dan membangun sistem pengukuran kinerja, khususnya bagi mereka yang sifat pekerjaannya terus menerus, susah diukur secara kuantitatif? Berbagai teori dan metoda pengukuran kinerja telah disorongkan oleh pakar dan praktisi manajemen. Beberapa di antaranya dapat diterapkan untuk semua jenis kegiatan usaha, dan beberapa lainnya hanya cocok untuk jenis bisnis tertentu. Secara umum ada 20 item yang layak menjadi perhatian dalam merancang dan menerapkan sistem pengukuran kinerja, yakni sebaiknya:

1.     sederhana dan mudah digunakan,
2.     tujuan pengukuran terdefinisi dengan jelas dan mudah dimengerti  oleh semua personel,
3.     memberikan umpan balik yang cepat,
4.     mencakup semua elemen terkait (internal, external, finansial dan nonfinansial),
5.     dikaitkan dengan peningkatan kinerja (performance improvement) tak hanya monitoring,
6.     memperkuat (kembali) strategi perusahaan,
7.     berhubungan dengan sasaran perusahaan untuk jangka pendek, menengah dan panjang,
8.     cocok dengan budaya organisasi (perusahaan),
9.     tidak ada konflik dengan sistem lain yang sudah berjalan,
10.  terintegrasi secara horisontal dan vertikal dengan struktur korporat,
11.  konsisten dengan reward and recognition system yang berlaku di perusahaan,
12.  fokus pada apa yang penting bagi customer,
13.  fokus pada dinamika persaingan di mana perusahaan ikut menjadi partisipan,
14.  mengupayakan identifikasi dan pengurangan limbah atau kelebihan bahan baku (waste) guna mencegah kemubaziran,
15.  membantu dan mendorong percepatan kapasitas perusahaan dalam proses pembelajaran (organization learning),
16.  membantu terciptanya konsensus untuk lakukan perubahan tatkala harapan pasar/customer berubah atau strategi dan prioritas mendorong perusahaan melakukan hal-hal berbeda dari yang sedang berlaku,
17.  evaluasi secara proporsional peran individu dalam kelompok, peran kelompok dalam department, peran departmen dalam divisi dan divisi dalam korporat,
18.  seoptimal mungkin gunakan ukuran numerik yang terstandar untuk semua sasaran perusahaan,
19.  selalu tersedia untuk di-review setiap saat dibutuhkan,
20.  lakukan secara konsisten baik perusahan dalam kondisi lancar maupun turbulen, bukan secara insidentil, hanya apabila muncul situasi genting.

Guna memenuhi harapan di atas,  sistem pengukuran kinerja perlu memiliki:

1.     kumpulan data (data base) dan metoda penghitungan kinerja, baik yang diukur secara kuantitatif maupun kualitatif yang kemudian dikonversi menjadi kuantitatif, yang terdefinisi dengan jelas;
2.     sarana yang dapat mengenali perbedaan lokasi, unit kerja yang sifat dan kondisi kerjanya berlainan, hindari mentalitas "one size fits all";
3.     mekanisme re-evaluasi secara periodik untuk mengetahui apakah sistem pengukuran kinerja yang berlaku masih sesuai dengan lingkungan kompetitif yang terus berubah;
4.     kemampuan untuk mengidentifikasi kompetisi, melokalisir area yang bermasalah secara cepat dan akurat, membantu perusahaan dalam memperbaharui objektif strategik dan dalam pembuatan keputusan taktis guna mencapai sasaran dimaksud, dan menyediakan fedback  sesudah keputusan diimplementasikan; serta
5.     kemampuan untuk memastikan kompatibilitas ukuran kinerja pada setiap fungsi dan level. 

Esensinya, dengan semua elemen/lapisan kinerja diukur maka akan tercipta suatu organisasi yang performance-nya top, soalnya kalau kinerja dari satu elemen rendah, karena dideteksi dengan cepat, maka corrective action dapat segera diambil untuk memperbaikinya. Akhirnya, karena lingkungan usaha dan perekonomian terus berubah, manajer perlu secara terus menerus meninjau dan menyempurnakan sistem pengukuran kinerja yang digunakan. Kegagalan dalam modifikasi dapat menghambat kemampuan organisasi untuk menjadi pelaku bisnis yang efektif dan efisien. *****

Taman Rempoa Indah, 17 September 2011

Monday, September 12, 2011

Kemalasan Dalam Zona Nyaman, Hambatan Utama Produktivitas, Bagaimana Mengatasinya?


Dalam tulisan terdahulu saya menyebut mereka yang sudah berada pada zona nyaman (comfort zone) cenderung enggan melakukan perubahan, sehingga potensial menjadi musuh latent bagi upaya peningkatan produktivitas. Benarkah hanya kemalasan karena sudah nyaman atau ada hal lain yang dapat dirujuk sebagai penyebab rendahnya produktivitas? Bagaimana mengatasinya?

Ditinjau dari teori kesisteman, memahami dan menemukan permasalahan produktivitas dapat dilihat dari elemen yang secara bersama membentuk proses produksi. Proses produksi itu sendiri, dalam tataran sederhana hanya terdiri dari tiga unsur: input, proses, dan output. Produktivitas merupakan perban-dingan antara output dengan input untuk mengetahui berapa rasio input menghasilkan input setelah input diproses. Atau dalam kalimat lain produktivitas juga menunjukkan kemampuan proses mengkonversi input menjadi output. Semakin efisien sebuah proses, dan semakin baik kualitas input serta semakin bagus interaksi antara input dan proses, akan tercapai output yang optimal.

Persoalannya, kondisi ideal sebagaimana diharapkan tak selalu hadir, bahkan yang acap muncul justru kondisi tidak ideal seperti misalnya, rendahnya kualitas input, kelangkaan kuantitas input, kualifikasi proses di bawah spesifikasi (under specification), proses mengalami kerusakan, dan masih banyak lagi. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa potensi penyebab rendahnya produktivitas terentang dari input, proses hingga output-nya itu sendiri. Lantas apa hubungannya dengan perilaku manusia yang berada dalam zona nyaman? Bagaimana penjelasannya?

Setelah meninjau dari teori kesisteman, kita cermati teori perilaku manusia (human behaviour theory) dan kaitan antara kedua teori tersebut. Dalam teori kesisteman, manusia dikategorikan sebagai input, hal ini sejalan dengan teori dasar ekonomi bahwa tenaga kerja (labor) yang nota bene manusia merupakan salah satu dari faktor produksi (input) selain tanah (land) dan modal (capital). Tanah dan modal keduanya merupakan benda mati yang sifat dan perannya ditentukan oleh pemilik (manusia). Sementara tenaga kerja adalah juga manusia yang memiliki keunikan dan sifat kemanusiaan yang diterima dari penciptanya (Allah SWT). Setiap manusia memiliki sifat unik, memiliki kesadaran untuk berpikir dan bertindak secara rasional maupun emosional. Sifat dan karakter inilah yang membedakan manusia dari binatang atau benda mati.

Sesuai fitrahnya, manusia senantiasa berupaya mencapai posisi “paling atas’ , mendekati kesempurnaan sifat Illahi, semampu yang dicapai atau diingininya.  Di sinilah persoalannya.  Posisi “paling atas” ini ternyata relatif antara satu manusia dengan manusia lainnya.  Ada yang merasa kalau sudah mendapat pendidikan dasar saja sudah merasa paling atas, namun ada pula lainnya yang merasa sudah “paling atas’ jika sudah menempati posisi pimpinan negara atau pemerintahan.  Mengapa setiap orang berbeda? Selain karena fitrahnya, barangkali karena jika semua manusia sama, maka tidak dapat mereka saling mengenal dan menghormati. Selain itu, ini barangkali yang paling penting, perbedaan menimbulkan  semangat kompetisi untuk semakin maju, yang merasa posisinya belum mencapai “paling atas” termotivasi untuk berupaya meningkatkan kualitasnya hingga mencapai posisi “paling atas” sebagaimana diharapkan.

Mereka yang sadar dan senanatiasa ingin terus bergerak “ke atas” mendekati sifat kesempurnaan Illahi inilah yang disebut sebagai manusia produktif, sementara mereka yang sudah puas dengan posisi yang didudukinya dan tak berniat atau berupaya mencapai posisi yang lebih tinggi lagi, inilah kelompok yang sudah enggan bergerak dari zona nyaman. Tetapi benarkah posisinya sudah nyaman betul, dan mereka tak mungkin tergulingkan dari situ? Tak ada yang absolut, tak satupun orang dapat menjamin keberadaaan di suatu posisi secara abadi. Jika demikian, lantas apakah berdiam diri di zona nyaman layak dipertahankan?  Jawabnya sekali lagi kembali kepada masing-masing individu.

Bagaimana jika seseorang yang sudah berada di zona nyaman ingin bergerak keluar, mencari keseimbangan baru, namun tak mampu mengerjakannya sendiri? Ini pertanda bagus. Artinya, dalam dirinya sudah muncul dorongan perubahan. Tinggal berapa besar energi perubahan yang ada pada dirinya. Teori fisika mengatakan perubahan posisi suatu benda dapat terjadi bila ada energi yang lebih besar dari moment massa tersebut. Energi tersebut dapat datang dari dirinya sendiri, misal erupsi gunung berapi, atau bergeraknya pesawat terbang, kapal, dan mobil; atau datang dari luar seperti misalnya besi diangkat oleh crane, meja didorong oleh orang. Pada mereka yang sudah muncul energi perubahan di dalam dirinya, tantangannya bagaimana membesarkan energi tersebut hingga terakumulasi dan mampu merobohkan hambatan kelembaman. Ada sementara orang yang mampu membangun energi sehingga semakin membara dan membesar, orang – orang seperti ini kita sebut self developer.  Namun ada lebih banyak orang yang perlu dibantu dari luar dalam membangun energinya.

Di pihak lain, mereka yang sama sekali tidak punya keingingan untuk berubah, ingin melanggengkan posisinya di dalam zona nyaman, untuk dan atas nama kepentingan publik yang lebih luas, tindakan yang pantas kepada mereka adalah tidak dimasukkan ke dalam status sebagai input, alias dilepas statusnya sebagai bagian dari proses produksi.

Mengutip ajaran yang diberikan oleh CEO Bakrie Metal Industries (BMI) Bapak Santoso Wardoyo Ramelan (SWR) bahwa ada tiga penyebab rendahnya produktivitas: malas, maling dan mubazir (yang disebut sebagai Tiga-M), maka berdiam diri dalam zona nyaman sesuai dengan kriteria malas. Mengapa demikian? Seseorang yang malas sama dengan input yang tidak berkualitas, yang pada gilirannya akan memengaruhi proses dan akhirnya output. Misal, si A memiliki kemampuan mengelas dengan kualitas baik 10 meter sambungan per hari kerja, namun karena dia malas, tak dipergunakan semua kemampuannya sehingga hanya hasilkan 6 meter sambungan untuk jam kerja yang sama. Apa dampaknya? Durasi penyelesaian pekerjaan semakin lama, biaya bertambah, dan akhirnya alih-alih meraih untung, rugi yang didapat.

Jika hanya satu orang (si A saja) tak terlalu masalah, menjadi problem besar jika perilaku semacam ini mewabah hingga majoritas pekerja, di suatu organisasi, industri bahkan nasional. Dampaknya produktivitas nasional menurun, daya saing hilang, dan prospek ekonomi menyuram, hingga akhirnya manusia hidup dalam perekonomian yang serba susah.

Beranjak dari zona nyaman, meninggalkan kemalasan, keduanya menuju suatu keseimbangan baru dipercaya merupakan salah satu upaya dari sekian banyak resep meningkatkan produktivitas. Kembali ke elemen produksi, sebagaimana disebutkan manusia memang bukan satu-satunya elemen produksi; meski demikian manusia-lah satu-satunya elemen produksi yang dapat mengubah sifat, bentuk, jumlah, kualitas, dan kinerja elemen produksi lainnya. Dalam konteks ini manusia sebagai aktor utama yang berperan menentukan produktif tidaknya suatu venture. Jika demikian sentralnya fungsi dan peran manusia, mengapa tidak semua manusia memahaminya? Dan bila ada yang sudah paham, mengapa tidak berperan secara optimal? Dan bila sudah berperan secara optimal mengapa masih saja ada venture yang gagal?

Kita cari jawabnya di artikel selanjutnya.

Rempoa, 12 September 2011

Saturday, September 10, 2011

Produktivitas, Dari Mana Asal-Usulnya? Apa Hambatannya?

Produktivitas, banyak pihak membicarakan bagaimana meningkatkan produktivitas, namun tidak semua mengetahui mengapa perlu ditingkatkan dan dan bagaimana meningkatkannya? Apa kiat – kita yang perlu diketahui sehingga keinginan meningkatkan produktivitas tercapai.

Dalam sistem ekonomi pasar pendapatan (income) ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja (labor); yakni oleh output hasil kerja manusia, yang dipengaruhi oleh ketrampilan (skills) baik individu maupun secara agregat, modal yang diinvestasikan dalam sebuah usaha seperti implementasi teknologi canggih bebasis komputer, dan oleh efektivitas organisasi dalam mengelola dan mengawasi bisnisnya di mana ia bergerak memberikan fungsi secara optimal.

Dalam perjalanan waktu, produktivitas dapat dimaksudkan sebagai produktivitas nasional, individu atau organisasi/perusahaan. Produktivitas nasional dapat diformulasikan sebagai agregat dari produktivitas individu dan organisasi dalam suatu wilayah negara. Produktivitas, baik pada level nasional, individu maupun organisasi dapat meningkat ketika modal (input) ditambahkan. Modal memberi stimulus baru dalam proses produksi sehingga outputnya meningkat. Produktivitas dapat pula meningkat tatkala disuntikkan insentif ke dalam mekanisme pasar (dalam produktivitas nasional) maupun insentif kebijakan ke dalam organisasi (dalam produktivitas organisasi). Insentif atau kebijakan tertentu mengubah proses produksi yang dari perubahan tersebut diharapkan terjadi efek amplifikasi (pembesaran) input beberapa kali sehingga outputnya menjadi lebih besar. Sebagaimana diketahui rumus sederhana produktivitas adalah output dibagi input. Memainkan variabel input dan atau proses diharapkan dapat memengaruhi output.

Salah satu contoh peningkatan produktivitas yang dilakukan melalui insentif kebijakan dapat dilihat ketika pemerintah China pada tahun 1978-80 mengijinkan para petani untuk menjual kelebihan produksi yang dhasilkannya lantaran melebihi target yang direncanakan secara terpusat oleh Partai Penguasa. Kebijakan ini mendorong petani menghasilkan output yang lebih besar dari kewajiban yang telah digariskan, timbul motivasi individu untuk meraih lebih banyak pendapatan (income).

Akan tetapi, sementara insentif pasar dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, ia tak senantiasa sanggup menghasilkan perubahan yang berke-lanjutan dalam produktivitas dan pendapatan. Artinya, ada suatu ambang batas di mana produktivitas tak dapat dinaikkan lagi meski berapapun modal (input) ditambahkan. Kondisi ini disebut the maximum limit of production capacity. Bila input terus ditambah, alih-alih meningkatkan output, yang terjadi justru sebaliknya, penurunan output yang dalam jangka panjang dapat mengurangi atau bahkan merusak sistem produksi yang sebelumnya telah solid. Hal ini menyiratkan sebuah sinyal pentingnya manajemen organisasi memahami batas – batas kekuatan organisasi dalam aktivitas produksi.

Pertanyaannya, fakta dari tahun ke tahun, secara agregat yang terjadi justru peningkatan produktivitas, khususnya di negara – negara maju. Artinya hipotesis batas maksimum kapasitas produksi terhadap penambahan input menjadi tidak relevan dalam kondisi tertentu. Kondisi yang bagaimana?

Jawabnya tak lain adalah ketika ada inovasi, yang secara sederhana didefinisikan sebagai kemajuan teknologi yang senantiasa memperbaharui proses produksi dengan implementasi teknik-teknik terbaru yang secara signifikan meningkatkan kapasitas produksi sehingga mampu menampung penambahan input dan tetap menghasilkan penambahan ouput. Bila dalam pengertian pertama, proses produksi diasumsikan sebagai statis, maka dengan inovasi yang berkelanjutan asumsinya bergeser, proses produksi diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis baik sistem di dalamnya maupun lingkungan luar yang memengaruhinya.

Inovasi memastikan dengan kuantitas dan kualitas input (modal, tenaga kerja, bahan baku, energi) yang sama organisasi mampu menghasilkan output yang lebih banyak dan lebih bagus (bernilai). Dalam sudut pandang lain, inovasi yang berujung pada peningkatan produktivitas dapat pula berarti upaya penurunan biaya produksi untuk hasilkan sejumlah output yang lebih besar.

Inovasi pada umumnya mengintroduksi teknologi, baik teknologi baru yang sebelumnya tak ada, atau teknologi lama yang di-upgrade kinerjanya, maupun penggabungan beberapa teknologi menjadi suatu fungsi tertentu yang bermanfaat pada suatu proses produksi tertentu. Banyak contoh inovasi berbasis teknologi berhasil memfasilitasi peningkatan produktivitas: teknologi komputasi meng-ekonomis-kan tenaga kerja dengan cara mengurangi proses manual dan berulang, sementara teknologi lain memacu efisiensi investasi, seperti teknologi monitoring kualitas produksi secara otomatik untuk gantikan teknik serupa model lama yang sangat mahal dan butuhkan interaksi intensif antara manusia dan mesin, atau teknologi selular yang mengurangi secara signifikan biaya penggelaran jaringan kabel (network deployment).

Sementara inovasi diakui sebagai salah satu sarana dalam upaya peningkatan produktivitas, persoalan lain yang masih belum jelas bagi kita adalah bagaimana memacu inovasi? Apakah kita akan selalu ikuti derap kemajuan teknologi hasil inovasi bangsa lain atau lakukan inovasi karya sendiri?

Dalam banyak hal, harus kita akui, bangsa ini baru mampu berperan sebagai pengguna teknologi, walau dalam banyak kasus, dengan skala relatif kecil sudah mampu hasilkan karya berbasis inovasi. Konsekuensi dan tantangan dari posisi sebagai pengguna adalah bagaimana memanfaatkan teknologi hasil inovasi orang lain sebagai sarana (tools) bagi inovasi baru di lingkungan organisasi yang kita kelola. Agar mudah dipahami diberikan contoh sebagai berikut. Komputer adalah karya inovasi teknologi yang dihasilkan oleh bangsa lain. nah tantangan bagi kita sebagai pengguna komputer, adalah bagaimana kita manfaatkan komputer sebagai alat bantu dalam melakukan inovasi yang sesuai dengan bidang tugas dan kegiatan kita, misalnya komputer kita gunakan untuk menata ulang prses produksi, komputer kita gunakan dalam proses rekayasa dan lain sebagainya.

Para pakar produktivitas memperkenalkan terminologi Total Faktor Productivity (TFP) yang secara sederhana dimaknai sebagai seberapa besar suatu entitas (negara, organisasi, individu) mampu berproduksi dengan seperangkat input yang telah ditetapkan. Dalam mekanisme pasar yang utuh (tidak terdistorsi) TFP berubah mengikuti hasil inovasi dan kemajuan teknologi. Hal ini berarti TFP suatu negara, misalnya, diprediksi akan berubah bila negara tesebut mengadopsi teknologi atau knowledge yang sudah terbukti memberikan hasil positif/negatif di negara lain. Peristiwa ini menjelaskan mengapa perlu terjadi transfer of technology atau transfer of knowledge baik pada skala negara, organisasi maupun individu.

Jika dicermati, transfer of technology maupun knowledge tak lebih tak kurang sebangun dengan proses belajar, yang belum tahu menggali, melalui proses induksi maupun deduksi guna meraih nilai tambah, dari sebelumya tidak tahu menjadi lebih tahu, dari sebelumnya kapasitas, misalnya hanya 3 menjadi -misalnya - 9 maka terjadi delta atau perubahan positif 200%.

Walhasil, produktivitas menuntut para pelaku produksi untuk secara kontinyu dan konsisten belajar, menyerap, mengadopsi, mengimplementasikan teknologi yang telah terbukti memberi keberhasilan kepada orang lain guna memberikan manfaat bagi dirinya. Dengan inovasi dan proses belajar, terbuka peluang terciptanya nilai tambah atau munculnya produk-produk baru, atau teknik – teknik baru untuk hasilkan produk yang sebelumya telah dihasilkan.

Oleh karena itu, peningkatan produktivitas bukan kerja sihir atau sulap, ia tercapai setelah melalui proses perubahan yang terencana, terkendali dan terukur. Produktivas harus diciptakan, bukan datang sendiri. Pendekatan yang saya jelaskan ini oleh para ahli disebut pendekatan endogenous, menciptakan pertumbuhan dan produktivitas sebagai bagian dari model dinamis dalam pengelolaan organisasi, produktivitas dihasilkan sebagai dampak dari proses perubahan yang dilakukan di dalam organisasi, bukan datang tiba – tiba dari lingkungan luar.

Apa keunggulan dari model endogenous ini? Dengan asumsi para pengelola organisasi memahami karakter dan budaya organisasinya, maka jika suatu saat proses produksi sudah tak sesuai dengan tuntutan pasar, maka lingkungan internal itu sendirilah yang secara sukarela mengubah tatanan guna menemukan hal – hal baru, melakukan inovasi lanjut guna gantikan hasil inovasi sebelumnya (oleh Joseph Schumpeter disebut creative destruction). Secara hipothesis perubahan yang dipicu oleh kesadaran internal terhadap lingkungannya sendiri, dilakukan oleh dirinya sendiri yang hasilnya dinikmati sendiri, resistensinya relatif kecil dibandingkan dengan perubahan yang dipicu dari luar organisasi.

Persoalannya seringkali para manager sudah duduk lupa berdiri singsingkan lengan baju pelopori perubahan, jika sudah berada di comfort zone enggan beranjak untuk lalukan perubahan secara mendasar, hingga kalaupun ikut dalam arus perbuahan hanya beranjak pada tataran perubahan kosmetik belaka. Inilah sejatinya musuh latent produktivitas. Bagaimana menyikapinya? Perlu kajian tersendiri. *****

Rempoa, Sabtu 10 September 2011.

Serie selanjutnya: Bagaimana Atasi Hambatan Produktivitas.