Monday, October 15, 2012

Process Improvement & Energy Management Di Industri Baja Nasional


I.            Permasalahan

Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM), dalam Rapat Kerja (Raker) Kementerian Perindustrian Tahun 2011 menyatakan ada 4 (empat) permasalahaan yang dihadapi oleh industri baja nasional. Adapun empat permasalahan tersebut adalah:
1.     Belum terintegrasinya kebijakan pengembangan dan pembinaan industri baja;
2.     Adanya ketergantungan pada bahan baku impor iron pellet dan skrap serta produk antara tertentu;
3.     Pada umumnya mesin produksi baja sudah tua sehingga efisiensi dan daya saing rendah; dan
4.     Penggunaan energi belum efisien.
Direktorat Jenderal BIM dalam Raker 2011 tersebut mengajukan solusi guna mengatasi empat permasalahan yang dihadapi industri baja nasional sebagai berikut:
1. Peningkatan kompetensi SDM melalui penguasaan kemampuan teknologi industri baja, aluminium dan nikel serta membentuk pustek dan cooking coal center.
2. Pengembangan industri berbahan baku lokal dan meningkatkan pengembangan teknologi industri ramah lingkungan
3. Meningkatkan jaminan pasokan bahan baku (diantaranya melalui BMDTP)
4. Meningkatkan kerjasama antara industri pengolahan bahan baku dengan industri terkait, dan
5.      Peningkatan daya saing melalui program P3DN sehingga dapat memperluas pangsa pasar dalam negeri.
Solusi sebagaimana diajukan Direktorat Jenderl BIM di atas lebih fokus pada aspek makro ketimbang mikro, pada level perusahaan. Dapat dipahami mengingat tugas Ditjen BIM lebih pada pembinaan, pengaturan dan pengawasan industri dari pada mengelola industri atau perusahaan. Paper ini akan membahas sisi mikro untuk menjawab permasalahan yang dihadapi industri baja nasional dengan beberapa argumen: pertama, mengacu Porter (1990) dan Vietor (2005) bahwa daya saing suatu negara tidak ditentukan oleh kinerja pemerintahan dalam membuat regulasi namun merupakan akibat langsung dari kuat lemahnya daya saing atau kinerja industri, Oleh sebab itu, industri dalam negeri yang kuat dipercaya akan menjadi pendorong daya saing negara. Kedua, mengikuti pola pikir Porter dan Vietor, tantangan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengelola industri secara efektif dan efisien guna menghasilkan perusahaan yang berdaya saing tinggi.
Secara khusus, paper ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan ketiga dan keempat yang dirujuk oleh Ditjen BIM. Hal ini berdasarkan argumen bahwa mesin produksi merupakan bagian inti dari proses produksi, permasalahan yang terjadi di proses produksi tak selalu harus diatasi dengan mengganti mesin, meskipun usia pakainya sudah lama, namun dapat pula disikapi dengan meningkatkan proses produksi. Penulis sepakat bahwa penggunaan energi yang belum efisien merupakan permasalahan tak hanya bagi individu perusahaan namun dapat juga berdampak pada kepentingan nasional, dan oleh karena itu perlu dicari solusi terbaik.

II.            Kinerja Industri Baja Nasional

Kinerja industri baja nasional selama semester I - 2011 melambat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kenaikan harga dan juga belanja pemerintah untuk proyek-proyek besar yang tertunda[1]. Selain faktor domestik, penurunan produksi juga dipengaruhi oleh situasi ekonomi China yang menerapkan tight money policy dan harga bahan baku yang tinggi terutama akibat banjir di Quensland, Australia. Seorang eksekutif perusahaan produsen baja nasional menyatakan “karena bahan baku naik, biaya produksi naik. Karena terjadi penaikan harga, untuk apa memproduksi lebih banyak kalau harus menjual rugi sehingga banyak produsen yang mengurangi produksi.”
Jika dicermati, kinerja industri baja nasional merupakan resultant dari berbagai aspek yang saling berkelindan, memengaruhi satu sama lain. Di satu sisi Pemerintah memiliki argumen yang berbeda dari pihak industri, sesama pelaku pun memiliki alasan yang berbeda. Apapun alasannya, secara umum kinerja industri baja nasional masih jauh dari memuaskan. Daya saing baja nasional kalah dibandingkan baja produk China, Korea, Jepan atau India. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dari harga produk dalam negeri yang rata-rata lebih mahal dari barang impor dengan spesifikasi dan kualitas yang setara.
Lemahnya daya saing produk baja nasional membuka lebar pintu impor. Serbuan baja produk impor semakin hari semakin menguat, mengurangi penguasaan produsen baja dalam negeri. Pemerintah telah lama menerapkan regulasi Standar Nasional Indonesia (SNI), yang salah satunya dimaksudkan untuk melindungi produk dalam negeri, namun pada kenyataannya SNI belum mampu berperan menjadi senjata ampuh untuk menghadang derasnya arus produk baja impor, baik yang masih berupa billet, slab, plat, coil maupun produk jadi seperti pipa, H-Beam, dan lain sebagainya.

III.            Mengapa Dibutuhkan Process Improvement?

SNI baru berhasil meraih salah satu tujuannya, menjadikan produk-produk Indonesia terstandarisasi, mekanisme SNI belum mampu dijadikan senjata untuk menahan serbuan produk impor. Dari segi kualitas sudah banyak produk nasional yang setara kualitasnya dengan produk – produk internasional. Permasalahannya, pasar tak hanya menuntut kualitas namun juga ketersediaan, kontinuitas produksi, serta harga.  Bicara harga, tentu tak lepas dari serangkaian proses yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi, untuk mengirim barang jadi dari pabrik ke lokasi pembeli, dan seterusnya.
 Process Improvement (PI) mengacu pada serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh pengelola proses untuk mengidentifikasi, menganalisa dan meningkatkan proses bisnis yang ada dalam sebuah organisasi guna mencapai sasaran dan objektif yang baru. Aksi ini biasanya ditindak-lanjuti dengan metodologi atau strategi tertentu guna menciptakan keberhasilan. Dalam pengertian lain, process improvement merupakan sebuah metoda perubahan proses untuk meningkatkan kualitas, mengurangi biaya, atau akselerasi produksi.
Dalam lingkup mikro, PI kerap muncul sebagai reaksi atas kinerja perusahaan. Dalam konteks ini, PI dimaksudkan sebagai tindakan koreksi atau perbaikan atas kinerja perusahaan yang tidak memuaskan, baik selama kurun waktu tertentu, maupun bila dibandingkan dengan sesama perusahaan dalam suatu industri tertentu.
Dalam kondisi normal, atau ketika perusahaan sedang mengalami masa jaya seringkali manajemen tidak merasa perlu untuk melakukan peninjauan ulang terhadap proses bisnis. Rhenal Kasali (2005) menyatakan justru dalam masa pertumbuhan mendekati tahap kedewasaan (maturity level) manajemen perlu secara sengaja melakukan perubahan terencana. Perubahan dimaksud dapat berupa penyempurnaan organisasi, diferensiasi produk, penetrasi ke pasar yang baru, perubahan model dan proses bisnis, maupun peninjauan kembali terhadap proses produksi.
Cuminng & Worley (2001) merujuk PI sebagai perubahan yang direncanakan khususnya yang dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi. Lebih jauh dikatakan PI dapat pula digunakan sebagai sarana untuk memecahkan masalah produksi, belajar dari pengalaman pihak lain, untuk membingkai kembali persepsi bersama, untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan eksternal, meningkatkan kinerja, hingga memengaruhi perubahan yang pasti akan terjadi di masa depan.

IV.            Process Improvement Sebagai Bagian Dari Program Kualitas

Schroeder (1993) menyatakan bahwa kontrol kualitas dimulai dari proses produksi. Proses produksi terdiri dari beberapa sub-proses, masing-masing menghasilkan produk atau jasa antara. Sebuah proses dapat berlangsung pada satu mesin, beberapa mesin, atau satu atau beberapa petugas, operator, yang bekerja secara saling berketergantungan yang membentuk sebuah sistem. Proses selanjutnya adalah pengguna (customer) dari proses di belakangnya.  Sebagai contoh, kustomer department engineering adalah department fabrikasi yang membuat komponen, sedangkan kustomer department fabrikasi adalah department perakitan, dan seterusnya.
Proses improvement dalam lini produksi dapat dilakukan setelah diidentifikasi setiap proses yang membutuhkan pengendalian, titik – titik kritikal yang membutuhkan pemeriksaan dan pengukuran telah dilakukan. Type pengukuran atau pengujian yang diperlukan, jumlah pengecekan yang harus dilakukan semuanya harus ditetapkan. PI dilakukan guna memastikan bahan baku atau jasa yang dibeli memenuhi spesifikasi. Inspeksi untuk menguji apakah bahan baku yang dikirim sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dapat dieliminasi dengan Mekanisne Sertifikasi Pemasok (Authorized Vendor List). Mekanisme Sertifikasi Pemasok diberikan kepada pemasok yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis serta terbukti menggunakan proses kendali statistik atau metoda lain untuk mencapai kinerja kualitas yang konsisten.
Selain pengujian bahan baku, bagian dari PI lainnya yang dapat dilakukan adalah pengujian work in process (WIP). Sebagai aturan umum, produk atau jasa harus di-inspeksi oleh operator sebelum sebuah proses produksi yang tidak dapat diulang (irreversible operations) mengubah bahan baku menjadi WIP atau barang jadi (finished goods), atau serangkaian kegiatan nilai tambah diterapkan kepada bahan baku. Dalam hubungan ini biaya inspeksi seharusnya lebih murah dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk memerbaiki kesalahan akibat tidak dilakukan inspeksi. Di bagian-bagian mana saja sebuah produk harus diinspeksi dalam proses produksi  ditentukan dari alur proses produksi.
Poin ketiga dalam PI terkait dengan proses produksi adalah pada barang jadi. Dalam manufakturing, produk final biasanya diinspeksi atau diuji sebelum pengiriman atau sebelum barang disimpan dalam inventory. Barang jadi yang ditemukan cacat atau tak sesuai spesfikasi dipisahkan, diberi tanda dan dijadikan umpan balik ke bagian produksi guna memerbaiki proses produksi berikutnya.
Proses pengendalian kualitas (quality control /QC) dilakukan dengan inspeksi produk atau jasa yang sedang dalam proses produksi. QC dilakukan terhadap semua populasi hasil produksi, atau disebut jiuga pengujian 100%, atau dapat digunakan teknik sampling. Teknik sampling digunakan dengan asumsi sampel dapat menunjukkan telah terjadi perubahan dalam proses produksi, yang disebabkan oleh kinerja operator, mesin atau material. Ketika penyebab kegagalan telah diperbaiki proses dilanjutkan lagi. Proses Improvement dibutuhkan mengacu pada asumsi, ketidak-samaan (variability) merupakan dasar setiap proses produksi. Tak peduli sesempurna apapun sebuah proses dirancang, selalu akan ada variability dalam kualitas dari satu unit ke unit berikutnya. Tujuan dari kendali proses adalah untuk menemukan rentang variasi alamiah  dari sebuah proses untuk selanjutnya memastikan bahwa produksi berada pada range tersebut.
Prinsip kedua dalam kendali proses adalah bahwa proses produksi tidak senantiasa berada pada kondisi yang selalu terkendali. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain, prosedur yang tidak baik, operator kurang terlatih, perawatan mesin yang tidak dilakukan secara baik. Variasi produk yang terjadi biasanya lebih besar dari yang semestinya. Salah satu tantangan bagi PI adalah menemukan sumber-sumber variasi kualitas produk dan mengembalikan proses kepada kondisi terkendali sehingga bila terjadi variasi produk semata disebabkan oleh penyebab random, bukan penyebab yang sistematis.
Proses Improvement dapat dilakukan secara terus menerus (Continuous Process Improvement / CPI), yang dimaksudkan untuk mengurangi variability product atau proses. CPI  biasanya memerlukan pemecahan permasalahan atau perubahan dalam rancangan produk atau proses itu sendiri. Perubahan tersebut membuatnya mungkin untuk menjadi produk atau jasa yang lebih konsisten dengan variasi yang semakinkecil dari satu ke produk berikutnya.
Ada tiga teknik CPI; Pareto Analysis (PA), Cause-and-Effect (CE) Diagram dan Process Capability (PC) chart.  Setiap metoda menggunakan data dan analisa yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas produk dan atau proses.

V.            Energy Management (EM)

EM dapat merujuk ke pengertian yang luas, dari bagaimana mengelola konsumsi energi yang digunakan di rumah tangga, bisnis, instansi pemerintah, hingga bagaimana mengelola pasokan energi (energy mix). Dalam paper ini EM yang dimaksud adalah proses monitoring, pengendalian dan konservasi energi yang digunakan di industri, yang aktivitasnya antara lain meliputi:
(1) Menghitung pemanfaatan energi listrik untuk setiap mesin, unit pabrik, atau satuan tertentu, menggunakan KWh Meter dan mengumpulkan data penggunaan listrik secara periodik;
(2) Menggali peluang untuk menghemat energi, dan memerkirakan berapa banyak energi yang dapat dihemat, menganalisa data pengukuran daya listrik guna mendapatkan berapa daya yang terbuang percuma, atau dapat pula menginvestigasi berapa besar penghematan energi yang diperoleh dari penggantian peralatan yang sudah tidak efisien lagi;
(3) Melaksanakan aksi yang diperlukan untuk menghemat energi, dari berbagai alternatif yang tersedia, mulai lakukan dari alternatif yang terbaik, supaya bila hasilnya terbukti dapat menjadi inspirasi bagi langkah selanjutnya; dan
(4) Memantau hasil dengan menganalisa data pengukuran guna melihat apakah penghematan energi berhasil diraih, dan berapa besar.

VI.            Mengapa Energy Management DIperlukan?

Beberapa argumen dapat dijadikan ebagai rujukan untuk menjelaskan mengapa EM diperlukan. Pertama, ada hubungan linier antara proses produksi dan pemanfaatan energi, proses produksi yang efisien konsumsi energy-nya juga efisien. Kedua, semakin langkanya cadangan energi berbasis fosil membangun kesadaran untuk konservasi energy, menggali dan memanfaatkan energi alternatif yang bersih, baru dan terbarukan (clean, new and renewable energy). Ketiga, muncul peluang untuk meningkatkan kinerja industri baja melalui upaya peningkatan proses produksi dan energy management.
Lebih jauh, EM tak hanya berkenaan dengan penghematan energi dalam gedung dan atau pabrik, ia digunakan pula dalam bidang lain, yakni pembangkitan. Perusahaan pembangkit listrik memanfaatkan EM guna memastikan pembangkit listrik yang dikelolanyan menghasilkan energi listrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Energy management adalah kunci untuk menghemat energi di dalam organisasi. Dampak penghematan energi berlaku pada tarif atau harga energi. Target emisi, legislasi,  yang semuanya mengarah pada alasan utama mengapa perusahaan perlu untuk menghemat energi. Majoritas  pelanggan listrik belum menyadari perlunya mengelola konsumsi energi agar lebih hemat, dan dampak dari penghematan energi listrik terhadap kelestarian kehidupan masayarakat.
Penghematan energi telah menjadi isu global, EM oleh karenanya menjadi kebutuhan global untuk mengurangi kerusakan di bumi, lantaran manusia berlomba-lomba mengeklopitasi sumber daya alam untuk mendapatkan energi berbasis fosil, yang semakin hari semakin langka persediannya.

VII.            Mengendalikan Dan Mengurangi Konsumsi Energi Di Organisasi Bisnis

            EM adalah sarana untuk mengendalikan dan mengurangi konsumsi energi. Pengendalian dan pengurangan konsumsi energi di suatu perusahaan penting, karena ia memungkinkan perusahaan untuk:
-       Mengurangi biaya, hal ini semakin penting ketika harga energi semakin mahal.
-       Mengurangi emisi karbon dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembakaran energi primer berbasis fosil. Kebutuhan terhadap lingkungan yang menjamin kelestarian kehidupan semakin meningkat dalam satu dekade terakhir ini. Mekanisme kredit karbon telah diterapkan sebagai kesepakatan global perusahaan yang dalam operasinya berhasil mengurangi emisi karbon mendapat point/penghargaan tinggi yang sekaligus dapat menambah nilai ekonomisnya. Meningkatnya citra sebagai pendukung gerakan hijau, dan pada gilirannya akan meningkatkan nilai perusahaan (bottom line).
-       Mengurangi resiko, semakin banyak energi yang dikonsumsi, semakin besar resiko akan terjadinya kenaikan harga energi atau kelangkaan suply yang dapat berpengaruh serius terhadap profitabilitas, atau bahkan membuat perusahaan berhenti beroperasi. Dengan EM, perusahaaan dapat mengurangi resiko dengan cara pengurangan permintaan energi dan pengendalian sehingga dapat diprediksi.
-       Pemahaman terhadap EM yang efektif diharapkan dapat menjadi kekuatan perusahaan dalam memenuhi target bisnis yang ditetapkan.

VIII.            Kesimpulan dan Saran

Solusi kebijakan yang bersifat makro tak cukup untuk mengatasi permasalahan lemahnya daya saing yang dihadapi oleh industri baja nasional, masih dibutuhkan strategi mikro yang mudah diterapkan di tingkat perusahaan. Dua permasalahan industri baja nasional yang diadres oleh Pemerintah - mesin produksi baja sudah tua sehingga efisiensi dan daya saing rendah, dan penggunaan energi belum efisien – terkait langsung dengan bagaimana perusahaan mengelola sumber daya produksi.  Kedua permasalahan tersebut menuntut kemampuan manajemen untuk mengatasinya secara efektif dan efisien.
Salah satu jawaban terhadap masalah kondisi mesin produksi adalah dilakukannya peningkatan proses (Process Improvement) yang melibatkan serangkaian aktivitas peninjauan ulang dari penyediaan bahan baku, proses produksi, perawatan mesin produksi, hingga pengujian produk secara komprehensif. Dalam kontek ini Process Improvement diharapkan mampu merevitalisasi mesin produksi yang sudah berusia lama. Pada kenyataannya, Process Improvement saja tak atau belum cukup, ia memerlukan aksi –aksi lain yang saling mendukung, satu di antaranya adalah pengelolaan energi (Energy Management).
Aplikasi Process Improvement dan Energy Management secara bersama, terkendali dan terukur dipercaya dapat memengaruhi kinerja perusahaan dan bila hal ini dilakukan oleh hampir semua pelaku industri baja nasional, maka secara agregat dapat menjawab permasalahan rendahnya daya saing industri baja nasional. Memerhatikan potensi dan dampak Process Improvement dan Energy management terhadap kinerja perusahaan, maka disarankan agar dilakukan kajian yang lebih mendalam baik dari disiplin akademis maupun secara empiris, dan hasilnya disebar-luaskan kepada industri. Kajian akademis mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia, namun sudah banyak dilakukan di negara – negara maju. Oleh karena itu tak heran bila industri baja di negara – negara maju tertentu lebih berdaya saing dibandingkan industri baja nasional. *****  

IX.            Referensi

1.              Rhenald Kasali , Change, 2005
2.              Schroeder, R.G., Operations Management, 1993.
3.              Hatch, Mary Jo, Organization Theory, 1997.
4.            Cummming & Worley, Organization Development & Change, 7th ed, 2001.
5.            Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur (Ditjen BIM) Kementerian Perindustrian, “Kinerja Industri Tahun 2010, Program Kerja Ditjen Bim Ta 2011 Dan Program Pengembangan 6 (Enam) Kelompok Industri Prioritas.”


[1] Semester I, Kinerja Industri Baja Melambat, Rabu 13 Juli 2011. http://economy.okezone.com/read/2011/07/13/320/479533/semester-i-kinerja-industri-baja-melambat

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.