puasa ramadhan 1430H sudah berjalan hampir separo bulan, hari pertama kedua - karena hari libur - aku buka puasa di rumah. setelah hari ketiga, lebih banyak berbuka puasa di luar rumah, baik di kantor, di jalan, atau bersama - sama sahabat buka puasa bersama di restaurant, di resto-hotel, atau di resto-mall. kali ini saya menyoroti suasana berbuka puasa di restaurant yang terletak di Mall atau di Hotel.
Dari tahun ke tahun saya perhatikan semakin banyak orang, secara berkelompok berbuka puasa di restaurant yang berlokasi di mall atau hotel. hal ini barangkali juga didukung oleh semakin banyaknya Mall dan Hotel berbintang di kota jakarta. ternyata, acara berbuka puasa dapat pula dimanfaatkan untuk, selain bersilaturahmi, juga ajang promosi, lobby, dan mempererat jalinan antara pagawai dan manajemen, antara perusahaan dan vendor serta klien. bagi keluarga atau pertemanan yang berbuka puasa di resto-mall atau resto hotel, acara ini dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana reuni, kumpul keluarga besar (seperti yang sore ini saya lihat terjadi di sebuah hotel bintang lima di bilangan senayan, oleh keluarga besar seorang pucuk pimpinan bank swasta), atau bahkan memperkenalkan teman dekat sang anak kepada orang tuanya.
dilihat dari kepentingan bisnis, selama romadhan, restaurant, rumah makan, warung diperkirakan mengalami kenaikan omzet penjualan. saya bayangkan, berbuka puasa di restaurant hotel bintang per orang nett-nya sekitar Rp. 275.000,- jika setiap sore ada 500 tamu, dengan gelaran hanya sekitar 3 jam, unit restaurant tersebut sudah menangguk pendapatan tidak kurang dari Rp. 137.500.000,- jumlah yang cukup besar. padahal ada banyak hotel di jakarta. itu baru resto-hotel, belum lagi resto-mall yang jumlahnya ribuan, warung yang puluhan ribu. singkat cerita, bulan puasa meningkatkan gairah perekonomian dari belanja makan - minum.
hal lain yang juga semakin lazim, adalah... ternyata yang ikut merayakan acara berbuka puasa bersama, tidak hanya muslim yang berpuasa saja, melainkan juga sahabat non-muslim yang tidak berpuasa. malahan kemaren dan sore tadi saya lihat, rasanya lebih banyak yang non-puasa dari pada yang puasa. ini - barangkali - menandakan ritual berbuka sebagai bagian dari puasa, sudah bukan ekslusif milik warga muslim, tetapi suasana gembira ini juga ingin dirasakan oleh sahabat non-mulsim. dari perspektif lain, barangkali ini juga sebagai penanda kehormatan dari sahabat non-muslim kepada sahabat muslim yang berpuasa, ini tercermin dari undangan buka puasa bersama yang dilayangkan oleh sahabat non-muslim.
hal lain yang saya perhatikan adalah ketersediaan dan kualitas mushola. mall-mal baru pada umumnya menyediakan mushola yang terletak di suatu lantai, dirawat dengan baik dan cukup lebar untuk menampung sampai 50-an orang. disediakan penitipan alas kaki, ber-AC. Jika di Mall pada umumnya disediakan mushola yang cukup nyaman, tidak demikian halnya bila kita berbuka di restaurant tunggal. di suatu resto di bilangan kebayoran baru, disediakan mushola darurat di lantai paling atas yang terbuat dari beton tanpa atap, ada juga sebuah resto di bilangan Benhil yang mushola-nya hanya cukup untuk 2 orang saja, sehingga mesti antri. ada seorang sahabat yang mulai antri sekitar setengah jam sesudah bedug maghrib, sampai kehabisan waktu maghrib, masih ngantri eh sudah adzan sholat Isha. Di hotel bagaimana? kemaren saya berbuka di hotel di bilangan casablanca kuningan, hotel menyediakan mushola di lantai 10 yang dedicated (sebuah ruang yang hanya digunakan untuk mushola). jika hotel ini menyediakan ruang khusus, ada dua hotel lain yang lokasinya tidak jauh dari hotel ini yang menyediakan ruang sholat dengan menggunakan kamar hotel, semua perabotan dikeluarkan, dan selama ramadhan digunakan untuk sholat para tamu tidak menginap yang berbuka. selain ruang khusus dan kamar yang disulap menjadi mushola, ada juga hotel bintang lima yang menempatkan mushola di pelataran parkir lantai paling atas. jemaah yang hendak sholat mesti kuat menaiki tangga, karena tidak tersedia lift. kalau hotel bintang lima di jakarta ini menempatkan mushola di lantai parkir paling atas, suatu hotel di kota Solo yang merupakan anggota dari rantai hotel nasional, menempatkan mushola di basement, cukup besar dan sekaligus digunakan untuk Jum'atan. di Semarang, suatu hotel yang relatif baru di bilangan jalan Gajah Mada, menempatkan mushola di lantai 2, tidak jauh dari business center, cafe dan ruang-ruang meeting.
cara berpakaian. aku masih agak heran, kenapa masih banyak wanita muslim yang tidak atau belum menutup aurat sesuai dengan ajaran Rasul Muhammad SAW. padahal dalam acara berbuka dan sahur (di hotel), sebagai bagian dari ibadah, mestinya berbusana yang sopan dan memenuhi aturan agama. kalaupun tidak berkerudung, yang penting aurat yang vital - vital (termasuk perut, puser dan punggung bagian bawah) tidak diobral. sore ini saya menyaksikan ada wanita cantik (mudah-mudahan masih gadis, karena wajahnya masih belia) yang berbusana ketat, bagian atasnya (dada) dan bagian bawah (pinggul) terlihat - maaf - sengaja ditonjolkan, dan punggungnya - astaghfirullah - terbuka alias backless. padahal beliau sedang berbuka puasa. di semarang hari minggu lalu, saya makan sahur di hotel di bilangan gajah mada, saya lihat ada beberapa wanita muda yang juga makan sahur, maaf, pakaian mereka tidak mencerminkan sedang menjalankan ibadah, mosok pakai celana pendek berbahan jean (short) yang kalau duduk dalamannya bisa terlihat, ada lagi yang maaf pakai kaos tipis longgar, wis tho pokoknya kalau zaman dulu saya senang melihatnya, tetapi sekarang minta ampun kalau lihat yang seperti itu.
di samping arah positif seperti semakin ramai orang berbuka puasa di luar rumah, mendorong gerak laju perekonomian, mempererat persahabatan baik sesama muslim mamupun muslim dengan non-muslim, ada satu hal yang menjadi keprihatinan saya. saya perhatikan, banyak sahabat muslim yang berbuka puasa di resto, resto-mall, resto-hotel, yang - mungkin - keasyikan makan - minum, ngobrol atau secara sengaja, meninggalkan sholat maghrib. sayang sejuta sayang, saya senantiasa ingat, sholat dan puasa itu rukun Islam, jadi kalau rukun tidak dikerjakan dengan sempurna maka belum Islam. saya menganalogikan dengan sekolah menjadi sarjana, salah satu rukun menjadi sarjana adalah lulus ujian, jika ujian ditinggalkan, mana mungkin menjadi sarjana, bukan?
akhir kata, teman saya, seorang eksekutif, pimpinan perusahaan dari sebuh group bisnis besar di negeri ini bilang, "maswig, biar kata pilihan makanan enak banyak sekali di hotel ini (ketika itu kami sedang berbuka puasa di hotel bintang lima di bilangan SCBD), biar kata berapapun harganya masih bisa bayar, yang paling enak tetap saja berbuka puasa di rumah bersama istri dan anak." benar juga yah...???
rempoa, 6 September 2009
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Sunday, September 06, 2009
Saturday, September 05, 2009
Benarkah Memberi Selalu Lebih Baik Dari Menerima
Memberi dalam beberapa hal lebih baik dari pada menerima. Ini kalimat yang saya tayangkan di webblog saya http://maswig.blogspot.com benarkah memberi selalu lebih baik dari menerima? Tidak juga, memberi sesuatu yang akan menghasilkan kondisi menyenangkan, menyehatkan fisik dan psikis baik untuk si pemberi maupun si penerima, akan terjadi bila memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:
Bagi pemberi, syarat pertama mesti IKHLAS. Apa itu ikhlas? Dalam kontek bebas (common sense) saya mengartikan ikhlas sebagai: sebelum, ketika dan sesudah memberi tidak punya alasan lain kecuali untuk memberi, itu saja, tidak ada motif lain. Ada yang berpendapat bahwa ikhlas itu semata mengharap ridho dari Allah SWT. Ikhlas itu tidak ada tradeable transaction layaknya berdagang. Kalaupun ada, ikhlas itu bertransaksi HANYA dengan Allah SWT. Jadi tidak dapat dikatakan ikhlas bila dalam pemberian dimaksudkan untuk mendapatkan “balasan” dari si penerima baik secara langsung maupun tidak langsung, seketika atau suatu hari kelak. Termasuk tidak ikhlas bila pemberian juga dimaksudkan agar si pemberi menjadi terkenal pemurah hati (generous), atau ada ikatan lain, seperti halnya ketika para politisi gencar melakukan kampanye menjelang pemilu. Ikhlas tidak hanya sebelum dan ketika memberi, namun termasuk sesudah pemberian. Jika sesudah memberi si pemberi memikir-mikirkannya, atau mengabar-kabarkan kepada orang lain, ini juga pertanda suatu pemberian yang tidak ikhlas.
Syarat kedua, barang atau sesuatu yang diberikan statusnya HALAL. Apa itu halal? Kembali dengan kalimat bebas (tidak merujuk ke sesuatu atau informasi yang sudah diakui kebenarannya) saya berpendapat Halal itu barang (atau sesuatu) yang sifat keberadaannya dan kontek pengadaan (pembuatan), serta pemanfaatannya tidak melanggar aturan agama, dan atau hukum manusia tentang yang boleh dan tidak boleh. Tentang sifat keberadaan, sesuatu yang sudah ditetapkan halal, misalnya nasi, sepanjang ia masih berujud dan mempunyai sifat nasi, maka menurut hemat saya masih halal. Akan berubah dan menjadi tidak halal, ketika ke dalam nasi dicampur sesuatu atau tindakan yang tidak halal, misalnya dicampur dengan kuah daging (soup) babi (oleh Islam hukumnya haram), atau diperoleh dari mencuri, korupsi, menipu. Nah, barang atau sesuatu yang tidak atau sudah menjadi tidak halal (haram) maka ketika diberikan kepada orang lain, walaupun memberikannya secara ikhlas, menurut hemat saya manfaat pemberian sudah berkurang, bahkan menjurus dosa, atau mendorong orang lain juga berbuat dosa, karena menerima/menggunakan barang tidak halal.
Syarat ketiga, barang atau sesuatu yang diberikan itu harus TEPAT. Apa ini maksudnya? Tepat di sini meliputi: tepat barang/sesuatu, tepat jumlah/ukuran, tepat waktu pemberian. Misalnya si A membutuhkan sepatu untuk keperluan sekolah, tetapi si B memberikan sandal. Walaupun sandal dan sepatu sama-sama alas kaki, namun keduanya berbeda. Walhasil pemberian sandal, mungkin diterima oleh si A, namun tidak menyelesaikan kebutuhan A. Untuk itu, ada baiknya sebelum memberi, terlebih dahulu tanyakan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan si penerima. Seringkali para dermawan, donatur memberikan berbagai hal, namun tidak termasuk yang sedang dibutuhkan. Dalam suatu acara pemberian donasi berupa sembako, terdengar celetuk dari seorang bapak, sembako teruss… sembako teruss, yang kubutuhkan (saat ini) celana seragam buat si Entong yang mau masuk SD.
Selain tepat barang, jumlah dan ukuran juga perlu tepat. Dalam contoh di atas, misalnya sepatu yang dibutuhkan A nomor 36, tetapi karena si pemberi asal saja, ia memberikan sepatu nomor 40, maka si A tidak dapat memakai sepatu pemberian tersebut karena kebesaran. Dalam ruang kelas, kasus seperti ini sering terjadi, guru atau dosen memberikan materi kuliah kurang dari yang seharusnya diberikan, ini juga tidak tepat. Tepat yang ketiga, tepat waktu pemberian. Sudah ikhlas, halal, tepat barang, tepat jumlah/ukuran, namun menyerahkannya sudah melewati batas waktu kebutuhan, keadaan seperti ini mengurangi manfaat pemberian. Bisa jadi, yang ditemui bukan terima kasih, melainkan penolakan atau mengerutu, ejekan, “waaah terlambat, kenapa tidak kemaren?”
Untuk mengatasi masalah kekurang-tepatan, biasanya diambil jalan mudah dengan memberi uang, dengan angapan si penerima memiliki kebebasan untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan. Dalam kondisi si penerima memiliki kemampuan untuk membeli (sehat fisik, lokasi pasar/toko terjangkau, barang yang dibutuhkan dan akan dibeli tersedia di pasar, uang yang dimiliki dari pemberian sesuai dengan harga barang), maka pemberian uang dapat menyelesaikan masalah kekurang-tepatan. Namun demikian, kondisi seperti ini tidak selalu dimiliki oleh si penerima. Walhasil, uang bisa jadi tidak berarti apa – apa dibandingkan barang atau sesuatu (layanan).
Di sisi penerima, pemberian (atau penerimaan) akan memberi manfaat lahir bathin, jika dalam menerima juga ikhlas, berterima kasih kepada Allah SWT (Karena rejeki datangnya dari Allah SWT), berterima kasih kepada si pemberi (sebagai perantara rejeki yang datangnya dari Allah SWT), memanfaatkan pemberian tersebut sebaik-baiknya, serta mempunyai niat suatu hari kelak mampu memberikan barang atau sesuatu yang serupa kepada orang lain yang membutuhkan (ada optimisme). Optimisme ini penting agar si penerima tidak terjebak menjadi peminta-minta alias pengemis.
Semoga bermanfaat.*****
Mas Wigrantoro Roes setiyadi
Rempoa, 5 September 2009
Bagi pemberi, syarat pertama mesti IKHLAS. Apa itu ikhlas? Dalam kontek bebas (common sense) saya mengartikan ikhlas sebagai: sebelum, ketika dan sesudah memberi tidak punya alasan lain kecuali untuk memberi, itu saja, tidak ada motif lain. Ada yang berpendapat bahwa ikhlas itu semata mengharap ridho dari Allah SWT. Ikhlas itu tidak ada tradeable transaction layaknya berdagang. Kalaupun ada, ikhlas itu bertransaksi HANYA dengan Allah SWT. Jadi tidak dapat dikatakan ikhlas bila dalam pemberian dimaksudkan untuk mendapatkan “balasan” dari si penerima baik secara langsung maupun tidak langsung, seketika atau suatu hari kelak. Termasuk tidak ikhlas bila pemberian juga dimaksudkan agar si pemberi menjadi terkenal pemurah hati (generous), atau ada ikatan lain, seperti halnya ketika para politisi gencar melakukan kampanye menjelang pemilu. Ikhlas tidak hanya sebelum dan ketika memberi, namun termasuk sesudah pemberian. Jika sesudah memberi si pemberi memikir-mikirkannya, atau mengabar-kabarkan kepada orang lain, ini juga pertanda suatu pemberian yang tidak ikhlas.
Syarat kedua, barang atau sesuatu yang diberikan statusnya HALAL. Apa itu halal? Kembali dengan kalimat bebas (tidak merujuk ke sesuatu atau informasi yang sudah diakui kebenarannya) saya berpendapat Halal itu barang (atau sesuatu) yang sifat keberadaannya dan kontek pengadaan (pembuatan), serta pemanfaatannya tidak melanggar aturan agama, dan atau hukum manusia tentang yang boleh dan tidak boleh. Tentang sifat keberadaan, sesuatu yang sudah ditetapkan halal, misalnya nasi, sepanjang ia masih berujud dan mempunyai sifat nasi, maka menurut hemat saya masih halal. Akan berubah dan menjadi tidak halal, ketika ke dalam nasi dicampur sesuatu atau tindakan yang tidak halal, misalnya dicampur dengan kuah daging (soup) babi (oleh Islam hukumnya haram), atau diperoleh dari mencuri, korupsi, menipu. Nah, barang atau sesuatu yang tidak atau sudah menjadi tidak halal (haram) maka ketika diberikan kepada orang lain, walaupun memberikannya secara ikhlas, menurut hemat saya manfaat pemberian sudah berkurang, bahkan menjurus dosa, atau mendorong orang lain juga berbuat dosa, karena menerima/menggunakan barang tidak halal.
Syarat ketiga, barang atau sesuatu yang diberikan itu harus TEPAT. Apa ini maksudnya? Tepat di sini meliputi: tepat barang/sesuatu, tepat jumlah/ukuran, tepat waktu pemberian. Misalnya si A membutuhkan sepatu untuk keperluan sekolah, tetapi si B memberikan sandal. Walaupun sandal dan sepatu sama-sama alas kaki, namun keduanya berbeda. Walhasil pemberian sandal, mungkin diterima oleh si A, namun tidak menyelesaikan kebutuhan A. Untuk itu, ada baiknya sebelum memberi, terlebih dahulu tanyakan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan si penerima. Seringkali para dermawan, donatur memberikan berbagai hal, namun tidak termasuk yang sedang dibutuhkan. Dalam suatu acara pemberian donasi berupa sembako, terdengar celetuk dari seorang bapak, sembako teruss… sembako teruss, yang kubutuhkan (saat ini) celana seragam buat si Entong yang mau masuk SD.
Selain tepat barang, jumlah dan ukuran juga perlu tepat. Dalam contoh di atas, misalnya sepatu yang dibutuhkan A nomor 36, tetapi karena si pemberi asal saja, ia memberikan sepatu nomor 40, maka si A tidak dapat memakai sepatu pemberian tersebut karena kebesaran. Dalam ruang kelas, kasus seperti ini sering terjadi, guru atau dosen memberikan materi kuliah kurang dari yang seharusnya diberikan, ini juga tidak tepat. Tepat yang ketiga, tepat waktu pemberian. Sudah ikhlas, halal, tepat barang, tepat jumlah/ukuran, namun menyerahkannya sudah melewati batas waktu kebutuhan, keadaan seperti ini mengurangi manfaat pemberian. Bisa jadi, yang ditemui bukan terima kasih, melainkan penolakan atau mengerutu, ejekan, “waaah terlambat, kenapa tidak kemaren?”
Untuk mengatasi masalah kekurang-tepatan, biasanya diambil jalan mudah dengan memberi uang, dengan angapan si penerima memiliki kebebasan untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan. Dalam kondisi si penerima memiliki kemampuan untuk membeli (sehat fisik, lokasi pasar/toko terjangkau, barang yang dibutuhkan dan akan dibeli tersedia di pasar, uang yang dimiliki dari pemberian sesuai dengan harga barang), maka pemberian uang dapat menyelesaikan masalah kekurang-tepatan. Namun demikian, kondisi seperti ini tidak selalu dimiliki oleh si penerima. Walhasil, uang bisa jadi tidak berarti apa – apa dibandingkan barang atau sesuatu (layanan).
Di sisi penerima, pemberian (atau penerimaan) akan memberi manfaat lahir bathin, jika dalam menerima juga ikhlas, berterima kasih kepada Allah SWT (Karena rejeki datangnya dari Allah SWT), berterima kasih kepada si pemberi (sebagai perantara rejeki yang datangnya dari Allah SWT), memanfaatkan pemberian tersebut sebaik-baiknya, serta mempunyai niat suatu hari kelak mampu memberikan barang atau sesuatu yang serupa kepada orang lain yang membutuhkan (ada optimisme). Optimisme ini penting agar si penerima tidak terjebak menjadi peminta-minta alias pengemis.
Semoga bermanfaat.*****
Mas Wigrantoro Roes setiyadi
Rempoa, 5 September 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)