Monday, August 13, 2018

Rangkuman Guido Bertucci dan Maria Stefania Senese
“Decentralization and Electronic Governance” dalam Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practices (2007)

Buku “Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practices” (2007) merupakan buku yang memuat mengenai isu-isu pemerintahan yang berpusat pada pembahasan mengenai desentralisasi yang di uraikan dari konsep hingga praktik. Penguraian dalam buku ini terbagi dalam bab-bab yang isinya memuat tulisan berupa esai-esai oleh para akademisi. Salah satunya yang ditulis oleh Guido Bertucci dan Maria Stefania Senese mengenai desentralisasi dan e-governance.
Dijelaskan dalam buku ini, bahwa tren global menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Penurunan terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang ditunjukkan pada tren global ini diindikasi dari persepsi umum terhadap masalah-masalah yang terjadi di dalam struktur pemerintahan dan politik yang terlihat kompleks.
Menurut penulis, tata kelola pemerintahan memanglah penting, tetapi tidak cukup untuk menjamin kepercayaan politik. Untuk mengatasi tantangan mendapatkan kepercayaan publik, pemerintah seharusnya meningkatkan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan pada kebijakan publik, hal ini bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah yang bisa menjadi dorongan timbulnya kepercayaan publik.
Dijelaskan dalam esai ini, bahwasanya selama dua puluh tahun terakhir berbagai negara didunia telah melakukan reformasi dengan tujuan meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas pemerintah melalui pendekatan desentralisasi. Para ahli dan peneliti telah memuji desentralisasi sebagai alat terbaik untuk membawa pemerintah lebih dekat dengan publik dengan meningkatkan pengambilan keputusan publik melalui pemberian pelayanan publik yang lebih efektif.
Dengan kata lain, desentralisasi telah muncul sebagai tren global yang bertujuan untuk memberdayakan otonomi di tingkat lokal dengan fasilitasi melalui partisipasi warga negara dan untuk meningkatkan pentransferan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien. Melalui desentralisasi, tujuan pemerintah adalah mendorong keterlibatan tingkat lokal dalam proses pengambilan keputusan, sehingga langkah ini membuat adanya partisipasi publik, kepemilikan, dan keterlibatan yang lebih luas. Karena keputusan yang dibentuk dalam desentralisasi, dapat dibilang merupakan keputusan yang bisa mencerminkan kebutuhan dan prioritas penduduk lokal.
Dengan demikian, desentralisasi bisa dibilang merupakan model baru dalam sistem pemerintahan negara melalui re-distribusi kekuasaan. Dari sudut pandang politik, desentralisasi berusaha untuk meningkatkan partisipasi lokal, sehingga dengan itu bisa mencapai good governance dan bisa membina nilai-nilai demokrasi. Oleh karenanya, desentralisasi ini mendorong keterlibatan dari pemangku kepentingan khususnya pada pemerintahan daerah yang harus bisa menciptakan tata kelola pemerintahan yang efisien dan transparansi dalam manajemen perencanaan, karena pemerintah daerah menjadi pemangku kepentingan yang mentransfer pelayanan publik dari pemerintah pusat untuk merespon kebutuhan masyarakat lokal di masing-masing daerahnya.
Namun, dijelaskan dalam buku ini bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam proses desentralisasi di negara-negara berkembang. Keterlibatan pejabat publik baik di pusat dan daerah masih belum bisa bersama-sama menciptakan sistem tata pemerintahan yang efisien dan transparan. Kasus korupsi membuat sulit bagi desentralisasi untuk bisa berjalan sukses. Oleh karena itu, dalam skenario ini, penulis menitikberatkan pertanyaan yang menjadi titik pusat penelitiannya yaitu dapatkah Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat membuat desentralisasi dan tata pemerintahan daerah lebih efektif dan bermakna ?
Dijelaskan dalam esia ini bahwa, Teknologi Komunikasi dan Informasi atau Information and communications technologies (ICTs) dapat membantu mengatasi hambatan yang disebutkan di atas dan bisa membuat desentralisasi berjalan efektif dan responsif, sehingga dapat menciptakan efisiensi, transparansi, partisipasi, dan meningkatkan keterlibatan warga negara. Bahkan Teknologi Komunikasi dan Informasi memiliki potensi yang bisa mendukung transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas melalui peningkatan pelayanan dasar, menyediakan saluran komunikasi baru, dan mengembangkan kapasitas pembangunan dan pertumbuhan sosial dan ekonomi.
Namun sayangnya, manfaat Teknologi Komunikasi dan Informasi yang dapat meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat ini dalam penggunaanya seringkali terhambat oleh akses yang sulit dalam teknologi digital. Akses pada Teknologi Komunikasi dan Informasi ini sering terbatasi oleh adanya kesenjangan pada akses digital di negara-negara di dunia. Kesenjangan terhadap akses digital ini luas antara negara kaya dan miskin, hal itu pun menjadi faktor eksternal yang dapat membawa dampak buruk.

Diuraikan dalam esai ini bahwasanya telah banyak inisiatif, proyek, dan program yang telah dikembangkan oleh pemerintah-pemerintah di negara-negara di dunia untuk menjembatani kesenjangan digital serta memberdayakan warga negara dan meningkatkan kesempatan mereka untuk berpartisipasi. E-access and e-participation menjadi jaringan atau wadah yang memfasilitasi warga negara untuk bisa akses informasi dan sebagai sarana komunikasi. Dengan demikian, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat menciptakan e-access untuk dapat menjembatani kesenjangan antara hubungan pusat kepada lokal, dan pemerintahan lokal ke masyarakat. Pihak berwenang di pemerintahan lokal bisa menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menunjang tata pemerintahan yang lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Seperti kebutuhan pada akses internet untuk transaksi keuangan (rekening bank), database pemerintahan, website kota, platform konsultasi. Yang mana semua itu bisa dijadikan sebagai sarana komunikasi yang lebih efektif dan efisien dan warga juga menjadi lebih mudah untuk mengakses informasi dan layanan publik. Oleh karenanya, internet bisa menjadi berguna untuk menyelesaikan masalah warga negara yang kurang terhadap informasi. Penggunaan internet juga telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk merampingkan proses administrasi publik dan memaksimalkan efektifitas pemerintahan. Selanjutnya, penggunaan internet juga bisa membuat pelayanan pemerintah daerah yang lebih baik.

Sedangksn e-partisipasi didefinisikan oleh penulis sebagai program pemerintah untuk mendorong partisipasi dari warga negara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses warga negara terhadap informasi (e-information), untuk bisa terlibat dalam diskusi (e-consultation), dan untuk mendukung partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan (e-decision making). Oleh karena itu, kerangka e-participation termasuk pada e-information, e-consultation, dan e-decision making yang menjadi fitur-fitur penting untuk e-democrarcy. Sehingga dengan mengimplementasikan e-participation tersebut menjadi memunculkan sebuah lingkaran dengan adanya tiga dimensi yang disebut oleh penulis sebagai Three Dimensions of the E-Participation Circle yang bisa memperkuat partisipasi demokrasi (Lihat figure 3-1).

Dengan memfasilitasi terhadap akses untuk informasi, melalui e-participation yang termasuk e-information, e-consultation, dan e-decision making tersebut menjadi akan memungkinkan publik untuk mengambil bagian dalam diskusi, khususnya untuk membantu menentukan isi dari kebijakan. Sehingga hal itu, membuat publik menjadi bagian dari penggerak yang signifikan terhadap kebijakan publik. Teknologi Komunikasi dan Informasi ini dapat memberdayakan semua pemangku kepentingan dengan membantu mereka dalam mencapai konsensus yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan publik yang sukses dan berkelanjutan. Dengan demikian, strategi yang berarti terhadap Teknologi Komunikasi dan Informasi ini menjadi bertujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan aksesibilitas pemerintah yang bisa menciptakan e-government untuk mendukung inklusi sosial (e-inclusion).
Namun yang perlu diperhatikan ditekankan oleh penulis adalah bahwa tantangan sesungguhnya terletak tidak hanya memastikan terhadap akses untuk memastikan warga negara berpartisipasi dengan pembuatan kebijakan, serta e-partisipasi yang dapat bersifat inklusif, terbuka, responsif, dan konsultatif. Akan tetapi, implementasi dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi pada proses desentralisasi itulah yang perlu mendapatkan perhatian lebih yang mana kemampuan setiap kelompok sosial dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi itu berbeda-beda. Oleh karena itu, bukan hanya fokus pada akses saja melainkan, harus fokus pada pemberdayaan terhadap penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi di masyarakat dengan menggunakan pendekatan inklusi. E-inclusion ini membutuhkan pergeseran fokus dari teknologi menjadi untuk mendukung ekonomi, sosial, dan budaya. E-inklusi adalah pendekatan holistik terhadap penyempitan kesenjangan digital dan mencegah bentuk-bentuk baru yang bisa menciptakan pengucilan dari perkembangan yang ada. Maka dalam hal pemberdayaan ini, perlu adanya pemberdayaan dari pemerintahan lokal. Institusi lokal perlu mendukung penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi untuk bisa mendorong keterlibatan warga lokal dalam pengambilan keputusan, sehingga hal ini bisa mendukung proses desentralisasi.
Selain masalah akses dan pemberdayaan yang perlu diperhatikan yang ditekankan oleh penulis, ada hal lain yang menjadi tantangan sesungguhnya dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi untuk membuat proses desentralisasi bisa berjalan sukses. Hambatan tersebut adalah:
Kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi.
Tidak efisiennya pentransferan sistem pelayanan dan administratif.
Sumber daya yang ada tidak memadai dalam memenuhi tanggung jawab sebagai otoritas lokal dalam pemenuhan layanan publik.
Dengan demikian yang menjadi tantangan utama bagi pelayanan publik adalah meningkatkan kompetensi manajerial dan teknis para pegawai negeri. Karena pelayanan publik berkualitas tinggi membutuhkan staf profesional yang berkualitas dan terlatih. Oleh karena itu, melalui e-learning dapat menjadi sarana yang bisa memberikan pelatihan yang tepat waktu untuk para staf, yang memungkinkan untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan baru yang lebih cepat dan biaya yang lebih rendah daripada metode pelatihan secara manual.
Penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi ini dalam peningkatan kapasitas kemampuan pegawai juga bisa menciptakan lingkungan yang kompetitif diantara pegawai di pemerintah daerah, yang mana dengan adanya pelatihan untuk meningkatkan kompetensi manajerial dan teknis melalui e-learning dapat membuat SDM menjadi terlatih dan menjadi memiliki kapasitas untuk mendukung proses desentralisasi. Teknologi Komunikasi dan Informasi melalui e-learning ini juga dapat menjangkau orang-orang di daerah terpencil untuk mereka dapat terlibat, berkontribusi dalam pelatihan. Sehingga dalam kasus ini, Teknologi Komunikasi dan Informasi mendorong efisiensi secara signifikan dengan bisa memaksimalkan ketepatan waktu dan kualitas pelayanan, serta dapat meminimalkan biaya dengan bisa cepat mentransfer informasi melalui internet.
Kemudian diuraikan juga oleh penulis mengenai masalah utama yang menjadi tantangan desentralisasi terkait masalah di lingkungan pemerintah lokal, seperti kasus korupsi, kemiskinan, dan infrastruktur yang tidak memdai, menjadi menyulitkan akses dan ketersediaan sumber daya, yang secara signifikan yanag bisa menghambat proses desentralisasi tersebut. Korupsi menjadi hal yang berbahaya yang bisa menjadi penghambat jalannya desentralisasi yang efektif. Namun dijelaskan oleh penulis bahwasanya Teknologi Komunikasi dan Informasi ini bisa mengurangi korupsi dan mendukung nilai demokrasi melalui penyebaran informasi dan komunikasi. Bahkan, Teknologi Komunikasi dan Informasi bisa membuat adanya keterbukaan administrasi, transaksi dan catatan untuk bisa dikontrol. Hal itu bisa membuat sistem manajemen yang lebih transparan, akuntabel, efisien, dan bisa mengehemat biaya pemerintah.
Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat memfasilitasi peningkatan kapasitas lokal dan mendukung pengembangan sektor swasta, dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan sosial ekonomi. Kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk pengembangan dan penyebaran Teknologi Komunikasi dan Informasi. Kemitraan ini dapat memobilisasi sumber daya yang ada untuk penggunaan internet yang lebih luas.
Namun satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian juga bahwasanya dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi dalam proses desentralisasi yaitu mengenai pembuatan kerangka peraturan hukum Teknologi Komunikasi dan Informasi. Yang mana hal tersebut juga menjadi tantangan yang perlu diperhatikan bagi kebijakan pemerintah. Pertumbuhan perkembangan yang cepat pada Teknologi Komunikasi dan Informasi mendorong pemerintah untuk memikirkan kembali kerangka tersebut secara efektif dan fleksibel. Bahkan terencana dengan formulasi, implementasi, dan penegakan kerangka peraturan hukumnya yang dapat menghindari dari risiko terkait dengan kejahatan cyber untuk menciptakan manajemen operasi yang lebih baik (seperti keamanan dalam perlindungan data pribadi dan rahasia untuk mencegah adanya penipuan dan tindak kejahatan lainnya).
Dengan demikian penulis memberikan kesimpulan, bahwa dengan memusatkan pada hal yang lebih efisien, efektif, akuntabel, dan partisipasi, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat menjadi alat yang ampuh untuk proses desentralisasi. Tepatnya, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat mendukung kapasitas pemerintah daerah selama transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi melalui penguatan struktur pemerintahan. Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat mengatasi kekurangan terhadap masalah transparansi dan akuntabilitas di tingkat lokal dan mengatasi masalah partisipasi pada masyarakat lokal dalam proses pembuatan kebijakan. Melalui informasi arus global, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat mendorong keterlibatan masyarakat luas dalam partisipasi dalam pemilihan perwakilan daerahnya (seperti dalam sistem pemilihan umum daerah).
Demikian dengan adanya peningkatan mekanisme untuk keterlibatan yang lebih besar (partisipasi) publik melalui Teknologi Komunikasi dan Informasi, maka hal tersebut dapat membangun kepercayaan publik dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat membuka mata masyarakat (sadar) akan isu-isu publik, dan ini dapat membantu membentuk konsensus umum tentang kebijakan publik. Karena keputusan adalah hasil dari partisipasi oleh semua pemangku kepentingan. Mencapai konsensus adalah kunci untuk mendefinisikan dan menerapkan kebijakan publik.
Singkatnya Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat membuat desentralisasi lebih efektif dan bermakna tapi tidak dalam semua kasus, bukan tanpa peringatan tertentu. Jika implementasi penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi tidak dilaksanakan dengan benar, maka dapat meningkatkan ketidakseimbangan antara kaya dan miskin. Dan hal itu dapat memperlambat laju desentralisasi dalam transfer pelayanan, kerjasama antar tingkat pemerintahan, dan mekanisme dalam pengambilan keputusan mekanisme. Selain itu, kerangka peraturan yang tidak tepat pada peraturan hukum Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat meningkatkan kejahatan cyber. Hal itu pun dapat menghalangi proses dalam pembangunan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Rangkuman Ashley Carreras dan L. Alberto Franco
“Problem-Structuring Methods for e-Democracy dalam e-Democracy, A Group Decisions and Negotiation Perspective (2010)

Buku “e-Democracy, A Group Decisions and Negotiation Perspective” menguraikan beberapa penjelasan yang dikemas dalam bagian bab-bab yang ditulis oleh beberapa penulis terkait e-Democracy. Para penulis dalam buku ini menyadari adanya imperatif politik terhadap e-government dan partisipasi publik seiring dengan tekanan terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berarti bahwa e-partisipasi dan e-demokrasi datang dengan cepat. Buku ini membahas berbagai isu yang muncul terkait interaksi terhadap basis internet untuk mendukung partisipasi dalam demokrasi, yang disebut dalam buku ini sebagai e-partisipasi. Buku ini, berkonsentrasi pada bagaimana bisa mengubah proses demokrasi menggunakan keputusan berbasis web yang disebut dalam buku ini sebagai e-Democracy dengan dukungan struktur negosiasi dan mengartikulasikan partisipatif musyawarah. Hal ini berbeda dengan sebagian besar penelitian di lapangan, yang berkonsentrasi pada teknologi untuk memfasilitasi atau mengotomatisasi standar instrumen demokratis. Contoh umumnya adalah termasuk teknologi e-voting, yang merujuk untuk memfasilitasi voting (pemungutan suara) melalui sarana elektronik.
Ashley Carreras dan L. Alberto Franco merupakan salah satu penulis yang menulis esai dalam buku ini menguraikan mengenai “Problem-Structuring Methods for e-Democracy” yang merupakan bagian basis metodologis dalam buku ini. Metode penataan masalah atau Problem-Structuring Methods (PSMS) adalah sekumpulan teknik atau metode yang biasa digunakan sebagai model untuk memetakan sifat atau struktur sebuah situasi atau keadaan dimana beberapa orang menginginkan perubahan. PSMS biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang bekerja sama untuk menciptakan sebuah konsensus, atau setidaknya memfasilitasi sebuah negosiasi tentang apa saja yang perlu diubah.
Istilah "metode penataan masalah" atau Problem-Structuring Methods (PSMS) mulai digunakan pada tahun 1980-an dalam bidang operasi riset (operational research atau OR). PSMS ini mengambil dari pendekatan operasi riset yang keras untuk memungkinkan aktor dapat mengatasi konflik dan masalah-masalah yang menunjukkan tingkat ketidakpastian yang tinggi.
Metode penataan masalah merupakan jenis pendekatan yang memiliki tujuan yang berbeda-beda, dan banyak dari itu telah dikembangkan secara independen. Metode ini fokus dengan menciptakan sebuah model yang diisi dengan data yang spesifik terhadap situasi masalah yang terjadi dan sebab-akibat yang dapat dianalisis yang dimaksudkan untuk memfasilitasi percakapan dan negosiasi antar aktor penanganan masalah.
Problem-Structuring Methods (PSMS) ini juga telah dikembangkan untuk menemukan beberapa aspek dari masalah yang kompleks, termasuk yang obyektif dan subyektif. Hal ini penting dijelaskan oleh penulis, karena pelaku biasanya mendefinisikan situasi masalah atau isu dengan bahasa mereka sendiri dan berdasarkan interpretasi mereka sendiri dan dengan pengalaman mereka sendiri atau keahlian, bahkan sistem nilai mereka sendiri dari situasi atau masalah yang ada.
Dengan demikian penulis menguraikan pemikirannya terhadap metode penataan masalah atau Problem-Structuring Methods (PSMS) sebagai sekumpulan teknik yang biasa digunakan sebagai model untuk memetakan sifat atau struktur sebuah situasi atau keadaan dimana beberapa orang menginginkan perubahan, dalam hal ini terkait pada bagaimana metode penataan masalah dapat digunakan sebagai model untuk memetakan situasi atau keadaan untuk e-Democracy. Secara khusus, bab ini membahas peran metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods) untuk e-Democracy mengenai peran khas dari PSMS tersebut yaitu membantu aktor-aktor yang terlibat dalam musyawarah untuk mengatasi situasi yang bermasalah, yang mana hal tersebut merupakan kepentingan bersama.
Peran metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods atau PSMS) untuk e-Democracy ini bahwasanya diuraikan merupakan pendekatan yang difasilitasi. Kata-kata kunci dalam PSMS adalah “fasilitasi” dan “penataan”. Dalam bidang metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods), fasilitasi digunakan untuk membantu sekelompok aktor dalam menyelesaikan masalah-masalah melalui percakapan yang konstruktif (musyawarah), dibantu oleh adanya pemodelan penataan masalah. Musyawarah sebagai bentuk demokrasi itu pun melibatkan negosiasi substansial antara pelaku yang memiliki multitafsir dari masalah kepentingan. Hal ini memiliki implikasi praktis untuk penggunaan metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods atau PSMS) untuk mendukung musyawarah demokratis. Penggunaan kedua fasilitasi di PSMS adalah untuk menangani dinamika disfungsional yang mungkin timbul ketika bekerja dalam kelompok. Kemudian terkait dengan penataan, maka penataan dalam PSMS digunakan dalam arti mengidentifikasi kegiatan yang relevan dengan situasi masalah, mengklarifikasi hubungan antara mereka yang terlibat; dan fokus pada bidang utama. Proses penataan ini berbentuk partisipatif, dalam arti bahwa pelaku mampu membangun situasi bersama-sama, dengan membuat definisi permasalahan menjadi masalah bersama.
Yang perlu diperhatikan dalam Problem-Structuring Methods (PSMS) disini adalah bahwa metode ini sebagai sarana fasilitasi yang menyangkut pada masalah kepentingan. Hal ini memiliki implikasi praktis dalam penggunaan PSMS untuk e-democracy adalah untuk mendukung musyawarah demokratis. Perlu diperhatikan juga dalam hal ini, yang menjadi refleksi dari penulis adalah tentang pemahaman atas kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemangku kepentingan utama. Sebuah pemangku kepentingan dapat dianggap sebagai aktor, kelompok atau organisasi yang dapat mempengaruhi atau akan terpengaruh oleh masalah kepentingan atau resolusi. Mengidentifikasi pemangku kepentingan adalah suatu hal yang diperlukan, karena partisipasi mereka merupakan tahap kritis dalam penggunaan metode penataan masalah untuk mendukung musyawarah demokratis.
Kemudian dalam esai ini juga dijelaskan bahwa dalam penataan masalah untuk e-democracy perlu diperhatikan dalam penataan e-problem mengenai asynchronous dan tantangan otomasi. Dalam hal ini, penulis menguraikan bahwasanya untuk penggunaan metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods atau PSMS) untuk e-Democracy sukses dalam lingkungan virtual, maka diperlukan beberapa fitur utama yang berkontribusi untuk mendorong pemangku kepentingan dalam proses penataan masalah di lingkungan non-virtual dan direplikasi dalam bentuk virtual. Jika ini tidak mungkin, maka upaya untuk memperbaiki dampak negatif yang mungkin disebabkan dengan adanya fitur harus dibuat.
Pada bagian selanjutnya, penulis meringkas beberapa isu utama yang dihadapi oleh fasilitator dalam fasilitasi dari proses banyaknya pemangku kepentingan yang bekerja dalam virtual, dimana tersebarnya banyak aktor. Dan ini membuat adanya outline sebagai unsur sebuah sistem virtual yang dirancang untuk memungkinkan adanya demokrasi deliberatif. Hal ini pun menyangkut pada asynchronous dan tantangan otomasi. Asynchronous ini merupakan proses komunikasi data yang tidak terikat dengan waktu, proses transformasi data yang kecepatannya cukup relatif dan tidak tetap. Sedangkan otomasi adalah suatu teknologi terkait dengan aplikasi mekanik, elektronik, dan komputer didasarkan sistem untuk beroperasi dan mengendalikan produksi. Dengan demikian, dalam penataan e-problem ini perlu diperhatikan terkait asynchronous dalam demokrasi sebagai pertemuan antar pemangku kepentingan di lingkungan nyata dan virtual. Hal tersebut berupa konferensi video yang merupakan forum diskusi berbasis internet. Proses dalam penggunaan PSMS dengan cara tersebut akan digunakan untuk menggambarkan kesulitan yang menempatkan kegiatan tersebut di lingkungan virtual, namun disini yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses itu merupakan proses otomasi yang layak.
Permasalahan dalam penataan e-problem ini juga terkait pada publisitas yang merupakan persyaratan akses terbuka ditambah dengan tidak adanya tirani yang menerangkan bahwa diskusi dan kesepakatan tidak dipaksa baik dalam prosesnya maupun hasil musyawarah. Karena semua warga negara harus berpotensi memiliki kesempatan yang sama dalam demokrasi dengan memiliki akses ke arena musyawarah yang efektif.
Kemudian mengenai publisitas terkait e-problem, fasilitator juga perlu melacak kontribusi semua orang dalam musyawarah dengan memastikan bersama aspek kesamaan dan meringkas, secara berkala, apa yang telah dikatakan. Mereka juga perlu melacak poin yang mungkin hilang dalam diskusi dan mendorong kelompok untuk membahas aspek yang belum muncul. Jelas otomatisasi proses ini memberikan tantangan yang cukup besar. Kompleksitas ini di lingkungan virtual akan tergantung pada luasnya populasi yang diminta untuk berpartisipasi dalam proses, tetapi proses otomatisasi akan harus terus diuji.
Dalam konteks ini kesetaraan politik juga harus diuji. Fasilitator memiliki peran penting untuk bermain dalam memastikan ekuitas diskusi. Fasilitator harus memikirkan keanekaragaman peserta. Fasilitator harus memikirkan aspek fasilitasi yang akan berdampak pada fitur yang diinginkan dari musyawarah dalam proses demokrasi. Dalam hal ini, penulis mengatakan bahwa apakah Problem-Structuring Methods atau PSMS ini dalam lingkungan virtual dapat dilihat sebagai proses yang berpotensi positif untuk deliberatif demokrasi? Untuk menilai ini, penulis mengatakan bahwa kita bisa kembali melihat dari karakteristik deliberatif demokrasi dari sudut pandang timbal balik, publisitas, non-tirani dan kesetaraan politik tersebut.
Selanjutnya dijelaskan dalam esai ini mengenai tantangan e-fasilitasi dalam Problem-Structuring Methods for e-Democracy. Tantangan yang ditemukan adalah dengan melihat kemampuan fasilitator untuk mengidentifikasi dan kemudian menanggapi masalah dengan baik dalam mengatasi pertemuan tatap muka dalam demokrasi. Pola intervensi fasilitasi sebagai cara untuk mengurangi dinamika kelompok disfungsional (misalnya dominasi oleh individu). Kemudian dalam proses memfasilitasi disarankan terdiri dari data, isyarat, gejala, penyebab yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah sebagai basis data interaksi. Hal lainnya dalam fasilitasi adalah perlu adanya output 'bangunan pemahaman' dalam meningkatkan kesepakatan atau 'konsensus' dengan adanya kontrol yang efektif.        
Dalam memfasilitasi juga perlu adanya konvergen yaitu kondisi dimana semua persamaan terselesaikan dan menuju ke suatu nilai yang mendekati. Namun dalam e-fasilitasi ini tantangannya adalah pada proses distribusi dalam partisipasi. Akan tetapi, konvergensi dapat memunculkan fase evaluasi pada saat yang sama dalam proses ini, dengan memungkinkan adanya konsensus dan pemahaman. Konvergensi memerlukan keterlibatan peserta yang terlibat dalam beberapa tugas yang biasanya terkait dengan peran fasilitator. Pendekatan ini menjadi sebuah kegiatan yang dijadikan pendekatan (dijadikan sebagai modul) dalam proses konvergensi yaitu untuk mengevaluasi masukan: Individu dalam kelompok diberi kesempatan untuk meninjau ide yang masuk dari brainstorming awal, untuk mempersempit ide yang mungkin terjadi melalui duplikasi serupa, modul untuk ide-ide klaster: dilakukan dengan menggunakan teknik pengelompokan berdasarkan analogi spasial.
Yang terakhir dalam esai ini adalah penulis memberikan kesimpulan dan arah untuk penelitian selanjutnya yaitu bahwasanya esai ini telah membahas isu-isu dan masalah yang mungkin timbul dalam upaya untuk melakukan proses demokrasi deliberatif dalam lingkungan virtual, dimana dalam proses ini adanya peserta yang tersebar yang terlibat secara asynchronous. PSMS telah terbukti digunakan dalam situasi bermasalah dengan beberapa aktor. PSMS ini telah menyediakan sarana dalam menggabungkan interpretasi aktor dan menjadi metode yang membentuk adanya konsensus untuk mengarah pada kemajuan yang diinginkan oleh kelompok. Maka, PSMS dalam penggunaannya memerlukan beberapa aspek umum untuk fasilitasi dengan beberapa pengakuan yang dinyatakan mengenai pentingnya divergensi, konvergensi dan evaluasi dama prosesnya.
Beberapa arah penelitian untuk masa depan pun dapat diidentifikasi. Pertama, perlu dicatat bahwa PSMS tidak menjamin atau meningkatkan karakteristik demokrasi deliberatif. Kedua, bahwa kegiatan atau modul yang diuraikan di atas, atau beberapa varian campurannya, mungkin menjadi layak di masa depan. Inti pada kesimpulannya adalah penulis percaya bahwa penyebaran PSMS untuk mendukung e-demokrasi melalui musyawarah adalah mungkin tetapi masih perlu adanya penelitian lebih lanjut.


BUKU I
ILMU PEMERINTAHAN

Dirangkum oleh:
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

BAB I
KYBERNOLOGY (ILMU PEMERINTAHAN BARU)
(Taliziduhu Ndraha)
Buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), ditulis oleh Taliziduhu Ndraha (2011) menjelaskan mengenai Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). Ilmu Pemerintahan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa-publik dan layanan-civil, dalam hubungan pemerintahan, (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan.
Buku ini menjelaskan bahwa pemikiran kybernology bermula dari manusia bahwa secara makro, begitu manusia diciptakan, dan secara mikro begitu manusia terbentuk dalam kandungan ibunya bahwa manusia memiliki hak (rights) eksistensial (HAM) yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi dari naluri (instincts) yang harus terkontrol agar tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain atau yang disebut hak dan naluri untuk hidup di dalam ruang dan waktu. Perlindungan, pemenuhan, dan kontrol itu merupakan kebutuhan (human needs), baik individual maupun sosial (masyarakat). Alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan disebut barang publik (public goods) dan nilai yang dinikmati oleh konsumer dari barang disebut public goods atau disebut jasa publik. Sedangkan pelaku yang berkewajiban memenuhi kebutuhan tersebut adalah aktor (aktris, public actor) dan nilai yang dinikmati oleh pengguna dari action seorang aktor disebut layanan (yang dalam Bahasa inggris disebut service).
Secara artian diuraikan dalam buku ini, kybernologi adalah ilmu yang mempelajari proses pemenuhan kebutuhan manusia sebagai konsumer produk pemerintahan, akan pelayanan publik dan pelayanan civil, dalam hubungan pemerintahan. Pemerintahan dalam perspektif kybernologik, didefinisikan sebagai proses pemenuhan kebutuhan manusia sebagai konsumer (produk-produk pemerintahan), akan pelayanan publik dan pelayanan civil; badan yang berfungsi sebagai prosesor (pengelola, provider)-nya disebut pemerintah; konsumer produk-produk pemerintahan disebut yang diperintah; hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah disebut hubungan pemerintahan; personil pemerintah disebut aktor pemerintahan.
Jadi dalam pengertiannya diuraikan bahwa pemerintahan adalah sebuah sistem multiproses yang bertujuan memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan yang-diperintah akan jasa publik dan layanan civil. Sedangkan pemerintah diartikan dalam buku ini adalah organ yang berwenang memproses pelayanan publik dan berkewajiban memproses pelayanan civil bagi setiap orang melalui hubungan pemerintahan, sehingga setiap anggota masyarakat yang bersangkutan menerimanya pada saat diperlukan, sesuai dengan tuntutan (harapan) yang diperintah.
Dijelaskan dalam buku ini juga bahwa dalam menjalankan pemerintahan perlu adanya pertanggungjawaban pemerintahan, yakni pertanggungjawaban pribadi (personal, bukan privat) dan individual pelaku pemerintahan terhadap setiap konsumer secara pribadi dan individual dalam hubungan pemerintahan, sehingga setiap peristiwa pemerintahan dapat dipertanggung-jawabkan.
Buku ini juga menguraikan mengenai perkembangan Ilmu Pemerintahan. Ilmu Pemerintahan dijelaskan dalam buku ini sebagai common platform Ilmu Pemerintahan merupakan objek materia (sasaran studi) berbagai ilmu pengetahuan seperti Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Negara, dan Ilmu Hukum. Jadi suatu platform  dapat menjadi common platform bagi sejumlah disiplin. Setiap disiplin ilmu mempunyai metodologi ilmu. Sosok (gambaran) objek materia sebagaimana terlihat melalui metodologi ilmu bersangkutan disebut objek forma ilmu. Jadi objek materia bisa sama, tetapi objek forma-nya berbeda. Inilah yang dapat membedakan disiplin yang satu dengan disiplin yang lain. Sudah barang tentu bahwa objek forma Ilmu Pemerintahan bergantung pada pendekatan yang digunakan.
Diuraikan dalam buku ini beberapa pendekatan-pendekatan dalam Ilmu Pemerintahan, seperti pendekatan metadisiplin, pendekatan paradigmatik, pendekatan ontological, kajian lapangan (field study), kajian konseptual (teoretik), studi terapan, dan studi kasus.
Yang pertama adalah Pendekatan Metadisiplin yang merupakan pendekatan Ilmu Pemerintahan pada basic platform. Pendekatan ini digunakan untuk menunjukkan bahwa pada tahap pemikiran kawasan basic platform, Ilmu Pemerintahan sebagai sebuah body of knowledge (disiplin), belum terbentuk secara formal.
Yang kedua adalah Pendekatan Paradigmatik. Dijelaskan dalam buku ini bahwa disamping suatu platform dapat terlihat berbeda-beda jika dipandang dari berbagai sudut-pandang (menurut metodologi ilmu tertentu, aspek, atau segi), suatu objek forma dapat juga terlihat berlain-lainan jika diamati seperti dari waktu ke waktu, dari lingkungan budaya yang satu ke lingkungan budaya yang lain, melalui metodologi ilmu yang bersangkutan. Dan hal inilah yang terjadi melalui pendekatan yang disebut sebagai pendekatan paradigmatik.
Yang ketiga adalah Pendekatan Ontological. Telah dijelaskan dalam buku ini bahwa dalam berbagai fase perkembangan, paradigma suatu disiplin beriringan dengan ontologinya. Dari sisi ontological ini, Ilmu Pemerintahan terlihat sebagai body of knowledge yang berkembang dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat ke tempat.
Yang keempat adalah Kajian Lapangan (Field Study). Kajian lapangan adalah kajian yang bermaksud membentuk konsep-konsep Ilmu Pemerintahan dari data lapangan (empirik), untuk kemudian membangun berbagai teori dari konsep-konsep sebagai bahan bakunya melalui kajian teoritik.
Selanjutnya pendekatan kelima adalah Kajian Konseptual (teoritik). Kajian konseptual adalah kajian yang bermaksud mengkonstruk konsep-konsep Ilmu Pemerintahan, dengan hasil kajian lapangan sebagai bahan bakunya, sebagai alat untuk menyusun teori, mengoperasionalisasi sebuah konsep menjadi variable, atau membangun sebuah model metodologi Ilmu Pemerintahan.
Yang keenam adalah Studi Terapan. Studi terapan adalah studi yang bermaskud mempelajari penerapan hasil studi teoritik di bidang tertentu dan penggunaannya untuk memecahkan masalah (mencari solusi).
Yang terakhir adalah Studi Kasus. Studi kasus dalam buku ini dilihat sebagai kejadian sekali-kali dan memiliki uniqness sendiri. Kasus dalam arti pada buku ini diuraikan sebagai seperangkat fakta (data empirik) tentang suatu tindakan, peristiwa, gejala atau keadaan yang terbatas namun cukup bermakna untuk menemukan kesimpulan atau solusi.
Dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Taliziduhu Ndraha (2011) juga diuraikan mengenai Yang-diperintah: Reinventing People (RIPE). Yang dimaksud dengan Yang-diperintah ini merupakan konsep yang mengandung nilai-nilai: mahluk, manusia, orang, penduduk, warga masyarakat, warga bangsa, rakyat, sovereign, warga negara, dan konsumer.
Mahluk (creature) dapat dilihat sebagai ciptaan dan dapat juga dianggap sebagai produk proses evolusi. Sedangkan manusia dapat diartikan sebagai sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau sebuah realitas, sebuah kelompok (genus atau species) atau seorang individu. Istilah orang diuraikan dengan menunjukan dua hal yaitu satuan dan batasan manusia. Sebagai satuan, orang menunjukkan satuan manusia, sebagai batasan fungsinya membedakan istilah orang. Sementara istilah bangsa diartikan dalam buku ini adalah puncak perkembangan suatu masyarakat, melalui proses budaya. Sedangkan warga masyarakat bangsa bersama-sama disebut rakyat. Yang-diperintah sebagai konsumer dijelaskan bahwa mengandung sistem nilai sisa sampai pada posisinya sebagai yang powerless termasuk di dalamnya Yang-diperintah sebagai pelanggan, pembayar biaya (harga atau penanggung beban. Maka dari itu, dijelaskan dalam buku ini bahwa uraian ini menunjukkan yang-diperintah itu adalah sosok yang tidak sederhana karena berparadigma jamak. Bukan hanya secara ekstrinsik tetapi juga intrinsik.
Buku ini juga menguraikan mengenai tuntutan yang diperintah. Yang dimaksud tuntutan disini adalah hak, baik hak-hak bawaan (asasi) atau yang disebut juga hak eksistensial (constitutional rights), maupun hak-hak berian, hak-hak yang terikat dengan suatu kewajiban atau kesepakatan. Secara substansial, pengertian hak asasi adalah hak yang tidak dikaitkan dengan suatu kewajiban pun dari subjek yang sama, dan yang wajib (harus) dipenuhi atau dilindungi oleh institusi yang berkewajiban untuk itu. Dalam pengertiannya, tuntutan adalah permintaan disertai ancaman nyata, yaitu tindakan berupa tekanan sosial, tindakan hukum, pembangkangan sosial (civil), sampai pada revolusi.
Dalam buku ini dijelaskan juga bahwa kebutuhan manusia merupakan bagian dari sebuah tuntutan. Kebutuhan (need) disebut sebagai keinginan (want) yang terarah pada alat-alat yang dianggap dapat mendukung kehidupan. Alat-alat pemenuhan kebutuhan dan tuntutan setiap orang dan setiap masyarakat adalah barang (goods), jasa (services), layanan (service) dan kepedulian.
Jasa dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu jasa pasar dan jasa publik. Jasa pasar adalah jasa yang dikelola, diproses, dan dijual-beli menurut mekanisme pasar. Sedangkan jasa publik adalah jasa yang dikelola, diproses menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Sementara layanan diartikan sebagai produk dan dapat juga diartikan sebagai cara atau alat yang digunakan oleh provider dalam memasarkan atau mendistribusikan produknya. Pada layanan ini dijelaskan dengan adanya layanan civil. Layanan civil adalah hak, kebutuhan dasar dan tuntutan setiap orang, lepas dari suatu kewajiban. Kepedulian adalah kebutuhan setiap orang bahkan kebutuhan alam yang semakin meningkat.
Dalam tuntutan ini juga dijelaskan mengenai reinventing product (output). Pengertian dari reinventing product yaitu mengidentifikasi hal-hal apa saja yang pada suatu dituntut oleh suatu masyarakat (standardisasi produk atau output yang diharapkan). Reinventing product ini tidak berjalan sendiri, diuraikan pula dalam buku ini mengenai reinventing process of providing (producing) yaitu mengidentifikasi cara-cara dan alat-alat yang diperlukan untuk memproses dan mendistribusikan produk, dan manfaat yang dibutuhkan masyarakat (standardisasi proses). Kemudian reinventing input, yaitu mengidentifikasi organ yang bagaimana dianggap mampu menyediakan output tersebut (standardisasi input). Dan adanya reinventing outcome, yaitu hal apa yang harus dilakukan agar output memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada konsumer (standardisasi outcome).
Tuntutan dan pelayanan menjadi dua hal yang saling berhubungan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa pelayanan di dalam ilmu Administrasi (Publik) berbeda dengan pelayanan di dalam Kybernologi. Pelayanan dalam administrasi adalah pelayanan dalam arti kegiatan, apa pun isinya. Oleh sebab administrasi terdapat dalam bentuk atau corak negara apa saja, baik totaliter, otoriter, maupun demokratik. Sedangkan pelayanan dalam Kybernologi adalah pelayanan publik dan pelayanan civil dalam arti proses, produk, dan outcome yang bersifat istimewa yang dibutuhkan oleh manusia dan diproses sesuai dengan aspirasi manusia.
Konsep pelayanan meliputi proses, output (product), dan outcome (manfaat). Hasil pelayanan disebut layanan. Layanan dalam arti output adalah uang pinjaman dengan kualitas dan kuantitasnya, sedangkan layanan sebagai outcome adalah nilai, manfaat, atau guna uang yang dipinjam sebagaimana dirasakan atau dinikmati oleh peminjam.
Buku ini juga menguraikan mengenai reinventing government. Dalam buku ini dijelaskan bahwa dewasa ini ada kecenderungan untuk mengembalikan makna pemerintahan dari government ke governance (yang lebih luas). Diuraikan dalam buku ini bahwa nilai pemerintahan menjadi salah satu nilai yang digunakan untuk menegakkan aturan. Nilai yang dimaksud adalah kekuasaan (power). Pemerintah diartikan sebagai sekelompok orang yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan (excersing power). Sedangkan pemerintahan adalah proses penetapan janji.
Berbagai konsep tentang pemerintah juga diuraikan dalam buku ini diantaranya telah diidentifikasi beberapa pengertian pemerintah:
1. Badan Publik, yaitu semua badan yang bertanggung jawab dalam sebagian atau seluruh rute providing suatu jasa atau layanan melalui otorisasi atau privatisasi.
2. Pemerintah dalam Arti Terluas adalah semua lembaga negara seperti diatur di dalam UUD (konstitusi) suatu negara.
3. Pemerintah dalam Arti Luas adalah semua lembaga negara yang oleh konstitusi negara yang bersangkutan disebut sebagai pemegang kekuasaan pemerintah.
4. Pemerintah dalam Arti Sempit yaitu lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif saja.
5. Pemerintah dalam Arti Tersempit, yaitu lembaga negara yang memegang fungsi birokrasi.
6. Pemerintah dalam Arti Pelayanan, diambil dari konsep civil servant.
7. Pemerintah dalam Konsep Pemerintah Pusat, yaitu pengguna kekuasaan negara pada tingkat pusat (tertinggi); pada umumnya dihadapkan pada konsep pemerintah daerah.
8. Pemerintah dalam Konsep Pemerintah Daerah, yaitu pemerintah daerah dianggap mewakili masyarakat, karena daerah adalah masyarakat hukum yang tertentu batas-batasnya.
9. Pemerintah dalam Konsep Pemerintah Wilayah. Pemerintah dalam arti ini dikenal dalam negara yang menggunakan asas dekonsentrasi dan desentralisasi.
10. Pemerintah dalam Konsep Pemerintahan Dalam Negeri.
11. Pemerintahan dalam Konteks Ilmu Pemerintahan adalah semua lembaga yang dianggap mampu (normatif) atau secara empirik memproses jasa publik dan layanan civil.
Buku ini juga menguraikan bahwa terdapat fungsi pemerintah yang dibagi kedalam dua macam fungsi, yaitu fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer yaitu fungsi yang terus-menerus berjalan dan berhubungan positif dengan kondisi pihak yang-diperintah. Pemerintah sebagai fungsi primer sebagai provider jasa-publik yang tidak diprivatisasikan dan layanan-civil termasuk layanan-birokrasi. Sedangkan fungsi sekunder pemerintah adalah fungsi yang berhubungan negatif dengan kondisi ekonomi, politik dan social yang-diperintah, dalam arti, semakin tinggi taraf hidup, semakin kuat bargaining position, dan semakin integratif masyarakat yang-diperintah, semakin berkurang fungsi sekunder pemerintah.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa pemerintahan adalah proses penetapan. Proses penetapan yang dimaksud ialah wewenang (kewenangan), kewajiban, dan tanggung jawab pemerintah. Pengertian wewenang atau kewenangan adalah kekuatan atau hak didelegasikan atau diberikan; kekuatan untuk menghakimi, bertindak atau perintah. Wewenang adalah kekuasaan yang sah yang terkait dengan tanggung jawab, sedangkan  kewajiban terkait dengan hak (right). Hak ini berkaitan dengan posisi (kedudukan). Sedangkan tanggung jawab merupakan salah satu mata rantai, dan mata rantai terpenting, yang menghubungkan perintah, janji (commitment), dan status, dengan percaya dalam hubungan pemerintahan. Dan pertanggungjawaban dalam hal ini, diartikan sebagai outcome dengan Janji yang merupakan input dan langkah dari tanggung jawab dijadikan sebagai percaya. Dalam pengertiannya, pertanggungjawaban adalah pertanggungjawaban pelaksanaan tugas, penetapan janji, dan tindakan sesuai dengan keputusan batin yang diambil berdasarkan kebebasan memilih. Pertanggungjawaban ini perlu adanya akuntabilitas, obligativeness, causativeness. Dan dalam praktiknya, pertanggungjawaban ini dilakukan menurut asas-asas di bawah ini:
1. Terbuka (transparan) timbal balik, jangan hanya sepihak.
2. Langsung, artinya langsung kepada konsumer secara pribadi, tidak melalui perwakilan
3. Informatif dan tuntas.
4. Evaluable. Pertanggungjawaban yang jelas, sufficient, dapat dan mudah diukut, ada alat ukur yang valid dan reliable, diukur oleh lembaga yang kompeten dan netral, cukup waktu untuk penganalisisan, dan feedback terkomunikasikan dengan efektif.
Pertanggungjawaban tersebut pun erat hubungannya dengan pemerintahan. Dalam buku ini diuraikan juga mengenai hubungan pemerintahan. Hubungan pemerintahan (governance relations) adalah hubungan yang terjadi antara yang-diperintah dengan pemerintah satu terhadap yang lain pada suatu posisi dan peran. Hubungan pemerintahan berfungsi sebagai pengikat, penghubung, pembeda, dan pembatas antara pemerintah dengan yang-diperintah. Diuraikan dalam buku ini bahwa hubungan pemerintahan yang sehat memerlukan keseimbangan yang dinamik antara pemerintah dengan yang-diperintah. Keseimbangan yang dinamik itu bergantung pada pilihan terbaik antara hubungan perwakilan dengan hubungan langsung.
Pada buku ini diuraikan lebih rinci lagi mengenai konsep tanggung jawab yaitu mengenai permerintah yang bertanggung jawab. Secara sederhana, telah dijelaskan dalam buku ini bahwa tanggung jawab didefinisikan sebagai kemampuan untuk menjawab atau memenuhi janji atau commitment, baik janji kepada orang lain maupun janji kepada diri sendiri. Dan dijelaskan dalam buku ini juga bahwa pemerintah yang diperlukan dan merupakan tuntutan yang-diperintah saat ini adalah pemerintah yang bertanggung jawab. Adapun dimensi-dimensi pada tanggung jawab adalah:
1. Konsep tanggung jawab.
2. Tanggung jawab sebagai input dan tanggung jawab sebagai output.
3. Pentingnya tanggung jawab.
4. Isi pertanggungjawaban.
5. Batas dan bentuk pertanggungjawaban.
6. Mengapa pemerintah bertanggung jawab.
7. Kepada siapa pemerintah bertanggung jawab.
8. Bagaimana pemerintah melakukan pertanggungjawaban.
9. Akibat pertanggungjawaban.
10. Saat pertanggungjawaban.

Spiro (1969) dalam Responsibility in Government juga mendefinisikan responsibility sebagai, pertama, accountability (perhitungan, laporan pelaksanaan tugas) yang disampaikan kepada atasan atau pemberi tugas oleh bawahan atau yang diberi kuasa. Kedua, sebagai obligation (kewajiban) yaitu tanggung jawab seorang pejabat pemerintahan dihubungkan dengan kedudukannya sebagai warga Negara. Ketiga, responsibility sebagai cause. Cause adalah faktor yang menggerakan seorang pejabat untuk melakukan sesuatu tindakan atau mengambil keputusan berdasarkan kehendak bebas (free will, free choice).

Dalam buku ini dijelaskan juga bahwa adanya tanggung jawab sebagai input dan tanggung jawab sebagai output. Tanggung jawab sebagai input adalah tanggung jawab yang given, prescribed, dijanjikan, sedangkan tanggung jawab sebagai output adalah tanggung jawab yang achieved, terbukti, teruji melaui social control.
Buku ini menjelaskan juga mengenai batas dan bentuk dari pertanggungjawaban. Sejauh mana seorang pelaku pemerintahan bertanggung jawab? Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat dilihat dari segi objektif dan subjektif. Dari sudut objektif, ada tiga macam pegangan. Pertama, seseorang bertanggung jawab sejauh perintah atau tugas yang diterimanya. Dalam hubungan ini, tanggung jawab dibuat dalam bentuk laporan. Kedua, seseorang bertanggung jawab sejauh komitmen atau perjanjian. Disini tanggung jawab yang diharapkan berbentuk kewajiban menepati, menunaikan, dan memenuhi hal-hal yang dijanjikannya. Ketiga, seseorang bertanggung jawab sejauh status dan peran dirinya di dalam peristiwa atau keadaan yang dihadapi pada suatu saat.
Buku ini menjelaskan juga mengenai pembangunan pemerintahan yang bertanggung jawab (reengineering government). Pembangunan pemerintahan dapat diartikan sebagai upaya perbaikan kemampuan pemerintah untuk menjalankan tugasnya. Kemampuan pemerintah adalah kemampuan untuk mencapai tujuan pemerintahan melalui organisasi. Jadi pembangunan disini dapat juga diartikan sebagai perbaikan atau peningkatan kemampuan pemerintah. Dalam pengertiannya pembangunan pemerintahan adalah pembangunan kemampuan pemerintahan untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan yang-diperintah akan jasa-publik dan layanan-civil.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa dalam pemerintahan diperlukan pembangunan atau reformasi pemerintahan. Pentingnya reformasi bukan hanya karena reformasi itu adalah sebuah gerakan sosial, melainkan karena reformasi merupakan sebuah momentum. Terdapat sasaran pembangunan pemerintahan yang mana sasaran pembangunan ini adalah kedua belah pihak yang merupakan pelaku-pelaku hubungan pemerintahan yaitu pemerintah dan yang-diperintah. Dalam hal ini diuraikan bahwa pemerintah (dalam hubungan ini adalah pemerintah pusat) harus memiliki kekuatan atau daya untuk menjalankan mandat yang ditugaskan kepadanya, menepati janjinya kepada daerah (daerah adalah masyarakat hukum yang tertentu batas-batasnya; daerah disebut juga periphery), dan mengambil tindakan yang sesuai dengan keputusan nuraninya. Kekuatan itu disebut kekuatan sentrifugal. Dan sejauh mana janji tersebut ditepati, bergantung pada penilaian dan respon konsumer yaitu daerah. Supaya daerah mampu mengontrol dan merespons penepatan janji tersebut, daerah harus memiliki kekuatan yang disebut kekuatan sentripetal. Sedangkan penepatan janji tersebut memberdayakan daerah sehingga kekuatan daerah untuk mengelola otonominya semakin meningkat. Kekuatan ini disebut kekuatan periferal. Dan tiap-tiap daerah dalam menghadapi front kekuasaan harus memiliki bargaining position dan bargaining power yang memadai. Kekuatan itu harus digalang melalui kerja sama antardaerah. Inilah yang disebut sebagai kekuatan koperiferal. Daerah juga dapat menggalang kekuatan yang sama, tidak hanya dengan daerah lain, tetapi juga dengan kekuatan lain, seperti LSM atau perusahaan dan sebaginya atas dasar saling membutuhkan dan menguntungkan. Hal ini disebut sebagai kekuatan ekstraperiferal. Sedangkan sasaran kemampuan untuk mengembangkan simpati bangsa lain, dan kekuatan interstatal jika sasarannya untuk mengembangkan dukungan negara lain (lebih formal sifatnya), ini disebut sebagai kekuatan internasional (lebih bersifat country to country).

Buku ini menjelaskan juga mengenai menjalankan roda organisasi: manajemen pemerintahan. Manajemen Pemerintahan dalam hubungan ini terlihat melalui ruang lingkup materi pokok yang diuraikan meliputi:
1. Asas dan Sistem Pemerintahan
2. Hukum dan Tata Pemerintahan
3. Ekologi Pemerintahan
4. Filsafat dan Etika Pemerintahan
5. Praktik Penyelenggaraan
6. Kepemimpinan Pemerintahan
7. Reformasi Pembangunan Daerah
Manajamen pemerintahan ini diartikan sebagai unit kerja. Secara definisi, manajemen sendiri mempelajar bagaimana menciptakan effectiveness usaha (“doing right things”) secara efficient (“doing things right”) dan produktif, melalui fungsi dan siklus tertentu, dalam rangka mencapai tujuan organisasional yang telah ditetapkan. Unsur-unsur manajemen adalah:
1. Tujuan organisasional yang telah ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang berkompeten.
2. Fungsi, yaitu perencanaan usaha termasuk penetapan output dan outcome yang dikehendaki, pengorganisasian sumber-sumber agar siap pakai/gerak, penggerakan/penggunaan sumber-sumber guna menghasilkan output, dan kontrol penggerakan/penggunaan sumber-sumber supaya output dan outcome yang dihasilkan/dinikmati konsumer sesuai dengan output/outcome yang diharapkan.
3. Siklus produk yang berawal dari konsumer, dan setelah melalui beberapa rute, berakhir pada konsumer.

Ruang lingkup Manajemen Pemerintahan terlihat melalui fungsi-fungsi manajemen:
1. Perencanaan pemerintahan.
2. Pengorganisasian sumber-sumber pemerintahan.
3. Penggunaan sumber-sumber pemerintahan.
4. Kontrol pemerintahan.
Diuraikan dalam buku ini bahwa manajemen pemerintahan erat hubungannya dengan manajemen daerah. Posisi daerah sebagai subsistem politik menghubungkan daerah dengan negara yang mana telah disepakati bahwa dalam bahasa perundang-undangan yang dimaksud dengan daerah adalah masyarakat hukum dan yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah pusat. Jadi konsep pemerintah dalam pemerintah daerah berbeda dengan konsep pemerintah dalam pemerintah pusat. Yang pertama mewakili dan bertindak atas nama yang-diperintah, sedangkan yang disebut kemudian mewakili dan bertindak atas nama pemerintah.
Dijelaskan juga dalam buku ini bahwa terdapat persamaan atau kesejajaran Manajemen Pemerintahan dengan Manajemen bisnis. Dalam hal ini metodologi bisnis menjadi kerapkali digunakan untuk memahami gejala pemerintahan, penerapan konsep dan teori manajemen. Disini, pemerintahan menjadi sebuah proses penetapan janji, pemenuhan kewajiban dan penunaian tugas (pemerintah) sehingga orang (yang-diperintah) percaya (kepercayaan: trust) kepada pemerintah. Jadi dijelaskan bahwa manajemen pemerintahan adalah manajemen prestasi. Manajemen prestasi adalah manajemen yang berhasil membangun trust bahkan di atas ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
Buku ini menguraikan juga mengenai manajemen kinerja: kontrol pemerintahan. Berdasarkan teori tentang pertanggungjawaban pemerintahan, dapat dikonstruksi pengertian kinerja pemerintahan. Dari sudut accountability, kinerja adalah pelaksanaan tugas atau perintah (task accoplishement), dari segi obligation, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji (penepatan janji), dan dari segi cause, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa) yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala risiko (konsekuensinya). Berbicara tentang kontrol. Dalam buku ini menjelaskan bahwa kontrol sebagai proses, yang mana proses berlangsung di bawah empat prinsip kontol yang juga adalah prinsip organisasi. Keempat prinsip itu adalah;
1. koordinasi sebagai hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu situasi;
2. koordinasi dengan kontak langsung antarmanusia yang berkepentingan;
3. koordinasi pada tahap awal setiap kegiatan; dan
4. koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus-menerus
Kontrol dilakukan dalam berbagai bentuk atau teknik. Dilihat dari aspek ini, ada beberapa macam metode dan teknik kontrol, misalnya:
1. Uang (financial control).
2. Kinerja SDM organisasional (performance appraisal).
3. Program (networking).
Bagian-bagian yang termasuk dari kontrol pemerintahan diuraikan dalam buku ini yaitu pembuatan kendali, pengendalian, pengawasan, pemantauan, evaluasi, audit, supervisi, kontrol fungsional, kontrol sosial, built-in-control, performance appraisal, dan evaluasi kinerja pemerintahan. Pembuatan kendali adalah proses pembuatan dan penetapan tolak ukur (standar) dan tolak ukur (bandingan, ratio) organisasi. Kedua-duanya diperlukan untuk input, throughput, output dan outcome. Pengawasan adalah budaya prometheanistik, lawan budaya epimetheanistik. Pemantauan atau monitoring adalah proses perekaman dan pelaporan fakta untuk kemudian diolah dengan teknik-teknik analisis data menjadi informasi. Sedangkan evaluasi adalah proses pembandingan antara standar dengan fakta dan analisis hasilnya.
Audit adalah sebuah pemeriksaan resmi dan verifikasi akun dan catatan. Ada dua macam audit yaitu internal audit dan external audit. Sasaran internal audit adalah sistem finansial organisasi, sedangkan sasaran external audit adalah pertanggungjawaban (keuangan) organisasi. Dan pengertian supervisi adalah kontrol atasan terhadap bawahan. Sedangkan kontrol fungsional adalah kontrol yang dilakukan oleh badan-badang yang mempunyai fungsi kontrol.
Dalam buku ini diuraikan definisi kontrol sosial (social control) yang dikemukakan oleh Roucek yaitu sebagai istilah kolektif untuk proses-proses, yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang mana individu diajarkan, dibujuk atau dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan penggunaan dan kehidupan nilai-nilai dari sebuah kelompok. Dan pengertian dari built-in-control adalah kontrol yang tertanam di dalam suatu organisasi seperti halnya warning system di dalam tubuh manusia.
Buku ini juga menguraikan mengenai evaluasi kinerja pemerintahan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa Manajemen Pemerintahan harus dititiberatkan pada evaluasi kinerja dalam arti outcomes, dan tidak pada kualitas pelayanan semata. Adapun indikatornya tidak hanya kualitas pelayanan tetapi lebih luas lagi, meliputi:
1. Kuantitas yang cukup memadai bagi setiap orang.
2. Pelayanan (perilaku pelayanan) yang adil dan prima.
3. Harga (tarif) yang terjangkau konsumer dalam hal public service, dan proses atau prosedur yang termudah buat konsumer dalam hal civil service.
4. Pangsa atau kelompok sasaran yang tepat.
5. Kualitas, yaitu produk yang diterima yang sesuai dengan harapan  konsumen yang bersangkutan .
6. Pertanggungjawaban (pemberdayaan konsumer oleh produser dalam hal ini pemerintah, agar konsumer dalam hal ini yang-diperintah memiliki budaya konsumeristik, budaya pemanfaatan, dan budaya pemeliharaan produk, asas caveat venditor.
7. Kepercayaan (trust) konsumer terhadap pemerintahan.
8. Dari kepercayaan tumbuh pengharapan akan masa depan: perubahan, perbaikan dan sebagainya.
Evaluasi kinerja itu sendiri pada dasarnya bertujuan:
1. Untuk meninjau kinerja masa lalu.
2. Untuk menilai kebutuhan pelatihan.
3. Untuk membantu mengembangkan individu.
4. Untuk mengaudit keterampilan dalam organisasi.
5. Untuk menetapkan target untuk kinerja masa depan.
6. Untuk mengidentifikasi potensi untuk promosi
Buku ini juga menguraikan mengenai kekepalaan, kepemimpinan, dan manajemen pemerintahan. Dalam pengertiannya dijelaskan bahwa kekepalaan adalah kekuasaan-sah (kewenangan) seseorang untuk mencapai suatu tujuan melalui atau dengan menggunakan (mengubah atau memantapkan perilaku, bahkan jika perlu, mengorbankan) orang lain (organisasi). Sedangkan kepemimpinan adalah gejala sosial. Dalam pengertiannya yang disebut dengan kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang (suatu pihak) untuk mempengaruhi orang lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu sehingga perilaku orang lain itu berubah atau tetap, menjadi integratif. Diuraikan dalam buku ini bahwa seorang pemimpin dapat memiliki otoritas jika ia ditarik menjadi kepala unit kerja tertentu. Pemimpin yang memiliki sumber daya seperti itu disebut pemimpin formal. Kepemimpinanya disebut kepemimpinan formal. Pemimpin lain yang tidak memilikinya disebut pemimpin informal. Sedangkan kepala yang terbukti memiliki kepemimpinan disebut kepala yang berkepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dapat juga disebut gaya kekepalaan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa kepemimpinan transaksional merupakan bagian dari sebuah gaya kepimpinan. Secara definisi kepemimpinan transaksional adalah jika hubungan antara pimpinan dengan yang-dipimpin didasarkan pada pertukaran kepentingan (exchange) masing-masing (saling membutuhkan menuju saling menguntungkan). Sedangkan jika hubungan yang terjadi berlandaskan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama dan untuk itu diperlukan perubahan sosial bersama, kepemimpinan yang terjadi adalah kepemimpinan transformasional.
 Kepimpinan yang berspekta luas adalah kepemimpinan multibudaya, hal ini dikarenakan berhubungan dengan setiap bidang dan sektor kehidupan: politik, pemerintahan, manajemen, ekonomi, bisnis dan lain sebagainya. Memerlukan kepemimpinan, baik kepemimpinan formal maupun kepemimpinan informal, masing-masing dalam bargaining position yang kuat. Supaya setiap sektor tidak berjalan sendiri-sendiri, diperlukan pemimpin yang tidak saja mampu memandang seluruh sektor secara menyeluruh (komprehensif), tetapi juga mampu berdiri di atas semua kepentingan sektor dan kepentingan organisasi ke masa depan. Kebutuhan inilah sumber kepemimpinan multibudaya
Dijelaskan dalam buku ini bahwa kepemimpinan masa depan bertolak dari fakta, yaitu perbedaan, dalam hal ini perbedaan budaya. Oleh karenanya diperlukan pemimpin yang bisa membuat perbedaan bisa diciptakan menjadi persatuan. Kepimpinan yang dimaksud ini disebut sebagai kepemimpinan lintas budaya.
Buku ini menguraikan juga mengenai organisasi pemerintahan. Istilah organisasi berasal dari bahasa Inggris organization (Latin, organizare, kemudian Inggris organize, berarti membentuk suatu kebulatan dari bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lain). Jadi organisasi dapat dipandang sebagai produk kegiatan organizing. Buku ini menguraikan bagaimana dengan organisasi pemerintahan apakah juga organisasi pemerintahan sama seperti organisasi pada umumnya. Organisasi bisnis yang semata-mata bergantung pada mekanisme pasar (bebas), segera bangkrut begitu produknya tidak laku ditawarkan di pasar. Siklus hidupnya pendek. Tidak demikian halnya dengan organsiasi pemerintahan. Organisasi pemerintahan sebagai organisasi kekuasaan, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, merekayasa, dan mengubah lingkungan dengan menggunakan kewenangan, kekuatan, paksaan dan kekerasan, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, merekayasa, dan mengubah lingkungan dengan menggunakan kewenangan, kekuatan, paksaan, dan kekerasan yang sah.
Dalam buku ini diuraikan bahwa organisasi pemerintahan memiliki struktur organisasi yang terbagi dalam dua macam struktur yaitu struktur formal dan struktur informal. Struktur ini untuk menunjukkan bagaimana hal (dalam hal ini sumber daya, dan dalam hal organisasi pemerintahan, sumber daya yang bernama kekuasaan) dihubungkan atau berhubungan satu dengan yang lain menjadi sebuah satuan organisasional. Oleh karenanya dalam buku ini dijelaskan bahwa bagi organisasi pemerintahan, perancangan struktur itu perlu guna meningkatkan atau mencapai efektifitas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan juga demi keadilan (di Indonesia disebut keadilan sosial).
Dijelaskan dalam buku ini bahwa struktur diukur pada dimensi atau indikatornya. Ada beberapa pendapat tentang dimensi struktur. Dimensi struktur diuraikan oleh Donnelly, Gibson dan Ivancevich dalam Fundamentals of Management (1981, 128), yaitu complexity: semakin kompleks struktur organisasi semakin besar kemungkinan terjadinya ketidak-serasian antara atasan dengan bawahan, atau antara pemilik perusahaan dengan para pekerja. Dan dalam struktur organisasi ini ada yang dinamakan sebagai power-control. Yang dimaksud dari power-control adalah pengaruh kekuasaan terhadap struktur organisasi dan bagaimana kekuasaan mengontrol organisasi dan lingkungannya.
Kembali pada anggapan dasar tentang organisasi. Buku ini menjelaskan bahwa organisasi: organisasi lahir dan mati, sehat dan sakit, seperti halnya manusia. Penyembuhan penyakit, baik, tetapi mencegah penyakit lebih baik. Manusia menempuh pemeriksaan secara teratur; organisasi harus demikian juga. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan hal-hal pencegahan dan penanganan seperti itu, pada manajemen organisasi diperlukan tiga bahan belajar dan satu paket yang terdiri dari tiga macam keahlian, yaitu Analisis Organisasi, Konseling Organisasi, dan Desain Organisasi disingkat AKONDOR. Salah satu fungsi AKONDOR adalah perancangan pengembangan organisasi. Gary Dessler dalam Organization Theory (1992, 452) mengemukakan bahwa pada hakikatnya pengembangan organisasi dilakukan melalui pengubahan manusia (changing people). Dalam hubungan itu yaitu behavior science yang memegang peranan penting.
Buku ini juga menguraikan mengenai koordinasi pemerintahan. Koordinasi dapat didefinisikan sebagai proses penyepakatan bersama secara mengikat berbagai kegiatan atau unsur yang berbeda-beda sedemikian rupa sehingga di sisi yang satu semua kegiatan atau unsur itu terarah pada pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan dan di sisi lain, keberhasilan kegiatan yang satu tidak merusak keberhasilan kegiatan yang lain. Dalam pengertiannya, koordinasi pemerintahan dapat didefinisikan sebagai proses kesepakatan bersama secara mengikat berbagai kegiatan atau unsur (yang terlibat dalam proses) pemerintahan (plat merah, plat kuning, dan plat hitam) yang berbeda-beda pada dimensi waktu, tempat, komponen, fungsi, dan kepentingan, antarpemerintah dengan yang-diperintah, sehingga di satu sisi semua kegiatan kedua belah pihak terarah pada tujuan pemerintahan yang telah ditetapkan bersama, dan di sisi lain keberhasilan pihak yang satu tidak dirusak oleh keberhasilan pihak yang lain.
Adapun tujuan berkoodinasi pertama, menciptakan dan memelihara efektivitas organisasi setinggi mungkin melalui sinkronisasi, penyerasian, kebersamaan, dan kesinambungan, antarberbagai kegiatan dependen suatu organisasi. Kedua, mencegah konflik dan menciptakan efisiensi setinggi-tingginya setiap kegiatan interdependen yang berbeda-beda melalui kesepakatan-kesepakatan yang mengikat semua pihak yang bersangkutan. Ketiga, menciptakan dan memelihara iklim dan sikap saling responsif-antisipatif di kalangan unit kerja interdependen dan independen yang berbeda-beda, agar keberhasilan unit kerja yang satu tidak dirusak oleh keberhasilan unit kerja yang lain, melalui jaringan informasi dan komunikasi efektif.
Adapun diidentifikasi beberapa bentuk koordinasi, seperti:
1. Koordinasi waktu. Koordinasi waktu atau sinkronisasi merupakan proses untuk menentukan, mana kegiatan yang dapat berjalan serentak dan mana yang harus berurutan. Koordinasi ini dilakukan terhadap kegiatan antarunit kerja yang berhubungan dependen, kausal, dan sebangsanya.
2. Koordinasi ruang. Koordinasi ruang dapat disebut juga koordinasi wilayah. Koordinasi ini ditempuh jika suatu kegiatan melalui berbagai daerah kerja.
3. Koordinasi interinstitusional, yaitu koordinasi antarberbagai unit kerja yang berkepentingan atas suatu projek seba guna atau produk bersama tertentu.
4. Koordinasi fungsional, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh unit kerja yang satu terhadap unti kerja yang lain yang kegiatannya secara objektif berhubungan fungsional.
5. Koordinasi struktural, yaitu koordinasi antarunit kerja yang berada di bawah struktur tertentu, tanpa melalui superordinasi.
6. Koordinasi perencanaan, oleh James G. March dan Herbert A. Simon (1958) disebut coordination by plan, guna mengantisipasi terjadinya gejala kehancuran keberhasilan unit kerja yang satu oleh keberhasilan unit kerja yang lain.
7. Koordinasi masukan-balik, oleh March dan Simon disebut coordination by feedback, yaitu koordinasi hasil kontrol terhadap setiap kegiatan unit kerja, agar dapat dilakukan adjustment, improvement, koreksi, dan sebagainya.
Buku ini menguraikan juga mengenai teologi pemerintahan. Teologi adalah suatu studi atau ilmu yang mempelajari pernyataan-pernyataan dan kenyataan-kenyataan Tuhan menurut metodologi ilmu pengetahuan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa setiap orang memerlukan pegangan, baik dalam berpikir maupun dalam bertindak dan bersikap (sistem nilai, norma, pola, aturan, tradisi, kebiasaan, prinsip, harapan dan sebangsanya). Teologi menunjukkan bahwa pegangan yang sesungguhnya bagi manusia tidak immanent melainkan transcendent, hal ini maksudnya ialah manusia berpegang pada sesuatu yang bukan dimilikinya, melainkan yang memilikinya, sesuatu yang lain dari dirinya dan yang lebih ketimbang dia. Sesuatu itu adalah Theos, Tuhan.
Diuraikan dalam buku ini bahwa pengalaman teologik bersangkut paut dengan kesadaran teologik. Pengalaman teologik tentang hidup meluas menjadi (ke dalam) kesadaran teologik yang bersifat universal. Kenyataan teologik juga menunjukkan realitas Tuhan, sedangkan penyataan-penyataan teologik melukiskan hal-hal yang dapat dialami dan diketahui tentang kenyataan teologik. Dengan rumusan lain: melalui penyataan-penyataan teologik, Tuhan berkenan menyatakan diri-Nya kepada manusia berdosa. Dan dari pengalaman dan kesadaran teologik yang terbatas orang menarik kesimpulan akan adanya sesuatu yang tak terbatas: Tuhan. Dari pengalaman hidup orang mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu mahakuasa ada-Nya dan mahakasih hakikat-Nya. Sebab itu orang percaya.
Pernyataan dan kenyataan Tuhan yang khas dan spesifik juga menyentuh pemerintah. Futurologi tentang masa depan berpegang pada kesadaran dan kepercayaan teologik. Di dalam suasana teologik pemerintahan, futurologi ini hanyalah sebuah perspektif. Terhadap penyataan dan kenyataan teologik, manusia dalam hal ini pemerintahan, atau lebih luas lagi, bangsa Indonesia, memberikan respons positif melalui penempatan dirinya di dalam situasi teologik. Sentuhan antara penyataan dan kenyataan Tuhan dengan respons pemerintahan tersebut menimbulkan gejala teologik di dalam lingkungan pemerintahan. Maka Teologik Pemerintahan dapat diartikan sebagai produk penggunaan Teologi untuk mempelajari gejala-gejala pemerintahan. Teologi pemerintahan dapat juga disebut sebagai Teologi (tentang) Ilmu Pemerintahan, yang produknya adalah Ilmu Pemerintahan yang bersifat Teologik.
Buku ini menguraikan juga mengenai Etika Pemerintahan. Dalam buku ini dianut pendapat bahwa moral berdimensi sosial (norma baik-buruk di dalam dan menurut masyarakat) sedangkan etika berdimensi human conscience, hati nurani pribadi seseorang.
Telah dikemukakan bahwa pemerintahan terjadi dalam hubungan antara pemerintahan dengan yang-diperintah yang disebut hubungan pemerintahan. Setiap isu pemerintahan tidak hanya dikaji dari sudut pemerintah tetapi juga dari sudut yang-diperintah. Dalam hal ini sentuhan antara pemerintahan dengan etika dengan masuknya pertimbangan etik melalui diri pejabat yang berkompeten mengambil keputusan jauh lebih besar yakni hati nurani pribadi seseorang.  Langkah ini membawa kesempatan yang luas bagi masuknya pertimbangan etika di kalangan yang-diperintah, yaitu kesadaran akan keutamaan kepentingan keseluruhan (bangsa) ketimbang kepentingan golongan.
Etika pemerintahan dan teologi pemerintahan, kedua hibrida ini dalam praktik saling bersentuhan. Persentuhan antara keduanya terjadi pada level makro atau teoretik dan pada level mikro atau praktik. Pada level makro atau teoretik keduanya bersentuhan pada ajaran tentang negara-agama dan agama-negara. Pada level mikro atau praktik keduanya bersentuhan pada ungkapan bahwa jabatan itu adalah anugerah Tuhan: legitimasi teologikal.
Dalam buku ini juga diuraikan mengenai Budaya Pemerintahan. Budaya Pemerintahan terbentuk menurut proses alamiah, terbentuk dan terlihat sebagaimana adanya, tanpa diintervensi oleh rekayasa manusia atau program organisasi. Budaya Pemerintahan dapat dibentuk menurut proses, fungsi, dan siklus manajemen. Seperti diketahui, bahwa budaya pemerintah adalah budaya kekuasaan. Sistem nilainya adalah sistem nilai kekepalan. Kekuasaan pemerintah adalah kekuasaan yang sah (legitimate).
Budaya pemerintahan terbentuk melalui interaksi antara pemerintah dengan yang-diperintah, di bawah pengaruh tujuan dan lingkungan, masing-masing atau bersama. Budaya pemerintahan menunjukkan bagaimana yang-diperintah menilai dan bertindak terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku dan menyatakannya dengan menggunakan cara-cara atau simbol-simbol, berulang-ulang, sehingga nilai tersebut dapat diamati atau dirasakan juga oleh orang lain atau lingkungan.
Interaksi/transaksi antara pemerintah dengan yang-diperintah, yang dalam hal ini ditunjukkan oleh hubungan antara pusat dengan daerah, ditentukan oleh tingkat keselarasan, keserasian, dan keseimbangan tujuan kedua belah pihak setinggi yang dapat diperoleh melalui bargaining position tertentu antara pusat dengan daerah; semakin tinggi, semakin baik.
Dan dalam Budaya Pemerintahan ini juga diuraikan mengenai nilai sistem pemerintahan. Nilai adalah manfaat, guna atau arti. Nilai sistem pemerintahan bergantung pada kondisi sistem pemerintahan di atas dan persepsi yang-diperintah terhadap kondisi itu. Sumber dari nilai dalam hal ini adalah manusia. Diantara tiga macam nilai yaitu nilai intrinsik, nilai ekstrinsik dan nilai ideal, nilai ekstrinsiklah yang paling dinamik, seiring dengan dinamika sosial pemerintahan. Manusia dengan aneka kepentingannya merupakan sumber nilai ekstrinsik. Dengan adanya kepentingan dan kebutuhan manusia berubah. Oleh karena itu, nilai bisa berubah.
Perubahan nilai tidak dengan sendirinya menghasilkan perubahan budaya yaitu Vehicle. Melainkan Vehicle memegang peranan penting yang berfungsi sebagai:
1. Cara atau alat untuk menyatakan nilai supaya dapat diamati atau dirasakan oleh orang lain.
2. Sebagai tempat penyimpanan nilai.
3. Sebagai transporter nilai.
4. Sebagai definiens nilai.
5. Sebagai bag, lengkapnya bag of virtues. Setiap nilai dianggap sebagai virtue

Sumber vehicles adalah organisasi pemerintahan. Dan salah satu nilai pemerintahan misalnya adalah kehadiran melakukan tugas pelayanan di tengah-tengah masyarakat. Maka supaya kuat atau efektif, sebuah vehicle harus memenuhi tiga syarat yaitu, pertama vehicle harus jelas (definitif, clear, jernih), kedua, vehicle harus serasi dengan nilai yang menjadi muatannya, dan ketiga, harus digunakan sesering mungkin (berulang-ulang) sehingga menjadi pola perilaku.

Dalam buku ini juga menguraikan mengenai Sosiologi Pemerintahan. Sosiologi erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Manusia adalah mahluk sosial. Ia adalah pelaku proses sosial. Dilihat dari sudut pelaku, mendekati yang satu dapat berarti menjauhi yang lain. Proses sosial merupakan serangkaian kejadian, keadaan, atau peristiwa. Kejadian, keadaan atau peristiwa tersebut dapat diamati melalui kenampakannya. Yang tampak dan dapat diamati pada, atau dialami melalui, sesuatu hal (kejadian, keadaan, peristiwa) disebut gejala atau fenomena.
Dalam hal ini telah dijelaskan mengenai Gejala Pemerintahan yang merupakan bagian dari Sosiologi Pemerintahan. Gejala Pemerintahan adalah gejala sosial khusus (spesifik). Identifikasi gejala pemerintahan berawal dari definisi pemerintahan dan Ilmu Pemerintahan. Pemerintahan sendiri dikatakan sebagai proses pemenuhan (penyediaan) kebutuhan pihak yang-diperintah akan jasa publik yang tidak diprivatisasikan dan layanan civil kepada setiap orang pada saat diperlukan. Pemerintahan selalu menyangkut dua belah pihak, pemerintah (dengan kekuasaannya) dengan yang-diperintah (dengan tuntutannya). Hal-hal yang dapat diamati atau dialami berkaitan dengan kegiatan, kejadian, peristiwa, dan keadaan yang dimaksud, dianggap sebagai gejala pemerintahan.
Jadi yang dimaksud dengan Sosiologi Pemerintahan adalah kajian tentang pemenuhan kebutuhan rakyat akan jasa publik yang tidak diprivatisasikan dan layanan civil dilihat dari sudut proses sosial, institusi sosial, perilaku sosial, dan sistem nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Sementara Sosio-Kybernologi didefinisikan sebagai produk kajian bersama antara Sosiologi dengan Kybernologi terhadap suatu gejala sosial (pendekatan multidisiplin).
Dalam buku ini juga diuraikan mengenai Seni Pemerintahan. Seni adalah bentuk simbolik (symbolic form) ekspresi diri manusia, baik sebagai alam (nature), maupun sebagai ide (cita-cita, yang paling, yang maha, yang ter, yang lain, yang lebih, yang beda, yang unik, yang langka.
Seni memiliki beberapa fungsi: (1) sebagai ekspresi pribadi pelaku Seni, (2) sebagai representasi nilai (pribadi atau kelompok), (3) sebagai vehicle bagi suatu nilai, dan (4) sebagai komoditi pasar, dalam lingkungan yang berbeda-beda dan berubah-ubang. Dalam hubungan itu, nilai dasar seni adalah kebebasan kreatif untuk memilih atau menciptakan suatu yang berbeda, yang lain, dan yang lebih. Sedangkan Pemerintahan didefinisikan sebagai proses pengakuan, perlindungan dan pemenuhan tuntutan yang-diperintah (rakyat) akan jasa publik dan layanan civil pada saat dibutuhkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Seni Pemerintahan adalah . kemahiran pemerintah dalam mengeksplorasi, mengekspresikan, merepresentasikan, atau mengomunikasikan suatu sistem nilai pemerintahan kepada yang-diperintah, dengan menggunakan cara yang unik, khas, istimewa, yang lain atau lebih daripada yang lain, dalam lingkungan yang berbeda atau yang berubah, berdasarkan asas kebebasan kreatif dan total, untuk mencapai legitimacy pemerintahan dan trust dari yang-diperintah.
Selanjutnya pada buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 menguraikan mengenai Filsafat Pemerintahan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan lagi nilai-nilai ilmu penegtahuan ialah pengenalan terhadap buah pikiran yang dipelajari mulai dari sumbernya, dalam hal ini Ilmu Pemerintahan atau Kybernology, yaitu filsafatnya sendiri.
Filsafat berasal dari bahasa Inggris philosophy, dari Latin philosophia (philos, loving, dan Sophos, wisdom). Dari segi leksikografik, filsafat mempunyai beberapa arti yaitu (1) penyelidikan rasional dari kebenaran dan prinsip-prinsip manusia, pengetahuan atau perilaku, dan (2) studi kritis tentang prinsip-prinsip dasar dan konsep dari cabang pengetahuan: filsafat ilmu. Jika dikaitkan dengan pemerintahan, dari pengertian itu muncullah tiga pengertian ensiklopedik, yaitu Filsafat, Filsafat Pemerintahan dan Filsafat Ilmu Pemerintahan.
Filsafat Pemerintahan dijelaskan dalam buku ini berisi metafisika, filsafat tentang manusia, filsafat kependudukan, filsafat tentang masyarakat, filsafat tentang manusia, filsafat kependudukan, filsafat tentang masyarakat, filsafat tentang bangsa, filsafat tentang negara, kemudian filsafat tentang pemerintahan. Jika pemerintahan dipandang sebagai bagian integral kegiatan politik, dan Ilmu Pemerintahan dianggap sebagai bagian Ilmu Politik dalam arti luas, maka Filsafat Pemerintahan dapat dipelajari sebagai bagian filsafat politik.
Filsafat Pemerintahan dapat dipahami dan dikonstruksikan melalui metodologi pemikiran seorang pemakar politik Walter Lippmann yang mana metodologi Lipmann bermula dari pemikiran, jadi dari sang pemikir. Pemikiran berarti proses penemuan: suatu yang belum diketahui, masih di belakang cakrawala (horizon), melalui pemikiran, ditemukan dan diketahui. Dari penemuan ini menciptakan cakrawala dan horizon baru, demikian seterusnya: Metafisika, dunia di kejauhan, dunia beyond dunia empiric. Tetapi Metafisika pemerintahan, dapat juga dilihat sebagai sebuah mystery tentang kekuasaan yang objektif. Pada level empirik, kedua hal itu menunjukkan gejala-gejala pemerintahan yang diartikan sebagai sebuah proses pemenuhan tuntutan pihak yang-diperintah akan jasa-publik dan layanan-civil yang semakin baik, semakin mudah, semakin adil, dan semakin murah, pada saat diperlukan.
Dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Hukum Pemerintahan. Pemerintahan dalam Hukum Pemerintahan menurut Kybernology berbeda dengan pemerintahan dalam Hukum Pemerintahan menurut para ahli seperti Kuntjoro, Utrecth, dan lain-lain yang menggunakan pendekatan formal-normatif. Kuntjoro misalnya mendefinisikan pemerintah terlebih dahulu sebagai sebuah lembaga, dan fungsi lembaga itulah yang disebut Pemerintah. Kybernology sebaliknya menggunakan pendekatan empirik. Pemerintahan didefinisikan terlebih dahulu sebagai suatu kegiatan atau proses, yaitu proses penyediaan dan distribusi layanan-publik-yang-tidak-diprivatisasikan dan layanan civil kepada setiap orang pada saat dibutuhkan; pelaku kegiatan itulah yang disebut pemerintah. Oleh karena itu, Hukum Pemerintahan dijelaskan (seharusnya) mengatur hubungan antara pemerintah dengan yang-diperintah.
Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Setiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu kewajiban dan hak bertimbal balik. Artinya hak bagi satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, demikian sebaliknya. Dalam hubungan pemerintahan, secara teoritik, pada saat pemerintah berkewajiban, yang-diperintah berhak, dan sebaliknya, pada saat pemerintah berhak, yang-diperintah berkewajiban.
Selanjutnya dijelaskan dalam buku ini bahwa hubungan antara bangsa dengan negara sejajar dengan hubungan antara manusia dengan pemerintah. Oleh karena itu, Hukum Pemerintah disini dijelaskan bertugas mengatur hubungan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, terutama perlindungan dan penjaminan terhadap kemajemukan dan perbedaan antaranasir pembentuk kesebangsaan.
Buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Psikologi Pemerintahan. Psikologi adalah ilmu yang relative telah mapan. Definisinya tidak lagi dipersoalkan. Leksikografi menggambarkan bahwa psychology adalah ilmu pikiran atau keadaan mental dan proses. A. Gazali dalam Ilmu Jiwa (1966) mendefinisikan Ilmu Jiwa sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari penghayatan dan tingkah laku manusia. Penghayatan disini diartikan sebagai sekumpulan gejala kejiwaam (pengamatan, tanggapan, kenangan, perasaan) yang bersangkut paut sesamanya dan saling berkaitan.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa jika pemerintahan dipandang sebagai gejala keorganisasian, maka metodologi Perilaku Keorganisasian (Organizational Behavior) dapat menjadi salah satu metodologi pembentukan Psikologi Pemerintahan. Untuk dapat mengidentifikasi paradigma Psikologi Pemerintahan dapat dilihat melalui Human Needs and Instincts: Basic Platform. Dan pokok bahasan Psikologi Pemerintahan ini meliputi kekuasaan yang merupakan gejala sosial, perubahan, ketakberdayaan, konflik, perundingan dan tawar-menawar, kerja, dan pelayanan.
Buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Ekologi Pemerintahan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa perebutan alat-alat pendukung kehidupan yang bersifat langka (dan selanjutnya perebutan Lebensraum) di satu sisi menimbulkan konflik sosial di dalam masyarakat, dan di sisi lain membentuk pola perilaku manusia yang membawa dampak negatif terhadap lingkungannya. Dalam hal ini diperlukan Ilmu Pemerintahan yang peduli dengan lingkungannya. Dari produk kepedulian ini mendorong upaya pembentukan hibrida lain yang disebut (Ilmu) Pemerintahan Ekologik. Dengan demikian, Ekologi pemerintahan ini dapat didefinisikan sebagai (cabang) Ilmu Pemerintahan yang mempelajari pengaruh lingkungan ruang-waktu terhadap pemerintahan, baik sebagaimana adanya maupun sebagaimana diharapkan.
Selanjutnya buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Komunikasi Pemerintahan. Komunikasi Pemerintahan merupakan proses timbal-balik penyampaian informasi dan pesan antara pemerintah dengan yang-diperintah, pihak yang satu menggunakan frame of reference pihak yang lain, pada posisi dan peran tertentu, sehingga perilaku dan sikap pihak yang lain terbentuk, berubah atau terpelihara, berdasarkan kesaling-mengertian dan kesaling-percayaan antara kedua belah pihak.
Politik Pemerintahan juga menjadi pembahasan yang diuraikan dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 ini. Yang dimaksud dengan Politik Pemerintahan adalah proses pembentukan kekuasaan (authority) pemerintahan melalui interaksi dan kompromi dengan lingkungan, menggunakan dan mempertanggungjawabkan penggunaannya kepada konsumer tidak dengan menggunakan kekuasaan itu sendiri, tetapi melalui proses dan siklus pemerintahan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa pokok bahasan Politik Pemerintahan di lingkungan budaya tertentu berkisar pada lima isu utama yaitu:
1. Konstruksi konsep Politik Pemerintahan.
2. Pembentukan kekuasaan pemerintahan.
3. Penggunaan kekuasaan pemerintahan.
4. Pertanggungjawaban penggunaan kekuasaan pemerintahan.
5. Dinamika kekuasaan pemerintahan.
Dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Kebijakan Pemerintahan. Yang dimaksud dengan kebijakan dalam Kybernology dan dalam konsep Kebijakan Pemerintahan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan di atas yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Kebijakan Pemerintahan dapat didefinisikan sebagai pilihan terbaik usaha untuk memproses nilai pemerintahan yang bersumber pada kearifan pemerintahan dan mengikat secara formal, etik, dan moral, diarahkan guna menepati pertanggungjawaban aktor pemerintahan di dalam lingkungan pemerintahan.
Selanjutnya diuraikan juga dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 mengenai Administrasi Pemerintahan. Yang dimaksud dengan Administrasi Pemerintahan adalah proses penjagaan (keeping dan caring) dan penyampaian (forwarding dan delivering) produk pemerintahan tertentu kepada konsumer dan memberdayakan konsumer untuk menggunakan produk tersebut dengan cara dan alat yang sesuai dengan kondisi konsumer sesegera mungkin sedemikian rupa sehingga konsumer menerimanya utuh dan sadar, dan memperoleh manfaatnya sebesar-besarnya.
 Dan dalam Administrasi Pemerintahan ini ada beberapa kata kunci yang memerlukan pemahaman baru yaitu pertama, konsep pelayanan yang dioerientasikan kembali dalam makna mulai, yaitu pelayanan ke-Tuhanan terhadap sesama manusia. Dalam hal ini, fungsi teologikal diterapkan. Kedua, tentang sasaran pelayanan. Sasaran pelayanan diidentifikasi secara umum dan khusus. Dari sudut pemerintah sasaran pelayanan pemerintahan adalah masyarakat (jasa-publik) dan individu manusia (layanan-civil). Sedangkan dari segi objektif pelayanan diidentifikasi menurut kelompok sasaran yang dikondisikan menurut kondisi khusus masing-masing sesuai kebutuhan yang diraakan atau menurut peritimbangan pemerintah. Ketiga, tentang cara pelayanan. Pelayanan dilakukan secara enthusiastic sebagai suatu kesaksian akan kehadiran Allah yang omnipresence dan itu kini, dan di sini, menjalankan misi pemerintahan, dan mengkondisikan sesuatu ramalan yang dapat atau akan terjadi yang terdapat di dalam suatu kebijakan.
Buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Birokrasi Pemerintahan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa birokrasi terdapat di semua bidang kehidupan dan diperlukan oleh setiap organisasi formal. Birokrasi yang terdapat di dalam organisasi formal yang memproses public goods disebut Birokrasi Publik. Hal ini sesuai dengan definisi pemerintahan yang merupakan proses penyediaan jasa-publik dan layanan-civil bagi masyarakat dan bagi setiap orang. Birokrasi Pemerintahan didefinisikan sebagai struktur pemerintahan yang berfungsi memproduksi jasa-publik atau layanan-civil tertentu berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai pilihan dari lingkungan.
Ekonomi Pemerintahan juga diuraikan dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Ekonomi terhitung tetangga dari Kybernology. Sebagai dua disiplin yang bertetangga, antara keduanya terjadi interaksi. Dari interaksi itu terbit dua kelompok pustaka. Kelompok yang satu mempelajari hubungan antara keduanya dari Kybernology ke Ekonomi (pengaruh pemerintahan terhadap perekonomian), sedangkan kelompok yang lain mempelajarinya dari Ekonomi ke Kybernology. Interaksi antara keduanya ini berlangsung melalui pendekatan interdisiplin. Secara konseptual hubungan keduanya bersifat tidak langsung. Pemerintahan mempengaruhi perekonomian melalui Kebijakan Publik sedangkan hubungan antara Kebijakan dengan Ekonomi menjadi lapangan bagi studi Kebijakan Ekonomi.
Dengan demikian didefinisikan bahwa Ekonomi Pemerintahan adalah kajian tentang pertimbangan-pertimbangan (nilai-nilai) ekonomi yang digunakan dalam mengidentifikasi, mengelola, dan memproses public goods dari input yang ada, sehingga baik individu maupun masyarakat mengalami outcome sedemikian rupa, sehingga kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap pemerintahan tumbuh dan terpelihara.
Dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Teknologi Pemerintahan. Seperti halnya Teknologi, Pemerintahan adalah proses perubahan. Proses itu berkerja dalam lingkungan yang juga berubah. Tetapi berbeda dengan Teknologi yang baik cara, alat, maupun lingkungannya berubah atau mudah diubah, Pemerintahan memiliki komponen atau nilai yang sukar berubah atau sulit diubah, yaitu kekuasaan, kepentingan, monopoli, dan kenikmatan.
Teknologi Pemerintahan diartikan sebagai kajian tentang pembuatan dan penggunaan cara dan alat tertentu untuk memecahkan masalah-masalah pemerintahan tertentu guna meningkatkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai pemerintahan (dalam praktik). Dalam buku ini dijelaskan bahwa teknologi hadir dan diperlukan pada setiap matarantai siklus atau proses pemerintahan. Oleh karena itu, sistem Teknologi Pemerintahan sejalan dengan sistem pemerintahan. Dan Electronic Governance (e-Gov) menjadi perkembangan terakhir teknologi informasi di bidang pemerintahan.
Kemudian diuraikan juga dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 mengenai Demografi Pemerintahan. Dijelaskan dalam buku ini mengenai sejauh mana Demografi dan Ilmu Pemerintahan bisa berinteraksi satu dengan yang lain. Kybernology Demografik didefinisikan sebagai kajian pemerintahan tentang pelayanan-civil dan pelayanan-publik di bidang kependudukan dan Demografi Pemerintahan di definisikan sebagai kajian kependudukan tentang pelayanan-civil dan pelayanan publik (yang diselenggarakan atau dibimbing oleh Pemerintah.
Buku ini juga menguraikan mengenai Geografi Pemerintahan. Geografi pemerintahan adalah kajian tentang pengaruh variable spasial suatu wilayah terhadap proses pemerintahan yang berkaitan. Model hubungan antara variable spasial suatu wilayah dengan proses pemerintahan sejajar dengan model hubungan antara variable demografik dengan gejala pemerintahan yang menjadi concern Demografi Pemerintahan. Analisis Geografi Pemerintahan bisa lebih mendalam jika dikaitkan dengan nasionalisme ekonomi, otonomi daerah, dan hubungannya dengan demokrasi ekonomi, tidak hanya isu politik tetapi lebih sebagai isu pemerintahan.
Sejarah Pemerintahan juga diuraikan dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Sejarah Pemerintahan didefinisikan sebagai kajian tentang struktur, proses, dan siklus upaya menggali dan merekonstruksi peristiwa-peristiwa pemerintahan yang terjadi sebagai akibat (dampak, konsekuensi) suatu kebijakan, keputusan (ketetapan) atau tindakan pemerintahan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan-publik dan pelayanan-civil di masa lampau melalui penelahaan kritik (critical) sebagai bahan pembelajaran pemerintahan ke depan.
Buku ini juga menguraikan mengenai Bahasa Pemerintahan. Bahasa Pemerintahan adalah simbol, tanda atau ungkapan dalam bentuk kata, gerak, dan isyarat, sebagai alat dan cara mencipta, membentuk, menyatakan, dan mengkomunikasikan sistem nilai pemerintahan di dalam hubungan-pemerintahan dengan menggunakan FOR pihak yang-diperintah. Ilmu Bahasa Pemerintahan adalah studi tentang aspek-aspek linguistic Bahasa Pemerintahan seperti simbolisme, filologi, fonologi, morfologi, sintaksis, etimologi, dan terpenting semantik, sedemikian rupa, sehingga Bahasa Pemerintahan efektif. Bahasa Pemerintahan yang penting di anataranya dijelaskan sebagai berikut:
Bahasa Formal adalah bahasa yang disusun, ditulis, diperagakan, dan diucapkan berdasarkan kaidah-kaidah bahasa baku dan resmi. Bahasa nasional termasuk dalam kategori ini.
Bahasa Akademik adalah bahasa yang disusun, ditulis, diperagakan, dan diucapkan sesuai dengan kaidah-kaidah akademik yang berlaku pada lembaga akademik tertentu.
Bahasa Cacing adalah bahasa lapisan yang merasa tertindas atau kaum yang merasa sengsara.
Bahasa Ritual adalah bahasa istimewa yang mengandung nilai-nilai kepercayaan dan ajaran tertentu dalam kemasan simbol-simbol sakral atau telah dimistifikasi.
Bahasa Informatif disebut juga Bahasa Komunikasi adalah bahasa yang digunakan dalam proses interaksi antara pemerintah dengan yang-diperintah.
Bahasa Diplomatik adalah bahasa resmi dan lazim yang disusun, ditulis, diperagakan, dan diucapkan berdasarkan sesuai dengan kaidah-kaidah hubungan formal antarpihak yang bersangkutan, dibungkus dengan sopan-santun antarpihak yang budayanya berbeda.
Bahasa Retorik adalah “seni penggunaan bahasa sedemikian rupa sehingga pembaca atau pendengar mendapat kesan atau efek sebagaimana diinginkan oleh penulis atau pembicara.
Bahasa Ekspresif, Bahasa Seni (Sastera) adalah bahasa yang menunjukkan perasaan, emosi, persepsi, sikap, pandangan, dan pendirian pengguna bahasa tentang diri dan dunia, dalam berbagai bentuk, wujud atau simbol.
Bahasa Direktif disebut juga Bahsa Emotif adalah bahasa yang mengandung nilai-nilai pembentukan pola perilaku manusia.
Bahasa Tubuh adalah juga Bahasa Ekspresi (untuk mempergerakan nilai-nilai dari dalam diri) atau Bahasa Pelakonan (untuk melakoni perintah dari luar diri melalui Bahasa Direktif).
Buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2 juga menguraikan mengenai Metodologi Ilmu Pemerintahan. Metodologi Ilmu Pemerintahan merupakan metodologi penelitian yang digunakan di bidang Ilmu Pemerintahan. Penggunaan metodologi penelitian ini disesuaikan dengan sifat gejala-gejala pemerintahan yang menjadi sasaran kajiannya. Secara pengertian, metodologi penelitian adalah metodologi yang digunakan untuk program dan kegiatan penelitian.
Metodologi Ilmu Pemerintahan menunjukkan bahan baku body of knowledge yang disebut Ilmu Pemerintahan itu, dan bagaimana konstruksinya, sehingga ilmu yang bersangkutan tetap bertahan dan berfungsi internal dan eksternal dalam kondisi apa pun. Untuk mencapai hal itu, bahan bangunan dan cara mengkonstruksikannya di satu sisi haruslah sekuat mungkin, tetapi di sisi lain harus mau membaharui diri agar mampu berfungsi di dalam dunia yang sedang berubah dan berubah cepat.
Buku ini juga menguraikan mengenai Metodologi Penelitian Pemerintah. Metodologi Penelitian berfungsi sebagai alat atau cara untuk mengetahui hal-hal yang belum atau tidak diketahui, di satu pihak untuk merekam dan mengidentifikasi gejala-gejala, memahami, dan menerangkan hubungan-hubungan, meramalkan hal-hal yang dapat atau akan terjadi, dan di pihak lain untuk mengontrol dan mengembangkan dirinya.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa dalam Metodologi Penelitian Pemerintah telah dikemukakan bahwa pilihan utama untuk Ilmu Pemerintahan jatuh pada Metodologi Kualitatif. Metodologi kuantitatif untuk Ilmu Pemerintahan dapat digunakan dalam penelitian yang bertujuan:
1. Memprediksi (meramal) apa yang akan atau dapat terjadi di masa depan.
2. Memperhitungkan tingkat kelayakan suatu program atau proyek (studi kelayakan).
3. Membuat proyeksi perkembangan suatu program atau kegiatan.
4. Melakukan analisis dalam rangka mengevaluasi suatu usaha/kegiatan.
5. Menguji atau mengaplikasikan teori Ilmu Pemerintahan secara empirik.
6. Mengeksperimentasikan suatu produk atau gagasan.
7. Mengkonstruksikan konsep berdasarkan penelitian empirik.
Metodologi penelitian kualitatif digunakan untuk hal yang lebih luas, seperti:
1. Studi kasus-kasus pemerintahan.
2. Studi sejarah pemerintahan.
3. Studi budaya pemerintahan.
4. Studi evaluatif pemerintahan.
5. Studi tentang proses pemerintahan.
6. Studi tentang pemerintahan dan perubahan sosial.
7. Studi hubungan antarpribadi/kelompok dalam hubungan pemerintahan.
8. Studi eksploratif masalah-masalah pemerintahan.
9. Studi deskriptif objek-objek pemerintahan.
10. Studi tentang seni pemerintahan.
11. Studi tentang bahasa pemerintahan.

Dalam Metodologi Penelitian Pemerintah ini juga dijelaskan terkait masalah pemerintahan. Masalah pemerintahan ini menyangkut kemanusiaan, kejadian mendadak (tak terduga), tak terelakkan, kondisi konflik, kondisi dilematik, tidak terdapat dalam perjanjian, belum diatur dalam aturan formal, keadaan darurat (ancaman, bencana, nood-staatcrecht), kondisi yang memerlukan pengorbanan, dan memerlukan tindakan segera. Dari permasalahan ini adalah proses penemuan masalah.
Asas-asas Pemerintahan juga diuraikan dalam buku Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Asas-asas Pemerintahan dapat didefinisikan sebagai pola umum dan normatif perilaku pemerintahan yang bersumber dari sistem nilai pemerintahan dan semua pegangan pemerintahan yang secara objektif diperlukan guna memperlancar dan mengefektifkan hubungan interaksi antara pemerintah dengan yang-diperintah. Dalam hal ini, yang termasuk asas-asas pemerintahan yaitu asas memandang jauh ke depan, asas berpikir panjang, asas belajar dari sejarah, asas kepastian dalam perubahan, asas keserasian tujuan, asas profesionalisme, asas tanggung jawab, asas kepatutan, asas noblesse oblige, asas kebersamaan, asas tat twam asi, asas good governance, asas aktif (dan pasif), asas omnipresence (serba hadir), asas dengan sendirinya, asas sisa (residu), asas disrection, asas freis ermessen, asas ketebukaan, asas keutamaan, asas persatuan dalam perbedaan, dan asaskepercayaan dan pengharapan dalam kekecewaan.
Dan dalam Aplogianya, kybernologi ini didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi tuntutan masyarakat (yang-diperintah) akan layanan civil dan layanan publik pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan, dalam hubungan pemerintahan. Antara layanan civil dan layanan publik terdapat hubungan saling mempengaruhi. Pelayanan civil dibedakan dengan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah kewenangan negara dalam mengelola urusan publik yang dalam sistem demokratik (telah) disepakati bersama. Oleh karena itu pelayanan publik haruslah berdasarkan undang-undangan, dan tidak boleh hanya dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini, pusat perhatian Ilmu Pemerintahan (Kybernology) adalah jasa-publik yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan layanan-civil yang dirasakan adil oleh setiap orang.

BAB II
Joseph E. Stiglitz “Government Failure vs. Market Failure: Prinicples of Regulation” dalam “Government and Markets: Toward a New Theory of Regulation”
(Edited By Edward Balleisen and David Moss)

Buku “Government and Markets: Toward a New Theory of Regulation” merupakan buku yang merepresentasikan terhadap upaya-upaya dari para akademisi yang bersangkutan yang dituangkan kedalam tulisan berupa esai-esai mengenai pergerakan terhadap ide-ide lama tentang peraturan yang sangat lama yang mendorong terjadinya gelombang deregulasi yang dimulai pada akhir tahun 1970-an. Dari tahun 1970-an tersebut, para ilmuwan sosial mulai memperhatikan terhadap masalah kegagalan pemerintah. Masalah-masalah yang terjadi di akhir tahun 1970-an tersebut membuat adanya peningkatan sensitivitas oleh para pembuat kebijakan terhadap kegagalan pasar yang berpotensi bisa lebih berbahaya daripada upaya mereka untuk menyembuhkan permasalahan-permasalahan pasar selama ini.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa kegagalan pemerintah bisa meningkatkan kegagalan pasar. Beberapa esai yang ditulis oleh para akademis dalam buku ini menyoroti tentang pemerintah dan langkah-langkah yang diambil dalam menangani pasar serta konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan terjadi. Pemikiran-pemikiran para akademis ini, tujuannya adalah tidak mencoba untuk menghancurkan landasan intelektual yang ada pada pemikiran akademis tentang peraturan, melainkan mencoba untuk memperkuat dan menambah, bahkan memperbaiki beberapa yang perlu dibenahi. Setiap bagian yang ada pada pemikiran-pemikiran para akademis dalam buku ini juga bertujuan untuk memperkaya pemahaman kita tentang regulasi dan sebagai arah untuk bidang penelitian.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa konsep kegagalan pasar, kemungkinan seperti kebijakan peraturan yang tidak mencapai tujuan yang dimaksudkan, tetapi tetap menjadi kerangka kerja yang kuat untuk berpikir tentang regulasi dalam banyak konteks. Hal ini diperkuat oleh esai Joseph Stiglitz yang mengidentifikasi serangkaian kegagalan pasar kontemporer.
Joseph E. Stiglitz dalam esainya “Government Failure vs Market Failure: Principles of Regulation” menjelaskan bahwa peraturan telah menjadi salah satu subyek yang paling diperdebatkan. Dalam esainya diuraikan bahwa terdapat pro dan kontra terhadap peraturan. Para kritikus berargumen bahwa peraturan dapat mengganggu efisiensi pasar, sedangkan dari pihak yang pro berargumen bahwa peraturan itu dirancang dengan baik yang tidak hanya untuk membuat pasar lebih efisien, tetapi juga membantu memastikan hasil pasar yang lebih adil.
Dalam tulisannya, Stiglitz mencoba menanggapi apa yang menjadi perdebatan daripada peraturan itu dengan menguraikan prinsip-prinsip yang mendasari teori peraturan modern. Teori umum regulasi dijelaskan dalam esainya dimulai dengan pertanyaan sederhana yaitu mempertanyakan mengapa regulasi itu diperlukan ? mengapa pasar saja tidak cukup ? dan jika ada campur tangan dari pemerintah, mengapa hal tersebut mengambil bentuk peraturan ?
 Dalam hal ini, terkait campur tangan dari pemerintah, Stiglitz menguraikan teori pasar yang dikemukakan oleh Adam Smith yang menciptakan suatu sistem unik, dimana laju ekonomi dengan sendirinya tertata tanpa perlu adanya campur tangan dari pemerintah, dengan ini pasar bisa berjalan sendiri secara efisien. Adam Smith menyebutnya dengan ”invisible hand.” Smith berargumen bahwa campur tangan pemerintah yang sangat minimal dapat mempercepat laju ekonomi atau bersifat liberal. Adam smith juga menekankan bahwa dengan sistem ini individu atau perusahaan berhak mengejar keuntungan pibadinya masing-masing hingga dia dapat berkompetisi dan menghasilkan laju ekonomi yang baik. Argumen ini telah digunakan sebagai dasar untuk memungkinkan pasar bebas tak terkekang untuk mengarah kepada kesejahteraan umum.
Kemudian dengan sistem Adam Smith tersebut juga menitik beratkan kekuatan pasar bebas dalam spesialisasi produksi. Dengan spesialisasi produksi maka akan tercipta efisiensi dalam pasar. Konsep ini membuat berkembangnya pasar tumbuh seperti mahluk hidup yang dapat mencari nutrisi sendiri untuk kelangsungan hidupnya, nutrisi yang dimaksud adalah inovasi dan efisiensi. Inovasi sangat erat kaitannya dengan kebutuhan konsumen akan barang dan jasa dan efisiensi adalah suatu keharusan yang harus dilakukan oleh produsen dalam pasar persaingan sempurna. Dengan kedua hal ini, maka distribusi kebutuhan maupun pedapatan akan merata dan tingkat hidup dalam masyarakat akan meningkat. Oleh sebab itu, dalam pasar pesaingan sempurna yang dikemukakan oleh Adam Smith tersebut, peran pemerintah hanya sebagai pengawas maupun regulator jika pemerintah turut campur dalam pasar maka akan terjadi disekulibrium dalam pasar dan pada akhirnya inovasi maupun efisiensi tidak akan tercapai.
Namun Siglitz dalam esainya menjelaskan bahwa tidak ada alasan teoritis untuk meyakinan bahwa pasar bebas secara umum akan menyebabkan masyarakat sejahtera. Singkatnya, gagasan bahwa pasar dengan sendirinya dapat menghasilkan hasil yang efisien, belum ada pembenaran teoritis; belum ada yang percaya seutuhnya bahwa kondisi daripada pernyataan itu sepenuhnya benar. Stiglitz menjelaskan bahwa pasar sendiri menghasilkan terlalu banyak kemungkinan dampak dalam beberapa hal (yang bisa menghasilkan polusi). Peraturanlah yang dapat memainkan peran penting dalam mengatasi kegagalan pasar. Ketika pasar gagal untuk menghasilkan hasil yang efisien ada alasan untuk kita mengintervensi pemerintah. Karena pada dasarnya sang pembuat kebijakan (regulator) adalah pemerintah. Peraturan juga dapat menjadi instrumen penting untuk mencapai tujuan distributif, terutama ketika pemerintah menghadapi kendala anggaran (atau kendala administrasi lainnya).
Kritik terhadap peraturan yang diuraikan oleh Stiglitz yaitu tujuan regulasi dapat dicapai lebih baik dengan biaya yang lebih rendah dengan menggunakan intervensi terhadap pasar, yaitu pada pajak atau subsidi. Jika merokok menimbulkan suatu eksternalitas, maka peraturan dapat mengintervensi lewat pajak merokok. Intervensi ini bisa menjadi dampak yang positif. Dalam artian, dapat mencapai tujuan regulasi dengan biaya yang lebih rendah melalui intervensi terhadap pasar.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sangat jelas; tidak ada alasan teoritis untuk keyakinan bahwa pasar bebas akan secara umum menyebabkan masyarakat sejahtera. Gagasan bahwa pasar dengan sendirinya menyebabkan hasil yang efisien, hal ini belum ada pembenaran teoritis: belum ada yang percaya seutuhnya bahwa kondisi daripada pernyataan itu sepenuhnya benar. Menurut Stiglitz, pasar sendiri menghasilkan terlalu banyak beberapa hal (yang menghasilkan polusi).
Jadi selama ada transparansi dari pembuat kebijakan dan persaingan yang sehat diantara para pemangku kepentingan, maka Stiglitz menganggap bahwa akan ada proses perbaikan untuk pasar. Dalam hal ini, Stiglitz menjelaskan apabila pemerintah itu gagal dalam membuat peraturan, maka pemerintah itu dapat diganti dan tentunya mereka (pemerintah yang diganti) akan kehilangan kredibilitas dan legitimasi mereka.
BAB III
Susanne Krasman “The Right of Government, Torture and the Rule of Law”
Dalam “Governmentality, Current Issues and Future Challenges” Edited by: Ulrich Brockling, Susanne Krasmann, and Thomas Lemke

Buku “Governmentality, Current Issues and Future Challenges” merupakan buku yang memuat mengenai isu-isu terkini dan tantangan-tantangan masa depan dalam kepemerintahan yang dituangkan kedalam tulisan berupa esai-esai oleh para akademisi. Salah satunya yang ditulis oleh Susanne Krasmann mengenai isu pemerintahan terkait hak pemerintah, penyiksaan dan hubungannya terhadap peraturan hukum.
Esai ini menitikberatkan pada masalah penyiksaan dan hak pemerintah sebagai pembuat kebijakan terkait penyiksaan dan peraturan hukum yang mengaturnya. Pertama-pertama dalam tulisannya, Krasman mempertanyakan apakah penyiksaan itu secara mutlak benar-benar merupakan tindakan yang bertentangan pada sistem hukum ? Untuk menjawab pertanyaan ini, Krasman sendiri melihat secara progresif pada undang-undang internasional dan yurisprudensi untuk memperkuat dan membedakan kategori penyiksaan.
Secara pengertian luas penyiksaan memang merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Namun dalam kerangka konseptual kepemerintahan, penyiksaan dapat menjadi alasan sebuah kekuasaan untuk melawan hukum dalam arti untuk membuat dirinya diterima. Sementara pada teori relatif konvensional negara dan hukum yang muncul dari ilmu sosial dan teori hukum yang melihat dari perspektif kepemerintahan bahwa penyiksaan merupakan sebuah interaksi antara konstitusional negara. Hal ini dapat dilihat melalui perdebatan mengenai legitimasi dan legalitas penyiksaan.
Pengendalian terhadap penyiksaan itu pada dasarnya dilakukan mengatasnamakan hak asasi manusia. Namun kasus penyiksaan yang masih menjadi isu terkini dan tantangan untuk masa depan, pada kenyataannya kasus-kasus yang terjadi masih banyak ada pengabaian hak-hak terhadap korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya, padahal secara jelas telah banyak diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional.
Penyiksaan ini adalah praktek yang positif dalam mengintrodusir hukum internasional ke dalam instrumen peraturan hukum. Persoalan yang secara kontekstual mengemuka bukan lagi pada perlu atau tidaknya mengimplementasikan konvensi tersebut, melainkan pada konsekuensi hukum dari negara untuk menjadikannya efektif dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, negara dengan seluruh kekuasaan dan kewenangannya menjabarkan konvensi tersebut dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan menerapkannya terhadap aparat-aparat pemerintahan yang rentan atas terjadinya tindakan-tindakan penyiksaan.
Dalam memproses kasus penyiksaan juga dibutuhkan prosedur khusus sesuai instrumen peraturan yang berlaku. Krasman menguraikan bahwa dalam pemerintah yang liberal, terungkap bahwa bentuk yuridis jauh lebih efektif pada instrumen peraturan daripada sebuah kebijaksanaan atau moderasi gubernur. Peraturan itu memiliki legalisme hukum.
Mengacu pada hukum, dalam esai ini juga diuraikan mengenai teori hukum dari Max Weber mengenai teori tipe ideal terkait hukum, yang mana Weber mengungkapkan bahwa hukum itu meliputi:
Bahan irasional (pembentuk undang-undang untuk berdasarkan keputusan mereka pada nilai-nilai emosional tanpa mengacu kaidah (para legislator dan hakim membentuk hukum berdasarkan aturan seterusnya akan, oleh karena didasarkan pada wahyu atau nubuat).
Bahan Rasional (keputusan para pembuat hukum dan hakim undang-undang mengacu pada kitab suci, kebijakan atau ideologi penguasa) yaitu hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak yurisprudensi.
Menurut Weber, hukum yang koheren berkontribusi dalam perkembangan politik modern dan negara birokratis modern seiring pertumbuhan kapitalisme. Secara umum, sudut pandang Max Weber dapat digambarkan sebagai pendekatan eksternal hukum yang mempelajari karakteristik empiris hukum, yang bertentangan dengan perspektif internal dari ilmu hukum dan pendekatan moral filsafat hukum.

Dalam kasus penyiksaan secara hukum, hal ini terkait pada hak asasi berupa kebebasan dan keamanan. Kebebasan dan keamanan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan. Keamanan adalah konstitutif untuk sebuah kebebasan dan kebebasan merupakan hak warga negara. Dari sinilah, Krasman menjelaskan bahwa sebuah keamanan untuk warga negara menjadikan dasar adanya mekanisme dengan cara memperalat hukum dalam artian keamanan menghasilkan hukum seperti dalam bentuk undang-undang keamanan untuk warga negara sebagai bentuk kebutuhan keamanan.
Hukum sendiri dihasilkan secara performatif, dengan demikian hukum bisa dibilang sebagai "efek" dari serangkaian pernyataan kebutuhan hukum untuk ditegakkan. Hukum juga melayani sebagai sarana pengendalian sosial (kontrol sosial): supremasi hukum, dalam arti bahwa hukum benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah, penegak hukum. Kontrol sosial ini menjadi upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di masyarakat, yang bertujuan untuk menciptakan keadaan harmoni antara stabilitas dan perubahan di masyarakat. Intinya adalah bahwa hukum sebagai sarana menjaga keamanan dan mewujudkan keadilan. Kontrol sosial mencakup semua kekuatan yang menciptakan dan memelihara ikatan sosial. Dengan demikian hukum ini menjadi sarana koersif melindungi warga negara dari tindakan dan ancaman yang membahayakan diri mereka sendiri.
Dasar pemerintah dalam membentuk sebuah keamanan adalah melalui kontrak sosial. Dalam keamanan cara tersebut menjadikan kebijakan tidak lagi merupakan sebuah bentuk operasional hirarki di mana politik kepentingan dan kekuasaan negara mengeja diri dari atas ke bawah. Melainkan Pemerintahan atasnama keamanan bertumpu pada partisipasi, konsensus dan persetujuan.
Diuraikan dalam esai ini juga bahwa kasus penyiksaan pada dasarnya berfungsi baik untuk memaksa adanya sebuah pengakuan, dan membuat apa yang telah ditetapkan hukum bisa diterapkan, dan juga bisa menundukkan pada hukum. Namun dilain sisi, menyiksa dapat menjadi sarana untuk membangun "budaya penyiksaan". Akan tetapi, penyiksaan dalam hukum bisa menjadi langkah untuk menyelamatkan hidup dan menyelamatkan norma, dengan alasan penyiksaan bisa merusak norma. Sehingga penyiksaan ini menjadi ditempatkan pada pelanggaran normatif yang mutlak.
Dari sisi penyiksaan juga dijelaskan bahwa adanya pengamatan terhadap langkah-langkah keamanan dalam hukum yang bersandar pada konsep “sekuritisasi”. Konsep ini menjelaskan bahwa dimana proses ancaman eksistensial yang inter subyektif diidentifikasi, dengan adanya tindakan yang tampak, yang tak terelakkan dijadikan sebagai sebuah konsekuensi.
Dismpulkan pula pada bagian akhir esai ini mengenai hak pemerintah atas nama keamanan. Yang mana dijelaskan bahwa kemunculan kembali penyiksaan tentu saja tidak unik untuk masyarakat liberal demokratis pada abad dua puluh lima, tapi peristiwa baru-baru ini menggarisbawahi bagaimana mudahnya penyiksaan itu dapat ditemukan. Perspektif kepemerintahan memungkinkan kita untuk menunjukkan bagaimana penyiksaan menggabungkan diri menjadi rasionalitas dan bagaimana ancaman diidentifikasi menjadi rasio yang tidak lagi dibutuhkan, yang kemudian masuk ke dalam skema performatif sebagai gantinya. Proses penyiksaan ini pun menjadi koheren menimpa hukum atau bahkan masuk ke dalam perjanjian hukum di negara-negara hukum yang demokratis.
Fakta menunjukkan saat ini bahwa peradilan atas penyiksaan peradilan telah kembali menunjukkan, hukum yang ada bersama-sama memberantas penyiksaan. Dalam hal ini Elaine Scarry juga telah mengamati bahwa tindakan penyiksaan membutuhkan keberanian. Kebenaran, keberanian yang mengatasnamakan hukum akan menjadi satu persatuan yang mengerikan sebagai instrumen memberantas kekerasan. Dalam perspektif kepemerintahan (governmentality) dimana imperatif keamanan dapat menyatakan diri sebagai suatu kebenaran dalam memberantas penyiksaan.


BAB IV
Gordon Tullock “The Theory of Public Choice” Dalam
Government Failure, A primer in Public Choice (2002) by Gordon Tullock, Arthur Seldon,    Gordon L. Brady

E-Book yang berjudul Government Failure, A primer in Public Choice ditulis oleh Gordon Tullock, Arthur Seldon dan Gordon L. Brady. Buku ini terbagi dalam tiga bab dengan masing-masing penulis menulis satu bab. Buku ini menitikberatkan penjelasan terhadap pilihan publik (public choice). Pada bab pertama ditulis oleh Gordon Tullock mengenai teori pilihan publik (public choice theory).
Teori pilihan publik muncul sekitar tahun 50-an dan mendapat perhatian publik secara luas pada tahun 1986 ketika Gordon Tullock bersama satu pelopor utama lainnya yaitu James Buchanan mendapatkan hadiah nobel dalam bidang ekonomi.
Teori pilihan publik sebuah pandangan yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena-fenomena yang bersifat nonpasar. Elemen-elemen dari pilihan publik ini adalah manusia.
Teori pilihan publik memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.
Teori pilihan publik tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Artinya bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, tapi motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Walaupun banyak orang mendasarkan sejumlah tindakan mereka karena kepedulian mereka terhadap orang lain, motif dominan dalam tindakan orang di pasar adalah suatu kepedulian terhadap diri mereka sendiri (self interest). Dengan demikian, teori pilihan publik merupakan sebuah pendekatan ekonomi politik baru yang mana teori ini menganggap bahwa negara atau pemerintah, politisi atau birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan.
Teori pilihan publik dapat digunakan untuk menganalisis tentang perilaku para aktor politik, khususnya perilaku individu sehubungan dengan pemerintah untuk mempelajari sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan kebijakan publik yang paling efektif. Yang menjadi subyek sebagai aktor dalam telaah pilihan publik yaitu pemilih, partai politik, politisi, birokrat baik yang berkuasa karena dipilih maupun ditunjuk, kelompok kepentingan yang semuanya secara tradisional lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik.

Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa ahli ekonomi politik melihat bahwasanya era demokrasi merupakan sistem yang memberi ruang untuk saling melakukan pertukaran diantara masyarakat, partai politik, pemerintah dan birokrat. Dalam konteks itu, masyarakat pemilih diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik), sedangkan pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka bisa memungut dukungan dari pemilih lewat pemilihan umum. Singkatnya dalam proses semacam itu, setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses distribusi ekonomi melalui pasar politik. Voting (pemungutan suara) adalah tindakan paling tepat dalam kegiatan pembelian di sektor pasar, tidak mengherankan bahwa literatur pilihan publik menangani permasalahan dengan cara voting. Paradoks pemungutan suara menjadi bagian yang dimaksud dalam hal ini yang dijelaskan oleh penulis.

Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena memperebutkan kekuasaan seperti yang digunakan dalam pendekatan politik murni, melainkan lebih dipandang sebagai arena permainan yang memungkinkan terjadinya pertukaran diantara warga negara, partai-partai politik, pemerintah dan birokrat. Aturan yang harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dan sistem pemilihan.

Adapun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif atau politikus (yang dipilih), yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut sampai kepada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan. Oleh karenanya, pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan hal yang melekat pada pilihan publik sebagai saluran pemilihan oleh publik. Yang mana hal tersebut terjadi pada sistem dekmokrasi, dimana perwakilan pemerintah diambil dari sebuah keputusan yang berasal dari pemilihan umum. Kebanyakan sistem demokrasi menggunakan prosedur secara proporsonal dalam perwakilan dengan sebuah pemilihan. Sehingga, pemilihan umum menjadi sebuah akses dalam penyaluran pilihan publik.

Dalam hal ini, informasi dalam politik juga menjadi bagian yang terkait dalam pemungutan suara yang dijelaskan oleh penulis. Dimana dikatakan bahwa informasi dalam politik bisa menjadi akan mempengaruhi suara seseorang dalam pemilu. Hal ini terkait yang disebut sebagai “Logrolling” atau yang diartikan sebagai balas jasa yang bisa menjadi faktor mempengaruhi pilihan publik dalam paradoks pemilihan umum.

Balas jasa terlihat seperti kata yang tidak biasa tetapi maknanya sederhana: balas jasa bisa dibilang sebagai arena perdagangan dalam pemilihan. Balas jasa adalah fenomena yang sangat umum dalam sistem politik yang demokratis. Memang, di sebagian besar negara-negara demokrasi hal tersebut mendominasi proses seleksi politik, meskipun sering tersembunyi dari pandangan publik. Balas jasa biasanya diklasifikasikan dalam bentuk eksplisit atau implisit. Balas jasa eksplisit merujuk pada situasi di mana adanya perdagangan yang jelas dari individu oleh dua politisi. Balas jasa eksplisit lebih terlihat, tetapi pada saat yang sama lebih rumit untuk berkembang. Misalkan kandidiat tertarik untuk mendanai proyek publik yang akan diartikan sebagai bentuk balas jasa. Balas jasa implisit lebih kompleks dan dapat disimpulkan dari cara legislasi dalam memenuhi tujuan politiknya.
Eksplisit logrolling menjadi hal yang mungkin akan mempengaruhi suara publik dalam pemilu berikutnya. Sebagai tambahan, kelompok kepentingan dapat juga menyediakan kamuflase kepentingan umum oleh anggota dalam meyakinkan kongres terhadap kepentingan pribadinya yang dikemas sebagai kepentingan umum.
Mengorganisir suatu kepentingan dalam bentuk lobi pada pilihan publik juga menjadi poin penting yang dijelaskan dalam tulisan ini. Dijelaskan oleh penulis bahwa selain pemilih sebagai konsumen dan legislatif serta partai-partai sebagai pemasok, terkadang organisasi kelompok kepentingan juga terlibat dalam permainan politik. Mereka mewakili suatu kelompok masyarakat atau bisnis tertentu yang diorganisasi untuk melobi pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan para anggotanya. Pilihan publik pun akan menjadi lebih sulit karena adanya lobi dan tekanan dari kelompok. Lobi ini menjadi saluran pilihan publik seseorang dalam mempengaruhi pilihan publik. Sehingga terkadang membuat kelompok kepentingan ini memiliki kekuatan politik melebihi jumlah anggotanya.

Keterlibatan dalam proses pemburu rente atau disebut sebagai rent seeking juga dapat terjadi dalam proses pilihan publik. Biaya rent seeking bisa masuk kedalam kategori dalam biaya lobi untuk bisa mempengaruhi pilihan publik.
Kasus rente sendiri telah menjadi topik utama dalam pemilihan umum. Definisi penulis terhadap pemburu rente (rent seeking) dapat diartikan sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan pihak pencari rente. Rent seeking ini menjadi kegiatan yang didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah.
Dalam ekonomi klasik dikatakan bahwa konsep rent seeking tidak dinilai negatif sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Namun disisi lain, dalam literatur ekonomi politik konsep rent seeking dianggap sebagai perilaku negatif. Asumsi yang dibangun dalam teori ekonomi politik ini adalah bahwa setiap kelompok kepentingan berupaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-sebesarnya dengan upaya sekecil-kecilnya. Pada titik inilah seluruh sumber daya yang dimiliki seperti lobi akan ditempuh demi mencapai tujuan tersebut. Disini timbul masalah. Jika hasil dari lobi tersebut adalah berupa kebijakan, maka dampak yang muncul bisa sangat besar.
Penulis menyimpulkan bahwa rent seeker yang terlibat dalam proses rent seeking cenderung akan mencari kebijakan yang menguntungkan buat dirinya. Dan biaya dalam proses rent seeking ini biasanya relatif tinggi. Semisal pada pelaku pemburu rente yang membiayai kampanye aktor-aktor politik untuk disamping itu memiliki tujuan mengakomodir kepentingan-kepentingannya ketika aktor politik itu sudah terpilih menduduki suatu jabatan politik tertentu. Sehingga hal ini bisa dikatakan sebagai biaya rent seeking yang datang dari distorsi terhadap proses pemungutan.
Perilaku rent seeking yang dipandang negatif dalam literatur ekonomi politik ini juga ada kaitannya dengan birokrasi. Dalam hal ini, ketidakefisiensian dari birokrasi akibat masalah principal agent yang melekat dalam struktur birokrasi dan ketidakmampuan untuk mengontrol birkorasi bisa menimbulkan rent-seeking bureaucracy yang timbul sebagai akibat perbuatan seseorang, kelompok, ataupun organisasi tertentu, terutama birokrasi yang mengambil keuntungan materi sebesar-besarnya dari menjual kewenangan dan praktek manipulasi untuk mendukung pihak lain mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi. Pada dasarnya birkorasi harus bisa berjalan secara efisien, netral terhadap pilihan publik karena birokrasi sebagai aparatur negaralah yang akan menjalani pilihan publik tersebut.
Selanjutnya tindakan lain dalam kasus pilihan publik dijelaskan dalam tulisan ini mengenai Tax “Avoision” atau istilahnya dikenal dengan penghindaran pajak dan penggelapan pajak. Penghindaran pajak dan penggelapan pajak sebagai metode untuk mengurangi jumlah seseorang pembayaran pajak. Secara kasarnya, penghindaran pajak adalah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi kewajiban pajak secara hukum. Disamping itu, dengan penggelapan pajak juga mengacu pada penggunaan cara ilegal untuk mengurangi kewajiban seseorang membayar pajak.
Kasus penggelapan pajak ini juga menjadi bagian dalam mengubah sebuah kebijakan yang sudah ditetapkan dengan didalamnya adanya kegiatan yang didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk menguntungkan dirinya melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Asumsi yang dibangun adalah bahwa setiap kelompok kepentingan berupaya untuk mendapatkan keuntungan dari penghindaran pajak dan penggelapan pajak. Perilaku ini tentunya dengan adanya lobi yang ditempuh dengan aparat birkorasi terkait demi mencapai tujuan tersebut. Para aktor yang menghindari pajak dan menggelapkan pajak itu cenderung akan mencari kebijakan yang menguntungkan buat dirinya.
Selanjutnya federalisme dalam pilihan publik. Federalisme bisa dibilang sebagai bentuk pemilihan publik yang efektif. Menurut penulis, dalam era modern ini kontrol terpusat tampaknya digantikan oleh kontrol lokal. Federalisme dapat dipahami sebagai mekanisme pembagian kekuasaan secara konstitusional antara pemerintah pusat berbagi kekuasaan dengan pemerintah negara bagian atau dengan pemerintah daerahnya yang dijamin dalam konstitusi.

Didalam sistem yang federalistik, unit-unit politik memiliki otonomi secara utuh, baik yang menyangkut wewenang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Desentralisasi juga membuat adanya kewenangan yang diberikan kepada peemrintah pusat kepada peemrintah negara bagian atau pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Sehingga membuat beban yang ada pada pemerintah pusat yang sangat komplek dapat dilakukan secara efisien dalam konteks penyelenggaraan negara. Karena menurut penulis, pemberian kewenangan (devolution of authority) kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih rendah dan lebih kecil merupakan sesuatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari. Mengingat begitu tinggi tingkat fragmentasi sosial dalam sebuah negara, maka ada hal-hal tertentu yang harus diselenggarakan secara lokal di mana pemerintahan daerah akan lebih baik menyelenggarakannya ketimbang dilakukan secara nasional yang sentralistik.

Oleh karena itu, dengan pilihan desentralisasi maka beban pemerintah pusat yang sangat komplek bisa membuat efisiensi dan efektifitas dalam penyelenggaraan negara, melalui  pembagian tugas serta pemberian kewenangan. Hal ini sangat mutlak dilakukan dan tidak dapat dihindarkan dalam mengelola sebuah negara modern. Karena negara merupakan sebuah entitas yang sangat kompleks. Negara mengelola berbagai dimensi kehidupan, seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lain.
Desentralisasi ini juga membuat individu-individu yang ada di daerah bisa menyalurkan pilihannya dalam pemilihan umum di wilayahnya. Sehingga, federalisme bisa dibilang sebagai bagian pada perwujudan demokrasi. Karena negara-negara yang menjalankan pemerintahan yang federalistik pada umumnya sejalan dengan komitmen dari masyarakat dalam negara tersebut untuk menjalankan demokrasi seutuhnya. Kemudian dengan terlaksananya sistem pemerintahan yang federalistik juga bisa terwujudnya mekanisme checks and balances dalam sebuah demokrasi. Mekanisme itu adalah bagimana mengatur hubungan di antara lembaga-lembaga negara, serta hubungan antara warga negara dengan pemerintah.

Sehingga federalisme merupakan otonomi yang lebih terdesentralisir. Pilihan publik dari federalisme bisa dibilang lebih efisien dalam mempengaruhi kebijakan. Dan federalisme ini menjadi salah satu bentuk penyaluran pemilihan publik yang lebih efektif. Karena skalanya tidak sebesar yang bukan federalisme.


BAB V
RANGKUMAN BUKU ILMU PEMERINTAHAN (Hal 1 – 201)
(Prof. Dr. A. Hoogerweri)

Buku Ilmu Pemerintahan, Prof. Dr. A Hoogerweri (1983) chapter 1 menjelaskan mengenai proses kebijaksanaan dan unsur-unsurnya yang mana penguraiannya dijelaskan ke dalam isi dan corak-corak kebijaksanaan; proses kebijaksanaan; penyiapan kebijaksanaan pemerintah; penentuan kebijaksanaan pemerintah; perkembangan kebijaksanaan pemerintah; pelaksanaan kebijaksanaan; dan evaluasi kebijaksanaan.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa isi dari satu kebijaksanaan yaitu pada corak-corak kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat dirumuskan dengan alasan-alasan yang baik sebagai usaha mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Dilihat dalam pengertiannya, kebijaksanaan adalah semacam jawaban terhadap sesuatu masalah. Kebijakasanaan juga dipandang sebagai suatu upaya untuk memecahkan, mengurangi atau mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah.
Apa yang kita lihat sebagai masalah, antara lain tergantung dari ukuran-ukuran yang kita pakai dan gambaran-gambaran yang kita lihat dari suatu keadaan yang sedang berlangsung atau diperkirakan akan terjadi. Oleh karena kebijaksanaan bukan hanya mengenai pemecahan masalah, tetapi juga mengenai pertanyaan masalah-masalah mana yang akan ditangani.
Buku ini juga menguraikan bahwa merumuskan masalah dapat dibedakan dalam langkah-langkah berikut, sehubungan juga dengan komisi interdepartemental untuk pengembangan analisa kebijaksanaan:
1. Menyatakan hubungan (context) sosial, artinya menunjuk pada aspek-aspek atau sektor-sektor kebijaksanaan yang dianggap bertalian dengan masalah.
2. Menguraikan keadaan yang dikehendaki artinya menyatakan asas-asas, norma-norma dan tujuan-tujuan yang bekenaan dengan hubungan sosial yang dinyatakan.
3. Melukiskan keadaan yang sedang berlangsung dan yang mungkin terjadi dalam bidang kebijaksanaan yang bersangkutan apabila kebijaksanaan yang sedang dijalankan tanpa adanya perubahan.
4. Membandingkan keadaan yang sedang berlangsung dan yang mungkin terjadi dengan keadaan yang diharapkan. Dalam hal ini melihat adanya ketidak-sesuaian antara keadaan yang sedang berlangsung atau yang mungkin terjadi di satu pihak dan keadaan yang diharapkan di lain pihak dengan melihat adanya masalah.
5. Menentukan sebab-sebab ketidak-sesuaian, dengan kata lain sebab-sebab dari masalah. Yang mana sebab-sebab ini mungkin berada di luar kebijaksanaan yang sedang dijalankan.
Dalam buku ini diuraikan juga arti kebijaksanaan menurut para ahli. Seperti ahli pemerintahan Kleijn yang menguraikan kebijaksanaan sebagai tindakan secara sadar dan sistematis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang dijalankan langkah demi langkah. Sementara menurut Ahli sosiologi Van Doorn dan Lammers menguraikan kebijaksanaan sebagai “suatu rencana aksi, suatu susunan sarana dan tujuan”.  Sedangkan Ahli sosiologi lain Becker mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “pengawasan sosial terorganisis”.
Ahli politik Kupers menyebut kebijaksanaan sebagai suatu susunan dari “pertama, tujuan-tujuan yang dipilih oleh aktor atau aktor-aktor untuk diri sendiri atau untuk suatu kelompok; kedua: jalan-jalan dan sarana-sarana yang dipilih oleh mereka; dan ketiga: saat-saat yang ia mereka pilih”. Sedangkan Ahli politik lain Rosenthal, Van Schendelen dan Scholten menguraikan kebijaksanaan sebagai “himpunan keputusan-keputusan dan perbuatan-perbuatan yang berhubungan dari suatu aktor terhadap suatu masalah atau suatu kelompok tujuan”.
Buku ini memusatkan pada kebijaksanaan pemerintah. Dengan kata lain, memusatkan pada kebijaksanaan para aktor dari golongan tertentu, yaitu pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi pemerintah. Kebijaksanaan para aktor-aktor tersebut terjelma di bawah pengaruh kebijaksanaan aktor-aktor lain, yaitu baik penduduk dan organisasi-organisasi maupun pemerintah-pemerintah lain. Aktor-aktor lain yang dimaksud tersebut adalah setiap orang atau kelompok yang menjalankan atau mencoba menjalankan kebijaksanaan. Namun dalam buku ini dijelaskan bahwa, disamping semua titik persamaan antara kebijaksanaan suatu pemerintah dan aktor-aktor lain yang menjalankan atau mencoba menjalankan kebijaksanaan, terdapat perbedaan yang penting dari pemerintah sendiri dalam menjalankan kebijaksanaan yaitu pemerintah diakui sebagai pimpinan yang berkuasa dari suatu masyarakat karena memiliki kuasa.
Buku ini beranggapan bahwa suatu kebijaksanaan meliputi dari sarana maupun tujuan. Terdapat tujuan-tujuan penting kebijaksanaan pemerintah pada umumnya yaitu memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator); melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (negara sebagai perangsang stimulator); menyesuaikan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator), memperuntukkan dan membagi berbagai materi (negara sebagai pembagi, allocator). Dalam buku ini dijelaskan bahwa walaupun masing-masing dari tujuan-tujuan tersebut diburu juga oleh aktor lain seperti organisasi swasta, baik secara langsung maupun melalui negara, namun negara membedakan diri oleh karena mempunyai kekuasaan tertinggi yaitu berupa kedaulatan.
Buku ini juga menjelaskan bahwa hal yang membuat perbedaan kebijaksanaan pemerintah dari kebijaksanaan aktor-aktor lain yaitu karena adanya gabungan dari dua unsur berikut:
1. Kebijaksanaan pemerintah mengenai langsung atau tidak langsung semua anggota masyarakat di daerah kekuasaan tertentu;
2. Kebijaksanaan pemerintah mengikat bagi anggota di daerah kekuasaan tertentu.

Asas-asas juga menjadi hal terpenting yang bersangkutan dengan kebijaksanaan pemerintah, termasuk asas kebebasan, persamaan, solidaritas, keadilan, toleransi dan demokrasi. Namun dalam hal ini norma-norma menjadi corak kebijaksanaan yang lebih khas karena norma diambil dari asas persamaan. Oleh karena itu, asas dan norma itu harus dibedakan dari tujuan. Karena suatu kebijaksanaan pada umumnya tidak hanya meliputi satu tujuan tetapi sekelompok tujuan.
Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa untuk menentukan secara empiris isi dari suatu kebijaksanaan tertentu dapat memilih berbagai jalan. Oleh karena suatu kebijaksanaan meliputi konsepsi (rencana kebijaksanaan) maupun tingkah-laku, maka isi kebijaksanaan untuk sebagian dapat disimpulkan dari konsepsi-konsepsi dan sebagian lagi dari tingkah laku. Dalam pada itu harus diperhatikan bahwa konsepsi dan tingkah laku dapat berlawanan satu sama lain. Konsepsi-konsepsi kebijaksanaan tersebut dapat diusut berdasarkan keterangan-keterangan dari aktor. Dan setiap analisa kebijaksanaan dapat dimulai dengan mempelajari dokumen-dokumen yang ditulis oleh atau atas nama aktor. Disamping dokumen-dokumen tertulis tersebut dapat pula dari keterangan-keterangan yang diucapkan di muka umum yang merupakan bagian dari sumber informasi.
Ada berbagai cara lain untuk memperoleh pengertian yang lebih banyak mengenai kebijaksanaan yang dijelaskan dalam buku ini adalah ada baiknya untuk membandingkannya dengan isi-isi dari satu kebijaksanaan secara sistematis. Seperti dengan membandingkan suatu kebijaksanaan tertentu yaitu dari suatu aktor tertentu pada suatu waktu dengan kebijaksanaan yang sama pada waktu yang berlainan (perbandingan diakronis) atau dengan membandingkan kebijaksanaan dari seorang aktor di dalam suatu sektor pada suatu waktu yang sama. Satu kemungkinan lain lagi adalah dengan memperbandingkan isi dari suatu kebijaksanaan dengan keinginan mereka terhadap siapa ditujukan kebijaksanaan itu, atau atas nama siapa kebijaksanaan dijalankan atau yang disebut sebagai kebijaksanaan secara vertikal.
Buku ini juga menguraikan mengenai perbedaan antara empat corak kebijaksanaan yang dikemukakan oleh Salisbury dan Heinz yaitu yaitu: membagi (distributive), membagi kembali (re-distributive), mengatur (regulatory), dan mengatur sendiri (self-regulatory).
Kebijaksanaan yang bersifat membagi disjelaskan sebagai kebijaksanaan yang memberi hasil kepada satu kelompok atau lebih. Sedangkan kebijaksanaan yang mengatur adalah memberi pembatasan terhadap tindakan-tindakan dari satu atau lebih kelompok dengan meniadakan atau membenarkan secara tidak langsung perolehan hasil-hasil tertentu pada kelompok-kelompok. Sementara untuk kebijaksanaan yang mengatur sendiri adalah memberi pembatasan juga terhadap tingkah laku atau tindakan dari satu atau lebih kelompok tetapi tidak meniadakan dengan demikian justru memperbesar hasil-hasil yang akan diperoleh dan tidak menguranginya.
Cara lain untuk membandingkan isi dari satu kebijaksanaan juga dijelaskan dalam buku ini yaitu pada corak kebijaksanaan sinoptis dan inkrementil yang dapat menjadi bagian cara untuk membandingkan isi-isi dari satu kebijaksanaan secara sistematis.
Dalam buku ini juga menjelaskan mengenai proses kebijaksanaan. Pengertian dari proses kebijaksanaan adalah keseluruhan dari tindakan-tindakan yang dinamis sehubungan dengan persiapan, penentuan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian suatu kebijaksanaan. Dalam proses kebijaksanaan, diuraikan bahwa terdapat syarat-syarat pembatas dalam proses kebijaksanaan. Yang dimaksud syarat pembatas disini adalah pembatasan-pembatasan dari ruang kebijaksanaan suatu aktor dalam keadaan tertentu. Dalam literatur limit sering disebut “contraints” atau pembatasan dari kebebasan kebijaksanaan atau secara rinci dijelaskan sebagai pembatasan terhadap kemungkinan memilih suatu tujuan atau lebih yang itu dinamakan sebagai syarat pembatas tujuan.
Syarat pembatas dalam proses kebijaksanaan tersebut dibagi kedalam dua bentuk yaitu kulturil dan strukturil. Syarat pembatas kulturil meliputi pengertian-pengertian (azas, norma, tujuan, penghargaan dan gambaran dari keadaan yang sedang berlangsung) yang membatasi ruang kebijaksanaan aktor. Sedangkan syarat pembatas strukturil mempersoalkan tingkah-laku dan kedudukan, di antaranya kedudukan yang berkekuasaan yang dapat membatasi ruang kebijaksanaan aktor.
Selanjutnya diuraikan dalam buku ini bahwa terdapat 3 pendekatan dalam proses kebijaksanaan. Pertama pendekatan mikro (melalui perorangan) dalam hal mana kita dengan cepat sampai pada pengertian-pengertian ruang kebijaksanaan dan syarat-syarat pembatas. Yang kedua adalah pendekatan meso (melalui kelompok-kelompok) yang jika dipandang secara dinamis, mengarahkan perhatian kepada proses kebijaksanaan. Yang ketiga adalah pendekatan macro (melalui keseluruhan). Pendekatan ini mengambil bentuk analisa sistem.
Dalam buku ini juga diuraikan pembagian dari proses kebijaksanaan dalam proses bagian yakni terdapat 5 proses bagian diantaranya penyiapan, penentuan, pelaksanaan, penilaian dari kebijaksanaan dan umpan balik (feedback). 5 bagian ini dapat dianggap sebagai alat analisa kebijaksanaan. Proses-proses bagian yang dimaksud dalam buku ini merupakan bagian yang penting daripada proses kebijaksanaan yaitu penyiapan kebijaksanaan, penentuan kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, evaluasi kebijaksanaan dan umpan balik.
Dalam proses kebijaksanaan diuraikan juga terdapat beberapa rintangan-rintangan yang mungkin muncul, yaitu perumusan masalah: pengolahan kebutuhan menjadi tuntutan perorangan; pengolahan tuntutan-tuntutan perorangan menjadi agenda kelompok; pengolahan agenda kelompok menjadi umum; pengolahan agenda umum menjadi agenda formal; pengolahan agenda formal menjadi penyiapan kebijaksanaan; pengolahan penentuan kebijaksanaan menjadi pelaksanaan kebijaksanaan; pengolahan pelaksanaan kebijaksanaan menjadi akibat-akibat yang dikehendaki; pengukuran akibat-akibat; serta pengolahan evaluasi menjadi umpan balik (feedback).
Diuraikan juga dalam buku ini bahwa dalam proses kebijaksanaan; pertumbuhan kebijaksanaan yang mana kiranya memperhatikan pada rasionalisasi yang diartikan sebagai tingkat ketepatan arah tujuan, efektivitas (mengenai sasaran) dan efisiensi; demokratisasi; diferensiasi yang dimaksudkan sebagai bertambahnya keanekaragaman, spesialisasi dan pembagian kerja; dan integrasi yang merupakan proses yang menyatukan berbagai bagian atau unsur menjadi suatu kesatuan yang terpadu, serta perlu adanya hubungan yang luas dari kebijaksanaan pemerintah.
Penyiapan kebijaksanaan pemerintah merupakan bagian dari proses kebijaksanaan. Dalam buku ini diuraikan bahwa penyiapan kebijaksanaan pemerintah erat hubungannya dengan perencanaan. Perencanaan dalam pengertiannya adalah penyiapan sistematis dari kebijaksanaan dengan menggunakan pengetahuan dan pandangan yang diperoleh dengan jalan ilmiah. Sedangkan pengertian dari kebijaksanaan adalah suatu usaha yang sedikit-banyaknya dipertimbangkan dengan masak, untuk mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan ini maka diuraikan dalam buku ini bahwa pembagian perencanaan yang dilukiskan sebagai berikut:
a. Perencanaan normatif yaitu corak perencanaan yang dipergunakan bila yang dipertimbangkan adalah tujuan umum yang dikehendaki masyarakat.
b. Perencanaan Strategis yaitu corak perencanaan dengan proses yang terus-menerus memilih dan mengevaluasi secara teratur tujuan-tujuan dan sarana-sarana daripada kebijaksanaan.
c. Perencanaan operasional yakni pada perencanaan pelaksanaan yang mencakup penyusunan aktivitas-aktivitas yang harus dijalankan agar yang bersangkutan dapat memberi hasil yang diingini dalam jangka waktu yang ditentukan.
Penentuan kebijaksanaan pemerintah juga termasuk dalam proses kebijaksanaan. Yang dimaksud dari penentuan kebijaksanaan adalah keputusan yang diambil oleh orang atau kelompok (badan) yang berwenang atau berkuasa dalam hal itu. Dalam penentuan kebijaksanaan pemerintah ini adanya analisa terhadap proses pembentukan keputusan yang secara definisi diuraikan sebagai suatu proses dimana umumnya dalam kerangka-kerangka yang sedikit-banyaknya telah ditentukan lebih dahulu dalam waktu yang lama dan dalam berbagai tahap diadakan pilihan yang berakibat menentukan kebijaksanaan, dengan pengertian bahwa jumlah alternatif yang dipertimbangkan dibatasi.
Dalam penentuan kebijaksanaan pemerintah dijelaskan bahwa terdapat pembatasan kebijaksanaan penting dari kebebasan menentukan kebijaksanaan yang dapat dibedakan di dalam kategori-kategori berikut:
a. Pembatasan-pembatasan sebagai hasil dari tujuan-tujuan yang ditentukan lebih dahulu, dalam hal ini dengan membedakan 2 kelompok tujuan kebijaksanaan.
b. Pembatasan yang berasal dari kebijaksanaan instansi pemerintah yang lebih tinggi.
c. Pembatasan-pembatasan sebagai akibat dari kebijaksanaan dan aktivitas-aktivitas badan-badan sejajar.
d. Pembatasan-pembatasan yang lahir dari lingkungan politik dan sosial-ekonomis.
e. Pembatasan berkenaan dengan sarana-sarana yang tersedia.
f. Pengaruh terhadap pembatasan-pembatasan.
Dalam penentuan kebijaksanaan pemerintah terdapat adanya pembentukan yang dinamakan sebagai proses pembentukan kebijaksanaan. Secara definisi proses pembentukan kebijaksanaan adalah permusan masalah dengan menguraikan situasi masalah, penilaiannya, ukuran penilaian yang merupakan faktor-faktor penting pada penentuan kebijaksanaan, penentuan tujuan-tujuan yang menerangkan bahwa kebijaksanaan diadakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, penentuan alternatif-alternatif yang merupakan unsur penting untuk menentukan kebijaksanaan, penetapan sarana yang tersedia juga termasuk unsur-unsur terpenting bagi penentuan kebijaksanaan, serta penentuan kebijaksanaan definitif yang diartikan sebagai penentuan kebijaksanaan terakhir dengan pengertian bahwa alternatif yang dipilih oleh badan yang mempunyai wewenang akhir. Dalam hal ini, proses pembentukan kebijaksanaan menjadi proses di mana melalui deretan pilihan-pilihan jumlah alternatif yang tersedia untuk penyelesaian suatu masalah kebijaksanaan dikurangi menjadi satu atau beberapa alternatif yang menjadi dasar bagi pilihan terakhir.
Perkembangan kebijaksanaan pemerintah juga bagian dalam proses kebijaksanaan. Perkembangan kebijaksanaan ini diuraikan sebagai perancangan suatu kebijaksanaan. Dalam pengertiannya, perkembangan kebijaksanaan adalah merancang suatu kebijaksanaan, hal inipun betul-betul merupakan suatu proses mengenai kebijaksanaan pemerintah. Artinya ialah suatu kejadian yang memerlukan waktu, yang berjalan dalam tahap-tahap dan menurut aturan-aturan. Di dalam proses pembentukan kebijaksanaan yang penting adalah pengisian kebijaksanaan. Ini adalah suatu proses mendorong dan menarik, ditandai oleh pertentangan-pertentangan. Dan dalam perkembangan kebijaksanaan ini diuraikan adanya penugasan untuk merancang suatu kebijaksanaan yang mana hal ini didefinisikan sebagai suatu engsel antara pembentukan kebijaksanaan dan pengembangan kebijaksanaan, atau jika kita mengehendakinya antara politik dan perencanaan.
Dalam proses kebijaksanaan tentunya diharapkan adanya sebuah pelaksanaan kebijaksanaan. Pelaksanaan Kebijaksanaan menurut definisi adalah menganggap adanya suatu kebijaksanaan yang diartikan sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Pada pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah biasanya terpatut pada sejumlah besar aktor dalam berbagai kedudukan. Obyek-obyek kebijaksanaan adalah orang-orang atau kelompok-kelompok terhadap siapa ditujukan kebijaksanaan itu.
Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa dapat dilihatnya analisa sebab-muasabnya dari pelaksanaan suatu kebijaksanaan yang gagal dengan nada hubungan yang erat dari beberapa aspek yaitu karena samar-samarnya isi dari banyak kebijaksanaan, kekurangan informasi, tidak cukupnya dukungan kebijaksanaan dan pembagian potensi.
Yang terakhir adalah evaluasi kebijaksanaan pemerintah. Evaluasi kebijaksanaan merupakan bagian dari proses kebijaksanaan. Kebijaksanaan pemerintah di-evaluasi yaitu dinilai, oleh pemilih, partai-partai politik, anggota-anggota parlemen, kelompok-kelompok kepentingan dan banyak lain lagi. Evaluasi kebijaksanaan meliputi penilaian dari isi, terjadinya dan hasil-hasil dari kebijaksanaan dan dari proses-bagian dalam proses kebijaksanaan.
Untuk memberi dasar ilmiah kepada penilaian, dibutuhkan penyelidikan evaluasi. Penyelidikan evaluasi umumnya adalah penyelidikan yang diterapkan, bukan tertutama untuk mengumpul pengetahuam ilmiah yang baru, tetapi untuk menguji penerapan pengetahuan. Yang menjadi ciri dari penyelidikan evaluasi adalah bahwa dengan jalan ilmiah berusaha memperoleh pengetahuan sehubungan dengan penilaian isi, terjadinya dan efek-efek suatu kebijaksanaan, jalannya suatu proses kebijaksanaan atau kegiatan-kegiatan lain.



BAB VI
RANGKUMAN BUKU
SOSIOLOGI PEMERINTAHAN (GEERT P.A. BRAAM, 2010)

Buku Sosiologi Pemerintahan yang ditulis oleh Prof.dr.Geert P.A Braam ini memberikan pengertian tentang berbagai arti kegiatan pemerintahan di dalam konteks sosiologi. Kegiatan-kegiatan ini diartikan sebagai bentuk-bentuk dari masalah pemerintahan oleh manusia dan untuk manusia. Buku ini memberikan pengertian tentang tindakan pemerintahan. Apa yang dilakukan orang-orang apabila mereka melaksanakan pemerintahan dan masalah-masalah apa yang mereka pecahkan dan bagaimana mengatasinya. Beberapa aksi pemecahan masalah juga dibicarakan dalam buku ini.
Buku ini memusatkan pada memerintah sebagai pemecahan kegiatan masalah. Memerintah yang dimaksud dalam buku ini adalah membicarakan pekerjaan memerintah dengan memberikan perhatian khusus kepada pemerintahan umum. Oleh karenanya, buku ini melihat pekerjaan memerintah sebagai suatu bentuk pemecahan masalah dari kelompok-kelompok dengan mempunyai deskripsi yang lebih luas tidak hanya dengan memberi arah untuk menyelesaikan masalah melainkan memerintah dalam hal ini dengan memperhatikan masalahnya, apa yang dapat dilakukan untuk mengenal masalah itu, dan bagaimana dalam hal ini orang-orang dilibatkan dalam pemecahan masalah tersebut.
Memerintah diasumsikan sebagai suatu yang sangat elementer, yaitu bahwa di antara orang-orang terjalin adanya hubungan. Banyak hal lain di dalam pekerjaan memerintah yang mempunyai sangkut-paut dengan perhubungan-perhubungan timbal balik dalam hubungan-hubungan tersebut. Salah satu dari ilmu yang memikirkan perhubungan-perhubungan dan hubungan-hubungan di antara manusia ini adalah sosiologi. Buku ini mengarahkan bahwa sosiologi mengarahkan kepada pekerjaan memerintah dengan menyelidiki apa yang telah ditemukan orang-orang dan kelompok untuk memecahkan masalah-masalah kelompok.
Buku ini juga menjelaskan bahwa pemerintahan umum sebagai gejala untuk studi ilmiah. Pemerintahan umum yang dimaksud dalam buku ini bertindak atas nama satu kelompok yang sangat besar. Penguasa dan pemerintahan umum menjadi satu bagian dari dunia sosial.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa kebanyakan orang yang berkecimpung di dalam ilmu berusaha mempunyai suatu sikap yang netral dalam hubungan dengan gejala-gejala yang mereka selidiki namun hal itu tidaklah terjadi dengan sendirinya. Karena dalam kehidupan sehari-hari itu berbeda. Orang biasanya tidak netral tetapi pro atau kontra. Sikap dari banyak orang terhadap pemerintahan umum sampai tingkat tertentu kebanyakan tidak tegas. Di satu pihak banyak kritik. Di pihak lain mungkin terdapat suatu keyakinan yang berlebihan bahwa penguasa dapat dan akan memecahkan segala macam masalah. Memang orang dapat berkecimpung dalam ilmu pengetahuan hanya dan melulu karena merasa menarik atau memukau. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang seringkali mempunyai arti bagi masalah-masalah pemerintahan.
Pendekatan ilmiah yang digunakan dalam memecahkan masalah seringkali menemukan adanya keteraturan dan ketidakpastian di dalam kenyataan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa manusia dalam hidup pasti bertemu dengan titik umum bahwa semua manusia berurusan dengan hal-hal yang tidak pasti dan itu berlaku pada dunia kehidupan kita sehari-hari. Bagi pemerintahan umum ketidakpastian itu juga menjadi suatu masalah.
Pekerjaan memerintah dilihat disini sebagai pemecahan masalah yang melulu mengenai suatu kegiatan, di mana orang selain dihadapkan dengan hal-hal yang teratur juga seringkali dihadapkan dengan hal-hal yang tidak pasti. Ketidakpastian yang dimaksud inilah yang akan mempersulit pekerjaan memerintah. Akan tetapi, ilmu pengetahuan dalam hal ini berbuat sesuatu. Tugas dari ilmu pengetahuan dalam hal ini menjadi memperhatikan bagaimana di dalam aksi-aksi memecahkan masalah harus berhadapan dengan ketidakpastian. Demikian juga disiplin ilmu sosiologi pemerintahan yang melihat permasalahan dari tingkah laku manusia terhadap pelaksanaan pemerintah. Dan pemerintahan umum menjadi sasaran dari studi ilmu sosiologi termasuk yang diuraikan dalam buku ini yang menguraikan mengenai pemecahan masalah adalah sentral.
Adapun titik utama dari perspektif sosiologi ini yaitu mengenai hidup bersama yang diselidiki dari keterlibatan sesama manusia, lembaga-lembaga sosial, kebudayaan, kerjasama, konflik, keberhasilan sosial, pembagian kerja yaitu posisi-posisi dan peranan-peranan sosial, organisasi sosial. Dalam hal ini, sosiologi mencari keteraturan-keteraturan di dalam realitas sosial dalam pemecahan masalah. Akan tetapi pada kenyataannya biasanya lebih kompleks daripada realitas sosial.
Sosiologi mencari ketentuan-ketentuan di dalam keterlibatan manusia dan termasuk mencari bentuk-bentuk, hubungan-hubungan sosial dimana keterlibatan itu sedikit banyak memperoleh wujud yang permanen. Sosiologi Pemerintahan pertajam ke arah perilaku memecahkan masalah dari manusia, secara khusus sejauh menyangkut pemecahan dari masalah-masalah kelompok (yang antara lain masalah-masalah individual). Dan buku ini memperhatikan kombinasi-kombinasi yang ada pada permasalahan kompleks di mana pemerintahan umum memainkan peranannya. Oleh karenanya dijelaskan dalam buku ini bahwa untuk memerintah dalam suatu kelompok, posisi-posisi sosial pemerintah sangat penting dalam memecahkan masalah dengan diciptakan suatu pembagaian kerja.
Kemudian dalam bab 2 buku ini diuraikan mengenai aksi-aksi dalam pemecahan maslah yaitu menyangkut daripada aksi-aksi pemerintahan dalam kegiatan pemecahan masalah. Pada aksi dalam pemecahan masalah pada buku ini titik tolak yang ada adalah lebar, bertolak dari semua masalah dasar kemanusiaan tentang hidup ini dan melihat aksi-aksi pemecahan masalah yang dilaksanakan oleh manusia. Aksi pemerintahan ini bersangkut paut dengan berbagai kegiatan manusia.
Dalam hal ini suatu masalah dapat digambarkan sebagai suatu perbedaan antara suatu perbedaan antara suatu situasi yang diinginkan dan suatu situasi yang nyata, dengan sifat-sifat sebagai berikut:
1. Bahwa perbedaan itu diketahui oleh orang-orang, dan
2. Bahwa masalah itu rill dan agar dapat dipecahkannya maka harus ada tindakan-tindakan yang tersedia untuk memecahkannya.
Konsep daripada masalah itu diartikan secara luas. Secara ilmu sosiologi diartikan dalam buku ini bahwa semua kegiatan pemecahan masalah itu merupakan sebuah aksi atau tindakan dari sebuah masalah yang dilakukan oleh manusia. Meskipun konsep masalah ini diartikan secara luas karena konsep masalah itu sangat beragam, namun dibedakan tipe-tipe utama yaitu adanya tipe-tipe utama dari kombinasi-kombinasi dari suatu aksi masalah yang mana masalah bisa dibagi kedalam dua kategori yaitu masalah dari individu dan masalah dari kelompok dan pemecahan dari masalah-masalah ini dapat terjadi melalui aksi atau tindakan perorangan dan tindakan bersama-sama. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa masalah-masalah yang muncul dari masalah individual pemecahan masalahnya dapat dari tindakan atau aksi perorangan dan aksi bersama dengan hal ini diasumsikan bahwa antara masalah-masalah itu terdapat bidang-bidang persentuhan. Kemudian adalah bagaimana tindakan atau aksi bersama untuk masalah kelompok maksudnya adalah kelompk-kelompok dapat memberikan ekstra kemungkinan untuk memecahkan masalah-masalah perorangan.
Selanjutnya diuraikan bahwa untuk melakukan aksi-aksi untuk masalah perorangan, oleh perorangan, kelompok-kelompok dan pemerintahan umum, buku ini menjelaskan bahwa lebih dahulu perlu menyelidiki masalah-masalah apa saja yang harus dihadapai manusia itu dalam hidupnya. Dalam hal ini terkait masalah perseorangan yakni perlu diamati tentang kelanjutan eksistensi terhadap hubungan-hubungan dan masalah-maslah yang dialaminya itu dengan orang lain. Kemudian dalam aksi-aksi perseorangan untuk pemecahan masalah ini juga bisa memperluas hubungan-hubungan sosial dalam hal ini bagaimana penanganan masalah-masalah itu membutuhkan relasi-relasi dalam mendukung pemecahan masalah. Relasi yang dimaksud ini adalah pada sebuah organsisasi sosial. Organisasi sosial adalah salah satu pola permanen dari hubungan-hubungan sosial. Maka aksi-asksi untuk masalah perorangan yang telah dijelaskan diatas itu terkadang juga dapat dipecahkan oleh atau atas nama kelompok. Hal ini menyatakan bahwa sekumpulan masalah-masalah perseorangan menjadi masalah bersama.
Dalam memecahkan masalah individual ini diuraikan mengenai pembagian daripada aksi-aksi individual untuk masalah-masalah perorangan. Pembagian daripada aksi-aksi individual ini seperti dengan adanya pengerahan tenaga yang dipersatukan untuk pemisahan masalah-masalah perorangan karena untuk beberapa masalah tertentu pengerahan tenaga yang dipersatukan lebih efisien dan lebih cepat, serta masalah-masalah perorangan yang lebih besar juga dapat ditangani dan dalam jumlah yang lebih banyak. Pengerahan tenaga yang dipersatukan ini di dalam kelompok maksudnya adalah dengan adanya pengelompokan-pengelompokan terhadap bagian, pemerintahan dan pemerintahan umum.
Masalah perserorangan pada suatu kelompok ini pada dasarnya bisa menjadi aksi sebuah kelompok karena era pergaulan yang telah modern membuat masalah-masalah perorangan di era hidup modern bisa menjadi masalah sosial dan kemasyarakatan. Dengan demikian definisi kemasyarakatan ini adalah masalah perseorangan yang mana menjadi satu masalah menurut kebanyakan orang dan tindakan dalam pemecahannya pun berhubungan dengan tindakan dari kelompok dalam memecahkan masalah. Dan masalah-masalah perorangan ini juga bisa menjadi campur tangan penguasa yaitu masalah dari perorangan penanganannya bisa dari pemerintah seperti contohnya pada masalah pendidikan, masalah perlindungan, hak, dan lain-lain.
Selanjutnya pada bab 3 diuraikan mengenai pembentukan tindakan atau aksi bersama untuk pemecahan masalah-masalah. Istilah memerintah dalam hal ini dikaitkan langsung kepada masalah-masalah berkelompok. Memerintah dapat diartikan sebagai pemecahan dari masalah-masalah kelompok yang sering juga bertujuan supaya masalah-masalah perorangan dapat dipecahkan.
Tindakan-tindakan pemecahan masalah untuk masalah berkelompok secara garis besar meliputi pada pengaturan hubungan-hubungan sosial yang bertujuan untuk menuntun tindakan manusia satu sama lain dalam mencapai kestabilan dalam hubungan sosial. Pada pengaturan hubungan-hubungan sosial erat kaitannya dengan masalah kestabilan dalam hubungan-hubungan. Disebut sebagai kestabilan apabila satu kelompok menganggap baik hubungan-hubungan sosial dan pola-pola hubungannya. Dalam artian bahwa aksi atau tindakan dalam pemecahan masalah merupakan penugasan sosial. Aspek-aspek daripada yang disebut masalah-masalah kestabilan meyangkut pada hubungan-hubungan sosial atau secara lebih luas sebagai organisasi sosial. Baik hubungan-hubungan primer maupun sekunder, baik hubungan-hubungan sosial emosional maupun instrumental yang mungkin saja tidak seimbang. Maka guna mendorong kestabilan oleh atau atas nama kelompok, perlu adanya pengaturan dari hubungan-hubungan sosial dan pola-pola dari hubungan-hubungan. Hal ini untuk dapat mencegah adanya kelakuan menyimpang dan konflik-konflik sosial tersendiri.
Bab ini juga menguraikan bahwa pembentukan tindakan atau aksi bersama untuk pemecahan masalah mengenai pengaturan oleh pemerintahan umum dalam memecahkan masalah. Sebagaimana dijelaskan bahwa hal ini menyangkut pada tugas penguasa yang luas. Pengaturan yang dimaksud ini adalah dengan menganalisa masalah dan pembentukan konsensus. Dan untuk bisa membuat pengaturan pengerahan tenaga dalam menganalisa masalah dan pembentukan konsensus perlu adanya koordinasi dari pemerintahan umum.
Koordinasi menjadi unsur yang penting dalam penyatuan pengerahan tenaga. Karena masalah-masalah dari pengaturan pengerahan tenaga acap kali terkait pada masalah koordinasi. Pengerahan tenaga yang dipersatukan untuk pemecahan masalah-masalah tertentu dapat mempunyai keuntungan-keuntungan besar. Untuk penanganan masalah-masalah tertentu, mutlak perlu adanya koordinasi untuk pengerahan tenaga yang dipersatukan dalam pemecahan masalah bersama guna mencapai tujuan kelompok. Karena koordinasi adalah suatu kegiatan pemecahan masalah yang diarahkan kepada salah satu masalah kelompok dengan penyatuan pengerahan tenaga.
Koordinasi ini pun pada nyatanya seringkali mengalami permasalahan. Adapun aspek-aspek utama dari masalah koordinasi yaitu seringkali belum adanya pengertian dari anggota-anggota kelompok mengenai masalah-masalah yang ada dan yang kedua adalah pada aspek pelaksanaan pemecahan masalah. Oleh karenanya, kedua bagian masalah ini pada prinsipnya terjadi berturut-turut, jadi harus lebih dulu terjadi pengertian pada masalah dan adanya konsensus sebelum adanya aksi pemecahan masalah guna mencapai tujuan kelompok.
Pembentukan konsensus yang penting disini adalah merencanakan suatu rencana kelompok dengan meliputi penyatuan dari pengerahan tenaga yang diarahkan kepada pemecahan suatu masalah bersama. Sedangkan aksi atau tindakan dari koordinasi pelaksanaannya harus adanya hubungan yang fungsional dalam berkoordinasi. Maka dari itu harus adanya syarat mutlak untuk pencapaian tenaga yang dipersatukan dalam pelaksanaannya dengan memperluas dan mengkomunikasikan rencana kelompok dan mengusahakan dan memelihara loyalitas daripada tujuan kelompok.
Mengkoordinasikan itu pada dasarnya mengatur sesuatu sedemikian rupa sehingga berbagai bagian dari sesuatu merupakan suatu keseluruhan yang sistematik. Dan dalam deskripsi sempit, koordinasi yaitu adanya kebiasaan untuk membagi tugas-tugas dengan memerhatikan ketrampilan-ketrampilan yang ada, dan menggabungkan lagi tugas-tugas tersebut.
Koordinasi dalam konteks kelompok juga sangat diperlukan dalam kepemimpinan dan struktur komunikasi dalam sebuah kelompok. Kepemimpinan ini ditujukan kepada pelaksanaan analisis masalah dan pembentukan konsensus. Koordinasi juga jelas mempunyai hubungan-hubungan dengan struktur komunikasi pada suatu kelompok dengan hadirnya seorang pemimpin. Koordinasi dalam konteks kelompok ini mengenai organisasi-organisasi sebagai bagian pengelompokan untuk pengerahan tenaga yang dipersatukan.
Dalam pengertiannya, pengertian organisasi adalah suatu kumpulan orang-orang, suatu bagian pengelompokan yang menurut suatu rencana kelompok menghasilkan pengerahan tenaga yang dipersatukan, yang ditujukan kepada pemecahan suatu masalah tertentu. Mengorganisasikan adalah suatu kegiatan, sedangkan suatu organisasi adalah suatu kumpulan dari orang-orang (suatu bagian pengelompokan). Mengorganisasikan bertujuan menciptakan suatu struktur pemecahan masalah, dalam bentuk pengerahan tenaga yang dipersatukan. Hasil yang mengorganisasikan yaitu terbentuklah kumpulan dari orang-orang yang menghasilkan pengerahan tenaga yang dipersatukan ini yang disebuat suatu organisasi. Dan dalam organisasi ini ada yang dinamakan sebagai organisasi formal yaitu suatu kumpulan orang-orang yang secara permanen dapat diminta untuk melaksanakan suatu pola dari aksi-aksi yang diarahkan kepada pemecahan masalah-masalah tertentu.
Maka disimpulkan bahwa koordinasi ini sangat penting dalam pemecahan masalah karena koordinasi menjadi suatu bentuk kedua dari kerjaan memerintah. Hal itu menjadi sangat jelas apabila koordinasi itu dilakukan oleh sejumlah orang-orang yang terbatas, seperti pada pemimpin. Dan pada pengaturan terlihat bagaimana aksi ini dalam suatu kelompok dapat menimbulkan suatu posisi-posisi sosial tersendiri.
Selain koordinasi, integrasi sosial juga menjadi bagian masalah. Dijelaskan bahwa integrasi sosial dapat membuat survival dari suatu kelompok untuk kemungkinan-kemungkinan dalam memecahkan masalah individual. Integritas tidaklah dengan sendirinya ada dalam sebuah kelompok, terkadang karena dari adanya berbagai kekuatan dapat membubarkan sebuah kelompok.
Masalah-masalah integrasi itu merupakan kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam  suatu kelompok. Untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan yang merusak suatu kelompok, dan untuk membiarkan kelompok ini menjadi kelompok yang survive, orang-orang melakukan tindakan-tindakan yang diarahkan kepada integrasi; diantaranya loyalitas-loyalitas permanen. Loyalita-loyalitas ini dengan demikian mempunyai karakter umum. Berbicara secara global ada dua kategori faktor yang dapat membantu integrasi, yakni
a. Kesadaran akan kepentingan-kepentingan bersama, dan
b. Ukuran moral dalam suatu kelompok
Di dalam tindakan-tindakan yang dilakukan orang-orang untuk integrasi yaitu dengan menumbuhkan nilai-nilai kelompok pada angggota kelompok. Bagian-bagian aksi tersebut dapat dibedakan sebagai penciptaan lambang-lambang yang dihubungkan dengan kelompok, pemberian bentuk pada nilai-nilai umum antara yang baik dan buruk, dan penciptaan ritual kolektif yang diartikan sebagai pertemuan-pertemuan yang berlangsung secara periodik menurut suatu pola yang tetap di mana di dalamnya kesadaran akan nilai-nilai diaktifkan.
Integrasi ini juga menjadi suatu bentuk pekerjaan memerintah. Sama halnya seperti sebuah regulasi dan koordinasi, integrasi sebagai suatu bentuk pekerjaan memerintah yang pada prinsipnya dapat berlangsung untuk pemecahan masalah dalam kelompok. Campur tangan pemerintah sehubungan dengan integrasi dari kelompok-kelompok sama halnya seperti pada koordinasi yaitu dengan melakukan sendiri aksi integrasi atau merangsang integrasi pada kelompok.
Maka pengaturan, koordinasi dan integrasi sebagai tiga bentuk dari usaha memerintah ini memiliki perbandingan singkat yaitu hubungan-hubungan timbal balik dengan dapat dibedakan dengan jelas menurut jenis masalah-msalahnya, tindakan kepemerintahan, dan menurut jenis dari apa yang dituntut dari anggota-anggota kelompok. Dan hubungan timbal balik di antara ketiga kombinasi aksi masalah tersebut dapat dilihat sebagai elemen-elemen yang muncul dari satu masalah seperti pada masalah pokok koordinasi dan dari pengerahan tenaga, pengaturan dan integrasi.
Selnjutnya pada bab 4 dalam buku ini diuraikan mengenai elemen-elemen baru yang terdapat di dalam pergaulan hidup di era modern yang kompleks. Sifat kompleks dalam hal ini dikemukakan sebagai suatu masalah. Dalam hal ini dijelaskan bahwa masalah-masalah bersangkut pada pergaulan hidup yang semakin modern semakin kompleks. Jika diarahkan kepada suatu pergaulan hidup, dalam hubungan ini orang sering berbicara tentang diferensiasi sosial: dimana terdapat sangat banyak bagian yang terspesialisasi yang relatif dan otonom, tetapi mempunyai satu hubungan dengan yang lain.
Dalam bab ini dijelaskan mengenai tindakan-tindakan kepemerintahan dalam suatu pergaulan hidup yang kompleks yang mana pembentukan dari hubungan yang diuraikan sebabnya karena masalah komunikasi dari hubungan sosial yang dapat menjembatani adanya jarak ruang. Kemudian adanya sebuah pemecahan lanjutan (decomposisi) yang didefinisikan sebagai masalah-masalah yang dilihat secara keseluruhan (kompleks). Selanjutnya terkait pengaturan dari satu koordinasi yang mana hal ini tentang masalah hubungan dalam bagian-bagian yang terkait pengaturan, koordinasi dan integrasi yang terkait pada masalah hubungan secara keseluruhan antara bagian-bagian.
Terkait hal diatas, bab ini menjelaskan mengenai kompleksnya suatu pemerintahan (pekerjaan memerintah). Hal ini terkait pada mengelola atau memerintah ini yang dilihat dalam era modern dalam pemecahan masalah-masalah kelompok. Diuraikan dalam buku ini bahwa sistem yang kompleks berkonsekuensi pada masalah-masalah kelompok dari kestabilan hubungan-hubungan dari pembentukan pengerahan tenaga yang dipersatukan. Pergaulan hidup modern sebagai suatu keseluruhan yang kompleks sebagai dasar-dasar kelahiran masalah-masalah dalam kelompok.
Karakterisasi dari suatu pergaulan hidup yang modern dapat menimbulkan sebuah diferensiasi sosial. Hal ini diuraikan bahwa bagaimana suatu pergaulan hidup yang modern dapat di karakterisasi atau istilah umum adalah diferensiasi, yang dalam buku ini diferensiasi diartikan dalam pengertian horizontal maupun vertikal.
Diferensiasi sosial horizontal ini terkait hubungan dengan pembagian pekerjaan. Dijelaskan dalam buku ini bahwa suatu basis untuk diferensiasi terjadi dari posisi-posisi sosial dan peranan-peranan sehubungan dengan itu untuk regulasi, koordinasi, dan integrasi. Pergaulan hidup yang terdiri dari berbagai kelompok sosial dapat membentuk sebagian orang untuk mempunyai identitas dan kebudayaan bisa membuat bentuk diferensiasi horizontal dan mempunyai hubungan dengan suasana integrasi. Sedangkan diferensiasi sosial yang vertikal adalah klasifikasi sosial yang mempunyai hubungan dengan perbedaan-perbedaan dari peranan-peranan yang dimiliki setiap individu, dan terkait pula dengan hubungan pembagian pekerjaan.
Maka rencana-rencana yang dibuat dalam suatu pergaulan hidup yang modern ini sebagai keseluruhan yang penting pertama adalah menyesuaikan (mengkoordinasikan) sektor-sektor yang ada, kedua adalah pengerahan tenaga yang dipersatukan yang dapat dilakukan dengan decomposisi. Ketiga adalah koordinasi untuk kepentingan masalah-masalah yang spesifik yang menyangkut pada hal besar. Sebab hubungan keseluruhan itu dapat diganggu oleh hubungan yang spesifik.
Jadi dalam hal ini, buku ini melihat bagaimana dalam satu sektor dapat saling berhubungan melalui pengaturan dan koordinasi. Dan didalamnya sehubungan dengan perkembangan-perkembangan kemasyarakatan yang spontan dipenuhi dengan suatu peranan oleh pemerintahan umum. Pengaturan dan koordinasi dari pemerintahan umum menjadi bagian terpenting untuk bisa berjalan dengan baiknya pemerintahan dengan perlu adanya kestabilan dalam hubungan-hubungan diantara bagian-bagian yang terkait pada koodinasi dan pembentukan pengerahan tenaga.
Yang terakhir pada bab 5 dalam buku ini bahwa buku ini menempatkan pemerintahan umum sebagai suatu bagian sistem yang kompleks, dimana buku ini memberikan perhatian kepada organisasi, pengambilan keputusan dan pengaruh daripada pergaulan hidup.
Dijelaskan dalam buku ini bahwa pemerintahan umum itu terdiri dari bagian-bagian. Seiring dalam hal ini bahwa kekuasaan dan kekerasan memainkan peranan. Dalam hal ini, pengaturan-pengaturan yang ada antara lembaga-lembaga dituntut untuk bisa menjamin adanya kestabilan. Yang mana pengaturan yang dimaksud ini adalah pengaturan dari lembaga-lembaga untuk kader-kader organisasi dengan aturan-aturan yang dibuat mempunyai sangkut paut dengan hubungan di antara bagian-bagian dari pemerintahan umum. Dan dalam pengaturan ini juga diperlukan adanya koordinasi sebagai analisa masalah dan pembentukan konsensus (pembentukan keputusan). Dalam pembentukan keputusan ini perlu adanya penimbangan-penimbangan dalam pembentukan masalah dengan membuat keputusan-keputusan yang strategis sebagai dasar untuk hubungan timbal balik.
Pemerintahan umum sebagai bagian dari sektor pergaulan hidup ini adalah menyangkut pada pembentukan keputusan. Dalam pembentukan keputusan ini, menyangkut adanya sebuah pengaruh dari luar. Pengaruh dari luar disini yaitu seperti adanya tekanan dari kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial. Hubungan-hubungan yang bisa mempengaruhi itu banyak bercokol dalam sistem sosial. Sistem sosial ini berasal dari hubungan pengaruh struktural dan gerakan-gerakan sosial.
Pembentukan keputusan juga merupakan bagian dari bentuk pelaksanaan keputusan dari pemerintahan umum. Penyelesaian masalah menjadi sebuah pelaksanaan dari pekerjaan peemrintahan umum. Dalam hal ini dijelaskan dalam buku ini bahwa penyelesaian masalah tidak sederhana dari apa yang telah menjadi sebuah pelaksanaan menyelesaikan masalah yang diatur oleh blue print. Suatu organisasi pelaksanaan harus memecahkan berbagai masalah lebih daripada yang telah diatur oleh blue print. Dalam hal ini, pelaksanaan daripada penyelesaian masalah yang termasuk sebagai aksi-aksi dari pemecahan masalah pelaksanaannya haruslah bisa dilaksanakan dengan garis besar yang dibagi dalam empat kategori:
1. Masalah yang ditunjukkan oleh blue print
2. Masalah dari dalam organisasi penguasa
3. Masalah-masalah ekstra lain yang bisa ditimbulkan dari lingkungan organisasi
4. Masalah individual dari anggota

Dan buku ini menguraikan bahwa dalam menyelesaikan masalah, manusia seringkali mengembangkan banyak tindakan atau aksi untuk menangani masalah-masalah, baik di dalam situasi yang sederhana, maupun yang kompleks. Buku ini melihat, hal tersebut sebagai suatu kumpulan yang mengesankan dari “inovasi-inovasi” dalam pemecahan masalah, sebagai suatu bentuk dari kreativitas manusia. Inovasi-inovasi itu sekiranya akan membutuhakn perbaikan untuk menyelesaikan banyak masalah-masalah yang mendesak.

BAB VII
Rangkuman Peter Taylor-Gooby
“Squaring the Public Policy Circle: Managing a Mismatch Between Demands and Resources”
dalam New Paradigms in Public Policy (2013)

Buku “New Paradigms in Public Policy” merupakan buku yang memuat mengenai paradigma-paradigma baru dalam kebijakan publik yang isinya memuat tulisan berupa esai-esai oleh para akademisi. Salah satunya yang ditulis oleh Peter Taylor-Gooby mengenai pengotakan pada lingkaran kebijakan publik: mengatur ketidaksingkronan antara permintaan dan sumber daya. Dimana esai ini menguraikan sudut pandang terhadap paradigma baru tersebut dengan membahas beberapa metode yang dilakukan oleh pemerintah Inggris dalam mengatasi permintaan dan tekanan dari kebijakan publik.
Paradigma baru yang terjadi dalam lingkaran kebijakan publik ini yaitu mengatur ketidaksingkronan antara permintaan dan sumber daya bisa dikatakan sebagai sebuah dilema kebijakan publik yang terjadi pada Pemerintahan Inggris. Ditengah polemik yang terjadi di negaranya terkait defisit anggaran, seperti halnya dengan banyak negara Eropa, Inggris belum pulih dari krisis ekonomi yang dipicu oleh masalah kredit rumah (subprime mortgage crisis) di Amerika Serikat. Inggris menjadi salah satu negara yang memiliki defisit anggaran besar. Oleh karena itu, Pemerintah Inggris berusaha menanggulanginya dengan penghematan anggaran berupa pemangkasan belanja negara dan menaikkan pajak guna mengurangi defisit yang besar. Sementara disamping itu, Pemerintah Inggris harus menghadapi konflik diantara permintaan pelayanan publik dan tekanan bertubi-tubi dari khalayak inggris terhadap keputusan pemangkasan belanja publik tersebut.
Pemerintah bermaksud mengurangi anggaran sebesar 80 miliar poundsterling dalam jangka empat tahun dari keputusan dicetuskan. Namun tidak semua kalangan menyetujui langkah Pemerintah Inggris. Pemangkasan belanja untuk publik tersebut menandai masa-masa sulit yang dihadapi pemerintah dan masyarakat Inggris. Tekanan bertubi-tubi datang terhadap keputusan pemangkasan belanja publik. Tanggapan dari pihak oposisi Partai Buruh terkait kenaikan pajak penjualan direspon akan menyulitkan kelompok miskin. Kebijakan itu dinilai tidak adil karena pemangkasan anggaran akan berpengaruh pada rakyat yang mengandalkan sektor umum dan tunjangan.
Pada dasarnya polemik yang terjadi disebabkan antara kondisi perekonomian Inggris yang defisit anggaran dan publik di Inggris yang berekspektasi untuk bisa mencapai pelayanan yang lebih baik. Adanya permintaan untuk pemerintah membiayai pembiayaan sosial dan pelayanan publik ini adalah untuk mencapai perbaikan pada sistem pembiayaan jaminan hari tua (pensiun), kesehatan dan sosial. Namun dalam ekonomi global, dengan spekulasi internasional pada ekonomi nasionalnya, Pemerintah Inggris menghadapi kendala pada kebijakan mereka yang tidak terlihat bijaksana secara finansial, sehingga membuat hal ini menjadi salah satu alasan mengapa koalisi pemerintah melakukan pemangkasan belanja mereka.
Paradigma baru dalam lingkaran kebijakan publik ini menurut penulis merupakan bentuk luas dari perdebatan kebijakan publik dalam waktu jangka menengah. Ini adalah bidang yang luas dan penulis fokus pada arah kebijakan baru yang berusaha untuk menggeser keseimbangan antara negara, sektor swasta, warga negara, individu dan masyarakat. Dalam hal ini, penulis menguraikan bahwa berbagai strategi dikembangkan oleh Pemerintah Inggris dalam upaya untuk menangani tekanan-tekanan. Bahkan polemik tekanan belanja publik ini menjadi sudah termasuk dalam tanggung jawab yang bergeser dari pemerintah ke individu, swasta atau sektor sukarela untuk berbagai bidang penyediaan jasa publik sebagai upaya untuk mengubah perilaku masyarakat untuk mengurangi tuntutan. Secara khusus untuk bisa mencapai permintaan tersebut. Pemerintah Inggris telah membuat pengembangan kebijakan baru dengan berusaha menarik sektor swasta, pasar, masyarakat dan warga negara untuk bisa memenuhi pelayanan publik. Metode ini, pemerintah jalankan dalam upaya menyeimbangkan pengeluaran anggaran dan meminimalisir konflik pemangkasan belanja publik.
Kebijakan pemangkasan belanja publik ini juga membuat adanya tanggung jawab individu yang lebih besar: insentif kerja. Pemerintah Inggris sendiri telah mentransfer tanggung jawab dari negara ke individu terkait usia kerja. Kebijakan sekarang menjadi semakin membatasi hak yang didapatkan oleh pekerja terlebih dalam hal insentif kerja dan pensiun.
Tidak hanya menjadi tanggung jawab individu saja, akan tetapi adanya pergeseran ketentuan untuk sektor swasta membantu menyediakan pelayanan publik. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan pada tahun 1980-an, pemerintah berusaha untuk memanfaatkan lebih besar sektor swasta untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Privatisasi pun pemerintah lakukan dengan beberapa upaya seperti memprivatisasi sektor pendidikan dan kesehatan. Dan privatisasi terhadap pengurangan anggaran perumahan pejabat pun tampaknya lebih sukses dalam menghasilkan penghematan dan lebih diterima publik. Dengan demikian, adanya pergeseran kepada sektor swasta dalam membantu menyediakan pelayanan publik membuat adanya perluasan pasar. Hal ini dilakukan guna memberikan layanan yang lebih responsif.
Pemerintah juga merespon tekanan dari kebijakan pemangkasan belanja publik dengan diterapkannya pilihan. Hal ini maksudnya adalah dalam pelayanan yang dibiayai negara diatur dengan lebih selektif seperti pasien pilihan yang sesuai dengan prosedur. Dan contoh lain misalnya pada penyediaan untuk pengobatan non-mendesak pun sekarang diimplementasikan oleh sistem penganggaran pribadi dalam konteks pembiayaan sosial.
Namun menurut penulis pada bagian diskusi dijelaskan bahwa program pilihan pun ketika diperkenalkan sebagai bagian dari strategi manajemen publik baru, belum secara langsung dapat menekan pengeluaran, akan tetapi strategi ini setidaknya telah menjadi salah satu unsur dalam persaingan pasar yang dirancang untuk bisa menjadi penyedia dengan insentif yang mengharuskan pemerintah menjadi responsif terhadap permintaan publik.
Selanjutnya dalam mengatur permintaan, Pemerintah Inggris menggunakan target terkait dengan berbagai insentif, termasuk pemecatan pegawai-pegawai yang tidak efektif dalam bekerja guna memenuhi sumber daya yang dapat memenuhi target.
Dijelaskan juga oleh penulis, dalam mengurangi permintaan juga perlu adanya perubahan perilaku. Perubahan peilaku ini menjadi sebuah metode dorongan yang menarik karena menawarkan penghematan dengan memodifikasi perilaku masyarakat untuk mengurangi tuntutan pada penyediaan sosial. Kebijakan ini didasarkan pada heuristik, disonansi kognitif (kecenderungan diamati bagi orang untuk beralih keyakinan mereka sesuai perilaku mereka, bukan sebaliknya), dan kesesuaian kecenderungan (cara di mana orang sering berusaha untuk mengubah perilaku mereka untuk bisa cocok dengan kelompok yang mereka identifikasi). Perubahan perilaku ini contohnya termasuk pada permintaan akan skema pensiun.
Namun penulis beranggapan bahwa pendekatan dengan melibatkan perubahan perilaku merupakan pendekatan terbatas. Sampai saat ini belum jelas seberapa jauh strategi perubahan perilaku bisa mengambil alih beberapa tekanan terhadap belanja publik. Pada prinsipnya, perubahan perilaku masih menjadi strategi yang hanya dapat memberikan kontribusi parsial.
Selanjutnya dalam mengelola ketidaksingkronan antara permintaan dan sumber daya ini dilakukan melalui penanaman nilai-nilai bersama. Hal ini dilakukan dengan adanya pengelompokan pada masyarakat sipil yang memiliki tradisi kuat untuk bisa menyediakan sejumlah besar kebutuhan sosial, mulai dari penyediaan tuntutan hak asasi manusia, untuk meningkatkan kesejahteraan lingkungan dan budaya. Pada akhirnya, metode ini membuat adanya penanaman nilai-nilai pada kelompok masyarakat sipil akan nilai-nilai dari belanja publik. Sumber daya-sumber daya yang bisa berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik bisa menjadi pemanfaatan pengurangan biaya publik. Kegiatan sukarela yang dilakukan oleh sumber daya-sumber daya bisa menjadi komponen utama. Dalam hal ini yang paling kuat adalah sumber daya di daerah. Sebagian besar sumber daya dapat diarahkan untuk perawatan kesehatan dan pendidikan.
Oleh karena itu, dalam bagian diskusi pada esai ini menjelaskan bahwa kebijakan publik ini pun dalam hal ini menjadi terjebak antara permintaan untuk mengurangi belanja publik dan tuntutan untuk perbaikan dan perluasan. Ketegangan ini semakin sulit untuk menyeimbangkan. Beberapa metode-metode diatas yang penulis telah tinjau terhadap kebijakan publik. Semua bisa berkontribusi untuk beberapa aspek masalah tetapi tampaknya tidak mungkin untuk bisa ditawarkan menjadi sebuah resolusi yang independen, dan membuat pemerintah bisa menjalankan itu semua dengan beriringan dan dalam kombinasi.
Dan dalam praktiknya, pemangkasan belanja publik ini pada dasarnya memeberikan dampak terutama mempengaruhi performa daerah pada sumber daya (kesehatan, pendidikan, pensiun). Berbagai tekanan terhadap pemangkasan belanja publik pun menjadi akan semakin meningkat guna menuntut peningkatan produktivitas dalam pelayanan publik. Sejauh kita bisa melihat, upaya ini mencapai tidak lebih dari pemeliharaan status quo.
Selanjutnya penulis juga menjelaskan terkait arah masa depan kebijakan dimana ketegangan antara permintaan layanan publik untuk memenuhi beragam kebutuhan dan tekanan akan pengeluaran belanja akan semakin ada kemungkinan akan terus membentuk konteks paradigma baru dalam kebijakan. Ruang lingkup dan keterbatasan strategi yang berbeda menunjukkan bahwa kemungkinan skenario masa depan akan mencakup kombinasi dari kebijakan, yang bervariasi dalam tingkat sentralisasi.