“Decentralization and Electronic Governance” dalam Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practices (2007)
Buku “Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practices” (2007) merupakan buku yang memuat mengenai isu-isu pemerintahan yang berpusat pada pembahasan mengenai desentralisasi yang di uraikan dari konsep hingga praktik. Penguraian dalam buku ini terbagi dalam bab-bab yang isinya memuat tulisan berupa esai-esai oleh para akademisi. Salah satunya yang ditulis oleh Guido Bertucci dan Maria Stefania Senese mengenai desentralisasi dan e-governance.
Dijelaskan dalam buku ini, bahwa tren global menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Penurunan terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang ditunjukkan pada tren global ini diindikasi dari persepsi umum terhadap masalah-masalah yang terjadi di dalam struktur pemerintahan dan politik yang terlihat kompleks.
Menurut penulis, tata kelola pemerintahan memanglah penting, tetapi tidak cukup untuk menjamin kepercayaan politik. Untuk mengatasi tantangan mendapatkan kepercayaan publik, pemerintah seharusnya meningkatkan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan pada kebijakan publik, hal ini bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah yang bisa menjadi dorongan timbulnya kepercayaan publik.
Dijelaskan dalam esai ini, bahwasanya selama dua puluh tahun terakhir berbagai negara didunia telah melakukan reformasi dengan tujuan meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas pemerintah melalui pendekatan desentralisasi. Para ahli dan peneliti telah memuji desentralisasi sebagai alat terbaik untuk membawa pemerintah lebih dekat dengan publik dengan meningkatkan pengambilan keputusan publik melalui pemberian pelayanan publik yang lebih efektif.
Dengan kata lain, desentralisasi telah muncul sebagai tren global yang bertujuan untuk memberdayakan otonomi di tingkat lokal dengan fasilitasi melalui partisipasi warga negara dan untuk meningkatkan pentransferan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien. Melalui desentralisasi, tujuan pemerintah adalah mendorong keterlibatan tingkat lokal dalam proses pengambilan keputusan, sehingga langkah ini membuat adanya partisipasi publik, kepemilikan, dan keterlibatan yang lebih luas. Karena keputusan yang dibentuk dalam desentralisasi, dapat dibilang merupakan keputusan yang bisa mencerminkan kebutuhan dan prioritas penduduk lokal.
Dengan demikian, desentralisasi bisa dibilang merupakan model baru dalam sistem pemerintahan negara melalui re-distribusi kekuasaan. Dari sudut pandang politik, desentralisasi berusaha untuk meningkatkan partisipasi lokal, sehingga dengan itu bisa mencapai good governance dan bisa membina nilai-nilai demokrasi. Oleh karenanya, desentralisasi ini mendorong keterlibatan dari pemangku kepentingan khususnya pada pemerintahan daerah yang harus bisa menciptakan tata kelola pemerintahan yang efisien dan transparansi dalam manajemen perencanaan, karena pemerintah daerah menjadi pemangku kepentingan yang mentransfer pelayanan publik dari pemerintah pusat untuk merespon kebutuhan masyarakat lokal di masing-masing daerahnya.
Namun, dijelaskan dalam buku ini bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam proses desentralisasi di negara-negara berkembang. Keterlibatan pejabat publik baik di pusat dan daerah masih belum bisa bersama-sama menciptakan sistem tata pemerintahan yang efisien dan transparan. Kasus korupsi membuat sulit bagi desentralisasi untuk bisa berjalan sukses. Oleh karena itu, dalam skenario ini, penulis menitikberatkan pertanyaan yang menjadi titik pusat penelitiannya yaitu dapatkah Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat membuat desentralisasi dan tata pemerintahan daerah lebih efektif dan bermakna ?
Dijelaskan dalam esia ini bahwa, Teknologi Komunikasi dan Informasi atau Information and communications technologies (ICTs) dapat membantu mengatasi hambatan yang disebutkan di atas dan bisa membuat desentralisasi berjalan efektif dan responsif, sehingga dapat menciptakan efisiensi, transparansi, partisipasi, dan meningkatkan keterlibatan warga negara. Bahkan Teknologi Komunikasi dan Informasi memiliki potensi yang bisa mendukung transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas melalui peningkatan pelayanan dasar, menyediakan saluran komunikasi baru, dan mengembangkan kapasitas pembangunan dan pertumbuhan sosial dan ekonomi.
Namun sayangnya, manfaat Teknologi Komunikasi dan Informasi yang dapat meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat ini dalam penggunaanya seringkali terhambat oleh akses yang sulit dalam teknologi digital. Akses pada Teknologi Komunikasi dan Informasi ini sering terbatasi oleh adanya kesenjangan pada akses digital di negara-negara di dunia. Kesenjangan terhadap akses digital ini luas antara negara kaya dan miskin, hal itu pun menjadi faktor eksternal yang dapat membawa dampak buruk.
Diuraikan dalam esai ini bahwasanya telah banyak inisiatif, proyek, dan program yang telah dikembangkan oleh pemerintah-pemerintah di negara-negara di dunia untuk menjembatani kesenjangan digital serta memberdayakan warga negara dan meningkatkan kesempatan mereka untuk berpartisipasi. E-access and e-participation menjadi jaringan atau wadah yang memfasilitasi warga negara untuk bisa akses informasi dan sebagai sarana komunikasi. Dengan demikian, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat menciptakan e-access untuk dapat menjembatani kesenjangan antara hubungan pusat kepada lokal, dan pemerintahan lokal ke masyarakat. Pihak berwenang di pemerintahan lokal bisa menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menunjang tata pemerintahan yang lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Seperti kebutuhan pada akses internet untuk transaksi keuangan (rekening bank), database pemerintahan, website kota, platform konsultasi. Yang mana semua itu bisa dijadikan sebagai sarana komunikasi yang lebih efektif dan efisien dan warga juga menjadi lebih mudah untuk mengakses informasi dan layanan publik. Oleh karenanya, internet bisa menjadi berguna untuk menyelesaikan masalah warga negara yang kurang terhadap informasi. Penggunaan internet juga telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk merampingkan proses administrasi publik dan memaksimalkan efektifitas pemerintahan. Selanjutnya, penggunaan internet juga bisa membuat pelayanan pemerintah daerah yang lebih baik.
Sedangksn e-partisipasi didefinisikan oleh penulis sebagai program pemerintah untuk mendorong partisipasi dari warga negara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses warga negara terhadap informasi (e-information), untuk bisa terlibat dalam diskusi (e-consultation), dan untuk mendukung partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan (e-decision making). Oleh karena itu, kerangka e-participation termasuk pada e-information, e-consultation, dan e-decision making yang menjadi fitur-fitur penting untuk e-democrarcy. Sehingga dengan mengimplementasikan e-participation tersebut menjadi memunculkan sebuah lingkaran dengan adanya tiga dimensi yang disebut oleh penulis sebagai Three Dimensions of the E-Participation Circle yang bisa memperkuat partisipasi demokrasi (Lihat figure 3-1).
Dengan memfasilitasi terhadap akses untuk informasi, melalui e-participation yang termasuk e-information, e-consultation, dan e-decision making tersebut menjadi akan memungkinkan publik untuk mengambil bagian dalam diskusi, khususnya untuk membantu menentukan isi dari kebijakan. Sehingga hal itu, membuat publik menjadi bagian dari penggerak yang signifikan terhadap kebijakan publik. Teknologi Komunikasi dan Informasi ini dapat memberdayakan semua pemangku kepentingan dengan membantu mereka dalam mencapai konsensus yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan publik yang sukses dan berkelanjutan. Dengan demikian, strategi yang berarti terhadap Teknologi Komunikasi dan Informasi ini menjadi bertujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan aksesibilitas pemerintah yang bisa menciptakan e-government untuk mendukung inklusi sosial (e-inclusion).
Namun yang perlu diperhatikan ditekankan oleh penulis adalah bahwa tantangan sesungguhnya terletak tidak hanya memastikan terhadap akses untuk memastikan warga negara berpartisipasi dengan pembuatan kebijakan, serta e-partisipasi yang dapat bersifat inklusif, terbuka, responsif, dan konsultatif. Akan tetapi, implementasi dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi pada proses desentralisasi itulah yang perlu mendapatkan perhatian lebih yang mana kemampuan setiap kelompok sosial dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi itu berbeda-beda. Oleh karena itu, bukan hanya fokus pada akses saja melainkan, harus fokus pada pemberdayaan terhadap penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi di masyarakat dengan menggunakan pendekatan inklusi. E-inclusion ini membutuhkan pergeseran fokus dari teknologi menjadi untuk mendukung ekonomi, sosial, dan budaya. E-inklusi adalah pendekatan holistik terhadap penyempitan kesenjangan digital dan mencegah bentuk-bentuk baru yang bisa menciptakan pengucilan dari perkembangan yang ada. Maka dalam hal pemberdayaan ini, perlu adanya pemberdayaan dari pemerintahan lokal. Institusi lokal perlu mendukung penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi untuk bisa mendorong keterlibatan warga lokal dalam pengambilan keputusan, sehingga hal ini bisa mendukung proses desentralisasi.
Selain masalah akses dan pemberdayaan yang perlu diperhatikan yang ditekankan oleh penulis, ada hal lain yang menjadi tantangan sesungguhnya dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi untuk membuat proses desentralisasi bisa berjalan sukses. Hambatan tersebut adalah:
• Kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi.
• Tidak efisiennya pentransferan sistem pelayanan dan administratif.
• Sumber daya yang ada tidak memadai dalam memenuhi tanggung jawab sebagai otoritas lokal dalam pemenuhan layanan publik.
Dengan demikian yang menjadi tantangan utama bagi pelayanan publik adalah meningkatkan kompetensi manajerial dan teknis para pegawai negeri. Karena pelayanan publik berkualitas tinggi membutuhkan staf profesional yang berkualitas dan terlatih. Oleh karena itu, melalui e-learning dapat menjadi sarana yang bisa memberikan pelatihan yang tepat waktu untuk para staf, yang memungkinkan untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan baru yang lebih cepat dan biaya yang lebih rendah daripada metode pelatihan secara manual.
Penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi ini dalam peningkatan kapasitas kemampuan pegawai juga bisa menciptakan lingkungan yang kompetitif diantara pegawai di pemerintah daerah, yang mana dengan adanya pelatihan untuk meningkatkan kompetensi manajerial dan teknis melalui e-learning dapat membuat SDM menjadi terlatih dan menjadi memiliki kapasitas untuk mendukung proses desentralisasi. Teknologi Komunikasi dan Informasi melalui e-learning ini juga dapat menjangkau orang-orang di daerah terpencil untuk mereka dapat terlibat, berkontribusi dalam pelatihan. Sehingga dalam kasus ini, Teknologi Komunikasi dan Informasi mendorong efisiensi secara signifikan dengan bisa memaksimalkan ketepatan waktu dan kualitas pelayanan, serta dapat meminimalkan biaya dengan bisa cepat mentransfer informasi melalui internet.
Kemudian diuraikan juga oleh penulis mengenai masalah utama yang menjadi tantangan desentralisasi terkait masalah di lingkungan pemerintah lokal, seperti kasus korupsi, kemiskinan, dan infrastruktur yang tidak memdai, menjadi menyulitkan akses dan ketersediaan sumber daya, yang secara signifikan yanag bisa menghambat proses desentralisasi tersebut. Korupsi menjadi hal yang berbahaya yang bisa menjadi penghambat jalannya desentralisasi yang efektif. Namun dijelaskan oleh penulis bahwasanya Teknologi Komunikasi dan Informasi ini bisa mengurangi korupsi dan mendukung nilai demokrasi melalui penyebaran informasi dan komunikasi. Bahkan, Teknologi Komunikasi dan Informasi bisa membuat adanya keterbukaan administrasi, transaksi dan catatan untuk bisa dikontrol. Hal itu bisa membuat sistem manajemen yang lebih transparan, akuntabel, efisien, dan bisa mengehemat biaya pemerintah.
Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat memfasilitasi peningkatan kapasitas lokal dan mendukung pengembangan sektor swasta, dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan sosial ekonomi. Kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk pengembangan dan penyebaran Teknologi Komunikasi dan Informasi. Kemitraan ini dapat memobilisasi sumber daya yang ada untuk penggunaan internet yang lebih luas.
Namun satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian juga bahwasanya dalam penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi dalam proses desentralisasi yaitu mengenai pembuatan kerangka peraturan hukum Teknologi Komunikasi dan Informasi. Yang mana hal tersebut juga menjadi tantangan yang perlu diperhatikan bagi kebijakan pemerintah. Pertumbuhan perkembangan yang cepat pada Teknologi Komunikasi dan Informasi mendorong pemerintah untuk memikirkan kembali kerangka tersebut secara efektif dan fleksibel. Bahkan terencana dengan formulasi, implementasi, dan penegakan kerangka peraturan hukumnya yang dapat menghindari dari risiko terkait dengan kejahatan cyber untuk menciptakan manajemen operasi yang lebih baik (seperti keamanan dalam perlindungan data pribadi dan rahasia untuk mencegah adanya penipuan dan tindak kejahatan lainnya).
Dengan demikian penulis memberikan kesimpulan, bahwa dengan memusatkan pada hal yang lebih efisien, efektif, akuntabel, dan partisipasi, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat menjadi alat yang ampuh untuk proses desentralisasi. Tepatnya, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat mendukung kapasitas pemerintah daerah selama transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi melalui penguatan struktur pemerintahan. Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat mengatasi kekurangan terhadap masalah transparansi dan akuntabilitas di tingkat lokal dan mengatasi masalah partisipasi pada masyarakat lokal dalam proses pembuatan kebijakan. Melalui informasi arus global, Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat mendorong keterlibatan masyarakat luas dalam partisipasi dalam pemilihan perwakilan daerahnya (seperti dalam sistem pemilihan umum daerah).
Demikian dengan adanya peningkatan mekanisme untuk keterlibatan yang lebih besar (partisipasi) publik melalui Teknologi Komunikasi dan Informasi, maka hal tersebut dapat membangun kepercayaan publik dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat membuka mata masyarakat (sadar) akan isu-isu publik, dan ini dapat membantu membentuk konsensus umum tentang kebijakan publik. Karena keputusan adalah hasil dari partisipasi oleh semua pemangku kepentingan. Mencapai konsensus adalah kunci untuk mendefinisikan dan menerapkan kebijakan publik.
Singkatnya Teknologi Komunikasi dan Informasi dapat membuat desentralisasi lebih efektif dan bermakna tapi tidak dalam semua kasus, bukan tanpa peringatan tertentu. Jika implementasi penggunaan Teknologi Komunikasi dan Informasi tidak dilaksanakan dengan benar, maka dapat meningkatkan ketidakseimbangan antara kaya dan miskin. Dan hal itu dapat memperlambat laju desentralisasi dalam transfer pelayanan, kerjasama antar tingkat pemerintahan, dan mekanisme dalam pengambilan keputusan mekanisme. Selain itu, kerangka peraturan yang tidak tepat pada peraturan hukum Teknologi Komunikasi dan Informasi juga dapat meningkatkan kejahatan cyber. Hal itu pun dapat menghalangi proses dalam pembangunan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.