“Problem-Structuring Methods for e-Democracy dalam e-Democracy, A Group Decisions and Negotiation Perspective (2010)
Buku “e-Democracy, A Group Decisions and Negotiation Perspective” menguraikan beberapa penjelasan yang dikemas dalam bagian bab-bab yang ditulis oleh beberapa penulis terkait e-Democracy. Para penulis dalam buku ini menyadari adanya imperatif politik terhadap e-government dan partisipasi publik seiring dengan tekanan terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berarti bahwa e-partisipasi dan e-demokrasi datang dengan cepat. Buku ini membahas berbagai isu yang muncul terkait interaksi terhadap basis internet untuk mendukung partisipasi dalam demokrasi, yang disebut dalam buku ini sebagai e-partisipasi. Buku ini, berkonsentrasi pada bagaimana bisa mengubah proses demokrasi menggunakan keputusan berbasis web yang disebut dalam buku ini sebagai e-Democracy dengan dukungan struktur negosiasi dan mengartikulasikan partisipatif musyawarah. Hal ini berbeda dengan sebagian besar penelitian di lapangan, yang berkonsentrasi pada teknologi untuk memfasilitasi atau mengotomatisasi standar instrumen demokratis. Contoh umumnya adalah termasuk teknologi e-voting, yang merujuk untuk memfasilitasi voting (pemungutan suara) melalui sarana elektronik.
Ashley Carreras dan L. Alberto Franco merupakan salah satu penulis yang menulis esai dalam buku ini menguraikan mengenai “Problem-Structuring Methods for e-Democracy” yang merupakan bagian basis metodologis dalam buku ini. Metode penataan masalah atau Problem-Structuring Methods (PSMS) adalah sekumpulan teknik atau metode yang biasa digunakan sebagai model untuk memetakan sifat atau struktur sebuah situasi atau keadaan dimana beberapa orang menginginkan perubahan. PSMS biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang bekerja sama untuk menciptakan sebuah konsensus, atau setidaknya memfasilitasi sebuah negosiasi tentang apa saja yang perlu diubah.
Istilah "metode penataan masalah" atau Problem-Structuring Methods (PSMS) mulai digunakan pada tahun 1980-an dalam bidang operasi riset (operational research atau OR). PSMS ini mengambil dari pendekatan operasi riset yang keras untuk memungkinkan aktor dapat mengatasi konflik dan masalah-masalah yang menunjukkan tingkat ketidakpastian yang tinggi.
Metode penataan masalah merupakan jenis pendekatan yang memiliki tujuan yang berbeda-beda, dan banyak dari itu telah dikembangkan secara independen. Metode ini fokus dengan menciptakan sebuah model yang diisi dengan data yang spesifik terhadap situasi masalah yang terjadi dan sebab-akibat yang dapat dianalisis yang dimaksudkan untuk memfasilitasi percakapan dan negosiasi antar aktor penanganan masalah.
Problem-Structuring Methods (PSMS) ini juga telah dikembangkan untuk menemukan beberapa aspek dari masalah yang kompleks, termasuk yang obyektif dan subyektif. Hal ini penting dijelaskan oleh penulis, karena pelaku biasanya mendefinisikan situasi masalah atau isu dengan bahasa mereka sendiri dan berdasarkan interpretasi mereka sendiri dan dengan pengalaman mereka sendiri atau keahlian, bahkan sistem nilai mereka sendiri dari situasi atau masalah yang ada.
Dengan demikian penulis menguraikan pemikirannya terhadap metode penataan masalah atau Problem-Structuring Methods (PSMS) sebagai sekumpulan teknik yang biasa digunakan sebagai model untuk memetakan sifat atau struktur sebuah situasi atau keadaan dimana beberapa orang menginginkan perubahan, dalam hal ini terkait pada bagaimana metode penataan masalah dapat digunakan sebagai model untuk memetakan situasi atau keadaan untuk e-Democracy. Secara khusus, bab ini membahas peran metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods) untuk e-Democracy mengenai peran khas dari PSMS tersebut yaitu membantu aktor-aktor yang terlibat dalam musyawarah untuk mengatasi situasi yang bermasalah, yang mana hal tersebut merupakan kepentingan bersama.
Peran metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods atau PSMS) untuk e-Democracy ini bahwasanya diuraikan merupakan pendekatan yang difasilitasi. Kata-kata kunci dalam PSMS adalah “fasilitasi” dan “penataan”. Dalam bidang metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods), fasilitasi digunakan untuk membantu sekelompok aktor dalam menyelesaikan masalah-masalah melalui percakapan yang konstruktif (musyawarah), dibantu oleh adanya pemodelan penataan masalah. Musyawarah sebagai bentuk demokrasi itu pun melibatkan negosiasi substansial antara pelaku yang memiliki multitafsir dari masalah kepentingan. Hal ini memiliki implikasi praktis untuk penggunaan metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods atau PSMS) untuk mendukung musyawarah demokratis. Penggunaan kedua fasilitasi di PSMS adalah untuk menangani dinamika disfungsional yang mungkin timbul ketika bekerja dalam kelompok. Kemudian terkait dengan penataan, maka penataan dalam PSMS digunakan dalam arti mengidentifikasi kegiatan yang relevan dengan situasi masalah, mengklarifikasi hubungan antara mereka yang terlibat; dan fokus pada bidang utama. Proses penataan ini berbentuk partisipatif, dalam arti bahwa pelaku mampu membangun situasi bersama-sama, dengan membuat definisi permasalahan menjadi masalah bersama.
Yang perlu diperhatikan dalam Problem-Structuring Methods (PSMS) disini adalah bahwa metode ini sebagai sarana fasilitasi yang menyangkut pada masalah kepentingan. Hal ini memiliki implikasi praktis dalam penggunaan PSMS untuk e-democracy adalah untuk mendukung musyawarah demokratis. Perlu diperhatikan juga dalam hal ini, yang menjadi refleksi dari penulis adalah tentang pemahaman atas kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemangku kepentingan utama. Sebuah pemangku kepentingan dapat dianggap sebagai aktor, kelompok atau organisasi yang dapat mempengaruhi atau akan terpengaruh oleh masalah kepentingan atau resolusi. Mengidentifikasi pemangku kepentingan adalah suatu hal yang diperlukan, karena partisipasi mereka merupakan tahap kritis dalam penggunaan metode penataan masalah untuk mendukung musyawarah demokratis.
Kemudian dalam esai ini juga dijelaskan bahwa dalam penataan masalah untuk e-democracy perlu diperhatikan dalam penataan e-problem mengenai asynchronous dan tantangan otomasi. Dalam hal ini, penulis menguraikan bahwasanya untuk penggunaan metode penataan masalah (Problem-Structuring Methods atau PSMS) untuk e-Democracy sukses dalam lingkungan virtual, maka diperlukan beberapa fitur utama yang berkontribusi untuk mendorong pemangku kepentingan dalam proses penataan masalah di lingkungan non-virtual dan direplikasi dalam bentuk virtual. Jika ini tidak mungkin, maka upaya untuk memperbaiki dampak negatif yang mungkin disebabkan dengan adanya fitur harus dibuat.
Pada bagian selanjutnya, penulis meringkas beberapa isu utama yang dihadapi oleh fasilitator dalam fasilitasi dari proses banyaknya pemangku kepentingan yang bekerja dalam virtual, dimana tersebarnya banyak aktor. Dan ini membuat adanya outline sebagai unsur sebuah sistem virtual yang dirancang untuk memungkinkan adanya demokrasi deliberatif. Hal ini pun menyangkut pada asynchronous dan tantangan otomasi. Asynchronous ini merupakan proses komunikasi data yang tidak terikat dengan waktu, proses transformasi data yang kecepatannya cukup relatif dan tidak tetap. Sedangkan otomasi adalah suatu teknologi terkait dengan aplikasi mekanik, elektronik, dan komputer didasarkan sistem untuk beroperasi dan mengendalikan produksi. Dengan demikian, dalam penataan e-problem ini perlu diperhatikan terkait asynchronous dalam demokrasi sebagai pertemuan antar pemangku kepentingan di lingkungan nyata dan virtual. Hal tersebut berupa konferensi video yang merupakan forum diskusi berbasis internet. Proses dalam penggunaan PSMS dengan cara tersebut akan digunakan untuk menggambarkan kesulitan yang menempatkan kegiatan tersebut di lingkungan virtual, namun disini yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses itu merupakan proses otomasi yang layak.
Permasalahan dalam penataan e-problem ini juga terkait pada publisitas yang merupakan persyaratan akses terbuka ditambah dengan tidak adanya tirani yang menerangkan bahwa diskusi dan kesepakatan tidak dipaksa baik dalam prosesnya maupun hasil musyawarah. Karena semua warga negara harus berpotensi memiliki kesempatan yang sama dalam demokrasi dengan memiliki akses ke arena musyawarah yang efektif.
Kemudian mengenai publisitas terkait e-problem, fasilitator juga perlu melacak kontribusi semua orang dalam musyawarah dengan memastikan bersama aspek kesamaan dan meringkas, secara berkala, apa yang telah dikatakan. Mereka juga perlu melacak poin yang mungkin hilang dalam diskusi dan mendorong kelompok untuk membahas aspek yang belum muncul. Jelas otomatisasi proses ini memberikan tantangan yang cukup besar. Kompleksitas ini di lingkungan virtual akan tergantung pada luasnya populasi yang diminta untuk berpartisipasi dalam proses, tetapi proses otomatisasi akan harus terus diuji.
Dalam konteks ini kesetaraan politik juga harus diuji. Fasilitator memiliki peran penting untuk bermain dalam memastikan ekuitas diskusi. Fasilitator harus memikirkan keanekaragaman peserta. Fasilitator harus memikirkan aspek fasilitasi yang akan berdampak pada fitur yang diinginkan dari musyawarah dalam proses demokrasi. Dalam hal ini, penulis mengatakan bahwa apakah Problem-Structuring Methods atau PSMS ini dalam lingkungan virtual dapat dilihat sebagai proses yang berpotensi positif untuk deliberatif demokrasi? Untuk menilai ini, penulis mengatakan bahwa kita bisa kembali melihat dari karakteristik deliberatif demokrasi dari sudut pandang timbal balik, publisitas, non-tirani dan kesetaraan politik tersebut.
Selanjutnya dijelaskan dalam esai ini mengenai tantangan e-fasilitasi dalam Problem-Structuring Methods for e-Democracy. Tantangan yang ditemukan adalah dengan melihat kemampuan fasilitator untuk mengidentifikasi dan kemudian menanggapi masalah dengan baik dalam mengatasi pertemuan tatap muka dalam demokrasi. Pola intervensi fasilitasi sebagai cara untuk mengurangi dinamika kelompok disfungsional (misalnya dominasi oleh individu). Kemudian dalam proses memfasilitasi disarankan terdiri dari data, isyarat, gejala, penyebab yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah sebagai basis data interaksi. Hal lainnya dalam fasilitasi adalah perlu adanya output 'bangunan pemahaman' dalam meningkatkan kesepakatan atau 'konsensus' dengan adanya kontrol yang efektif.
Dalam memfasilitasi juga perlu adanya konvergen yaitu kondisi dimana semua persamaan terselesaikan dan menuju ke suatu nilai yang mendekati. Namun dalam e-fasilitasi ini tantangannya adalah pada proses distribusi dalam partisipasi. Akan tetapi, konvergensi dapat memunculkan fase evaluasi pada saat yang sama dalam proses ini, dengan memungkinkan adanya konsensus dan pemahaman. Konvergensi memerlukan keterlibatan peserta yang terlibat dalam beberapa tugas yang biasanya terkait dengan peran fasilitator. Pendekatan ini menjadi sebuah kegiatan yang dijadikan pendekatan (dijadikan sebagai modul) dalam proses konvergensi yaitu untuk mengevaluasi masukan: Individu dalam kelompok diberi kesempatan untuk meninjau ide yang masuk dari brainstorming awal, untuk mempersempit ide yang mungkin terjadi melalui duplikasi serupa, modul untuk ide-ide klaster: dilakukan dengan menggunakan teknik pengelompokan berdasarkan analogi spasial.
Yang terakhir dalam esai ini adalah penulis memberikan kesimpulan dan arah untuk penelitian selanjutnya yaitu bahwasanya esai ini telah membahas isu-isu dan masalah yang mungkin timbul dalam upaya untuk melakukan proses demokrasi deliberatif dalam lingkungan virtual, dimana dalam proses ini adanya peserta yang tersebar yang terlibat secara asynchronous. PSMS telah terbukti digunakan dalam situasi bermasalah dengan beberapa aktor. PSMS ini telah menyediakan sarana dalam menggabungkan interpretasi aktor dan menjadi metode yang membentuk adanya konsensus untuk mengarah pada kemajuan yang diinginkan oleh kelompok. Maka, PSMS dalam penggunaannya memerlukan beberapa aspek umum untuk fasilitasi dengan beberapa pengakuan yang dinyatakan mengenai pentingnya divergensi, konvergensi dan evaluasi dama prosesnya.
Beberapa arah penelitian untuk masa depan pun dapat diidentifikasi. Pertama, perlu dicatat bahwa PSMS tidak menjamin atau meningkatkan karakteristik demokrasi deliberatif. Kedua, bahwa kegiatan atau modul yang diuraikan di atas, atau beberapa varian campurannya, mungkin menjadi layak di masa depan. Inti pada kesimpulannya adalah penulis percaya bahwa penyebaran PSMS untuk mendukung e-demokrasi melalui musyawarah adalah mungkin tetapi masih perlu adanya penelitian lebih lanjut.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.