Wednesday, June 29, 2005

Regulasi Netral, Mungkinkah?

Berita bertajuk “Menkominfo: Regulasi Telekomunikasi Harus Netral”di Investor Daily, Kamis 16 Juni 2005 mengundang tanya khususnya berkenaan dengan uraian yang menyatakan dengan regulasi yang netral diharapkan kepemilikan asing di perusahaan – perusahaan telekomunikasi nasional tidak merugikan kepentingan publik. Menteri Kominfo dikutip mengatakan “melalui regulasi tersebut (yang netral), pemerintah berupaya mengarahkan tujuan masuknya investor asing pada aspek mencari return investasi yang wajar ketimbang tujuan lain.” Ditambahkan bahwa terhadap fakta kepemilikan asing di sektor telekomunikasi, Menteri melihatnya dari dua perspektif, telekomunikasi telah menjadi subjek globalisasi dan begitu cepatnya asing menguasai saham perusahaan nasional telekomunikasi. Menurut Menteri, perspektif yang kedua merupakan fenomena yang terburuk.

Dengan asumsi tidak ada kesalahan dalam menulis pernyataan Menteri dan tidak ada praktek pemelintiran berita oleh wartawan dan Investor Daily, pernyatan Menteri tentang Regulasi harus netral perlu dianalisis secara kritis, sehingga tidak menimbulkan pemahaman keliru yang tidak menganggu kepastian hukum dan aliran investasi serta dapat pula memudarkan citranya sebagai petinggi negara maupun sebagai akademisi yang cukup disegani oleh sejawat dan mahasiswanya.

Netral
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka edisi kedua tahun 1996 memaknakan kata Netral dengan “tidak berpihak”. Oxford Advance Learner Dictionary, 5th edition, memuat entry Neutral (asal kata Netral) sebagai kata sifat dan kata benda yang masing – masing maknanya “not supporting or helping either side in a dispute, contest, war, etc.” dan “a person, country, colour, etc. that is neutral.” Dari dua acuan tersebut, dapat dibuat suatu pengertian bahwa agar supaya berada dalam kondisi netral, suatu entitas (kebijakan, seseorang, negara, pemerintah, organisasi swasta, publik, pejabat publik, dan lain sebagainya) dalam menghadapi persoalan yang bersifat perselisihan (dispute), suatu entitas yang terlibat mengurusi penyelenggaraan persaingan/pertandingan (contest) tidak boleh berpihak dengan mendukung, membantu membuat untung atau merugikan salah satu pihak saja.

Regulasi
Sementara itu, Robert Baldwin dan Martin Cave (1999) dalam Understanding Regulation: Theory, Strategy, and Practice menyatakan bahwa regulasi dimaksudkan sebagai alat kontrol yang dibuat dan digunakan oleh lembaga publik guna memastikan terpenuhinya kepentingan publik. Di dalam regulasi terkandung seperangkat aturan yang harus diatati oleh pembuatnya maupun kelompok sasaran. Regulasi juga secara sengaja dimaksudkan untuk mempengaruhi struktur, kinerja dan perilaku industri atau perilaku sosial masyarakat. Dengan kedua sifat tersebut, regulasi memiliki peran dalam tiga wajah. Pertama, sebagai alat untuk pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. Wujud regulasi semacam ini dalam rupa peraturan perundangan yang berisi acuan (standard), larangan dan hukuman bagi pelanggar acuan dan larangan. Kedua, sebagai sarana memfasilitasi (enabler) aktivitas kehidupan masyarakat untuk kesejahteraan dan kemakmuran, contohnya kebijakan subsidi pangan, penyediaan sarana publik, pemilihan umum secara demokratis, dan lain sebagainya. Ketiga , sebagai katalisator kegiatan ekonomi nasional dengan menempatkan pemerintah sebagai pengguna barang dan jasa yang disediakan oleh masyarakat. Kebijakan belanja negara yang terinci dalam APBN merupakan contoh peran ketiga dari regulasi.

Dilihat dari motivasi pembuatan regulasi, pada umumnya dilandasi oleh adanya upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan pasar (market failure). Pasar yang tidak terkendali, untuk alasan tertentu, seringkali gagal untuk memberikan manfaat yang diinginkan oleh publik. Dalam hal lain, regulasi juga diperlukan untuk mengatasi persoalan kelangkaan pasar (market absence). Kegagalan atau kelangkaan pasar merupakan akibat dari kinerja industri di mana para pelakunya menyukai monopoli; selalu mengupayakan untung yang berlebih dengan usaha sekecil mungkin (windfall profit through economic rent); terjadi limpahan (spillovers) limbah, atau adanya dampak negatif yang diterima masyarakat dari proses bisnis (negative externalities); terjadi ketidak cukupan informasi (information inadequacies) atau ketidak – samaan informasi (assymetric information) yang menyebabkan keuntungan bagi salah satu pihak saja sementara pihak lain dirugikan; adanya perilaku anti persaingan dan pemangsa harga (anti-competitive and predatory pricing); kelangsungan dan ketersediaan layanan diragukan; pengusaha beritikad dan berperilaku tidak baik moral hazard dengan maksud menguntungkan diri sendiri; terjadi ketimpangan posisi tawar di antara para pelaku usaha; dan terjadi distribusi manfaat barang publik yang tidak merata.

Regulasi (harus) Netral?
Mengacu pada uraian di atas, pertanyaannya sekarang, apakah yang dimaksud dengan Regulasi harus Netral, mungkinkah Pemerintah menghasilkan Regulasi Netral? Menyimak makna, substansi, karakter dan kegunaan, dapat dikatakan bahwa Regulasi tidak pernah dapat netral sebagaimana makna netral “tidak berpihak” kepada siapapun, Artinya, regulasi tidak pernah dan tidak akan dapat netral. Di dalam regulasi selalu ada kepentingan suatu pihak yang harus dimenangkan, pihak tersebut dapat saja negara, pemerintah sendiri (selaku pembuat regulasi), pengusaha domestik, masyarakat pengguna, investor asing dan lain sebagainya. Persoalannya, selain menguntungkan satu atau beberapa pihak, regulasi yang baik harus dapat mencegah terjadinya kerugian atau mengelola kerugian seminimal mungkin pada pihak yang tidak diuntungkan. Dengan demikian, regulasi bukan Zero Sum Game, namun Positive Sum Game, manfaat sosial regulasi harus lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkannya.

Jika yang dimaksudkan Menteri dengan regulasi harus netral adalah semata hanya untuk mengarahkan tujuan masuknya investor asing pada aspek mencari return investasi yang wajar, inipun bukan regulasi yang netral. Secara implisit terkandung kepentingan untuk mengatur, mengawasi, dan mengendalikan perilaku (conduct) industri telekomunikasi yang sebagian besar sudah dimainkan oleh investor asing, agar mereka hanya memperoleh return yang wajar saja. Di luar itu, seperti – barangkali – keinginan untuk memonopoli layanan telekomunikasi, mengendalikan trafik telekomunikasi, dan lain sebagainya yang berdampak pada gangguan kedaulatan sebagai negara, sebesar mungkin dicegah.

Substansi regulasi mengenai return investasi yang wajar-pun dapat menjadi topik yang menimbulkan komentar pro dan kontra. Apa ukuran wajar?. Kenyataan perolehan EBITDA perusahaan operator telekomunikasi di atas 60% dapat dikatakan wajar bila mengingat kondisi permintaan pasar yang masih terus tumbuh, sementara nilai investasi yang dibutuhkan setiap sambungan menunjukkan tren yang semakin menurun. Kondisi pasar yang masih dinamis pada posisi transisi dari monopoli menuju persaingan sempurna menjadikan wajar saja bila perusahaan menikmati return yang cukup besar. Kondisi pertumbuhan semacam ini memerlukan regulasi yang solid dan implementasi yang tegas bila return tersebut diperoleh dari rent seeking yang menghasilkan negative externalities, dalam ligkungan bisnis yang dibuat assymetric information, di mana para eksekutif-nya melakukan predatory pricing dan moral hazard, atau hanya melayani pelanggan kaya dan mereka yang tinggal di perkotaan saja.

Pernyataan Menteri “sebagai regulator, pemerintah berupaya menerapkan kebijakan yang tepat” kiranya inilah yang perlu mendapat dukungan*****

Rempoa, Juni 2005
*)
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Direktur/Expert, Strategi dan Kebijakan Telematika
Institute for Technology and Economic Policy Studies - INSTEPS

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.