Mengacu pada UU No 32/2002 tentang Penyiaran dan UU No. 36/199 tentang Telekomunikasi, maka kegiatan PT Direct Vision (PTDV) dapat tergolong penyelenggaraan penyiaran dan sekaligus telekomunikasi.
Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU 32/2002 berbunyi Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.” Dan “Penyiaran adalah kegiatan pemancar-luasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.” Sementara itu UU 36/1999 Pasal 1 ayat 1 berbunyi “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”
Layanan PTDV tergolong layanan televisi sebagaimana dijelaskan oleh UU 32/2002 Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 13 ayat 1. Namun demikian, PTDV dapat digolongkan sebagai layanan jasa Multimedia sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 (tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi), Pasal 14 ayat 1 huruf c.
Di dalam UU 36/1999 tidak ada satu pasal-pun yang menetapkan batasan kepemilikan saham pada penyelenggara telekomunikasi. Pernyataan tentang acuan UU 36/1999 sebagai batasan kepemilikan saham asing dalam penyelenggara telekomunikasi sebesar 95% tidak benar.
UU 32/2002, Pasal 17 ayat 1 dan 2 berbunyi “Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.” Dan “Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh persen) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.”
Mengacu pada ketentuan di atas, berkaitan dengan Astro dan PTDV, asumsinya adalah PTDV merupakan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) “awal” yang memenuhi ketentuan Pasal 17 ayat 1, modal awal seluruhnya dimiliki oleh warga negara atau Badan Hukum Indonesia (BHI). Benarkah demikian? Sebelum diakuisisi oleh Astro, terlebih dahulu perlu dicek apakah keseluruhan saham PTDV dimiliki oleh warga negara atau BHI. Jika dimiliki oleh BHI, persoalannya UU 32/2002 tidak mengatur kepemilikan asing dalam BHI, jadi bisa saja dalam BHI, pihak asing sudah menjadi salah satu pemilik saham LPS. Di sinilah salah satu kelemahan UU 32/2002.
Kelemahan yang sama terjadi pada Pasal 17 ayat 2. Pasal dan Penjelasan Pasal ini tidak mengatur secara jelas apakah modal asing yang maksimum sebesar 20% secara langsung atau tidak langsung. Karena tidak ada penjelasan, asumsinya adalah penyertaan modal asing secara langsung. Dalam hal PTDV, Astro (pemodal asing) hanya diperbolehkan memiliki maksimum 20% dari keseluruhan saham PDTV. Bagaimana bila Astro membentuk BHI (katakan saja, BHI-L) yang 95% sahamnya dimiliki asing dan sisanya atas nama orang Indonesia. Kemudian BHI-L menguasai saham PTDV hingga melebihi 20%. UU 32/2002 tidak mengantisipasi hal ini. Jadi untuk memastikan apakah Astro telah melanggar, perlu dilihat Akta Pendirian PTDV dan perubahannya yang terakhir, yang pasti di dalamnya memuat proporsi kepemilikan saham. Jika saham Astro tercatat secara langsung, maka jelas melanggar UU 32/2002, tetapi jika melalui BHI Astro tidak dapat dikatakan melanggar, yang perlu diperbaiki justru Undang – Undang Penyiaran-nya.
Perihal indikasi pelanggaran Astro karena tidak memiliki landing right, hal ini perlu dibuktikan terlebih dahulu. Pihak Ditjen Postel perlu terlibat aktif dengan menanyakan kepada PTDV, satelite siapa yang digunakan untuk membawa trafik ke Indonesia. Postel pasti tahu siapa yang punya hak dan siapa yang tidak.
Menyimak kasus PTDV, hal ini merupakan produk kebijakan publik dari rejim yang terkotak – kotak, tidak ada koordinasi antara unit organisasi pemerintah yang satu dengan lainnya. Lebih jauh, hal ini juga mencerminkan kelemahan dalam pembuatan undang – undang karena pembuatnya tidak mengantisipasi perkembangan yang terjadi di dunia bisnis. Berkaitan dengan koordinasi, sekarang Depkominfo sudah membawahi urusan penyiaran dan telekomunikasi dalam satu naungan. Sinkronisasi kebeijakan perlu dilakukan.Mengacu pada azas hukum dan kepatutan dalam penerapan kebijakan publik, kedua UU 32/2002 dan 36/1999 dapat diterapkan sekaligus secara bersama dan sinkron.
Untuk mengatasi permasalahan kepemilikan saham, gunakan ketentuan UU 32/2002 sedangkan permasalahan penyelenggaraan jasa multimedia menggunakan UU 36/1999 beserta aturan pelaksanaannya. Sudah cukup? Ternyata belum. Masih perlu dilihat UU Penanaman Modal Asing dan UU maupun peraturan lain yang terkait. Untuk apa? Tujuannya, selain mempermudah dan meningkatkan kepastian investasi, juga mengawasi perilaku investor.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.