Be Legal! Itulah kampanye yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terkait dengan penggunaan piranti lunak (software). Kampanye tersebut beralasan, mengingat Indonesia – konon – dikenal sebagai negara dengan tingkat pembajakan software nomor 2 tertinggi setelah China. Benar – tidaknya statement tersebut wallahualam (hanya Tuhan yang tahu) Kampanye Be Legal, mengajak pengguna komputer di Indonesia untuk menggunakan software yang diperoleh secara legal, tidak melawan hukum. Jadi, kampanye ini bukan mengajak pengguna komputer untuk menggunakan produk software tertentu, namun mengingatkan bahwa menggunakan software yang diperoleh secara melawan hukum (disadari atau tidak) dapat berdampak pada aspek yang lebih luas seperti: konsekuensi hukum, ekonomi dan politik.
Penggunaan software komputer secara melawan hukum masih dianggap suatu kelaziman hingga pertengahan tahun 90-an. Segar di ingatan, di awal hingga pertengahan 90-an, hampir sebagian besar pengadaan personal komputer di instansi pemerintah tidak memasukkan software sebagai bagian dari barang yang harus dibeli. Jika ditanya bagaimana dengan Operating System (OS) dan Productivity Tools-nya, jawaban popular waktu itu hampir seragam “copy saja dari punya sampeyan”. Jika aparat pemerintahnya pun permisive, demikian pula masyarakat pengguna komputer. Di event pameran komputer yang acap digelar, setiap penjaja hardware komputer “lupa” bahwa untuk mengoperasikan hardware komputer perlu disertai dengan software. Pembajakan software sudah menjadi semacam aktivitas umum yang dilakukan secara terbuka dan tanpa merasa bersalah.
Teori inovasi mengajarkan bahwa salah satu pemicu bagi munculnya penemuan (invention) dan penyempurnaan produk dan proses (inovasi) adalah karena adanya merit atau reward system yang berfungsi sebagai motivator bagi penemuan – penemuan dan inovasi selanjutnya. Mereka yang sepaham dengan teori reward atas inovasi, menuntut agar setiap karya cipta yang dihasilkannya mendapat penghargaan dari penggunanya. Penghargaan pada umumnya tidak saja berupa social recognition, tetapi juga economic benefits. Turunan dari teori inilah yang pada hari ini kita saksikan antara lain dengan praktek – praktek pemilikan hak cipta, lisensi, franchising, paten dan hak merek.
Dalam prakteknya, penemu, pencipta dan atau pemegang hak cipta yang hidup di negara – negara yang mendukung teori reward ini, menikmati manfaat ekonomi yang luar biasa besarnya. Tentu saja hal ini dapat terjadi karena antara lain temuannya sangat bermanfaat bagi sebagian besar umat manusia di dunia, penggunanya menghoramati hak cipta, dan hukum yang berlaku di negara di mana mereka bertempat tinggal melindungi hak – hak mereka dengan konsisten dan konsekuen. Persoalannya, tidak semua pencipta memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang tinggal di negara maju. Atau ketika produk negara maju dipasarkan di negara yang tidak memiliki kekuatan penegakan hukum yang melindungi hak cipta, maka manfaat ekonomi sebuah karya cipta menjadi tiada.
Disparitas kesejahteraan yang dialami pencipta mulai muncul ketika faktor negatif eksternal (kelemahan penegakan hukum, perilaku dan budaya pengguna, daya beli masyarakat) lebih dominan dari kemampuan pencipta menjaga haknya. Kesenjangan juga muncul dan berpotensi semakin lebar pada sisi pengguna, ketika produsen teknologi tidak peka terhadap kondisi sosial ekonomi di suatu wilayah pemasaran. Suatu produk software yang sangat bermanfaat bagi kemaslahatan manusia namun dijual dengan harga sangat tinggi kepada masyarakat yang sebagian besar miskin sementara penjagaan hukum relatif kendur, kondisi semacam ini menjadi semacam oasis bagi pembajakan. Jika sudah demikian, tidak ada satupun yang bersedia dijadian kambing hitam. Tentu saja.
Peduli dengan resiko kesenjangan yang semakin lebar, muncul ide dan aksi membuat software terbuka generik yang dapat dimiliki dan dikembangkan oleh siapa saja tanpa harus membayar. Kewajiban membayar akan muncul bila software terbuka yang sifatnya generik tersebut sudah dikemas dalam aplikasi tertentu sesuai kebutuhan pemesan. Munculnya aliran Open Source mengubah tatanan bisnis software, khususnya yang beroperasi di personal komputer berbasis prosesor Intel dan AMD dari yang semula natural monopolistik menjadi persaingan monopoli (monopolistic competition). Bagi produsen software tertutup yang menguasai pangsa hampir 95% di dunia seperti Microsoft (MS) muncul kesulitan menentukan siapa perusahaan pesaingnya. Pengembang Open Source bukanlah perusahaan besar semacam MS yang relatif mudah diajak bicara, namun mereka pada umumnya aktivis komputer yang militan dan anti kemapanan (Ghost Competitors).
Pada akhirnya, isu bergulir tidak hanya seruan menghormati upaya penciptaan dengan menggunaan software legal yang harus dibeli, namun kemudian merambah ke isu persaingan bisnis. Microsoft mulai menyadari bahwa strategi bisnis yang semula bernuansa arogan, main kekuatan hukum dan mengambil jarak dengan penggunanya, pelahan diubah dengan strategi kemitraan, pencitraan sebagai pelaku bisnis global yang peduli sosial dengan ikut terlibat dalam upaya – upaya pendidikan, penegakan hukum, dan tentu saja mencari dukungan politis dari penguasa eksekutif maupun legislatif. Jika dicermati, harga software MS-pun semakin hari semakin murah dan semakin terjangkau oleh kantung pengguna komputer golongan menengah ke bawah. Variasi produk dan skema bisnis untuk usaha kecil menengah juga tak luput ditawarkan. Hal ini semua dilakukan dengan pengharapan agar MS semakin dikenal dan disayang oleh pengguna komputer.
Namun benarkah semua usaha tersebut berbuah manis? Laporan Business Software Alliance (BSA) menunjukkan indikator yang mengembirakan. Dengan metoda perhitungan yang diyakininya BSA menyatakan, jika di tahun 2005 angka pembajakan software di Indonesia mencapai 85%, untuk tahun 2006 ini mengalami penurunan yang cukup menggembirakan. Penulis memperkirakan angkanya tinggal sekitar 70%. Apakah sudah cukup? Bagi BSA, jawabnya, masih banyak PR yang harus dikerjakan.
Di sisi lain, para eksponen komputer yang menguasai Open Source di Indonesia semakin solid, terampil dan mulai menyadari bahwa eksistensi mereka dapat memberi kontribusi yang luar biasa besarnya bagi peningkatan pemanfaatan komputer. Banyak Distro Linux yang sudah dikembangkan oleh putra – putri Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Kantor Menteri Riset dan Teknologi (KMRT) bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah lama mengembangkan software Kantaya (Kantor Maya) suatu software produktivitas perkantoran berbasis open source yang dapat dimiliki secara gratis. Kemudian bersama Kementrian Kominfo dan Depdiknas mengampanyekan Indonesia Go Open Source (IGOS), yang sebarannya sudah mencapai sebagian besar wilayah Indonesia.
Langkah IGOS dan Kantaya, jika dilihat dari kacamata hukum lebih merupakan upaya Be Legal, agar pengguna komputer Indonesia mulai terbiasa menggunakan software yang legal. Selain itu, IGOS dan distro – distro lokal lainnya juga merupakan wujud nyata bahwa anak Indonesia mampu mengembangkan software yang setara dengan produk negara – negara maju. Diucapkan atau tidak, sukses IGOS dan software open source karya anak bangsa Indonesia lambat laun akan membesarkan Ghost Competitors bagi perusahaan sekelas Microsoft. Kepentingan bisnis Microsoft di Indonesia bisa terganggu bila IGOS dan distro open source lokal berkembang. Hantu pesaing kecil yang semula tidak dipandang mata, bakal menjadi hantu raksasa yang mampu menelan raksasa bisnis seukuran Microsoft.
Menyadari bahaya bisnis, menjadi wajar kiranya bagi Microsoft untuk “berputar haluan”, bukan masuk ke Blue Ocean sebagaimana karya W.Chan Kim dan Renee Mauborgne, namun masuk ke pendekatan institusi seperti teorinya Powell dan DiMagio (1991). Dalam teori ini dikatakan bahwa aransemen kelembagaan, yang dibangun melalui ikatan struktur sosial dan atau perikatan bisnis menjadi sangat berarti bagi menjaga eksistensi organisasi ekonomi. Intinya, pelaku bisnis cenderung membangun kesepakatan – kesepakatan dengan the ultimate stakeholders guna menyelamatkan usahanya dari ancaman persaingan. Kesepakatan ini dapat berupa kontrak tertulis, atau perikatan bawah tangan yang hanya diketahui oleh petinggi perusahaan dan oknum penguasa saja. Dengan perikatan ini, diharapkan posisi bisnis menjadi semakin aman dan eksistensinya memperoleh legitimasi pasar karena sudah berasosiasi dengan penguasa.
Persoalannnya, benar bahwa perikatan dapat berdampak positif, sebagai misal perjanjian ksepahaman (MOU) antara Microsoft dengan Pemerintah Republik Indonesia dimaksudkan agar tingkat pembajakan software di Indonesia semakin menurun, agar citra Indonesia di dunia semakin membaik. Namun layak pula dipertanyakan, siapa saja yang berhak atas manfaat langsung ataupun tidak langsung atas kontrak tersebut? Demikian pula, bagaimana dengan netralitas pemerintah dalam setiap kebijakan yang mengatur teknologi. Apakah dengan ditanda-tanganinya MOU tersebut berarti tidak ada lagi peluang bagi tumbuh kembangnya opensource karya anak bangsa sendiri? Di tingkat pemerintah pusat hal tersebut mungkin tidak terjadi, namun bagaimana bila pejabat di tingkat daerah ber-kong-kali-kong dengan rekanan lokal yang memasok software dan menetapkan agar software yang dibeli instansi pemerintah daerah harus dari merek tertentu?
Akhirnya kita semua perlu diyakinkan agar kebijakan pemerintah yang semula bertujuan baik, pada tataran pelaksanaannya di tingkat pemerintahan di bawahnya masih tetap utuh tanpa distorsi. Sayangnya, panjangnya rentang kendali dan infrastruktur yang belum memadai seringkali menjadi sasaran hujat bagi ketidak-mampuan untuk menjaga agar kebijakan yang semula mulia walhasil ketika diimplementasikan berujung pada upaya memperkaya diri pribadi. Jika demikian, tugas selanjutnya ada di pundak KPK.***** Rempoa, 14 Desember 2006
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.