Wednesday, June 29, 2005

Kode Akses: Konsekuensi Undang – Undang Telekomunikasi

Penolakan Serikat Pekerja (Sekar) Telkom terhadap kebijakan penerapan kode akses yang ditetapkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor No.6/2005 tentang pengaturan kode akses SLJJ dan Permen Kominfo No.7/2005 tentang pengaturan kode akses penyelenggaraan Internet teleponi untuk keperluan publik (ITKP) menunjukkan ketidak – taatan terhadap Undang – Undang Telekomunikasi Nomor 36 tahun 1999.

Jika ditelaah lebih lanjut, penolakan tersebut mengindikasikan adanya keinginan kuat untuk tetap memelihara monopoli, serta ketidak – siapan jajaran Direksi dan Karyawan Telkom dalam menghadapi pasar persaingan. Membawa isu penolakan ke aras politik nasional dengan melakukan lobi – lobi politik ke pimpinan dan beberapa anggota DPR, serta melakukan demonstrasi turun ke jalan alih – alih memperoleh simpati masyarakat justru sebaliknya menurunkan pamor Telkom sebagai perusahaan yang sudah go international. Sebagai warga negara Indonesia, dan secara tidak langsung pemilik Telkom karena statusnya masih sebagai BUMN, relakah kita melihat Telkom dihancurkan dari dalam oleh pihak – pihak yang hanya mengejar keuntungan pribadi dalam jangka pendek?

Penerapan kebijakan kode akses mesti dilihat dari berbagai aspek: kepentingan nasional untuk membangun sektor telekomunikasi yang lebih luas, kepentingan manajemen dan karyawan, serta kepentingan masyarakat pengguna jasa telekomunikasi. Jika kita cermati, salah satu semangat UU Nomor 36/99 adalah untuk mengakhiri regim pasar monopoli industri jasa telekomunikasi dan masuk ke pasar yang kompetitif. Alasan hakiki dari perlunya mengakhiri monopoli, adalah adanya bukti kuat bahwa monopoli menghasilkan kerugian ekonomi dan sosial (dead weight loss) yang tidak memberi manfaat bagi siapapun bahkan bagi pelaku monopoli itu sendiri. Ada sumber daya yang tidak dapat dikelola oleh pelaku monopoli sehingga mubasir dan dalam jangka panjang menimbulkan kerugian besar bagi negara. Wujud yang kita lihat dari hasil monopoli adalah penetrasi sambungan telepon (teledensity) yang masih sekitar 2% ketika monopoli dihapuskan, sementara Telkom sudah menikmati monopoli sejak Indonesia merdeka. Memang harus diakui bahwa kelambanan dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi pra UU 36/1999 tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada jajaran Direksi dan Karyawan Telkom. Ada “tangan – tangan tersembunyi” lain yang juga mesti bertanggung jawab terhadap kinerja sektor telekomunikasi pra UU 36/99. Namun demikian mencari siapa yang dapat disalahkan-pun menjadi kegiatan yang tidak produktif, yang perlu dibenahi adalah mekanisme pasar. Dalam konteks inilah pasar persaingan menjadi alternatif yang dipilih Pemerintah pada waktu itu.

Pasar persaingan dipilih bukan karena latah ikut- ikutan tren di luar negeri, atau dipaksa oleh lembaga donor internasional, atau karena keinginan untuk mematikan Telkom. Analisis kebijakan ekonomi yang paling sederhana menyatakan bahwa jika ada sedikitnya dua penyedia jasa sejenis, dead weight loss yang menjadi beban monopoli serta merta hilang, sehingga manfaat transaksi bisnis sepenuhnya dapat dinikmati oleh penjual dan pembeli. Persaingan mendorong para penjual untuk selalu menjaga kualitas barang dan jasa agar selalu disukai oleh pembeli, sebaliknya pembeli bersedia membayar lebih tinggi untuk manfaat yang nilainya lebih tinggi (consumer surplus). Dalam pasar persaingan jasa telekomunikasi yang sehat, di mana pemerintah selaku regulator mampu berlaku adil dan tegas dalam mengatur penyelenggaraan telekomunikasi, dampak positif yang dirasakan adalah cepatnya akselerasi pembangunan jaringan dan layanan telekomunikasi. Operator memperoleh untung yang optimal, sementara pelanggan mendapatkan layanan yang memuaskan.

Manfaat persaingan penyelenggaran telekomunikasi sebagaimana disebut di atas, sayangnya belum diyakini kebenarannya oleh semua pihak yang terlibat, khususnya jajaran Telkom. Hal ini tercermin dari liputan media massa yang mewartakan terjadinya pencegahan (blocking) sambungan langsung internasional 001 dan 008 milik Indosat di berbagai wilayah di Indonesia, keengganan atau penetapan syarat yang tidak praktis atau tidak ekonomis bagi operator lain untuk melakukan interkoneksi dengan Telkom, dan yang paling mutakhir munculnya berita tentang permintaan Sekar Telkom kepada DPR dan Pemerintah untuk menunda pelaksanaan kebijakan kode akses. Tidak sekedar minta penundaan, Sekar Telkom juga mengajukan tuntutan pembatalan (judicial review) Permen Kominfo No. 06 dan 07/2005 tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa argumen Sekar yang tercatat dari liputan media massa antara lain, penerapan kebijakan kode akses akan menghancurkan masa depan Telkom, atau penerapan kode akses membahayakan kepentingan bangsa dan negara karena memberi peluang kepada pihak asing untuk menguasai telekomunikasi di Indonesia, bahkan dikatakan operator baru merampok aset dan pelanggan yang sudah dibangun Telkom, sebagaimana dikatakan Ketua DPW Sekar Telkom Kalimantan Amir Fauzi (http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Ekonomi&id=117439).

Sekar Telekom melalui Amir berkeyakinan bahwa jika kebijakan kode akses diterapkan maka operator telepon tetap baru (new entrants) akan mengambil basis pelanggan Telkom yang sudah ada, suatu hal yang dianggap tidak fair bagi Telkom. Benarkah demikian? Dua hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan jaringan dan layanan telepon: optimalisasi nilai sosial (social value) jaringan, dan interkoneksi. Nilai sosial dalam wujud manfaat jaringan telekomunikasi berbanding lurus dengan jumlah nodes yang saling tersambung membentuk jaringan tersebut, semakin banyak nodes semakin tinggi manfaat sosialnya. Ketika pasar masih monopoli manfaat sosial jaringan yang dimiliki Telkom identik dengan manfaat sosial jaringan nasional. Setelah pasar kompetisi berlaku, terdapat lebih dari satu jaringan. Guna mengoptimalkan manfaat sosial dari jaringan yang dimiliki berbagai operator inilah interkoneksi antar operator diperlukan, efeknya terjadi perluasan jumlah nodes. Pada tataran teknis, dua atau lebih operator yang berada di satu area/kota perlu memperoleh nomor panggil tersendiri. Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan “kode akses 021 (Jakarta) milik Telkom Jakarta atau Kota Jakarta?” jika jawabnya milik Telkom lalu bagaimana pelanggan Telkom di kota Surabaya menghubungi pelanggan Indosat di Jakarta. Di sinilah kebijakan kode akses selaras dengan semangat kompetisi dan upaya meningkatkan nilai sosial jaringan telekomunikasi, kode area yang sudah ada sebelumnya menjadi milik bersama, sementara kepada masing – masing operator diberikan kode akses, Telkom mendapat 017 dan Indosat memperoleh 011.

Jika dilihat hanya dari satu kepentingan operator, maka sah – sah saja untuk mengatakan dengan diterapkannya kebijakan kode akses maka operator baru mengambil basis pelanggan operator lama. Namun demikian, mengingat Telkom dan Indosat keduanya masih berstatus BUMN maka yang harus didahulukan adalah kepentingan nasional, dalam hal ini meningkatkan manfaat sosial jaringan telekomunikasi dengan interkoneksi dan kode akses. Persoalannya, apakah menunggu hingga Indosat memiliki basis pelanggan yang sama besar dengan Telkom baru kode akses diterapkan, atau kode akses dari sekarang dan memaksa kedua operator telekomunikasi BUMN ini sama – sama memacu pembangunan jaringan dan layanan. Pemerintah memilih opsi kedua karena menyadari manfaat sosial jaringan harus selekasnya ditumbuh-kembangkan.

Terhadap pernyataan bahwa penerapan kode akses akan membahayakan kepentingan bangsa dan negara, argumen ini tidak mempunyai dasar yang kuat. Jika pernyataan tersebut didasari pada sentimen kepemilikan Singapore Technology Telemedia (STT) di Indosat, bukankah Singapore Telecomm (Singtel) memiliki 35% saham di Telkomsel (anak perusahaan Telkom), dan dari 48.81% saham Telkom yang telah dijual ke publik 46.41% dimiliki oleh investor asing, sementara pemodal nasional hanya memiliki 2.4%. Ini artinya, Indosat dan Telkom keduanya sama – sama sudah dimiliki oleh pihak asing. Yang membedakan hanyalah jajaran Komisaris, Direksi, dan Karyawan Telkom sepenuhnya masih diduduki oleh anak negeri, sementara di Indosat STT menempatkan wakilnya sebagai anggota Komisaris dan Direksi, sementara 100% karyawan Indosat berkewarga-negaraan Indonesia.

Kita semua menginginkan Telkom yang kuat, terus tumbuh berkembang dan menjadi operator telekomunikasi yang dicintai pelanggan dan disegani pesaing. Kiranya dapat disepakati tidak ada satupun pihak di Indonesia menghendaki kehancuran Telkom. Di pihak lain, semua pihak termasuk jajaran Telkom dan operator telekomunikasi lainnya, perlu memahami bahwa pasar jasa telekomunikasi dalam negeri tengah mengalami proses perubahan menuju lingkungan kompetitif yang memberi manfaat lebih besar bagi semua stakeholder-nya. Pasar telekomunikasi Indonesia telah meninggalkan rejim monopoli. Kita semua dikatakan melakukan langkah mundur bila masih menginginkan kembalinya pasar yang monopolis dengan satu operator dominan yang menguasai semua jenis layanan telekomunikasi dari hulu hingga hilir. Bahwasanya ada operator yang mewarisi basis pelanggan terbesar mestinya dianggap sebagai berkah bagi jajaran Direksi dan Karyawan Telkom. Perlu disadari bahwa warisan basis pelanggan dari rejim monopoli tersebut bukan sepenuhnya milik ekslusif Direksi dan Karyawan Telkom, tetapi miliki bangsa dan negara Indonesia. Direksi dan karyawan suatu ketika pensiun berganti orang lain, tetapi bangsa ini akan terus berlangsung.*****

2 comments:

  1. Mas Wig, Emang selain Telkom ada tuh yang mau invest di Sorong, merauke atau Amuntai ?
    Kalo tarif telepon sudah tidak diatur Kepmen, kira-2 Telkom akan menaikkan / menurunkan tarif ya ?
    sementara pesaing-2nya sdh perang tarif.

    ReplyDelete
  2. kenapa??? gak bisa jawab ya..

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.