Latar Belakang
Analisis industri merupakan kombinasi antara ekonomi industri dan strategi. Diawali dengan adanya tambahan atas teori organisasi industri oleh Joe S. Bain (1950-an) yang menyatakan bahwa struktur industri tidak hanya terbatas pada ukuran besarnya industri, tetapi juga ditentukan dengan mobilitas hambatan masuk ke dalam industri. Selanjutnya berkembang teori struktur industri yang berdasarkan pada premis bahwa perbedaan tingkat keuntungan perusahaan merupakan fungsi kekuatan pasar yang didorong oleh struktur inter-industri dan intra-industri. Kemudian, dalam bukunya yang berjudul Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors, Michael Porter (1980) melakukan integrasi model yang dikenal dengan model Lima Kekuatan Bersaing Porter.
Pemikiran Strategis dan Implikasi
Porter menyatakan bahwa kelima kekuatan bersaing tersebut dapat mengembangkan strategi persaingan dengan mempengaruhi atau mengubah kekuatan tersebut agar dapat memberikan situasi yang menguntungkan bagi perusahaan. Ruang lingkup kelima kekuatan bersaing tersebut, antara lain:
1. Ancaman pendatang baru, yang dapat ditentukan dengan hambatan masuk ke dalam industri, antara lain, hambatan harga, respon incumbent, biaya yang tinggi, pengalaman incumbent dalam industri, keunggulan biaya, differensiasi produk, akses distribusi, kebijakan pemerintah dan switching cost.
2. Kekuatan tawar-menawar pemasok, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat konsentrasi pasar, diversifikasi, switching cost, organisasi pemasok dan pemerintah.
3. Kekuatan tawar-menawar pembeli, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain differensiasi, konsentrasi, kepentingan pembeli, tingkat pendapatan, pilihan kualitas produk, akses informasi, dan switching cost.
4. Ancaman produk subtitusi, yang ditentukan oleh harga produk subtitusi, switching cost, dan kualitas produk.
5. Persaingan di dalam industri, yang ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu pertumbuhan pasar, struktur biaya, hambatan keluar industri, switching cost, pengalaman dalam industri, dan perbedaan strategi yang diterapkan.
Kelebihan dan Keunggulan
Analisis kekuatan bersaing digunakan untuk mengidentifikasi sumber utama kekuatan bersaing sehingga dapat menyesuaikannya dengan kekuatan perusahaan. Lingkungan persaingan menjadi tidak menarik jika persaingan di dalamnya sangat ketat, tingkat hambatan masuk rendah, persaingan dari subtitusi kuat dan pemasok dan pelanggan memiliki kekuatan tawar-menawar yang kuat. Semakin kuat kelima faktor kekuatan bersaing maka keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam industri akan semakin kecil.
Model Lima Kekuatan Bersaing juga dapat digunakan pada analisis dinamik evolusi industri. Analisis dinamik memberikan pola strategi untuk mempengaruhi kekuatan bersaing industri agar menguntungkan perusahaan. Evolusi industri juga penting dalam model Lima Kekuatan Bersang karena dalam mengidentifikasi peluang yang strategis dapat mengubah kekuatan bersaing dalam struktur industri.
Model Lima Kekuatan Bersaing merupakan dasar pengembangan analisis SWOT dan konsep ”sumber daya-lingkungan” pada teori strategi. Penekana model Lima Kekuatan Bersaing pada evolusi industri menciptakan pondasi yang kuat untuk analisis skenario. Pengujian lima kekuatan bersaing memberikan analisis mengenai ketergantungan diantara kekuatan tersebut; pemikiran bahwa kekuatan tersebut berubah sepanjang waktu; dan pernyataan bahwa strategi perusahaan harus dapat bertahan dan mengarahkan kekuatan tersebut untuk meningkatkan posisi bersaing perusahaan.
Kekurangan dan Keterbatasan
Kekurangan utama pada model Lima Kekuatan Bersaing adalah asumsi bahwa struktur ekonomi industri mendorong persaingan. Kerangka model ini lebih cocok untuk mengalisis strategi unit bisnis secara individual, bukan untuk perusahaan secara menyeluruh. Kekurangan lainnya yaitu model Kekuatan Bersaing hanya mempertimbangkan faktor sosial-politik secara implisit di antara setiap kekuatan bersaing, tidak secara eksplisit. Karena itu, analisis ini akan sulit diterapkan saat menghadapi pengaruh faktor sosial politik dari luar industri.
Keterbatasan lain dari model Kekuatan Bersaing Porter yaitu, model ini membahas mengenai apa yang membuat industri memiliki daya tarik, bukan mengenai mengapa atau bagaimana perusahaan bisa mendapatkan posisi yang menguntungkan dalam industri dan bagaimana perusahaan dapat mempertahankan posisi mereka dalam industri setiap waktu.
Selain itu, model ini menganjurkan para manajer untuk berfokus pada karakteristik tingkat industri dan mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya untuk mempengaruhi struktur industri walaupun mungkin perusahaan tidak memperoleh keuntungan dari perubahan yang terjadi tetapi justru memberikan keuntungan kepada pesaing dari penggunaan sumber daya tersebut. Hal ini berarti strategi berbasis kekuatan pasar dapat merugikan perusahaan.
Proses Penerapan
Langkah pertama untuk menerapkan model Lima Kekuatan Bersaing Porter adalah mengumpulkan seluruh informasi untuk mengidentifikasi karakteristik setiap kekuatan bersaing, sehingga diperoleh sumber utama kekuatan persaingan. Selanjutnya dilakukan pengukuran besarnya pengaruh dari masing-masing kekuatan bersaing dengan menggunakan peringkat 1 sampai 5. Angka 5 mengindikasikan kekuatan bersaing yang kuat sementara angka 1 mengindikasikan kekuatan bersaing yang lemah.
Langkah kedua, melakukan penilaian dan evaluasi kelima kekuatan bersaing terhadap kemampuan perusahaan sehingga dapat mengindentifikasi kemampuan yang dapat mendukung perusahaan untuk memenangkan persaingan.
Langkah ketiga, menganalisis strategi proaktif dengan mengulangi dua langkah pertama untuk memahami pola evolusi industri dengan menggunakan trend industri jangka panjang yang dapat dianalisis untuk mengetahui apakah profitabilitas dalam industri berkelanjutan dan bagaiman pengaruhnya terhadap posisi bersaing perusahaan. Hal-hal yang termasuk dalam trend ini antara lain, regulasi dan pemerintah, trend sosial dan konsumen, trend internasional, perekonomian dan teknologi.
Langkah selanjutnya, yaitu mengintegrasikan seluruh analisis lingkungan dalam konteks strategi korporasi dengan menemukan kesesuaian antara sumber daya dan kemampuan perusahaan, dan lingkungan eksternal. Terdapat tiga jenis analisis strategis: menerapkan strategi reaktif untuk melawan tindakan pesaing; strategi proaktif dengan mengubah kekuatan bersaing; dan strategi proaktif mengubah satu atau keseluruhan kekuatan bersaing secara eksplisit.
Pada dasarnya, struktur industri mempengaruhi strategi yang dipilih perusahaan. Setiap kekuatan bersaing memberikan pengaruh terhadap strategi dan peluang perusahaan utnuk mempertahankan keunggulan kompetitif.*****
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Sunday, April 20, 2008
Analisa Kebijakan Publik Permen Kominfo 02/08
Objek Analisa
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi
Pengantar
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tanggal 17 Maret 2008 menanda-tangani Peraturan Menteri Nomor 02?PER/M.KOMINFO/3/2008 (Permen 02/08) tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Dalam pertimbangannya Kominfo menyatakan Menara Telekomu-nikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan Menara Telekomunikasi (MT) harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan esteteila lingkungan; dari dua hal tersebut dipan-dang perlu menetapkan pedoman penggunaan Menara Telekomunikasi.
Agar supaya Permen ini efektif, sebagai suatu produk hukum dan atau produk kebijakan publik, Permen 02/08 ini dirasa perlu untuk disempurnakan guna mencegah adanya ketidak-pastian yang dapat timbul di antara para pelaku bisnis di industri jasa telekomunikasi pada umumnya dan industri menara telekomunikasi pada khususnya.
Kerangka Teori
Kebijakan publik dibuat dengan berbagai tujuan dan alasan. Kebijakan publik yang mengatur industri pada umumnya dimak-sudkan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya kegagalan pasar. Secara sederhana, kegagalan pasar terjadi ketika mekanisme pasar tidak bekerja secara efektif dan efisien, seperti misalnya namun tidak terbatas pada tersedianya sisi permintaan, karena rendahnya daya beli masyarakat; atau tidak tersedianya sisi penawaran karena tingginya biaya produksi, sehingga tidak ada pengusaha yang mampu untuk menyediakan produk tertentu; atau meskipun ada yang mampu menyediakan, namun tidak mencukupi kebutuhan dan atau persyaratan yang diminta pasar. Dalam hal terjadi kegagalan pasar, Pemerintah sebagai regulator melakukan intervensi pasar, dengan menerbitkan kebijakan dalam wujud regulasi pasar.
Di pihak lain, kebijakan publik yang bersifat pengaturan menjadi tidak relevan dan oleh karenanya mengesankan keinginan Peme-rintah untuk melakukan intervensi terlalu jauh ke dalam industri, ketika industri sudah mampu berjalan sendiri secara efektif dan efisien, namun tetap saja diterbitkan kebijakan pengaturan.
Di dalam kebijakan publik tercantum siapa yang membuat, apa saja kewenangan yang dimiliki oleh si pembuat, siapa yang menjadi target atau objek kebijakan tersebut, bagaimana hubungan antara pembuat dan objek kebijakan. Selain menjelaskan siapa saja aktor dan hubungan antar aktor, kebijakan publik juga memiliki substansi kebijakan yang didukung oleh alasan logik mengapa kebijakan tersebut dibuat. Alasan sebaiknya diuraikan secara rasional, mewakili kepentingan publik yang luas, tidak hanya mencerminkan kepentingan sebagian kecil golongan saja. Selain itu, substansi sebaiknya diuraikan dalam kalimat –kalimat yang jelas dan tegas sehingga mudah dipahami oleh objek hukum dan tidak menimbulkan beragam pemahaman. Demi efisiensi suatu kebijakan, hal – hal yang sudah umum diketahui dan dilaksanakan dengan baik oleh publik, sebaiknya tidak perlu diatur lagi. Kebijakan publik yang dimaksudkan untuk suatu pengaturan (regulasi), bagaimanapun baiknya selalu menimbulkan pro dan kontra. Pro bagi yang diuntungkan, kontra bagi yang dirugikan.
Sejalan dengan siklus hidup kompetisi penyelenggaraan telekomu-nikasi, khususnya telekomunikasi selular, terdapat empat tahapan fokus strategi kompetisi yang pada umumnya diacu oleh para operator telekomunikasi. Pada tahap pertama, operator fokus pada pembangunan jaringan untuk perluasan jangkauan layanan (coverage). Pada tahap ini, MT yang digunakan untuk menempat-kan radio transmisi dan atau Base Transceiver System (BTS) merupakan salah satu alat strategi kompetisi yang utama (strategic competitive tools) sehingga para operator berlomba-lomba menguasai lahan strategis dan kemudian membangun MT sesuai dengan proyeksi bisnis masing-masing. Operator yang eksis lebih dulu memiliki peluang yang lebih baik dari pada operator yang masuk belakangan.
Ketika coverage para operator lama sudah hampir melingkupi sebagian besar wilayah yang dianggap layak bisnis, muncullah kesadaran bahwa coverage tidak dapat lagi menjadi strategic competitive tools). Hal ini mudah dipahami karena jika hanya dengan coverage maka tidak ada lagi pembeda (differentiation) antara satu operator dengan operator lainnya. Ketika itulah para operator mulai memikirkan bagaimana mendaya-gunakan MT agar tidak hanya menjadi sumber biaya, namun dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan. Solusiya adalah dengan menyewakan kepada operator lain.
Tahap kedua, operator fokus pada harga (pricing), asumsinya, jika coverage sama, namun harga lebih murah dari pesaing, maka pengguna telepon akan memilih yang lebih murah. Strategi harga semula dilakukan oleh pendatang baru (new entrant), dengan harapan adanya efek substitusi yang didorong oleh perbedaan harga. Namun langkah new entrant diikuti oleh operator besar, sehingga muncul perang iklan tarif murah.
Diperkirakan dalam waktu dekat ini, harga tidak dapat lagi menjadi alat persaingan, pada masa ini industri selular akan memasuki tahap ketiga, yakni fokus pada Quality of Service (QoS). Operator akan berlomba-lomba menawarkan layanan yang lebih baik dari pesaing dengan harga yang terjangkau. Ketika QoS sudah menjadi layanan baku (market default), maka industri akan masuk ke tahap keempat di mana operator telekomunikasi akan fokus pada menyediakan layanan nilai tambah atau Value Added Services (VAS).
Analisa
Menggunakan kerangka teori dan memperhatikan substansi Permen 02/08 diajukan analisa sebagai berikut:
1. Pertimbangan yang digunakan dalam Permen 02/08 hanya dua
hal. Pertama, bahwa pembangunan MT memerlukan ketersedi-aan lahan, bangunan dan ruang udara. Kedua, bahwa pengguna-an MT harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, ke-sehatan masyarakat dan estetika lingkungan.
2. Permen 02/08 tergolong kebijakan publik yang ketinggalan momentum. Di satu pihak operator telekomunikasi sudah memahami bahwa MT sudah bukan lagi merupakan alat persaingan, dan oleh karenanya beberapa operator secara sukarela sudah mulai akan menyewakan kepada operator lain, sehingga timbullah istilah Menara Bersama.
3. Jika pembangunan, penggunaan, penyewaan dan perawatan MT dikatakan sebagai sebuah industri, industri ini memiliki keunikan karena merupakan kombinasi (inter-section) antara industri konstruksi dan telekomunikasi. Sehingga menjadi pertanyaan siapa saja yang memiliki kewenangan untuk mengatur industri tersebut. Apakah Kominfo yang memiliki kewenangan pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi, atau Departemen Pekerjaan Umum yang memiliki kewenangan pembinaan pekerjaan konstruksi.
4. Dari Pasal 2, timbul pertanyaan, apakah semua MT yang sudah dimiliki oleh operator telekomunikasi pada saat ini harus digunakan secara bersama? Bagaimana jika suatu MT lokasinya terletak di suatu wilayah yang operator atau pihak lain tidak tertarik untuk ikut memanfaatkannya.
5. Pasal 3 ayat 2 sampai dengan 5 dan Pasal 8 menimbulkan pertanyaan, apakah selama ini pembangunan MT tidak perlu berizin. Jawabnya tentu harus berizin dari pihak-pihak yang berwenang. Jika sudah jelas bahwa pembangunan MT harus berizin, mengapa dalam Permen 02/08 ini diatur lagi? Apakah ini bukan merupakan substansi kebijakan yang efisien? Lagi pula, apakah Kominfo memiliki kewenangan untuk menerbitkan perizinan pembangunan MT? Jika tidak punya kewenangan, mengapa ikut mengatur?
6. Pasal 3 ayat 5, apakah Permen 02/08 ini menganggap bahwa Operator telekomunikasi tidak memahami tata hubungan bisnsi di antara mereka? Bukankah penggunaan sumber daya perusahaan oleh pihak lain akan memberi perlindungan bagi para pihak jika disertai dengan kontrak tertulis. Para operato sudah tahu mengenai praktik bisnis semacam ini, jadi rasanya tidak perlu lagi diatur-ataur oleh Pemerintah.
7. Pasal 4, 5,6 dan 7 menimbulkan pertanyaan seputar batasan kewenangan Kominfo terkait dengan kewenangan instansi lain yang terkait dengan pembangunan MT dan investasi asing, serta pertanyan tentang apa dan siapa sebenarnya yang akan diatur, apakah akan mengatur tentang penggunaan bersama MT, atau mengatur structure-conduct-peformance industri MT yang meliputi pembangun/kontraktor, pemilik/penyedia, dan atau pengelola, atau melarang penanam modal asing masuk ke dalam industri MT? Dalam Permen 02/08, ketiganya tidak tampak jelas, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran.
8. Pasal 4 menimbulkan pertanyaan, apakah Kominfo memiliki kewenangan untuk mengatur Pemerintah Daerah (Pemda)? Jika tidak, mengapa Kominfo mengharuskan Pemda untuk mematuhi Permen 02/08 ini? Sejak diberlakukannya Undang Undang Otonomi Daerah, bukankah Pemda memiliki kewenangan penuh mengatur daerahnay sendiri, termasuk pengaturan mengenai pembangunan dan pemanfaatan konstruksi bangunan yang di dalamnya terdapat menara telekomunikasi. Jika tidak memiliki kewenangan mengatur Pemda, bukankah Permen 02/08 ini melangkahi kewenangan instansi pemerintah lainnya (misalnya Depdagri).
9. Jika mengacu pada Pasal 3 ayat 1, bahwa ada 3 pihak yang dapat melaksanakan pembangunan Menara, maka setelah dicermati, Pasal 5 menimbulkan pertanyaan, apakah yang tertutup untuk penanaman modal asing HANYA untuk jasa konstruksi pembangunan Menara, yang artinya Kontraktor Menara (Pasal 3 ayat 1 butir c, dan Pasal 1 ayat 8). Sedangkan Penyedia/Pemilik Menara (Pasal 3 ayat 1 butir b dan Pasal 1ayat 6) dan Pengelola Menara (Pasal 1 ayat 7) tidak dibatasi untuk penanaman modal asing.
10. Meski dari aspek nasionalisme tidak diragukan perlunya keberpihakan kepada Badan Usaha Indonesia yang seluruh modalnya atau kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri, namun demikian mengingat skala usaha, besaran investasi, pengalaman dan kemampuan manajerial dalam mengelola sumber daya strategis dalam jumlah puluhan ribu unit MT, serta kemungkinan adanya kebutuhan kerja sama internasional dalam menyelenggarakan permodalan, bahan baku, dan peralatan untuk membangun MT, tak urung Pasal 5 ayat 2 menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi alasan logis (logical reasons) dari penutupan kepemilikan dan atau modal asing dalam industri MT ini. Selain itu, mengingat kompleksitas dalam dunia bisnis dan investasi, sejauh mana tingkat kepemilikan asing dilarang (atau kepemilikan pelaku usaha dalam negeri dilindungi), bagaimana bila, misalnya perusahaan A (yang tercatat sebagai penyedia MT) dimiliki oleh perusahaan B (dalam negeri), sedangkan perusahaan B saham-sahamnya dimiliki oleh perusahan C, D dan E, di mana C dan D perusahaan dalam negeri, sedangkan E perusahaan luar negeri. Bagaimana pula bila perusahaan Penyediaan Menara pada akhirnya go public dan sebagian besar sahamnya dibeli oleh investor asing.
11. Pasal 6 menimbulkan pertanyaan, apakah Kominfo memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menetapak persayaratan teknis suatu konstruksi bangunan? Jika tidak, apakah dengan Pasal 6 ini tidak berarti Kominfo telah melewati batas kewenangan yang ada padanya?
12. Meski setuju bahwasanya eksistensi MT di kawasan tertentu perlu dibatasi, namun demikian Pasal 9 menimbulkan pertanyaan masalah kewenangan, siapa yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dan atau melarang kawasan tertentu boleh atau tidak boleh dipasang MT. Apakah Kominfo memiliki kewenangan tersebut?
13. Para Operator tentu sudah sangat paham bahwa apabila sumber dayanya digunakan oleh orang lain, atau menggunakan sumber daya orang lain untuk mendukung bisnisnya, tentu ada transaksi yang menimbulkan hak dan kewajiban. Demikian pula dalam sewa-menyewa MT, tanpa diatur-pun mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dengan pola pikir semacam ini, keberadaan Pasal 16 menjadi suatu klausa kebijakan yang sebenanrnya tidak perlu. Akan menjadi berguna, jika ada hal-hal khusus yang mungkin dapat menimbulkan potensi kerugian bagi masyarakat dan atau operator, yang mengarah pada kegagalan pasar.
14. Terkait dengan ketentuan peralihan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 20, muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh Penyedia Menara atau Penyelenggara Telekomunikasi yang telah memiliki izin Mendirikan Menara, sebagian menara telah dibangun dan telah dimafaatkan sebelum peraturan ini ditetapkan, dan sebagian lagi sedang dalam proses pembangunan, serta ada sebagian lagi yang belum dibangun. Apakah masuk dalam masa transisi selamam 2 (dua) tahun, sesuai Pasal 20 ayat 1, atau segera menyesuaikan dengan Permen 02/08 ini (Pasal 20 ayat 2).
Kesimpulan
Memperhatikan praktek di lapangan dan proyeksi – proyeksi bisnis telekomunikasi, termasuk industri komponen pasif seperti menara telekomunikasi; serta mengacu pada kerangka teori yang lazim digunakan dalam analisis kebijakan publik; serta mempelajari butir – butir substansi yang tertuang dalam Permen 02/08 di atas, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa:
1. Permen 02/08 ini tidak menjawab apakah ada kegagalan pasar yang terjadi dalam industri menara telekomunikasi. Antara pertimbangan dan dan substansi pengaturan tidak sinkron. Dalam pertimbangan hanya ditekankan bahwa pembangunan MT memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dan bahwa penggunaan MT harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, ke-sehatan masyarakat dan estetika lingkungan. Namun dalam substansi mengatur pula larangan terhadap penanaman modal asing masuk ke industri MT.
2. Hal yang mendasar dan memiliki peluang timbulnya pertentangan di antara lemabaga pemerintah adalah karena melalui Permen ini Kominfo telah masuk terlalu jauh ke dalam kewenangan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
3. Permen ini tidak disertai dengan pertimbangan dan atau alasan logis yang menjadi latar belakang ditetapkannya larangan terhadap penanaman modal asing dalam industri MT. Sehingga jika muncul praduga bahwa Permen ini muncul sebagai hasil dari lobby pihak - pihak tertentu yang memiliki kepentingan dalam industri MT, dugaan seperti ini, walau mungkin kurang berdasar, sulit ditolak bahwa mungkin ada kepentingan tertentu yang mendorong munculnya Permen 02/08 ini.
4. Secara umum, meski tujuan dan cita-cita yang dicanangkan dalam Permen 02/08 ini sangat mulia, namun karena ide utama dan keinginan mulia tersebut tidak diartikulasikan dalam serangkaian kalimat kebijakan yang tegas, jelas dan rinci, menjadikan Permen 02/08 ini merupakan contoh produk kebijakan publik yang kurang sempurna.
Saran Kebijakan
Masyarakat mendukung kebijakan dan regulasi penggunaan MT bersama serta pemberian peluang sebesar-besarnya bagi para pelaku bisnis dan investor dalam negeri untuk menguasai bisnis MT. Namun demikian mengingat pentingnya peran regulasi bagi kemajuan industri, tidak ada saran lain selain agar Permen ini segera disempurnakan. Hal – hal yang belum secara jelas diuraikan sebaikanya ditulis ulang dengan jelas. Hal-hal yang tidak perlu diatur, tidak usah diatur. Hal – hal yang menimbulkan dugaan dan sangkaan sebaiknya dijelaskan secara transparan.*****
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi
Pengantar
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tanggal 17 Maret 2008 menanda-tangani Peraturan Menteri Nomor 02?PER/M.KOMINFO/3/2008 (Permen 02/08) tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Dalam pertimbangannya Kominfo menyatakan Menara Telekomu-nikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan Menara Telekomunikasi (MT) harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan esteteila lingkungan; dari dua hal tersebut dipan-dang perlu menetapkan pedoman penggunaan Menara Telekomunikasi.
Agar supaya Permen ini efektif, sebagai suatu produk hukum dan atau produk kebijakan publik, Permen 02/08 ini dirasa perlu untuk disempurnakan guna mencegah adanya ketidak-pastian yang dapat timbul di antara para pelaku bisnis di industri jasa telekomunikasi pada umumnya dan industri menara telekomunikasi pada khususnya.
Kerangka Teori
Kebijakan publik dibuat dengan berbagai tujuan dan alasan. Kebijakan publik yang mengatur industri pada umumnya dimak-sudkan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya kegagalan pasar. Secara sederhana, kegagalan pasar terjadi ketika mekanisme pasar tidak bekerja secara efektif dan efisien, seperti misalnya namun tidak terbatas pada tersedianya sisi permintaan, karena rendahnya daya beli masyarakat; atau tidak tersedianya sisi penawaran karena tingginya biaya produksi, sehingga tidak ada pengusaha yang mampu untuk menyediakan produk tertentu; atau meskipun ada yang mampu menyediakan, namun tidak mencukupi kebutuhan dan atau persyaratan yang diminta pasar. Dalam hal terjadi kegagalan pasar, Pemerintah sebagai regulator melakukan intervensi pasar, dengan menerbitkan kebijakan dalam wujud regulasi pasar.
Di pihak lain, kebijakan publik yang bersifat pengaturan menjadi tidak relevan dan oleh karenanya mengesankan keinginan Peme-rintah untuk melakukan intervensi terlalu jauh ke dalam industri, ketika industri sudah mampu berjalan sendiri secara efektif dan efisien, namun tetap saja diterbitkan kebijakan pengaturan.
Di dalam kebijakan publik tercantum siapa yang membuat, apa saja kewenangan yang dimiliki oleh si pembuat, siapa yang menjadi target atau objek kebijakan tersebut, bagaimana hubungan antara pembuat dan objek kebijakan. Selain menjelaskan siapa saja aktor dan hubungan antar aktor, kebijakan publik juga memiliki substansi kebijakan yang didukung oleh alasan logik mengapa kebijakan tersebut dibuat. Alasan sebaiknya diuraikan secara rasional, mewakili kepentingan publik yang luas, tidak hanya mencerminkan kepentingan sebagian kecil golongan saja. Selain itu, substansi sebaiknya diuraikan dalam kalimat –kalimat yang jelas dan tegas sehingga mudah dipahami oleh objek hukum dan tidak menimbulkan beragam pemahaman. Demi efisiensi suatu kebijakan, hal – hal yang sudah umum diketahui dan dilaksanakan dengan baik oleh publik, sebaiknya tidak perlu diatur lagi. Kebijakan publik yang dimaksudkan untuk suatu pengaturan (regulasi), bagaimanapun baiknya selalu menimbulkan pro dan kontra. Pro bagi yang diuntungkan, kontra bagi yang dirugikan.
Sejalan dengan siklus hidup kompetisi penyelenggaraan telekomu-nikasi, khususnya telekomunikasi selular, terdapat empat tahapan fokus strategi kompetisi yang pada umumnya diacu oleh para operator telekomunikasi. Pada tahap pertama, operator fokus pada pembangunan jaringan untuk perluasan jangkauan layanan (coverage). Pada tahap ini, MT yang digunakan untuk menempat-kan radio transmisi dan atau Base Transceiver System (BTS) merupakan salah satu alat strategi kompetisi yang utama (strategic competitive tools) sehingga para operator berlomba-lomba menguasai lahan strategis dan kemudian membangun MT sesuai dengan proyeksi bisnis masing-masing. Operator yang eksis lebih dulu memiliki peluang yang lebih baik dari pada operator yang masuk belakangan.
Ketika coverage para operator lama sudah hampir melingkupi sebagian besar wilayah yang dianggap layak bisnis, muncullah kesadaran bahwa coverage tidak dapat lagi menjadi strategic competitive tools). Hal ini mudah dipahami karena jika hanya dengan coverage maka tidak ada lagi pembeda (differentiation) antara satu operator dengan operator lainnya. Ketika itulah para operator mulai memikirkan bagaimana mendaya-gunakan MT agar tidak hanya menjadi sumber biaya, namun dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan. Solusiya adalah dengan menyewakan kepada operator lain.
Tahap kedua, operator fokus pada harga (pricing), asumsinya, jika coverage sama, namun harga lebih murah dari pesaing, maka pengguna telepon akan memilih yang lebih murah. Strategi harga semula dilakukan oleh pendatang baru (new entrant), dengan harapan adanya efek substitusi yang didorong oleh perbedaan harga. Namun langkah new entrant diikuti oleh operator besar, sehingga muncul perang iklan tarif murah.
Diperkirakan dalam waktu dekat ini, harga tidak dapat lagi menjadi alat persaingan, pada masa ini industri selular akan memasuki tahap ketiga, yakni fokus pada Quality of Service (QoS). Operator akan berlomba-lomba menawarkan layanan yang lebih baik dari pesaing dengan harga yang terjangkau. Ketika QoS sudah menjadi layanan baku (market default), maka industri akan masuk ke tahap keempat di mana operator telekomunikasi akan fokus pada menyediakan layanan nilai tambah atau Value Added Services (VAS).
Analisa
Menggunakan kerangka teori dan memperhatikan substansi Permen 02/08 diajukan analisa sebagai berikut:
1. Pertimbangan yang digunakan dalam Permen 02/08 hanya dua
hal. Pertama, bahwa pembangunan MT memerlukan ketersedi-aan lahan, bangunan dan ruang udara. Kedua, bahwa pengguna-an MT harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, ke-sehatan masyarakat dan estetika lingkungan.
2. Permen 02/08 tergolong kebijakan publik yang ketinggalan momentum. Di satu pihak operator telekomunikasi sudah memahami bahwa MT sudah bukan lagi merupakan alat persaingan, dan oleh karenanya beberapa operator secara sukarela sudah mulai akan menyewakan kepada operator lain, sehingga timbullah istilah Menara Bersama.
3. Jika pembangunan, penggunaan, penyewaan dan perawatan MT dikatakan sebagai sebuah industri, industri ini memiliki keunikan karena merupakan kombinasi (inter-section) antara industri konstruksi dan telekomunikasi. Sehingga menjadi pertanyaan siapa saja yang memiliki kewenangan untuk mengatur industri tersebut. Apakah Kominfo yang memiliki kewenangan pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi, atau Departemen Pekerjaan Umum yang memiliki kewenangan pembinaan pekerjaan konstruksi.
4. Dari Pasal 2, timbul pertanyaan, apakah semua MT yang sudah dimiliki oleh operator telekomunikasi pada saat ini harus digunakan secara bersama? Bagaimana jika suatu MT lokasinya terletak di suatu wilayah yang operator atau pihak lain tidak tertarik untuk ikut memanfaatkannya.
5. Pasal 3 ayat 2 sampai dengan 5 dan Pasal 8 menimbulkan pertanyaan, apakah selama ini pembangunan MT tidak perlu berizin. Jawabnya tentu harus berizin dari pihak-pihak yang berwenang. Jika sudah jelas bahwa pembangunan MT harus berizin, mengapa dalam Permen 02/08 ini diatur lagi? Apakah ini bukan merupakan substansi kebijakan yang efisien? Lagi pula, apakah Kominfo memiliki kewenangan untuk menerbitkan perizinan pembangunan MT? Jika tidak punya kewenangan, mengapa ikut mengatur?
6. Pasal 3 ayat 5, apakah Permen 02/08 ini menganggap bahwa Operator telekomunikasi tidak memahami tata hubungan bisnsi di antara mereka? Bukankah penggunaan sumber daya perusahaan oleh pihak lain akan memberi perlindungan bagi para pihak jika disertai dengan kontrak tertulis. Para operato sudah tahu mengenai praktik bisnis semacam ini, jadi rasanya tidak perlu lagi diatur-ataur oleh Pemerintah.
7. Pasal 4, 5,6 dan 7 menimbulkan pertanyaan seputar batasan kewenangan Kominfo terkait dengan kewenangan instansi lain yang terkait dengan pembangunan MT dan investasi asing, serta pertanyan tentang apa dan siapa sebenarnya yang akan diatur, apakah akan mengatur tentang penggunaan bersama MT, atau mengatur structure-conduct-peformance industri MT yang meliputi pembangun/kontraktor, pemilik/penyedia, dan atau pengelola, atau melarang penanam modal asing masuk ke dalam industri MT? Dalam Permen 02/08, ketiganya tidak tampak jelas, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran.
8. Pasal 4 menimbulkan pertanyaan, apakah Kominfo memiliki kewenangan untuk mengatur Pemerintah Daerah (Pemda)? Jika tidak, mengapa Kominfo mengharuskan Pemda untuk mematuhi Permen 02/08 ini? Sejak diberlakukannya Undang Undang Otonomi Daerah, bukankah Pemda memiliki kewenangan penuh mengatur daerahnay sendiri, termasuk pengaturan mengenai pembangunan dan pemanfaatan konstruksi bangunan yang di dalamnya terdapat menara telekomunikasi. Jika tidak memiliki kewenangan mengatur Pemda, bukankah Permen 02/08 ini melangkahi kewenangan instansi pemerintah lainnya (misalnya Depdagri).
9. Jika mengacu pada Pasal 3 ayat 1, bahwa ada 3 pihak yang dapat melaksanakan pembangunan Menara, maka setelah dicermati, Pasal 5 menimbulkan pertanyaan, apakah yang tertutup untuk penanaman modal asing HANYA untuk jasa konstruksi pembangunan Menara, yang artinya Kontraktor Menara (Pasal 3 ayat 1 butir c, dan Pasal 1 ayat 8). Sedangkan Penyedia/Pemilik Menara (Pasal 3 ayat 1 butir b dan Pasal 1ayat 6) dan Pengelola Menara (Pasal 1 ayat 7) tidak dibatasi untuk penanaman modal asing.
10. Meski dari aspek nasionalisme tidak diragukan perlunya keberpihakan kepada Badan Usaha Indonesia yang seluruh modalnya atau kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri, namun demikian mengingat skala usaha, besaran investasi, pengalaman dan kemampuan manajerial dalam mengelola sumber daya strategis dalam jumlah puluhan ribu unit MT, serta kemungkinan adanya kebutuhan kerja sama internasional dalam menyelenggarakan permodalan, bahan baku, dan peralatan untuk membangun MT, tak urung Pasal 5 ayat 2 menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi alasan logis (logical reasons) dari penutupan kepemilikan dan atau modal asing dalam industri MT ini. Selain itu, mengingat kompleksitas dalam dunia bisnis dan investasi, sejauh mana tingkat kepemilikan asing dilarang (atau kepemilikan pelaku usaha dalam negeri dilindungi), bagaimana bila, misalnya perusahaan A (yang tercatat sebagai penyedia MT) dimiliki oleh perusahaan B (dalam negeri), sedangkan perusahaan B saham-sahamnya dimiliki oleh perusahan C, D dan E, di mana C dan D perusahaan dalam negeri, sedangkan E perusahaan luar negeri. Bagaimana pula bila perusahaan Penyediaan Menara pada akhirnya go public dan sebagian besar sahamnya dibeli oleh investor asing.
11. Pasal 6 menimbulkan pertanyaan, apakah Kominfo memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menetapak persayaratan teknis suatu konstruksi bangunan? Jika tidak, apakah dengan Pasal 6 ini tidak berarti Kominfo telah melewati batas kewenangan yang ada padanya?
12. Meski setuju bahwasanya eksistensi MT di kawasan tertentu perlu dibatasi, namun demikian Pasal 9 menimbulkan pertanyaan masalah kewenangan, siapa yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dan atau melarang kawasan tertentu boleh atau tidak boleh dipasang MT. Apakah Kominfo memiliki kewenangan tersebut?
13. Para Operator tentu sudah sangat paham bahwa apabila sumber dayanya digunakan oleh orang lain, atau menggunakan sumber daya orang lain untuk mendukung bisnisnya, tentu ada transaksi yang menimbulkan hak dan kewajiban. Demikian pula dalam sewa-menyewa MT, tanpa diatur-pun mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dengan pola pikir semacam ini, keberadaan Pasal 16 menjadi suatu klausa kebijakan yang sebenanrnya tidak perlu. Akan menjadi berguna, jika ada hal-hal khusus yang mungkin dapat menimbulkan potensi kerugian bagi masyarakat dan atau operator, yang mengarah pada kegagalan pasar.
14. Terkait dengan ketentuan peralihan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 20, muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh Penyedia Menara atau Penyelenggara Telekomunikasi yang telah memiliki izin Mendirikan Menara, sebagian menara telah dibangun dan telah dimafaatkan sebelum peraturan ini ditetapkan, dan sebagian lagi sedang dalam proses pembangunan, serta ada sebagian lagi yang belum dibangun. Apakah masuk dalam masa transisi selamam 2 (dua) tahun, sesuai Pasal 20 ayat 1, atau segera menyesuaikan dengan Permen 02/08 ini (Pasal 20 ayat 2).
Kesimpulan
Memperhatikan praktek di lapangan dan proyeksi – proyeksi bisnis telekomunikasi, termasuk industri komponen pasif seperti menara telekomunikasi; serta mengacu pada kerangka teori yang lazim digunakan dalam analisis kebijakan publik; serta mempelajari butir – butir substansi yang tertuang dalam Permen 02/08 di atas, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa:
1. Permen 02/08 ini tidak menjawab apakah ada kegagalan pasar yang terjadi dalam industri menara telekomunikasi. Antara pertimbangan dan dan substansi pengaturan tidak sinkron. Dalam pertimbangan hanya ditekankan bahwa pembangunan MT memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dan bahwa penggunaan MT harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, ke-sehatan masyarakat dan estetika lingkungan. Namun dalam substansi mengatur pula larangan terhadap penanaman modal asing masuk ke industri MT.
2. Hal yang mendasar dan memiliki peluang timbulnya pertentangan di antara lemabaga pemerintah adalah karena melalui Permen ini Kominfo telah masuk terlalu jauh ke dalam kewenangan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
3. Permen ini tidak disertai dengan pertimbangan dan atau alasan logis yang menjadi latar belakang ditetapkannya larangan terhadap penanaman modal asing dalam industri MT. Sehingga jika muncul praduga bahwa Permen ini muncul sebagai hasil dari lobby pihak - pihak tertentu yang memiliki kepentingan dalam industri MT, dugaan seperti ini, walau mungkin kurang berdasar, sulit ditolak bahwa mungkin ada kepentingan tertentu yang mendorong munculnya Permen 02/08 ini.
4. Secara umum, meski tujuan dan cita-cita yang dicanangkan dalam Permen 02/08 ini sangat mulia, namun karena ide utama dan keinginan mulia tersebut tidak diartikulasikan dalam serangkaian kalimat kebijakan yang tegas, jelas dan rinci, menjadikan Permen 02/08 ini merupakan contoh produk kebijakan publik yang kurang sempurna.
Saran Kebijakan
Masyarakat mendukung kebijakan dan regulasi penggunaan MT bersama serta pemberian peluang sebesar-besarnya bagi para pelaku bisnis dan investor dalam negeri untuk menguasai bisnis MT. Namun demikian mengingat pentingnya peran regulasi bagi kemajuan industri, tidak ada saran lain selain agar Permen ini segera disempurnakan. Hal – hal yang belum secara jelas diuraikan sebaikanya ditulis ulang dengan jelas. Hal-hal yang tidak perlu diatur, tidak usah diatur. Hal – hal yang menimbulkan dugaan dan sangkaan sebaiknya dijelaskan secara transparan.*****
Sunday, April 06, 2008
Kepemilikan dan Penguasaan Spektrum Frekuensi
Terdapat dua pendekatan untuk memberikan lisensi spektrum frekuensi: Pertama, dalam pendekatan tradisional, pemberian lisensi spektrum dibedakan dalam ”hak untuk mengoperasikan” dan ”hak untuk menggunakan”. Kedua, pendekatan baru yang lebih mendekati pada konsep pergantian kepemilikan. Dalam hal spektrum, regulator menjual spektrum kepada pembeli swasta yang dapat menjualnya kembali kepada perusahaan lainnya. Hal ini mengarahkan adanya nilai pasar pada spektrum. Pendekata ini sepertinya berdasarkan pada dugaan bahwa spektrum adalah milik negara yang dapat serah-terimakan kepada yang lain. Bagaimanapu juga, pendekatan ini bertentangan dengan komitmen internasional negara. Berdasarkan ITU Radio Regulation, negara memberikan batasan dalam penggunaan frekuensi radia dalam teritorialnya.
Dalam pendekatan baru, spektrum dianggap sebagai sumber daya alam, yang dapat dibagi dalam beberapa bagian dan dijual atau disewakan. Pemilik suatu bagian spektrum dapat menggunakannya dengan bebas selama tidak mengganggu bagian lainnya. Namun, spektrum tidak mudah untuk dibatasi atau digambarkan. Atribut dan sifat spektrum tidak dapat digambarkan dengan konsep normal. Hal ini menjelaskan perkara hak spektrum dalam area terbatas, atao hak spektrum atas frekuensi satelit.
Pengguna spektrum harus mempertimbangkan penggunaan spektrum dalam wilayah yang berdampingan sebelum mereka menentukan penggunaannya. Tidak ada negara yang dapat menuntuk hak penuh atas kepemilikan frekuensi satelit yang luasnya sama dengan wilayahnya. Pertimbangan mengenai hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa spektrum tidah bisa dimiliki oleh suatu negara. Yang dimiliki negara adalah hak penggunaan spektrum dalam wilayah teritorialnya, dengan batasan sesuai perjanjian dalam regulasi radio dan hak negara lainnya.
Perubahan Hak Atas Lisensi Spektrum
Harga suatu lisensi spektrum dianggap sebagai suatu penyewan atau pembelian semenatara hak negara atas penggunaan spektrum. Dugaan ini dikombinasikan dengan hak untuk menjual kembali lisensi tersebut. Setiap pergantian hak harus melakukan registrasi dengan manajemen spektrum yang berwewenanga dan pasar spektrum harus diatur utnuk menghindai terjadinya penyalah gunaan. Dengan demikian, dalam mekanisme harga pasar atas lisensi akan menentukan harga dalam perdagangan hak spektrum.
Tujuan Regulasi Mengenai Spektrum
Tujuan regulasi spektrum adalah untuk menjamin bahwa pengguna yang sah atas spektrum radio mendapatkan keuntungan maksimum tanpa menyebabkan ganguan kepada pengguna sah lainnya. Salah satu tujuan pemberian lisensi adalah memberikan hak khusus untuk menggunakan spektrum radio kepada pemilik, tetapi juga memberikan kewajiban tertentu pada pemilik. Kewajiban bagi operator seluler dapat termasuk kekuatan pemancar yang maksimal (untuk mengurangi masalah gangguan), dan kebutuhan atas lokasi base station. Kewajiban tersebut juga termasuk kebutuhan untuk menyediakan coverage dalam presentasi tertentu dari populasi dalam perode tertentu. Referensi standard tertentu juga termasuk dalam kewajiban pemilik hak spektrum.
Pertimbangan Lisensi
Sebelum menentukan krieteria untuk memilih alternatif, manajemen spektrum harus mempertimbangkan beberapa faktor:
1) Kandidat yang telah memenuhi syarat, melalui proses kualifikasi, jika regulator memutuskan perlu dilakukan penyaringan, maka kandidat yang tidak cocok akan dikeluarkan. Proses kualifikasi sebelumnya seharusnya tidak membatasi jumlah kandidat dan harus berdasarkan keiteria yang terbuka dan tanpa diskriminasi.
2) Jumlah lisensi yang diberikan membutuhkan keseimbangan antara ketersediaan spektrum, bandwith yang dimiliki masing-masing operator, dan ukuran pasar.
3) Dalam teknologi 3G, perbedaan antara jaringan tetap dan mobile akan semakin tidak jelas. Karena itu harus ada penjelasan mengenai permintaan lisensi dan kondisi yang dapat digunakan untuk meng-coverage layanan dan jaringan tetap atau mobile.
4) Setiap kewajiban seperti perataan dan jangkauan coverage harus tepat untuk menjamin terjadinya persaingan dalam infrastruktir dan frekuensi yang tidak perlu digunakan. Perataan layanan jaringan seharusnya berdasarkan permintaan pasar.
5) Kondisi pemberian lisensi seharusnya tidak menghalangi persetujuan roaming komersial yang dilakukan di antara operator.
6) Pembagian infrastruktur jaringan seharusnya diizinkan dalam basis komersial untuk membantu perkembangan dan penyebaran jaringan dan pengenalan layanan.
7) Tujuan kebijakan lisensi seharusnya memasukkan lingkup layanan yang diberikan kepada operator. Lingkup layanan dapat berupa regional atau coverage nasional.
Dalam pendekatan baru, spektrum dianggap sebagai sumber daya alam, yang dapat dibagi dalam beberapa bagian dan dijual atau disewakan. Pemilik suatu bagian spektrum dapat menggunakannya dengan bebas selama tidak mengganggu bagian lainnya. Namun, spektrum tidak mudah untuk dibatasi atau digambarkan. Atribut dan sifat spektrum tidak dapat digambarkan dengan konsep normal. Hal ini menjelaskan perkara hak spektrum dalam area terbatas, atao hak spektrum atas frekuensi satelit.
Pengguna spektrum harus mempertimbangkan penggunaan spektrum dalam wilayah yang berdampingan sebelum mereka menentukan penggunaannya. Tidak ada negara yang dapat menuntuk hak penuh atas kepemilikan frekuensi satelit yang luasnya sama dengan wilayahnya. Pertimbangan mengenai hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa spektrum tidah bisa dimiliki oleh suatu negara. Yang dimiliki negara adalah hak penggunaan spektrum dalam wilayah teritorialnya, dengan batasan sesuai perjanjian dalam regulasi radio dan hak negara lainnya.
Perubahan Hak Atas Lisensi Spektrum
Harga suatu lisensi spektrum dianggap sebagai suatu penyewan atau pembelian semenatara hak negara atas penggunaan spektrum. Dugaan ini dikombinasikan dengan hak untuk menjual kembali lisensi tersebut. Setiap pergantian hak harus melakukan registrasi dengan manajemen spektrum yang berwewenanga dan pasar spektrum harus diatur utnuk menghindai terjadinya penyalah gunaan. Dengan demikian, dalam mekanisme harga pasar atas lisensi akan menentukan harga dalam perdagangan hak spektrum.
Tujuan Regulasi Mengenai Spektrum
Tujuan regulasi spektrum adalah untuk menjamin bahwa pengguna yang sah atas spektrum radio mendapatkan keuntungan maksimum tanpa menyebabkan ganguan kepada pengguna sah lainnya. Salah satu tujuan pemberian lisensi adalah memberikan hak khusus untuk menggunakan spektrum radio kepada pemilik, tetapi juga memberikan kewajiban tertentu pada pemilik. Kewajiban bagi operator seluler dapat termasuk kekuatan pemancar yang maksimal (untuk mengurangi masalah gangguan), dan kebutuhan atas lokasi base station. Kewajiban tersebut juga termasuk kebutuhan untuk menyediakan coverage dalam presentasi tertentu dari populasi dalam perode tertentu. Referensi standard tertentu juga termasuk dalam kewajiban pemilik hak spektrum.
Pertimbangan Lisensi
Sebelum menentukan krieteria untuk memilih alternatif, manajemen spektrum harus mempertimbangkan beberapa faktor:
1) Kandidat yang telah memenuhi syarat, melalui proses kualifikasi, jika regulator memutuskan perlu dilakukan penyaringan, maka kandidat yang tidak cocok akan dikeluarkan. Proses kualifikasi sebelumnya seharusnya tidak membatasi jumlah kandidat dan harus berdasarkan keiteria yang terbuka dan tanpa diskriminasi.
2) Jumlah lisensi yang diberikan membutuhkan keseimbangan antara ketersediaan spektrum, bandwith yang dimiliki masing-masing operator, dan ukuran pasar.
3) Dalam teknologi 3G, perbedaan antara jaringan tetap dan mobile akan semakin tidak jelas. Karena itu harus ada penjelasan mengenai permintaan lisensi dan kondisi yang dapat digunakan untuk meng-coverage layanan dan jaringan tetap atau mobile.
4) Setiap kewajiban seperti perataan dan jangkauan coverage harus tepat untuk menjamin terjadinya persaingan dalam infrastruktir dan frekuensi yang tidak perlu digunakan. Perataan layanan jaringan seharusnya berdasarkan permintaan pasar.
5) Kondisi pemberian lisensi seharusnya tidak menghalangi persetujuan roaming komersial yang dilakukan di antara operator.
6) Pembagian infrastruktur jaringan seharusnya diizinkan dalam basis komersial untuk membantu perkembangan dan penyebaran jaringan dan pengenalan layanan.
7) Tujuan kebijakan lisensi seharusnya memasukkan lingkup layanan yang diberikan kepada operator. Lingkup layanan dapat berupa regional atau coverage nasional.
Monopoli Natural dan Eksternalitas dalam Telekomunikasi
Literatur Ekonomi memberikan dua alasan pokok pada regulasi layanan telekomunikasi (Davis, 1994). Pertama, terdapat lingkup dan skala ekonomi dalam menghasilkan layanan telekmunikasi yang dapat membuat pasar telekomunikasi menjadi natural monopoli. Kedua, penggunaan dan langganan layanan telekomunikasi diminta untuk menghasilkan dua macam penggunaan eksternalitas secara positif. Alasan pertama dikenal dengan panggilan eksternalitas, . Alasan kedua disebut jaringan eksternalitas: ketika pelanggan baru masuk, pelanggan lama mendapatkan keuntungan, tanpa membayar biaya tambahan, dari panggilan pelanggan baru dan dapat melakukan panggilan kepada mereka. Kepemilikan monopoli natural dan jaringan eksternalitas dapat mengarahkan kekuatan pasat kepada satu incumbent penyedia layana telekomunikasi. Pemerintah memberikan keuntungan kepada incumbent melalui monopoli, sementara itu pemain baru harus menghadapi tingginya hambatan untuk memasuki industri tersebut.
Monopoli didefinisikan sebagai suatu pasar yang hanya memiliki satu penjual tetapi terdapat banyak pembeli. Karena seorang yang melakukam monopoli merupakan satu-satunya yang menawarkan produk, kurva permintaan pasar menunjukkan hubungan antara harga yang diterima monopolis dengan kuantitas produk yang ditawarkan. Penetapan harga ini dalam masyarakan karena sedikin pelanggan yang menggunakan produk tersebut dan mereka tidak ingin membayar lebih besar. Menurut Pindyck dan Rubinfeld, Monopoli merupakan suatu bentuk kekuatan pasar, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi harga suatu barang. Sebagai satu-satunya produsen, seorang monopolis memiliki posisi yangunik.
Jika monopolis memutuskan untuk menaikkan harga produk, dia tidak perlu mengkhawatirkan pesaing akan memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dengan memberikan harga yang lebih murah. Monopolis menguasai pasar dan mengendalikan jumlah produk yang ditawarkan. Tetapi bukan berarti monopolis dapat menetapkan harga tinggi semaunya, setidaknya penetapan harga tinggi dilakukan untuk memaksimalisasi keuntungan. Untuk memaksimalisasi keuntungan, monopolis harus dapat menentukan karakteristik permintaan pasar, seperti halnya biaya yang dikeluarkan. Pengetahuan mengenai permintaan dan biaya penting dalam pengambilan keputusan ekonomi suatu perusahaan.
Keberadaan monopoli natural tidak mengimplikasikan bahwa pasar memiliki sifat natural monopoli (Low, 2000). Terdapat dua alasan mengenai hal ini: Pertama, kemungkinan pasar monopoli tidak dapat bertahan lama; karena itu incumbent tidak dapat mempertahankan jumlah pesaing yang efisien agar tidak berubah. Kedua, incumbent dan pesaing akan berada pada persaingan ketat dalam memperoleh keuntungan. Penurunan biaya dan hambatan masuk lainnya yang tidak memungkinkan untuk masuk, biasanya menyertai monopoli natural. Jaringan eksternalitas membuat jaringan interkoneksi lebih efisien. Dengan demikian, berdasarkan keberadaan monopoli natural dan eksternalitas, regulasi telekomunikasi harus menghapuskan kekuatan pasar dan tiruan produk dalam pasar persaingan (Duesterberg, 1997). Selain itu, regulasi harus menjamin realisasi struktur pasar yang efisien dan membantu mengoptimalkan persaing dengan penggunaan eksternalitas.
Cara terbaik untuk menguji adanya natural monopoli mungkin dengan membiarkan pasar menemukan hasil yang terbaik. Jika, selain batasan, pasar bersifat natural monopoli, akan terjadi inefisiensi. Tetapi inefisiensi tersebut harsu dibandingkan dengan inefisiensi lainnya yang ditimbukkan oelh regulasi. Hampir bisa dipastikan, pesaing baru akan hadir jika tidak ada lagi natural monopoli (Vogelsang, Mitchel, 1997). Dalam penggunaan pita frekuensi untuk layanan radio, Pemerintah sebagai regulator harus mengingat bahwa frekuensi radio adalah sumber daya yang terbatas sehingga harus digunakan secara rasional, efisien dan ekonomis.
Monopoli didefinisikan sebagai suatu pasar yang hanya memiliki satu penjual tetapi terdapat banyak pembeli. Karena seorang yang melakukam monopoli merupakan satu-satunya yang menawarkan produk, kurva permintaan pasar menunjukkan hubungan antara harga yang diterima monopolis dengan kuantitas produk yang ditawarkan. Penetapan harga ini dalam masyarakan karena sedikin pelanggan yang menggunakan produk tersebut dan mereka tidak ingin membayar lebih besar. Menurut Pindyck dan Rubinfeld, Monopoli merupakan suatu bentuk kekuatan pasar, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi harga suatu barang. Sebagai satu-satunya produsen, seorang monopolis memiliki posisi yangunik.
Jika monopolis memutuskan untuk menaikkan harga produk, dia tidak perlu mengkhawatirkan pesaing akan memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dengan memberikan harga yang lebih murah. Monopolis menguasai pasar dan mengendalikan jumlah produk yang ditawarkan. Tetapi bukan berarti monopolis dapat menetapkan harga tinggi semaunya, setidaknya penetapan harga tinggi dilakukan untuk memaksimalisasi keuntungan. Untuk memaksimalisasi keuntungan, monopolis harus dapat menentukan karakteristik permintaan pasar, seperti halnya biaya yang dikeluarkan. Pengetahuan mengenai permintaan dan biaya penting dalam pengambilan keputusan ekonomi suatu perusahaan.
Keberadaan monopoli natural tidak mengimplikasikan bahwa pasar memiliki sifat natural monopoli (Low, 2000). Terdapat dua alasan mengenai hal ini: Pertama, kemungkinan pasar monopoli tidak dapat bertahan lama; karena itu incumbent tidak dapat mempertahankan jumlah pesaing yang efisien agar tidak berubah. Kedua, incumbent dan pesaing akan berada pada persaingan ketat dalam memperoleh keuntungan. Penurunan biaya dan hambatan masuk lainnya yang tidak memungkinkan untuk masuk, biasanya menyertai monopoli natural. Jaringan eksternalitas membuat jaringan interkoneksi lebih efisien. Dengan demikian, berdasarkan keberadaan monopoli natural dan eksternalitas, regulasi telekomunikasi harus menghapuskan kekuatan pasar dan tiruan produk dalam pasar persaingan (Duesterberg, 1997). Selain itu, regulasi harus menjamin realisasi struktur pasar yang efisien dan membantu mengoptimalkan persaing dengan penggunaan eksternalitas.
Cara terbaik untuk menguji adanya natural monopoli mungkin dengan membiarkan pasar menemukan hasil yang terbaik. Jika, selain batasan, pasar bersifat natural monopoli, akan terjadi inefisiensi. Tetapi inefisiensi tersebut harsu dibandingkan dengan inefisiensi lainnya yang ditimbukkan oelh regulasi. Hampir bisa dipastikan, pesaing baru akan hadir jika tidak ada lagi natural monopoli (Vogelsang, Mitchel, 1997). Dalam penggunaan pita frekuensi untuk layanan radio, Pemerintah sebagai regulator harus mengingat bahwa frekuensi radio adalah sumber daya yang terbatas sehingga harus digunakan secara rasional, efisien dan ekonomis.
Persaingan Memperebutkan Sumber Daya
Persaingan tidak hanya terjadi pada perebutan pelanggan tetapi juga pada sumber daya lainnya yang langka sehingga selalu diperebutkan oleh perusahaan dan pesaingnya. Terdapat tiga jenis persaingan, yaitu:
1. Persaingan dalam pengembangan sumber daya potensial yang baru;
2. Persaingan dalam memperoleh sumber daya;
3. Persaingan dalam mendapatkan perhatian pelanggan dan sumber daya lainnya.
1. Mengembangkan pelanggan potensial yang baru
Perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan pelanggan yang baru memasuki industri lebih dulu dari pesaingnya sehingga perusahaan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan potensi pelanggan tersebut. Jumlah pelanggan menentukan kinerja perusahaan, dan jumlah pelanggan dipengaruhi oleh produk yang dikeluarkan perusahaan. Basis pelanggan yang dibangun perusahaan dapat berkembang dengan cepat, tetapi juga dapat melambat jika sumber daya yang potensial habis. Agar dapat meraih pelanggan, tidak hanya dilakukan dengan mengembangkan sumber daya perusahaan, tetapi juga mengurangi sumber daya yang dimiliki oleh pesaing.
Pelanggan yang potensial diperoleh melalui sistem pemasaran dan relative value yang berupa nilai produk yang ditawarkan yang seimbang dengan harga yang harus dibayar pelanggan. Selain itu, pertumbuhan pelanggan juga dapat didorong dengan adanya mekanisme pemasaran dari mulut ke mulut. Konsep relative value, juga dapat dikembangkan pada sumber daya potensial lainnya, misalnya penghargaan terhadap karyawan atas prestasinya dalam perusahaan.
Tingkat pertumbuhan pelanggan biasanya didorong oleh produk atau layanan perusahaan yang paling menarik bagi mereka. Pelanggan yang potesial akan tetap memilih produk perusahaan walaupun produk tersebut mengalami perubahan baik pada fungsi maupun harganya.
Tingkat pertumbuhan industri dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu faktor politik, ekonomi, sosial dan teknologi (yang dikenal sebagai analisis PEST). Keempat faktor ini sering dipertimbangkan perusahaan dalam mengevaluasi peluang industri. Perubahan situasi politik dapat mempengaruhi seluruh industri, misalnya dengan adanya ketentuan privatisasi dan deregulasi. Perubahan ekonomi dapat mendatangkan kelompok pelanggan baru bagi industri. Perubahan sosial juga mendorong perubahan pada konsumen, tenaga kerja, dan lainnya menjadi sumber daya yang potensial dan aktual bagi perusahaan atau justru sebaliknya, menjadi sumber daya yang tidak potensial. Perkembangan teknologi dapat memberikan dua pengaruh, yaitu mengubah kualitas produk dan jasa yang ditawarkan dan mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Analisis mengenai evolusi industri telekomunikasi tidak hanya tertera pada faktor harga, tetapi juga faktor-faktor berikut:
Peningkatan penggunaan jasa telekomunikasi yang didorong dengan adanya penurunan tarif.
Struktur tarif yang diterapkan perusahaan dan pesaing dalam penetapan tarif berdasarkan bulanan, penggunaan, dan lainnya.
Peluang peningkatan pendapatan dengan adanya perkembangan jaringan dan pengguna jasa telekomunikasi.
Sistem pemasaran yang diterapkan untuk mendapatkan pelanggan yang potensial.
Tersedianya produk dalam eceran.
Kapasitas yang dibutuhkan sejalan dengan berjambahnya jumlah pelanggan, berupa pembangunan jaringan di berbagai daerah dan infrastruktur lainnya.
Pelanggan churn.
Kebijakan pesaing dalam usahanya untuk membangun basis pelanggan, meningkatkan permintaan dan pendapatan.
2. Merebut pelanggan pesaing
Dengan berkembangnya pasar, tipe persaingan kedua mulai bermain. Setiap perusahaan berusaha menarik pelanggan yang telah dikembangkan oleh para pesaing untuk menjadi pelanggannya. Pada saat yang sama, perusahaan juga berusaha untuk mempertahankan pelanggannya agar tidak direbut oleh pesaing. Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan pelanggan, antara lain dengan memberikan harga yang lebih murah dan memberikan efisiensi dalam penggunaan produk.
Perusahaan incumbent sering menggunakan asset dengan tidak efisien sehingga pemain baru dalam industri yang muncul diberikan fasilitas dengan menggunakan aset tersebut tanpa dipungut biaya. Akibatnya, pemain baru tersebut dapat memberikan harga produk yang lebih murah dan merebut pelanggan dari incumbent . Namun, pemain baru tidak dapat terus mempertahankan keadaan ini sehingga pelanggan akan kembali kepada incumbent.
Perubahan regulasi dan teknologi menyebabkan terbukanya persaingan dengan munculnya para pemain baru yang berusaha untuk memperoleh pelanggan dengan harga yang kompetitif atau menawarkan produk yang memberikan fungsi yang menguntungkan pelanggan. Untuk mempertahankan kedudukannya, incumbent lebih baik berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan loyalitas dan retensi pelanggan dibandingkan dengan menurunkan harga produk.
3. Bersaing dalam penjualan untuk berbagi pelanggan.
Jika kondisinya memungkinkan, perusahaan dan pesaingnya dapat saling berbagi pelanggan. Dalam beberapa pasar, seperti pasar barang-barang konsumsi, bahan baku, dan periklanan, terdapat pelanggan yang membeli suatu produk atau menggunakan jasa yang berasal dari dua perusahaan atau lebih. Pada tipe persaingan ini, perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan perhatian pelanggan atas produk-produknya sehingga pelanggan lebih memilih produk perusahaan dibandingkan dengan produk pesaing.
Persaingan seperti ini merupakan kombinasi dari dua tipe persaingan sebelumnya. Pada pasar yang sudah mapan, sering terjadi persaingan dalam menciptakan dan mempertahankan loyalitas pelanggan (sebagaimana pada tipe persaingan yang kedua), dan para pelanggan baru berdatangan sehingga mendorong terjadinya persaingan seperti pada tipe pertama. Namun pada persaingan tipe 1 dan tipe 2, perusahaan menghadapi kelompok pelanggan yang hanya berlangganan satu perusahaan secara eksklusif, sementara pada tipe 3, pelanggan suatu perusahaan mungkin juga pelanggan perusahaan pesaingnya.
Ketiga tipe persaingan tersebut akan sulit untuk dikendalikan pada industri yang memiliki banyak pesaing. Untuk menghadapi persaingan seperti itu, dapat dilakukan dengan menerapkan segmentasi industri, yaitu dengan mencari perbedaan karakteristik dan kebijakan perusahaan pesaing, misalnya segmen pasar yang dilayani. Dengan demikian, perusahaan dapat mengidentifikasi pesaing sebenarnya yang berada pada segmentasi yang serupa. Perubahan pada kinerja perusahaan dapat digambarkan melalui tingkat keberhasilannya memenangkan persaingan terhadap pesaingnya secara individu maupun persaingan dalam segementasi industrinya.
Persaingan dalam meraih sumber daya tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan komersial, tetapi juga pada organisasi nirlaba, seperti lembaga amal, pemerintah, pelayanan masyarakat, dan kelompok politik. Strategi yang diterapkan tidak hanya mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi juga dapat mempengaruhi industri.
1. Persaingan dalam pengembangan sumber daya potensial yang baru;
2. Persaingan dalam memperoleh sumber daya;
3. Persaingan dalam mendapatkan perhatian pelanggan dan sumber daya lainnya.
1. Mengembangkan pelanggan potensial yang baru
Perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan pelanggan yang baru memasuki industri lebih dulu dari pesaingnya sehingga perusahaan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan potensi pelanggan tersebut. Jumlah pelanggan menentukan kinerja perusahaan, dan jumlah pelanggan dipengaruhi oleh produk yang dikeluarkan perusahaan. Basis pelanggan yang dibangun perusahaan dapat berkembang dengan cepat, tetapi juga dapat melambat jika sumber daya yang potensial habis. Agar dapat meraih pelanggan, tidak hanya dilakukan dengan mengembangkan sumber daya perusahaan, tetapi juga mengurangi sumber daya yang dimiliki oleh pesaing.
Pelanggan yang potensial diperoleh melalui sistem pemasaran dan relative value yang berupa nilai produk yang ditawarkan yang seimbang dengan harga yang harus dibayar pelanggan. Selain itu, pertumbuhan pelanggan juga dapat didorong dengan adanya mekanisme pemasaran dari mulut ke mulut. Konsep relative value, juga dapat dikembangkan pada sumber daya potensial lainnya, misalnya penghargaan terhadap karyawan atas prestasinya dalam perusahaan.
Tingkat pertumbuhan pelanggan biasanya didorong oleh produk atau layanan perusahaan yang paling menarik bagi mereka. Pelanggan yang potesial akan tetap memilih produk perusahaan walaupun produk tersebut mengalami perubahan baik pada fungsi maupun harganya.
Tingkat pertumbuhan industri dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu faktor politik, ekonomi, sosial dan teknologi (yang dikenal sebagai analisis PEST). Keempat faktor ini sering dipertimbangkan perusahaan dalam mengevaluasi peluang industri. Perubahan situasi politik dapat mempengaruhi seluruh industri, misalnya dengan adanya ketentuan privatisasi dan deregulasi. Perubahan ekonomi dapat mendatangkan kelompok pelanggan baru bagi industri. Perubahan sosial juga mendorong perubahan pada konsumen, tenaga kerja, dan lainnya menjadi sumber daya yang potensial dan aktual bagi perusahaan atau justru sebaliknya, menjadi sumber daya yang tidak potensial. Perkembangan teknologi dapat memberikan dua pengaruh, yaitu mengubah kualitas produk dan jasa yang ditawarkan dan mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan.
Analisis mengenai evolusi industri telekomunikasi tidak hanya tertera pada faktor harga, tetapi juga faktor-faktor berikut:
Peningkatan penggunaan jasa telekomunikasi yang didorong dengan adanya penurunan tarif.
Struktur tarif yang diterapkan perusahaan dan pesaing dalam penetapan tarif berdasarkan bulanan, penggunaan, dan lainnya.
Peluang peningkatan pendapatan dengan adanya perkembangan jaringan dan pengguna jasa telekomunikasi.
Sistem pemasaran yang diterapkan untuk mendapatkan pelanggan yang potensial.
Tersedianya produk dalam eceran.
Kapasitas yang dibutuhkan sejalan dengan berjambahnya jumlah pelanggan, berupa pembangunan jaringan di berbagai daerah dan infrastruktur lainnya.
Pelanggan churn.
Kebijakan pesaing dalam usahanya untuk membangun basis pelanggan, meningkatkan permintaan dan pendapatan.
2. Merebut pelanggan pesaing
Dengan berkembangnya pasar, tipe persaingan kedua mulai bermain. Setiap perusahaan berusaha menarik pelanggan yang telah dikembangkan oleh para pesaing untuk menjadi pelanggannya. Pada saat yang sama, perusahaan juga berusaha untuk mempertahankan pelanggannya agar tidak direbut oleh pesaing. Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan pelanggan, antara lain dengan memberikan harga yang lebih murah dan memberikan efisiensi dalam penggunaan produk.
Perusahaan incumbent sering menggunakan asset dengan tidak efisien sehingga pemain baru dalam industri yang muncul diberikan fasilitas dengan menggunakan aset tersebut tanpa dipungut biaya. Akibatnya, pemain baru tersebut dapat memberikan harga produk yang lebih murah dan merebut pelanggan dari incumbent . Namun, pemain baru tidak dapat terus mempertahankan keadaan ini sehingga pelanggan akan kembali kepada incumbent.
Perubahan regulasi dan teknologi menyebabkan terbukanya persaingan dengan munculnya para pemain baru yang berusaha untuk memperoleh pelanggan dengan harga yang kompetitif atau menawarkan produk yang memberikan fungsi yang menguntungkan pelanggan. Untuk mempertahankan kedudukannya, incumbent lebih baik berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan loyalitas dan retensi pelanggan dibandingkan dengan menurunkan harga produk.
3. Bersaing dalam penjualan untuk berbagi pelanggan.
Jika kondisinya memungkinkan, perusahaan dan pesaingnya dapat saling berbagi pelanggan. Dalam beberapa pasar, seperti pasar barang-barang konsumsi, bahan baku, dan periklanan, terdapat pelanggan yang membeli suatu produk atau menggunakan jasa yang berasal dari dua perusahaan atau lebih. Pada tipe persaingan ini, perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan perhatian pelanggan atas produk-produknya sehingga pelanggan lebih memilih produk perusahaan dibandingkan dengan produk pesaing.
Persaingan seperti ini merupakan kombinasi dari dua tipe persaingan sebelumnya. Pada pasar yang sudah mapan, sering terjadi persaingan dalam menciptakan dan mempertahankan loyalitas pelanggan (sebagaimana pada tipe persaingan yang kedua), dan para pelanggan baru berdatangan sehingga mendorong terjadinya persaingan seperti pada tipe pertama. Namun pada persaingan tipe 1 dan tipe 2, perusahaan menghadapi kelompok pelanggan yang hanya berlangganan satu perusahaan secara eksklusif, sementara pada tipe 3, pelanggan suatu perusahaan mungkin juga pelanggan perusahaan pesaingnya.
Ketiga tipe persaingan tersebut akan sulit untuk dikendalikan pada industri yang memiliki banyak pesaing. Untuk menghadapi persaingan seperti itu, dapat dilakukan dengan menerapkan segmentasi industri, yaitu dengan mencari perbedaan karakteristik dan kebijakan perusahaan pesaing, misalnya segmen pasar yang dilayani. Dengan demikian, perusahaan dapat mengidentifikasi pesaing sebenarnya yang berada pada segmentasi yang serupa. Perubahan pada kinerja perusahaan dapat digambarkan melalui tingkat keberhasilannya memenangkan persaingan terhadap pesaingnya secara individu maupun persaingan dalam segementasi industrinya.
Persaingan dalam meraih sumber daya tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan komersial, tetapi juga pada organisasi nirlaba, seperti lembaga amal, pemerintah, pelayanan masyarakat, dan kelompok politik. Strategi yang diterapkan tidak hanya mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi juga dapat mempengaruhi industri.
Subscribe to:
Posts (Atom)