Objek Analisa
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Nomor: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi
Pengantar
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tanggal 17 Maret 2008 menanda-tangani Peraturan Menteri Nomor 02?PER/M.KOMINFO/3/2008 (Permen 02/08) tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Dalam pertimbangannya Kominfo menyatakan Menara Telekomu-nikasi merupakan salah satu infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang vital dan memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dalam rangka efektivitas dan efisiensi penggunaan Menara Telekomunikasi (MT) harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan esteteila lingkungan; dari dua hal tersebut dipan-dang perlu menetapkan pedoman penggunaan Menara Telekomunikasi.
Agar supaya Permen ini efektif, sebagai suatu produk hukum dan atau produk kebijakan publik, Permen 02/08 ini dirasa perlu untuk disempurnakan guna mencegah adanya ketidak-pastian yang dapat timbul di antara para pelaku bisnis di industri jasa telekomunikasi pada umumnya dan industri menara telekomunikasi pada khususnya.
Kerangka Teori
Kebijakan publik dibuat dengan berbagai tujuan dan alasan. Kebijakan publik yang mengatur industri pada umumnya dimak-sudkan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya kegagalan pasar. Secara sederhana, kegagalan pasar terjadi ketika mekanisme pasar tidak bekerja secara efektif dan efisien, seperti misalnya namun tidak terbatas pada tersedianya sisi permintaan, karena rendahnya daya beli masyarakat; atau tidak tersedianya sisi penawaran karena tingginya biaya produksi, sehingga tidak ada pengusaha yang mampu untuk menyediakan produk tertentu; atau meskipun ada yang mampu menyediakan, namun tidak mencukupi kebutuhan dan atau persyaratan yang diminta pasar. Dalam hal terjadi kegagalan pasar, Pemerintah sebagai regulator melakukan intervensi pasar, dengan menerbitkan kebijakan dalam wujud regulasi pasar.
Di pihak lain, kebijakan publik yang bersifat pengaturan menjadi tidak relevan dan oleh karenanya mengesankan keinginan Peme-rintah untuk melakukan intervensi terlalu jauh ke dalam industri, ketika industri sudah mampu berjalan sendiri secara efektif dan efisien, namun tetap saja diterbitkan kebijakan pengaturan.
Di dalam kebijakan publik tercantum siapa yang membuat, apa saja kewenangan yang dimiliki oleh si pembuat, siapa yang menjadi target atau objek kebijakan tersebut, bagaimana hubungan antara pembuat dan objek kebijakan. Selain menjelaskan siapa saja aktor dan hubungan antar aktor, kebijakan publik juga memiliki substansi kebijakan yang didukung oleh alasan logik mengapa kebijakan tersebut dibuat. Alasan sebaiknya diuraikan secara rasional, mewakili kepentingan publik yang luas, tidak hanya mencerminkan kepentingan sebagian kecil golongan saja. Selain itu, substansi sebaiknya diuraikan dalam kalimat –kalimat yang jelas dan tegas sehingga mudah dipahami oleh objek hukum dan tidak menimbulkan beragam pemahaman. Demi efisiensi suatu kebijakan, hal – hal yang sudah umum diketahui dan dilaksanakan dengan baik oleh publik, sebaiknya tidak perlu diatur lagi. Kebijakan publik yang dimaksudkan untuk suatu pengaturan (regulasi), bagaimanapun baiknya selalu menimbulkan pro dan kontra. Pro bagi yang diuntungkan, kontra bagi yang dirugikan.
Sejalan dengan siklus hidup kompetisi penyelenggaraan telekomu-nikasi, khususnya telekomunikasi selular, terdapat empat tahapan fokus strategi kompetisi yang pada umumnya diacu oleh para operator telekomunikasi. Pada tahap pertama, operator fokus pada pembangunan jaringan untuk perluasan jangkauan layanan (coverage). Pada tahap ini, MT yang digunakan untuk menempat-kan radio transmisi dan atau Base Transceiver System (BTS) merupakan salah satu alat strategi kompetisi yang utama (strategic competitive tools) sehingga para operator berlomba-lomba menguasai lahan strategis dan kemudian membangun MT sesuai dengan proyeksi bisnis masing-masing. Operator yang eksis lebih dulu memiliki peluang yang lebih baik dari pada operator yang masuk belakangan.
Ketika coverage para operator lama sudah hampir melingkupi sebagian besar wilayah yang dianggap layak bisnis, muncullah kesadaran bahwa coverage tidak dapat lagi menjadi strategic competitive tools). Hal ini mudah dipahami karena jika hanya dengan coverage maka tidak ada lagi pembeda (differentiation) antara satu operator dengan operator lainnya. Ketika itulah para operator mulai memikirkan bagaimana mendaya-gunakan MT agar tidak hanya menjadi sumber biaya, namun dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan. Solusiya adalah dengan menyewakan kepada operator lain.
Tahap kedua, operator fokus pada harga (pricing), asumsinya, jika coverage sama, namun harga lebih murah dari pesaing, maka pengguna telepon akan memilih yang lebih murah. Strategi harga semula dilakukan oleh pendatang baru (new entrant), dengan harapan adanya efek substitusi yang didorong oleh perbedaan harga. Namun langkah new entrant diikuti oleh operator besar, sehingga muncul perang iklan tarif murah.
Diperkirakan dalam waktu dekat ini, harga tidak dapat lagi menjadi alat persaingan, pada masa ini industri selular akan memasuki tahap ketiga, yakni fokus pada Quality of Service (QoS). Operator akan berlomba-lomba menawarkan layanan yang lebih baik dari pesaing dengan harga yang terjangkau. Ketika QoS sudah menjadi layanan baku (market default), maka industri akan masuk ke tahap keempat di mana operator telekomunikasi akan fokus pada menyediakan layanan nilai tambah atau Value Added Services (VAS).
Analisa
Menggunakan kerangka teori dan memperhatikan substansi Permen 02/08 diajukan analisa sebagai berikut:
1. Pertimbangan yang digunakan dalam Permen 02/08 hanya dua
hal. Pertama, bahwa pembangunan MT memerlukan ketersedi-aan lahan, bangunan dan ruang udara. Kedua, bahwa pengguna-an MT harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, ke-sehatan masyarakat dan estetika lingkungan.
2. Permen 02/08 tergolong kebijakan publik yang ketinggalan momentum. Di satu pihak operator telekomunikasi sudah memahami bahwa MT sudah bukan lagi merupakan alat persaingan, dan oleh karenanya beberapa operator secara sukarela sudah mulai akan menyewakan kepada operator lain, sehingga timbullah istilah Menara Bersama.
3. Jika pembangunan, penggunaan, penyewaan dan perawatan MT dikatakan sebagai sebuah industri, industri ini memiliki keunikan karena merupakan kombinasi (inter-section) antara industri konstruksi dan telekomunikasi. Sehingga menjadi pertanyaan siapa saja yang memiliki kewenangan untuk mengatur industri tersebut. Apakah Kominfo yang memiliki kewenangan pengaturan penyelenggaraan telekomunikasi, atau Departemen Pekerjaan Umum yang memiliki kewenangan pembinaan pekerjaan konstruksi.
4. Dari Pasal 2, timbul pertanyaan, apakah semua MT yang sudah dimiliki oleh operator telekomunikasi pada saat ini harus digunakan secara bersama? Bagaimana jika suatu MT lokasinya terletak di suatu wilayah yang operator atau pihak lain tidak tertarik untuk ikut memanfaatkannya.
5. Pasal 3 ayat 2 sampai dengan 5 dan Pasal 8 menimbulkan pertanyaan, apakah selama ini pembangunan MT tidak perlu berizin. Jawabnya tentu harus berizin dari pihak-pihak yang berwenang. Jika sudah jelas bahwa pembangunan MT harus berizin, mengapa dalam Permen 02/08 ini diatur lagi? Apakah ini bukan merupakan substansi kebijakan yang efisien? Lagi pula, apakah Kominfo memiliki kewenangan untuk menerbitkan perizinan pembangunan MT? Jika tidak punya kewenangan, mengapa ikut mengatur?
6. Pasal 3 ayat 5, apakah Permen 02/08 ini menganggap bahwa Operator telekomunikasi tidak memahami tata hubungan bisnsi di antara mereka? Bukankah penggunaan sumber daya perusahaan oleh pihak lain akan memberi perlindungan bagi para pihak jika disertai dengan kontrak tertulis. Para operato sudah tahu mengenai praktik bisnis semacam ini, jadi rasanya tidak perlu lagi diatur-ataur oleh Pemerintah.
7. Pasal 4, 5,6 dan 7 menimbulkan pertanyaan seputar batasan kewenangan Kominfo terkait dengan kewenangan instansi lain yang terkait dengan pembangunan MT dan investasi asing, serta pertanyan tentang apa dan siapa sebenarnya yang akan diatur, apakah akan mengatur tentang penggunaan bersama MT, atau mengatur structure-conduct-peformance industri MT yang meliputi pembangun/kontraktor, pemilik/penyedia, dan atau pengelola, atau melarang penanam modal asing masuk ke dalam industri MT? Dalam Permen 02/08, ketiganya tidak tampak jelas, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran.
8. Pasal 4 menimbulkan pertanyaan, apakah Kominfo memiliki kewenangan untuk mengatur Pemerintah Daerah (Pemda)? Jika tidak, mengapa Kominfo mengharuskan Pemda untuk mematuhi Permen 02/08 ini? Sejak diberlakukannya Undang Undang Otonomi Daerah, bukankah Pemda memiliki kewenangan penuh mengatur daerahnay sendiri, termasuk pengaturan mengenai pembangunan dan pemanfaatan konstruksi bangunan yang di dalamnya terdapat menara telekomunikasi. Jika tidak memiliki kewenangan mengatur Pemda, bukankah Permen 02/08 ini melangkahi kewenangan instansi pemerintah lainnya (misalnya Depdagri).
9. Jika mengacu pada Pasal 3 ayat 1, bahwa ada 3 pihak yang dapat melaksanakan pembangunan Menara, maka setelah dicermati, Pasal 5 menimbulkan pertanyaan, apakah yang tertutup untuk penanaman modal asing HANYA untuk jasa konstruksi pembangunan Menara, yang artinya Kontraktor Menara (Pasal 3 ayat 1 butir c, dan Pasal 1 ayat 8). Sedangkan Penyedia/Pemilik Menara (Pasal 3 ayat 1 butir b dan Pasal 1ayat 6) dan Pengelola Menara (Pasal 1 ayat 7) tidak dibatasi untuk penanaman modal asing.
10. Meski dari aspek nasionalisme tidak diragukan perlunya keberpihakan kepada Badan Usaha Indonesia yang seluruh modalnya atau kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri, namun demikian mengingat skala usaha, besaran investasi, pengalaman dan kemampuan manajerial dalam mengelola sumber daya strategis dalam jumlah puluhan ribu unit MT, serta kemungkinan adanya kebutuhan kerja sama internasional dalam menyelenggarakan permodalan, bahan baku, dan peralatan untuk membangun MT, tak urung Pasal 5 ayat 2 menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi alasan logis (logical reasons) dari penutupan kepemilikan dan atau modal asing dalam industri MT ini. Selain itu, mengingat kompleksitas dalam dunia bisnis dan investasi, sejauh mana tingkat kepemilikan asing dilarang (atau kepemilikan pelaku usaha dalam negeri dilindungi), bagaimana bila, misalnya perusahaan A (yang tercatat sebagai penyedia MT) dimiliki oleh perusahaan B (dalam negeri), sedangkan perusahaan B saham-sahamnya dimiliki oleh perusahan C, D dan E, di mana C dan D perusahaan dalam negeri, sedangkan E perusahaan luar negeri. Bagaimana pula bila perusahaan Penyediaan Menara pada akhirnya go public dan sebagian besar sahamnya dibeli oleh investor asing.
11. Pasal 6 menimbulkan pertanyaan, apakah Kominfo memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menetapak persayaratan teknis suatu konstruksi bangunan? Jika tidak, apakah dengan Pasal 6 ini tidak berarti Kominfo telah melewati batas kewenangan yang ada padanya?
12. Meski setuju bahwasanya eksistensi MT di kawasan tertentu perlu dibatasi, namun demikian Pasal 9 menimbulkan pertanyaan masalah kewenangan, siapa yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dan atau melarang kawasan tertentu boleh atau tidak boleh dipasang MT. Apakah Kominfo memiliki kewenangan tersebut?
13. Para Operator tentu sudah sangat paham bahwa apabila sumber dayanya digunakan oleh orang lain, atau menggunakan sumber daya orang lain untuk mendukung bisnisnya, tentu ada transaksi yang menimbulkan hak dan kewajiban. Demikian pula dalam sewa-menyewa MT, tanpa diatur-pun mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dengan pola pikir semacam ini, keberadaan Pasal 16 menjadi suatu klausa kebijakan yang sebenanrnya tidak perlu. Akan menjadi berguna, jika ada hal-hal khusus yang mungkin dapat menimbulkan potensi kerugian bagi masyarakat dan atau operator, yang mengarah pada kegagalan pasar.
14. Terkait dengan ketentuan peralihan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 20, muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh Penyedia Menara atau Penyelenggara Telekomunikasi yang telah memiliki izin Mendirikan Menara, sebagian menara telah dibangun dan telah dimafaatkan sebelum peraturan ini ditetapkan, dan sebagian lagi sedang dalam proses pembangunan, serta ada sebagian lagi yang belum dibangun. Apakah masuk dalam masa transisi selamam 2 (dua) tahun, sesuai Pasal 20 ayat 1, atau segera menyesuaikan dengan Permen 02/08 ini (Pasal 20 ayat 2).
Kesimpulan
Memperhatikan praktek di lapangan dan proyeksi – proyeksi bisnis telekomunikasi, termasuk industri komponen pasif seperti menara telekomunikasi; serta mengacu pada kerangka teori yang lazim digunakan dalam analisis kebijakan publik; serta mempelajari butir – butir substansi yang tertuang dalam Permen 02/08 di atas, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa:
1. Permen 02/08 ini tidak menjawab apakah ada kegagalan pasar yang terjadi dalam industri menara telekomunikasi. Antara pertimbangan dan dan substansi pengaturan tidak sinkron. Dalam pertimbangan hanya ditekankan bahwa pembangunan MT memerlukan ketersediaan lahan, bangunan dan ruang udara; dan bahwa penggunaan MT harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, ke-sehatan masyarakat dan estetika lingkungan. Namun dalam substansi mengatur pula larangan terhadap penanaman modal asing masuk ke industri MT.
2. Hal yang mendasar dan memiliki peluang timbulnya pertentangan di antara lemabaga pemerintah adalah karena melalui Permen ini Kominfo telah masuk terlalu jauh ke dalam kewenangan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
3. Permen ini tidak disertai dengan pertimbangan dan atau alasan logis yang menjadi latar belakang ditetapkannya larangan terhadap penanaman modal asing dalam industri MT. Sehingga jika muncul praduga bahwa Permen ini muncul sebagai hasil dari lobby pihak - pihak tertentu yang memiliki kepentingan dalam industri MT, dugaan seperti ini, walau mungkin kurang berdasar, sulit ditolak bahwa mungkin ada kepentingan tertentu yang mendorong munculnya Permen 02/08 ini.
4. Secara umum, meski tujuan dan cita-cita yang dicanangkan dalam Permen 02/08 ini sangat mulia, namun karena ide utama dan keinginan mulia tersebut tidak diartikulasikan dalam serangkaian kalimat kebijakan yang tegas, jelas dan rinci, menjadikan Permen 02/08 ini merupakan contoh produk kebijakan publik yang kurang sempurna.
Saran Kebijakan
Masyarakat mendukung kebijakan dan regulasi penggunaan MT bersama serta pemberian peluang sebesar-besarnya bagi para pelaku bisnis dan investor dalam negeri untuk menguasai bisnis MT. Namun demikian mengingat pentingnya peran regulasi bagi kemajuan industri, tidak ada saran lain selain agar Permen ini segera disempurnakan. Hal – hal yang belum secara jelas diuraikan sebaikanya ditulis ulang dengan jelas. Hal-hal yang tidak perlu diatur, tidak usah diatur. Hal – hal yang menimbulkan dugaan dan sangkaan sebaiknya dijelaskan secara transparan.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.