Kasus penumpang gagal atau terlambat terbang yang dialami Garuda Indonesia akhir pekan lalu dan awal pekan ini, tak pelak menimbulkan kerugian tak hanya bagi Garuda namun juga bagi ribuan penumpang dan sektor lain terkait. Manajemen Garuda meyakini pengoperasian Integrated Operation Control System (IOCS) akan membawa perbaikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang, namun demikian proses implementasi yang berlangsung jauh dari mulus, karena berbagai hal, yang barangkali tak terduga sebelumnya dapat memengaruhi target perusahaan dalam jangka panjang yang sudah dicanangkan.
Dari perspektif manajemen strategi, penggunaan IOCS dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya inovasi perusahaan mencapai keunggulan kompetitif, sebagaimana dikatakan oleh Emirsyah Satar, Direktur Utama Garuda, diimplementasikannya sistem Teknologi Informasi (IOCS) terbaru juga untuk memenuhi persyaratan masuk ke dalam anggota aliansi global maskapai Skyteam (Bisnis Indonesia, 23 November 2010). Dari kasus Garuda ini ada dua pertanyaan yang layak menjadi fokus pembahasan, pertama mengapa inovasi yang bertujuan baik seringkali dalam implementasinya mengalami hambatan? Dan kedua, benarkah implementasi sistem TI (IOCS) serta merta akan meningkatkan kinerja perusahaan transportasi?
Kurang Motivasi
Govindarajan dan Trimble (2010) dalam The Other Side of Innovation mengajukan pernyataan bahwa organisasi bisnis dibangun tidak untuk berinovasi melainkan untuk tujuan utama mencapai efisiensi, meraih laba. Beban kerja sehari-hari difokuskan pada bagaimana beroperasi secara efisien agar meraih laba sebanyak-banyaknya. Wal hasil ketika efisiensi memudar dan laba menjauh, para manajer dan pegawainya tergagap-gagap menghadapi kenyataan mereka harus mencari cara baru, memulai metoda baru, guna memperbaiki kurva kinerja.
Dalam pengertian sederhana, inovasi dapat dipahami sebagai idea, namun idea saja tak cukup untuk mewujudkan harapan, ia haruslah disertai dengan eksekusi. Idea plus eksekusi, inilah pengertian umum inovasi. Pertanyaannya, mengapa eksekusi gagal? Dalam banyak hal penggagas idea dan pelaksananya merupakan dua atau lebih bagian terpisah yang hubungannya tidak erat. Motivasi yang ada pada penggagas idea tidak seutuhnya ditransformasikan ke pelaksana. Ada distorsi motivasi. Dengan analisa sederhana ini, dalam kasus Garuda bisa jadi belum semua lini personalia yang terlibat dalam implementasi IOCS memahami motivasi yang disinyalkan oleh manajemen. Hal ini dapat disebabkan karena sosialisasi internal tidak dilakukan secara terstruktur dan terukur, maupun karena personalia kunci tidak merasa termotivasi untuk mendukung, lantaran personal interest-nya tidak terakomodasi dalam sistem yang baru.
Memahami reaksi terkait dengan implementasi inovasi yang disebabkan oleh rendahnya motivasi pegawai penting bagi manajemen. Dalam tahapan eksekusi, inovasi seringkali mengusir kenyamanan yang sebelumnya dinikmati para manajer. Resistensi baik yang nyata terlihat atau yang terselubung, besar atau kecil selalu muncul. Persoalannya, manajemen acapkali rabun tak mampu melihat fenomena ini lantaran super yakin semua pihak akan mendukung. Reaksi penolakan dapat dipahami apabila potential losses yang akan hilang dari sisi kepentingan pegawai tergolong tinggi. Menghadapi permasalahan seperti ini tak ada resep lain kecuali melakukan scanning untuk mengetahui potensi resistensi dan lakukan tindakan preventif sebelum hari H implementasi dilakukan.
Proses dan Leadership
Perusahaan yang sehari-harinya dikelola dengan baik, tak serta merta ketika mengeksekusi inovasi tingkat keberhasilannya setinggi prestasi harian. Inovasi yang mengubah proses secara drastis beresiko pada terhentinya proses keseharian yang sudah berjalan lancar. Kasus implementasi IOCS oleh Garuda mencontohkan hal ini. Menjadi pertanyaan besar, apakah manajemen Garuda tidak memahami hal ini? Saya yakin mereka paham benar. Tetapi mengapa kegagalan implementasi terjadi? Kemungkinan penyebabnya banyak, tak hanya software utama yang tiba-tiba ngadat. Untuk mencari penyebab utama dalam kegagalan mari kita telaah, sudah adakah senario proses transformasi yang lazim dalam implementasi Teknologi Informasi. Demikian pula, apakah dokumen proses sudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat. Perlu dipastikan semua orang yang terlibat, mengerti posisi, peran dan tugas masing-masing dalam setiap tahapan proses tranformasi.
Setelah semua pihak yang terlibat dalam proses transformasi memahami peran dan tugasnya masing-masing, syarat berikutnya adalah adanya kepemimpinan transformational, yang menjadi dirigen bagi sebuah konser tranformasi. Pemimpin transformasi tak harus Dirut atau CEO, ia dapat saja seseorang yang karena kapasitasnya ditugasi secara formal utuk memimpin implementasi inovasi. Pemimpin inovasi perlu diberi kewenangan tinggi, guna mengatasi berbagai hambatan dan memutuskan hal – hal strategik dalam situasi kritis. Dalam beberapa literatur inovasi bahkan disebutkan keberhasilan inovasi sangat dipengaruhi oleh karakter dan kapasitas pemimpinnya.
Penyelarasan TI dan Bisnis
Di masa-masa awal penggunaan Teknologi Informasi (TI) oleh kalangan bisnis telah terbukti TI mendukung kinerja bisnis. Fenomena ini terus berkembang yang terwujud dalam berbagai inovasi bisnis berbasis TI. Namun demikian perjalanan bisnis dan TI, walau dalam satu organisasi, seringkali tidak selalu harmonis; yang satu berjalan cepat meninggalkan lainnya. Hasilnya, tidak selalu penambahan investasi TI berdampak pada peningkatan kinerja bisnis. Bahkan banyak kasus di mana investasi TI gagal dan membawa perusahaan dalam posisi sulit. Kondisi semacam ini menimbulkan paradox, di satu sisi ketergantungan bisnis kepada TI semakin tinggi (no business without IT), di sisi lain penambahan investasi TI tak serta merta mendulang peningkatan kinerja, bahkan kegagalan di tahap implementasi dapat berdampak serius terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Jika demikan lantas bagaimana solusinya?
Tak ada solusi jitu berlaku generik. Strategi TI yang sukses diimplementasikan di suatu organisasi mungkin hanya pas dan tepat di perusahaan tersebut, ia (strategi tersebut) mungkin gagal total bila diterapkan di perusahaan lain. Dalam konteks ini, barangkali perlu dicermati IOCS yang sukses diterapkan di Lufthansa mengapa di tahapan implementasi saja sudah mengalami hambatan besar di Garuda. Kemungkinan jawabnya, karena tidak didukung oleh semua pihak yang terlibat, masing-masing asyik dengan idenya sendiri-sendiri. Akankah terus begitu? Harusnya sih tidak. *****
*) Sekretaris Jenderal Masyarakat Telematika Indonesia, Pelaku Bisnis, GFF Gold Card Holder
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.