Monday, September 20, 2010

Arah Penelitian Yang Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Dan Harapan Pelanggan Telekomunikasi Pada Era Konvergensi

1. Pengantar
Menentukan arah sama dengan menentukan tujuan atau destinasi, ke mana langkah akan menuju. Dalam kontek perjalanan, destinasi-pun ada yang bersifat sementara, sebagai sebuah transit sebelum bergerak menuju destinasi – destinasi berikutnya; dan ada pula yang bersifat terminal atau tujuan akhir. Kesalahan menentukan arah dapat berakibat tidak tercapainya destinasi atau sasaran.
Terkait judul di atas, yang menjadi destinasi adalah pemenuhah kebutuhan dan harapan pelanggan. Adapun era konvergensi menggambarkan kontek perjalanan mencapai destinasi. Manusia sebagai subjek pelanggan senantiasa berubah, baik dalam hal kebutuhan maupun kesadaran terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, kebutuhan pelanggan-pun senantiasa berubah, sejalan dengan perubahan karakter manusia atau kumpulan individu.
Perubahan yang senantiasa terjadi, dalam beberapa hal membuat sulit bagi para perencana kebijakan. Menyikapi hal ini, biasanya dibuat rentang waktu sebagai batasan dalam merespons perubahan. Kajian kebijakan difokuskan pada periode tertentu sesuai dengan konteks. Dalam hal ini, konteks yang dibahas adalah sebuah era yang disebut konvergensi. Konvergensi diartikan sebagai menyatunya layanan Teknologi Informasi (TI) dan Komunikasi, yang ketika beroperasi sendiri daya manfaatnya terbatas, namun ketika terintegrasi ke dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menghasilkan kekuatan layanan yang hampir tiada batas. Batasnya hanyalah daya inovasi dan kreatifitas manusia pencipta dan penggunanya.
Untuk mengetahui apa yang sedang dan memperkirakan apa yang akan terjadi biasanya dilakukan penelitian. Menentukan arah penelitian berarti kita sedang melihat kembali posisi saat ini dan memandang ke depan, posisi destinasi yang diharapkan. Sebagaimana diuraikan di atas, posisi destinasi tentu bukan yang paling akhir, karena senantiasa perubahan terus terjadi. Untuk memudahkan pembahasan, maka batasannya adalah sebuah konsep yang disebut era konvergensi, yang apabila dikonversikan ke dalam tahapan waktu, konvergensi yang akan menjadi acuan adalah konvergensi tahap atau generasi kedua (Convergensi 2.0) merujuk pada kondisi konvergensi yang diperkirakan akan terjadi menyusul telah berhasilnya integrasi antara Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagaimana dapat terlihat pada saat ini.
Interaksi antara arah, destinasi dan konteks menawarkan tantangan bagi para peneliti, akademisi dan pembuat kebijakan untuk memerkirakan apa yang bakal terjadi. Kualitas proyeksi ditentukan oleh akurasi, semakin akurat sebuah perkiraan semakin berkualitas. Untuk meningkatkan kualitas proyeksi, biasanya dilakukan penelitian. Penelitian pada umumnya bermula dari permasalahan yang ingin dipecahkan. Permasalahan senantiasa muncul karena keterbatasan kemampuan sumber daya pada suatu lingkungan masyarakat atau bidang tertentu.
Persoalan muncul manakala harapan tidak sama dengan kenyataan yang mampu diwujudkan, atau dalam kata lain perjalanan tidak sampai di destinasi. Persoalannya, apakah masalah akan dibiarkan sebagai masalah, atau dicarikan jalan keluar. Banyak cara dalam mencari solusi terhadap masalah. Ada yang praktikal, ada pula yang dilakukan menggunakan pendekatan akademik. Penelitian pada umumnya mengacu pada pendekatan akademik dalam mencari solusi.
Perkembangan TIK yang bermuara pada konvergensi layanan komunikasi dan informasi memberi inspirasi bagi akademisi dan peneliti untuk melakukan riset di sekitar pemanfaatan TIK dan implikasinya bagi masyarakat. Tidak diragukan lagi, pengembangan dalam area TIK merupakan pendorong utama munculnya Ekonomi Digital. Mengingat luasnya pemanfaatan TIK, hampir tidak ada sektor yang tidak dapat memanfaatkan TIK, dapat dikatakan hampir tidak ada batas topik penelitian tentang pemanfaatan TIK

2. Ekonomi Digital
Konvergensi diperkirakan akan mengubah tata ekonomi, dari posisi saat ini menjadi ekonomi digital (ED). ED mengacu pada transaksi dan komoditas ekonomi yang akan didominasi oleh mekanisme transaksi dan produk digital. Transaksi dan komoditas pada dasarnya adalah informasi yang memiliki nilai dan manfaat ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, ED berpengaruh pada struktur kreasi nilai (value creation structures) yang memicu adanya perantara baru (new intermediaries) dan bentuk baru jejaring ekonomi; proses penciptaan nilai antar-organisasi (inter-organizational value creation processes) dimana pelanggan menjadi bagian integral dari proses penciptaan nilai; produk informasi (information intensive products) yang dapat dipisah dan ditata-ulang secara fleksibel dan kastemisasi massal sesuai dengan kebutuhan pelanggan; dan infrastruktur ekonomi baru guna mendukung layanan pasar seperti penjamin transaksi, sarana pembayaran secara elektronik, layanan logistik produk digital, serta infrastruktur fisik seperti jejaring pita lebar (broadband) yang memungkinkan pelanggan berinteraksi dengan perusahaan dan sesama konsumen di mana saja, setiap saat.
Dalam konteks konvensional informasi dihasilkan menggunakan media kertas atau media sejenis lainnya, didistribusikan secara fisik, menggunakan sarana transportasi hingga sampai tujuan dalam kurun waktu yang relatif lama. Perkembangan berikutnya, sebagian informasi sudah dapat dikodifikasi dalam format elektronik analog, didistribusikan melalui saluran telekomunikasi kecepatan rendah, dan diterima oleh tujuan dalam format yang sama. Pada tahap ini kualitas informasi yang diterima seringkali tidak sama dengan informasi yang dikirim.
Teknologi digital mengubah kelambanan dan memperbaiki kualitas. Semua bentuk informasi pada dasarnya bisa dikonversi ke dalam format digital tanpa mengubah isi dan substansi. Suara, gambar, data, grafik, teks yang secara sendiri maupun bersama membentuk informasi dapat diolah, disimpan dan ditransmisikan dalam format digital.
Implikasi ED besar sekali. Teknologi mengubah perilaku manusia. Tidak hanya itu, teknologi dalam beberapa hal juga mengubah tatanan sosial, politik, hukum dan budaya sebagai kumpulan perilaku manusia. Dalam dunia bisnis, selama dua dekade terakhir ini, telah terbukti TIK mengubah pola dan tata kerja organisasi bisnis. Efesiensi dan efektifitas yang senantiasa menjadi credo organisasi bisnis seperti mendapat moment dalam mendorong kinerja perusahaan. Banyak sekali perubahan yang terjadi dan dapat dirasakan setelah perusahaan memanfaatkan TIK.
Sebagai contoh, di dunia media massa cetak. Periodesasi yang menjadi ciri media cetak menjadi tidak ada lagi, setiap saat informasi dapat diterbitkan, tidak perlu menunggu deadline hari, minggu, bulan. Setiap saat adalah deadline. Selain hilangnya periodesasi, distribusi fisik menjadi berkurang. Saat sebuah informasi dipublikasikan, sejurus kemudian semua orang yang tersambung ke Internet memiliki peluang yang sama untuk memperoleh informasi tersebut. Demikian pula dengan tata kelola operasional, juru warta tidak harus kembali ke desk masing-masing di kantor, karena mereka dapat membuat laporan dari mana mereka berada sepanjang terhubung ke jaringan Internet. Banyak lagi contoh perubahan aktivitas ekonomi menyusul konvergensi TIK salah satunya dalam wujud Internet.

3. Kebutuhan dan Preferensi Pelanggan
Mari kita posisikan diri sebagai pelanggan. Apa yang kita butuhkan sebagai pelanggan suatu produk dan atau jasa. Pertama tentu saja harga, berapa harga layanan yang mampu kita beli, atau dari perspektif perusahaan, berapa harga yang akan diterapkan untuk suatu jenis layanan sedemikian rupa sehingga pasar mampu menerimanya. Kedua, berapa kuantitas yang mampu dibeli oleh masyarakat, baik secara individu maupun kolektif. Pertanyaan ini merefleksikan kekuatan sisi permintaan dan sekaligus kemampuan perusahaan dalam menyediakan layanan. Ketiga, bagaimana kualitas produk dan layanannya. Ketiga hal ini saya sebut sebagai Segitiga Kebutuhan Pelanggan (SKP).
Kemampuan membeli ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya pendapatan (income). Semakin tinggi pendapatan semakin besar kesempatan yang dimiliki untuk belanja apa saja yang diinginkan termasuk layanan TIK. Namun demikian, kebutuhan atau keinginan membeli tidak selalu dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan. Latar belakang pendidikan, pekerjaan atau strata sosial dapat pula mempengaruhi preferensi dalam membeli sesuatu.
Sejalan dengan kompetisi, dan guna meningkatkan kualitas kompetisi, perlu diketahui preferensi pengguna dan pelanggan TIK. Preferensi diartikan sebagai mengapa pembeli lebih suka memilih produk A dari pada B atau lainnya. Yang menarik dari preferensi adalah bahwa pembeli seringkali tidak memedulikan harga dalam keputusan pembelian, tetapi tetap dihadapkan pada keterbatasan anggaran (budget constraints). Artinya, mereka memiliki pendapatan yang terbatas yang tidak memungkinkan untuk membeli semua keinginan. Dengan demikian pembeli mesti memilih kombinasi produk dan atau jasa yang menurutnya terbaik dan tepat sesuai dengan keinginan dan kemampuan.

4. Arah dan Peluang Penelitian
Topik – topik penelitian yang berpotensi mampu meningkatkan nilai (value) produk dan jasa TIK dalam hubungannya dengan pengguna atau pelanggan, terkait dengan semakin menyebarnya penggunaan TIK, boleh dikatakan hampir tidak terbatas banyaknya. Untuk memudahkan pembahasan, topik-topik tersebut dapat dikelompokkan ke dalam isu yang terkait dengan layanan, implikasi ekonomi, perubahan perilaku konsumen, pengaruh regulasi, daya saing dan pasar kompetitif, faktor penghambat non-ekonomi, isu gender, teknologi dan perlindungan konsumen.

a. Profil permintaan terhadap layanan TIK
Penelitian untuk mengetahui profil permintaan terhadap layanan TIK barangkali belum pernah dilakukan. Studi ini berangkat dari pertanyaan berapa besar dan di mana saja potensi bisnis informasi berada? Walaupun semua orang berhak untuk mendapatkan akses informasi, namun tidak semua orang mampu membeli layanan informasi. Hal ini mengingat tiga hal: informasi sudah menjadi komoditas, tidak semua orang mampu membeli informasi, dan kalaupun mampu (membeli) bisa jadi tidak butuh atau kebutuhan terhadap informasi (yang harus dibeli) kecil-kecil saja.
Selain yang terkait dengan kondisi calon konsumen, penelitian tentang profil permintaan terhadap layanan TIK ini juga dapat dikaitkan dengan semakin banyaknya jenis layanan TIK, menyusul meningkatnya kompetisi dan dorongan inovasi. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap mengapa permintaan terhadap suatu jenis layanan TIK lebih tinggi dari pada permintaan terhadap jenis layanan TIK lainnya. Detil atau rincian dari profil permintaan dapat diturunkan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota atau wilayah tertentu. Dengan adanya profil semacam ini, penyediaan jasa TIK akan mendekati efisien karena apa yang dibangun sesuai dengan yang diminta. Selain itu hasil penelitian ini dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan maupun perencanaan bisnis.

b. Kesiapan masyarakat desa dalam menerima dan memanfaatkan teknologi
Bagi masyarakat yang tingal di kota – kota besar tidaklah sulit untuk mengetahui kemajuan berbagai produk dan jasa TIK. Tidak demikian halnya bagi mereka yang tinggal di wilayah rural, perdesaan, daerah tepencil atau perbatasan. Meskipun jangkauan layanan TIK seperti radio, televisi, telepon selular pada umumnya sudah masuk ke desa-desa, namun keterbatasan media tersebut dan keterbatasan kemampuan masyarakat desa dalam merespon informasi menjadikan lalu – lalang informasi yang bergerak melalui media penyiaran dan telepon hanya searah, sehingga kurang efektif dalam pertukaran informasi. Ke depan, dalam era demokrasi dan kemajuan teknologi informasi, arus informasi akan multi arah. Informasi bergerak dari mana saja ke siapa saja di mana saja, kapan saja. Internet memfasilitasi hal ini. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program Desa Pintar, menyediakan akses Internet di desa-desa. Permasalahannya, seberapa siap masyarakat desa akan dan mampu memanfaatkan internet? Jika mampu, kelak untuk apa? Apakah bersifat konsumtif atau produktif? Bagaimana sosialisasi dan edukasinya agar pemanfaatan Internet oleh masyarakat desa efektif dan efisien?
Pemerintah pusat dituntut tidak hanya menyiapkan sarananya saja, namun juga prasarana serta pemeliharaan, sehingga masyarakat desa tidak terjerumus ke dalam ekses negatif dari adanya Internet. Penelitian tentang bagaimana kesiapan masyarakat desa dalam menerima dan memanfaatkan teknologi perlu dipikirkan. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan, apa yang harus disiapkan ketika subisidi penggunaan Internet ditarik. Berapa besar sebaiknya subsidi diberikan? Kapan dan dalam kondisi apa sebaiknya subsidi ditarik dengan memerhatikan kelangsungan penggunaan oleh masyarakat setempat.
Terkait masalah sosial ekonomi di perdesaan, penelitian tentang perubahan preferensi masyarakat perdesaan setelah disediakannya akses informasi, juga perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakan. Adakah perubahan, seperti misalnya kemudahan dalam bercocok tanam, gotong royong sebagai karakter kuat di masyarakat perdesaan, atau malah banyak yang beralih profesi dari yang semula petani menjadi pedagang atau malah adanya Internet ikut memacu arus urbanisasi. Banyaknya informasi di satu sisi akan membantu petani dalam meningkatkan taraf hidup, namun di sisi lain dapat pula menimbukan kebingungan. Untuk itu perlu penelitian menyusul penyediaan akses informasi dalam program USO atau desa pintar, apakah diperlukan pendampingan kepada masyarakat desa.

c. Perilaku penyedia jasa dalam menyusun produk dan harga
Penelitian tentang biaya produksi yang paling efisien dalam penyediaan layanan TIK juga merupakan salah satu hal penting terkait dengan konvergensi. Sebagaimana kita tahu, biaya produksi akan mempengaruhi harga yang harus dibayar oleh konsumen. Dari perspektif konsumen, semakin tinggi harga semakin mengurangi daya beli; dan semain rendah daya beli semakin rendah pula potensi pendapatan bagi para penyedia layanan TIK. Rendahnya tingkat pendapatan akan melemahkan kemampuan dalam pelayanan maupun investasi selanjutnya. Arah sebaliknya, jika harga terlalu murah, dalam jangka pendek konsumen senang, namun perusahaan akan gulung tikar dan akhirnya konsumen kehilangan jasa yang sudah sekian lama dinikmati. Artinya, perlu ditentukan harga yang pas dan seimbang. Persoalannya, dalam layanan TIK, produknya beragam dan setiap produk menggunakan sumber daya yang sama. Selain itu proses penghitungan biaya produksi senantiasa tidak transparan. Dalam banyak kasus, konsumen dirugikan dari kebijakan harga yang ditetapkan oleh penyedia jasa.
Penelitian untuk mengetahui perilaku perusahaan penyedia jasa dalam menyusun produk dan harga poduk perlu dilakukan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat disusun formula umum sebagai acuan dalam menyusun harga layanan TIK, dengan mempertimbangkan optimalisasi manfaat di kedua belah pihak dan mendorong terbentuknya pasar yang kompetitif.
Pengaruh TIK terhadap bisnis besar sekali. Bagaimana selama ini UKM TIK di Indonesia telah memanfaatkan TIK perlu diteliti guna mengetahui sejauh mana UKM Indonesia mampu mengekploitasi kemampuan TIK dalam mendukung aktivitas bisnis mereka. Memang topik UKM dan TIK sudah lama menjadi perhatian, tetapi bidang yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan TIK oleh UKM yang bergerak di bidang TIK, seperti Warnet, penyedia jasa nilai tambah, penyedia jasa akses Internet, penyedia konten, belum banyak mendapat perhatian untuk diteliti.

d. Pengaruh regulasi terhadap kompetisi layanan TIK
Ada pertanyaan, benarkah Indonesia merupakan pasar yang kompetitif bagi penyediaan layanan TIK? Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan lain “mengapa harus kompetitif? Apa hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan?” Permasalahan yang dihadapi konsumen - seperti keputusan untuk membeli produk dan atau jasa – dan yang dihadapi oleh penyedia jasa – seperti berapa banyak kapasitas yang harus disediakan, di mana saja dan kapan – secara bersama – sama akan mempengaruhi daya saing nasional. Pasar yang terlalu didominasi oleh penyedia (seller market) dalam jangka panjang akan menjadi tidak kompetitif karena menjurus ke praktek monopoli dan atau oligopoli. Di pihak lain, pasar yang didominasi pembeli (buyer market) akan kurang atraktif bagi pelaku bisnis, karena posisi tawarnya ditentukan oleh pembeli yang jumlahnya sedikit namun membeli dalam jumlah yang sangat besar hampir seluruh kapasitas produksi yang tersedia.
Pasar kompetitif yang sehat memberi peluang bagi semua pemain usaha untuk tumbuh dan berkembang. Pasar kompetitif pada gilirannya akan menawarkan produk terbaik kepada konsumen. Benefit akan dinikmati oleh kedua belah pihak, produsen dan konsumen. Persoalannya, pasar kompetitif tidak dengan sendirinya terbentuk, ia harus dibangun dan diatur, diawasi dan dibina. Beberapa penelitian terdahulu menyimpulkan Indonesia sudah memiliki syarat bagi terbentuknya pasar TIK yang kompetitif. Jumlah penyedia jasa sudah cukup banyak, entry dan exit relatif mudah, produk dan jasa sudah bervariasi, bahkan dalam beberapa hal sudah membentuk pasar dengan sifat monopolistic competition, konsumen dan calon konsumen juga besar sekali proporsional dengan populasi penduduk, wilayah geografis yang cukup luas dan tersebar dalam ribuan pulau. Dapat disimpulkan Indonesia merupakan pasar yang ideal bagi penyediaan produk dan jasa TIK.
Apakah sudah selesai? Tentu belum. Bagaimana posisi Indonesia jika dibandingkan dengan negara – negara tetangga atau setaraf lainnya? Indeks pembangunan TIK yang diterbitkan ITU atau PBB dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat posisi Indonesia. Para ahli mengatakan pasar kompetitif akan terbentuk apabila para pelaku usaha memiliki daya saing. Ahli lain menambahkan, daya saing saja belum cukup, masih diperlukan keterlibatan Pemerintah dalam penyediaan fasilitasi kebijakan dan regulasi. Persoalan yang berawal pada tuntutan adanya pasar kompetitif berujung pada penelitian tentang kebijakan dan regulasi. Penelitian untuk mengetahui sejauh mana regulasi TIK di Indonesia berpengaruh terhadap kompetisi layanan TIK perlu dilakukan dalam era konvergensi generasi dua (Convergensi 2.0). Penelitian ini diharapkan dapat menjawab antara lain apakah regulator memiliki keberpihakan yang sama terhadap pelaku usaha dan konsumen, apakah regulasi yang ada sudah efektif dan efisien dalam menjawab tuntutan perubahan, baik yang disebabkan oleh perkembangan teknologi maupun perubahan preferensi konsumen.

e. Faktor penghambat non-ekonomi
Penelitian tentang faktor – faktor non-ekonomi yang dapat menghambat terpenuhinya kebutuhan dan harapan konsumen TIK, seperti hambatan birokrasi, politik, budaya, sosial, pendidikan, demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur perlu mendapat perhatian. Kenyataannya pertimbangan ekonomi hanya salah satu faktor dari berbagai faktor yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan konsumen akan layanan TIK.
Penelitian tentang pengaruh birokrasi terhadap penyediaan jasa TIK perlu dilakukan. Dalam tataran normatif birokrasi berfungsi memfasiltasi pelaku usaha dan masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan sosial. Namun pada kenyataannya, masih terdapat birokrasi yang menghambat, baik karena aturan yang ada, maupun terkait dengan karakter kepentingan birokratnya sendiri. Kasus perobohan menara di kabupaten Badung dapat dijadikan contoh bagaimana birokrasi dapat menghambat penyelenggaraan TIK yang pada gilirannya menjadikan kebutuhan dan harapan pelanggan telekomunikasi tidak terpenuhi.
Belajar dari kasus – kasus serupa, ke depan dalam era Convergensi 2.0 hal serupa mestinya tidak boleh terjadi lagi di manapun di Indonesia. Kepastian hukum harus ditegakkan dan menjadi realita bukan hanya utopis saja. Penelitian tentang hambatan birokrasi menjadi penting guna memberikan gambaran apa sebenarnya penyebab hambatan birokrasi, bagaimana mengatasinya, serta bagaimana mencegah munculnya kembali hambatan birokrasi tersebut.
Politik dapat pula menjadi hambatan bagi terpenuhinya kebutuhan dan harapan konsumen TIK. Cakupan politik dimaksud di sini dibatasi pada aktivitas politik di parlemen. Dua tugas utama parlemen: membuat undang-undang dan mengawasi perencanaan dan penggunaan anggaran. Terkait dengan tugas membuat undang-undang, parlemen diharapkan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan konsumen tarkait dengan pemanfaatan TIK. Keberpihakan ini dapat diwujudkan dalam kesediaan menyediakan undang-undang pemanfaatan TIK guna melengkapi undang-undang yang sudah ada, seperti misalnya Undang-Undang Konvergensi, atau mengamandemen UU yang ada karena sudah tidak sesuai dengan arus perubahan dan kepentingan umum. Permasalahannya, dalam banyak kasus parlemen seperti tidak memiliki kepedulian, atau kalaupun ada tidak dinyatakan dalam tindak dan keberpihakan tanpa pamrih.
Penelitian tentang hambatan politik dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan di era convergensi 2.0 akan menjawab permasalahan seperti tersebut di atas. Benarkah anggota parlemen tidak pro konsumen, atau lebih pro terdapat perusahaan penyedia jasa? berapa banyak anggota parlemen yang akrab dengan dan peduli terhadap TIK? Mengapa ada anggota parlemen yang mendukung sementara ada pula yang acuh tak acuh bahkan menolak untuk membahas isu – isu TIK? Manfaat dari penelitian ini akan sangat besar, terutama bagi suksesnya setiap upaya legislasi kebijakan TIK.

f. Isu gender
Perubahan demografi dan adanya pengarus-utamaan peran wanita dalam pembangunan merupakan destinasi penelitian yang dapat dikembangkan. Semakin banyaknya wanita yang bekerja, membuka peluang yang lebih besar dalam memanfaatkan TIK, sementara di pihak lain masih dituntut peran sebagai istri, orang tua dan ibu rumah, menjadikan topik gender menarik dan perlu dieksplorasi.
Penelitian tentang peluang wanita dalam memanfaatkan TIK dapat pula dikaitkan dengan permasalahan non-ekonomi yang dihadapi di berbagai wilayah Indonesia, seperti masih adanya kebiasaan membedakan perlakuan kepada anak perempuan dari pada anak laki; atau adanya kekhawatiran bahwa wanita relatif lebih rentan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan dari pemanfaatan Internet seperti penipuan, bujuk-rayu, pelecehan dan sebagainya. Di pihak lain, bukti empirik menunjukkan semakin banyaknya wanita yang menggeluti TIK meraih sukses.
Penelitian ini dapat pula dikaitkan dengan perilaku konsumen, apakah benar wanita lebih banyak belanja di Internet dari pada kaum pria? Jika benar, bagaimana mereka tertarik untuk belanja di Internet? Bagaimana mereka membuat keputusan? Seberapa banyak proporsi belanja di Internet dibandingkan belanja konvensional untuk produk yang sama? Berapa persen dari disposable income mereka yang dibelanjakan untuk jasa Internet? Dan masih banyak pertanyaan penelitian yang dapat dikembangkan. Manfaat dari penelitian ini tidak hanya bagi konsumen dan atau calon konsumen namun pula bagi perusahaan penyedia electronic commerce atau e-business.

g. Faktor teknologi
Sejalan dengan upaya berbagai pihak dalam merespon perubahan iklim, meningkatkan efiensi pemanfaatan energi, maka penelitian tentang penggunaan TIK yang hemat energi, perlu dijadikan destinasi dalam kegiatan penelitian di era Convergensi 2.0. Beberapa produsen perangkat TIK sudah menyatakan dirinya telah menerapkan konsep go green, dalam proses produksi telah menggunakan teknologi yang hemat energi, menggunakan energi alternatif dan atau terbarukan yang rendah kadar carbon dan rendah polusi terhadap lingkungan.
Bagaimana Indonesia khususnya sektor TIK menanggapi isu hemat energi, penggunaan energi terbarukan dalam layanan TIK perlu mendapat perhatian serius. Manfaatnya tidak hanya bagi perusahaan, namun juga bagi pelanggan. Sebagai contoh, pada saat ini ada sebuah operator selular yang sudah memanfaatkan bahan bakar hydrogen untuk menggerakkan generator pembangkit listrik yang dibutuhkan oleh Base Transceiver System (BTS). Demikian juga ada operator selular lainnya yang sedang melakukan uji coba penggunaan lapisan (coating) pada bangunan tempat menaruh perangkat BTS (shelter) untuk menurunkan konsumsi energi listrik. Lapisan tersebut dimaksudkan mengurangi pengaruh panas yang diakibatkan sinar matahari, dengan adanya coating konsumsi energi listri yang dibutuhkan pendingin udara menjadi berkurang. Upaya lain terkait dengan efisiensi energi juga sedang dilakukan oleh sebuah operator selular lainnya, yang sedang menguji penggunaan alat pendingin yang konon, dengan suatu teknologi pengaturan secar elektronik dapat menurunkan konsumsi listrik sampai separo dari sebelum menggunakan alat tersebut.
Selain teknologi yang dapat menghemat konsumsi energi, faktor teknologi yang layak menjadi bahan penelitian antara lain pengaruh implementasi broadband terhadap industri dan pelanggan. Sebagaimana diketahui, belum lama ini pemerintah berhasil menyelenggarakan tender Broadband Wireless Access (BWA) yang diperkirakan akan mengubah konstelasi pasar layanan Internet. Benarkah akan berubah? Berapa besar potensi perubahan? Siapa saja yang akan diuntungkan? Bagaimana konsumen dapat mengoptimalkan manfaat broadband, dan masih banyak lagi pertanyaan penelitian yang layak diajukan.
Selain BWA, sekarang sudah diperkenalkan teknologi baru seperti Long Term Evolution (LTE) yang di-claim sebagai telekomunikasi generasi empat (4G) untuk menggantikan 3G yang saat ini baru saja take-off, setelah mulai dipakai di Indonesia sejak 2006 lalu. Fokus dari penelitian terkait teknologi, barangkali bukan tentang teknologi itu sendiri, karena kita bukan pembuat teknologi, melainkan pada bagaimana pemanfaatannya dan regulasi apa yang diperlukan sehingga teknologi tersebut menjadi optimal. Dapat diterima dan terjangkau oleh konsumen. Sejarah mengajarkan bagaimana ketiadaan skenario transisi teknologi, ketika layanan radio panggil (pager) dihabisi oleh selular, ketika teknologi NMT dan AMPS harus ditingalkan dan beralih ke CDMA, ketika pita frekuensi harus dipindah ke lokasi yang baru karena akan digunakan untuk layanan lain. Di setiap transisi semacam ini, kecenderungannya konsumen selalu menjadi korban, kemudian pengusaha. Pemerintah tidak pernah mengambil posisi sebagai pihak yang menanggung akibat dari perubahan kebijakan maupun terkait dengan perubahan teknologi.
Benefit dari penelitian terkait pemanfaatan teknologi, dapat dilihat dari rendahnya biaya transisi baik yang harus ditanggung oleh penyedia jasa, maupun oleh konsumen. Bagi pemerintah, penelitian ini akan bermanfaat bagi penyiapan kebijakan dan regulasi sehingga mengurangi periode ketertinggalan sebagaimana selalu terjadi selama ini.

h. Perlindungan Konsumen
Undang – Undang Perlindungan Konsumen memastikan adanya perlindungan bagi konsumen. Di pihak lain, pelanggan TIK tergolong rentan terdapat kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan layanan TIK, baik yang disebabkan oleh dirinya sendiri, penyedia jasa, atau pihak ketiga. Dalam era Convergensi 2.0 resiko munculnya kerugian diperkirakan semakin meningkat, terutama bagi mereka yang melakukan transaksi melalui Internet atau media elektronik lainnya. Walaupun perangkat perlindungan seperti institusi penjaminan (certification authority), sistem identifikasi pengguna atau pelaku transkasi telah semakin canggih, sistem keamanan jejaring telah di sempurnakan, namun celah senantiasa terbuka bagi mereka yang berniatjahat untuk merugikan pengguna TIK lainnya. Prasaranan hukum seperti undang – undang sudah ada, tetapi penegakkannya masih sering menimbulkan masalah baru, yang merugikan pengguna TIK. Bahkan statistik menunjukkan adanya peningkatan incident kejahatan dan pelanggaran di dunia maya.
Penelitian tentang bagaimana menyempurnakan upaya perlindungan terhadap penggunan TIK perlu secara serius dilakukan dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diungkap motivasi pelaku pelanggaran dan kejahatan TIK, alternatif penyempurnaan upaya perlindungan, serta tindakan yang diperlukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan yang merugikan konsumen TIK.

5. Kesimpulan
Ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Jika harapannya tidak beda dengan kondisi yang ada, maka pilihan tidak melakukan perubahan atau status quo, dapat menjadi opsi terbaik. Kondisi seperti itu, tidak ada perubahan, jarang sekali atau mungkin tidak ada. Artinya, selalu ada tuntutan perubahan dari pelanggan. Menyikapi tuntutan perubahan, pemerintah selaku fasilitator - bukan pelaku usaha dan bukan pula pelanggan – dan sekaligus pembuat kebijakan serta regulator perlu menyiapkan strategi perubahan, dengan asumsi kedua belah pihak, baik pelanggan maupun penyedia jasa membutuhkan fasilitasi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan mengingat tidak semua yang disediakan oleh pemerintah dibutuhkan atau diperlukan oleh pelanggan dan atau penyedia jasa. Oleh karena itu, sebelum membuat kebijakan dan atau regulasi, perlu dilakukan penelitian agar kebijakan dan atau regulasi yang akan diterbitkan berdaya guna, efektif dan efisien ketika diimplementasikan.
Pertimbangan pertama dalam menyelenggarakan penelitian tentu saja melihat dari perspektif pelanggan, bukan dari perspektif pembuat aturan atau penyedia jasa. Dengan demikian topik – topik penelitian akan terfokus pada pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan. Pertimbangan kedua menyangkut aspek perubahan konteks, yang sekarangdan ke depan akan ssangat dipengaruhi oleh teknologi digital dan konvergensi. Konvergensi bukan sesuatu yang baru saja terjadi, namun merupakan proses yang sudah sedang dan akan terus berlanjut. Memperhatikan terus berlanjutnya konveensi, maka dapat dikatakan konvergensi yang sedang dan dalam waktu dekat akan terjadi disebut sebagai Convergensi 2.0, untuk menandai tahap selanjutnya dari tahap yang bar saja dilewati. Pertimbangan ketiga, menyangkut preferensi dan kebutuhan pelanggan. Segitiga Kebutuhan Pelanggan (SKP) terdiri dari harga, kuantiti dan kualitas, merupakan tiga faktor yang digunakan pelanggan dalam memutuskan untuk membeli produk. Apabla digenapi pendapatan (income) SKP menjadi empat faktor yang mempengaruh perilaku pelanggan.
Menggunakan empat faktor tersebut sebagai konteks, dan dengan ilustrasi sebuah perjalanan, maka arah atau destinasi penelitian dapat diajukan dalam beberapa alternatif yang dapat berdiri sendiri atau saling melengkapi. Satu hal yang juga penting untuk disimpulkan di sini, bukan hanya kuantiti dan cakupan arah penelitian yang dapat diajukan, namun bagaimana destinasi penelitian tersebut bermanfaat bagi kepentingan negara, bukan hanya kepentingan pemerintah saja.***

Referensi
1. Pindyck & Rubenfield, 1998, 4th Ed; Microeconomics, Prentice Hall.
2. Muller & Zimmermaan, 2002; Beyond Mobile: Research Topics for upcoming Technologies in the Insurance Industry, IEEE.
3. Banker & Kauffman, 2004; The Evolution of Research on Information Systems: A Fiftieth-Year Survey of the Literature in Management Science, Management Science Journal.
4. Dong-Hee Shin, 2006; Convergence of telecommunications, media and information technology, and implications for regulation, Emerald Group Publishing.

Jakarta, 2 November 2009.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.