1. Pendahuluan
China dapat mengacu pada wilayah suatu negara, yang terletak di timur laut benua Asia, berbatasan dengan Mongolia dan Rusia di sebelah utara, dan beberapa negara (Vietnam, Laos, Nepal, Buthan, Myanmar, India, Buthan, Pakistan) di sebelah selatan, Korea dan Jepang di sebelah Timur, Phillipina di tenggara, serta Tadzikistan, Kirghiztan dan Kazakhztan di sebelah Barat; atau mengacu pada etnik yang kemudian dapat dikelompokkan lagi ke dalam suku – suku bangsa China yang dibedakan dari wilayah (di daratan China) mereka berasal.
Sebagai suatu negara, China memiliki sejarah panjang, dari beratus bahkan beribu tahun lalu. Negara China yang dikenal seperti sekarang ini dahulu kala merupakan kumpulan dari banyak kerajaan kecil, yang satu sama lain saling mempengaruhi melalui perang dan konflik. Peperangan berakhir dengan integrasi negara-negara kecil menjadi satu negara China.
Selama lima dekade, pasca perang dunia kedua, China merupakan negara dengan ekonomi tertutup, hal ini merupakan konsekuensi dari pilihan politik yang dianut oleh regim yang berkuasa. Perubahan terjadi ketika Deng Hsiao Ping, pemimpin China pada tahun 1978 membuka perekonomian dengan mengijinkan investasi asing masuk ke China.
Perkembangan selanjutnya selama dua dekade terakhir ini, China berhasil meraih pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan reformasi kelembagaan secara drastis. Banyak argumen menyatakan bahwa etnik (warga negara) China cenderung menjadi individualistik, namun demikian ada bukti kuat yang menunjukkan masih adanya pengaruh budaya tradisional dalam setiap tindak individu, bisnis maupun pemerintahan.
Ditinjau dari perspektif budaya, fenomena yang terjadi di China moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti apa, siapa, mengapa, kapan, dan bagaimana. Bidang perekonomian sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era globalisasi.
2. Kekuatan Ekonomi Baru
Bergsten dkk, 2006 dalam China: The Balance Sheet, What the World Needs to Know About the Emerging Superpower, kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik global merupakan event transformatif, yang menuntut perhatian khusus bagi negara – negara maju lainnya, termasuk negara berkembang di wilayah Asia Pacific untuk memahami lebih jelas “tantangan China” yang datang menyusul keberhasilan ekonomi domestik China. Lebih jauh, China bagaimanapun sudah menjadi “ancaman” bagi kemapanan yang selama beberapa dekade menjadi milik negara maju di Amerika dan Eropa.
Perkembangan dan kemajuan ekonomi China bagaimanapun menimbulkan peluang dan sekaligus tantangan bahkan ancaman, yang jika dikelola dengan baik dapat memberi manfaat bagi China dan negara – negara lain, namun bila salah dalam memahami fenomena China, dapat membawa kerugian bagi negara – negara lain termasuk Indonesia.
Dari perspektif perdagangan internasional, China dikenal dengan sebutan walled world, suatu istilah yang mengacu pada negara dapat berdagang satu dengan lainnya dalam pasar global namun masih memelihara kendali terhadap masa depan ekonominya sendiri, sistem politik dan kebijakan luar negeri. Walled world merupakan tantangan ideologis terhadap filosofi dunia datar-nya (flat world) Amerika dan paham multilateralisme liberal-nya Eropa. Budaya China dianggap dapat berpeluang menjadi jalan ketiga (third path) yang akan menjadi alternatif bagi struktur kognitif dari governance global.
Model Pembangunan
Model pembangunan yang dilakukan China menawarkan kepada negara – negara sedang membangun suatu alternatif dari norma yang berlaku di Barat. Keberhasilan sistem pasar bebas yang bersifat authoritarian merupakan tantangan bagi keterhubungan tradisional antara pasar bebas dan keberhasilan demokrasi. Kerangka budaya China menekankan pada kedaulatan negara, suatu hal yang tidak lagi diperhatikan oleh negara – negara barat, dan hal ini dapat memulihkan rasa kebanggaan pada negara – negara sedang berkembang yang merasakan kedaulatan mereka tidak dihormati oleh negara – negara maju.
3. Kunci Sukses Bisnis
Ada 3 (tiga) yang dapat dirujuk sebagai kunci sukses bisnis China: Guanxi (jaringan bisnis); Ganqing, menghormati dan menjaga ikatan perasaan/hubungan batin yang dalam; serta Xinyong, jaringan antar-pribadi, berkaitan dengan reputasi.
Guanxi
Guanxi secara literal berarti relasi (relationships). Dalam dunia bisnis China, Guanxi juga diatribusi sebagai jaringan di antara berbagai pihak yang bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Mentalitas pelaku bisnis China diibaratkan seperti “engkau garuk punggungku, aku garuk punggungmu”, yang maknanya kurang lebih saling tukar jasa, yang diharapkan dilakukan secara normal dan atas dasar keikhlasan. Guanxi merupakan konsep penting untuk memahami apakah seseorang dapat diterima secaar efektif dalam masyarakat China.
Di China, Guanxi berpengaruh besar terhadap sukses bisnis. Dengan menerapkan Guanxi secara benar, organisasi dapat meminimalkan resiko, frsutasi dan ketidak –nyamanan ketika melakukan bisnis. Dengan filosofi Guanxi, pengusaha berupaya menjalin hubungan dengan pejabat pemerintahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan posisi bisnis yang lebih baik, meretas hambatan, memudahkan dalam segala urusan perizinan maupun operasional perusahaan yang ada hubungannya dengan pemerintah.
Meskipun membangun dan mempertahankan Guanxi di China sangat membutuhkan waktu dan sumber daya, namun semuanya itu merupakan investasi yang akan sepadan dengan hasil yang akan diperoleh. Apa yang didapat dari rekan bisnis, seringkali bernilai lebih besar dari pada materi dan waktu yang kita berikan, khususnya jika dilihat dalam perspektif jangka panjang, dan utamanya ketika kita sedang membutuhkan.
Pelaku bisnis di China menjalin jaringan bisnis dengan pemasok, pengecer, bank, pejabat pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya, tidak hanya untuk sekedar basa-basi, namun suatu hubungan yang dilandasi oleh saling pengertian dan kesediaan untuk saling membantu. Memberikan hadiah kepada mitra bisnis menjadi hal lumrah di kalangan pelaku bisnis China.
Ganqing
Secara harafiah ganqing berarti perasaan (Toruan, 2009). Dalam budaya bisnis China konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.
Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam budaya China. Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan China mengacu kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat China karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.
Orang China berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik biasanya orang China akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang China akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi.
Xinyong
Xinyong dalam budaya bisnis China bermakna sebagai sebuah jaringan antar pribadi. Bagi orang China kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha China biasanya hanya berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis China secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis China di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di China Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka.
Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis. Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis dengannya lagi (atau kehilangan lian).
4. Sumber Kekuatan
Sumber kekuatan China terletak pada perilaku masyarakatnya. Untuk memahami perilaku masyarakat China, sebaiknya melakukan eksaminasi keterkaitan antara gerakan sosial kontemporer dengan kepercayaan dan tata nilai tradisional. Keberhasilan materi mulai mempengaruhi perilaku ekonomi, namun secara umum perilaku sosial masyarakat China masih mengacu pada kepercayan dan tata nilai tradisional.
Dengan norma sosial dan karakteristik kelembagaan di China yang masih bertahan hingga saat ini, keberhasilan materi menjadi suatu hal yang diutamakan. Di lain pihak, banyak orang China yang memiliki sifat kewira-usahaan, rajin dan tekun, fokus pada sasaran mereka, lebih banyak dimotivasi oleh keinginan meraih perubahan taraf hidup, dan dalam beberapa kasus mendorong terjadinya korupsi.
Budaya China Tradisional
Budaya China tradisional banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme. Dalam ajaran Konfusian, masyarakat dibentuk dalam hirarki berdasarkan profesi dan atau peran mereka di dalam masyarakat. Paling atas adalah para intelektual, pemuka masyarakat dan mereka yang bekerja sebagai pejabat pemerintah. Kemudian lapisan di bawahnya adalah kaum atau golongan petani yang menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk. Di bawah kaum petani adalah perajin, tukang kayu, tukan batu, dan profesi semacam itu. Kaum perajin menempati posisi ketiga karena dianggap karya mereka tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia. Pada hirarki terbawah berkumpul pedagang, pemain teater, dan tentara.
Memperhatikan hirarki masyarakat China tradisional, tampak nyata betapa struktur masyarakat China dibangun berdasar satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.
Diaspora
Salah satu ciri dari etnik China adalah diaspora, penyebaran dari daratan China ke negeri - negeri lain di seluruh dunia. Boleh dikatakan, hampir tidak ada negara yang tidak ada etnik China sebagai penduduk, baik sebagai warga negara, maupun penduduk sementara. Dengan diaspora ini muncul pembedaan antara Warga Negara China (WNC) dan China Perantauan (Overseas China), WNC atau etnik China yang tinggal, menetap atau sudah menjadi warga negara selain China.
Masyarakat China percaya pada kebersamaan (collectivism) yang menjadi sifat dasar mereka, di mana patriotisme merupakan bentuk tertinggi dari kebersamaan. Selain itu, China cenderung menjunjung tinggi tegaknya kehormatan.
Budaya Bisnis
Dari perspektif awam, atau barangkali bahkan oleh kalangan ahli, China dan budaya serta praktek keseharian masyarakat China dipandang sebagai kompleks, kadangkala kontradiktif, dan membingungkan - susah bagi pihak luar memahami pola pikir mereka. Hal ini yang seringkali menjadikan kesimpulan berbagai studi tentang China (yang dilakukan oleh bukan orang China) tidak tepat, bahkan terdistorsi oleh sudut pandang dari kepentingan dan posisi masing – masing.
Banyak pihak memandang China sebagai pasar yang sangat besar, karena populasinya yang terbesar di seluruh dunia. Sejatinya China merupakan pasar yang terpecah, tidak terkonsentrasi (fragmented). Bagi mereka yang terbiasa berbisnis di lingkungan yang berorientasi Barat, pasar domestik China merupakan arena yang menantang. Strategi bisnis yang berhasil diimplementasikan di Beijing, dalam banyak kasus, tidak dapat dengan mudah, berhasil diterapkan di kota – kota lain seperti Shanghai atau Shenyang. Oleh karena itu menjadi kurang tepat apabila membuat umum (generalize) Budaya Bisnis China per se.
Sumber Etos China
Pendapat ahli China yang menyatakan bahwa sumber etos China adalah keseragaman dan kesamaan budaya, pada saat ini dianggap sudah tidak valid lagi. Ada tiga hal yang dianggap sebagai sumber etos China: budaya, nasionalisme, dan pragmatisme.
Neo-Confucianism
Neo-confusianisme sebagai sebuah ideologi internal yang signifikan, dan memiliki akar sejarah yang mempengaruhi kehidupan masarakat China hingga sekarang. Ideologi ini menjadi alat yang sangat kuat bagi Partai Komunis China (PKC). Sebagai implikasi dari kebijakan politik longgar yang membuka peluang investasi asing pada gilirannya menghilangkan filosofi dan moralitas China. Kapitalisme barat menggantikan kebijakan ekonomi Marxis, dan ideologi jalur keras digantikan oleh pragmatisme yang fleksibel. Para pemimpin garis keras masih tetap duduk sebagai petinggi di partai politik namun mereka tidak memiliki suara majoritas lagi. Meskipun demikian konsep baru yang diperkenalkan ini dianggap tidak kontradiktif dengan idealisme China yang sudah lama tertanam. Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi terlihat seperti alamiah dibandingkan dengan ketika China mengadopsi Marxisme pada awal kemerdakaan di tahun 1949.
Basis dari gabungan antara paradigma lama dan baru adalah kembalinya China ke Konfusianisme suatu tradisi yang lama dianut; bedanya sekarang diaplikasikan dalam konteks modern. Sifat pragmatis budaya Konfusian memberi China kebebasan untuk bertindak dalam mencapai manfaat hubungan dagang dan diplomatik. Di pihak lain, Barat (Eropa dan Amerika) sering menilai hal ini sebagai suatu sikap oportunis dan ancaman. Sebaliknya, China memiliki pengalaman sejarah panjang di bawah bayang – bayang ancaman dari kekuatan Barat. Warisan perasaan sebagai korban setidaknya dapat ditelusuri ke belakang hingga peristiwa Perang Candu, yang tidak pernah dapat dilupakan. Dari pengalaman tersebut China menganggap bahwa penilian Barat terhadap China sebagai sebuah penghinaan, dan lebih buruk dari itu merupakan tindakan opresif. Contoh nyata yang belum lama terjadi dapat terlihat menjelang Olimpiade Musim Panas (OMP) di tahun 2008 lalu. Banyak tokoh selebriti Barat yang menyerang dan meragukan kemampuan China menyelenggarakan event olah raga terbesar di dunia. Hal tersebut meski dirasakan sebagai penghinaan, namun direspon sebagai tantangan bagi China agar dapat sukses menjadi tuan rumah OMP.
Dalam perjalanan waktu, China membangun “nasionalisme pragmatis” (pragmatic nationalism) yang diwarnai oleh upaya mencapai kebijakan efektif yang tidak harus konsisten dengan ideologi. Wacana yang berkembang kemudian, adakah kompatibiltas antara Neo-Konfusianisme dengan nasionalisme pragmatis? Pertanyaan ini mengemuka karena nasionalisme pragmatis dianggap jalan tengah antara Konfusianisme tradisional dengan dunia modern yang diwakili Barat.
Pidato atau pernyataan dari pimpinan Partai menjadi indikator kuat eksistensi arah ideologi baru Partai. President Hu Jintao pernah menyatakan etika Konfusian sebagai selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan. Kalimat ini diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, suatu hal yang mengindikasikan sebagai penanda dimulainya etika China modern.
Dalam format lain, pihak berkuasa memanfaatkan media cetak untuk mempromosikan agenda Partai. Meskipun dekade terakhir ini kehidupan pers di China sudah ditandai adanya kebebasan pers di sektor komersial, namun dominasi partai masih mewarnai kebebasan tersebut. Publikasi yang dikendalikan partai cenderung lebih normatif dan moralis, sementara koran – koran swasta sudah mulai menyuarakan realita dan kehidupan politik nyata.
Pragmatisme
Dalam banyak hal, China bertindak berdasarkan pemikiran pragmatis. Hal ini tercermin tidak hanya pada bagaimana individu China membuat keputusan, atau melatar-belakangi suatu tindakan; namun sampai pada bagaimana kebijakan politik dan perdangan luar negeri. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, China berharap untuk melihat adanya tatanan dunia yang dapat memperbaiki posisi relatif terhadap bangsa – bangsa lain di dunia. Mengacu pada harapan tersebut, China menghomai kedaulatan negara – negara lain dan memegang prinsip untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Hal ini sejalan dengan etika yang dinyatakan oleh Presiden Hu Jintao “selaras namun tidak homogen, berbeda namun tidak bertentangan.” Dalam perspektif lain, pragmatisme dianggap sebagai ideologi yang tidak meyakinkan, tidak memiliki apa-apa, sangat tidak mencukupi dibandingkan dengan ideologi komunis atau liberal. Pragmatisme dianggap sebagai jalan untuk mencapai tujuan dengan segala cara, atau perilaku strategik yang didorong oleh kepentingan nasional, yang dikondisikan secara substansial oleh lingkungan geostrategic dan pengalaman sejarah China.
Namun demikian, hal tersebut tidak mengindikasikan adanya kontradiksi antara strategi pragmatis dengan Neo-Konfusianisme, karena pragmatisme dianggap sebagai ideologi netral. Kekuatan pendukung strategi pragmatis adalah nasionalisme masyarakat China, yang masih berakar kuat sebagai kepercayaan politik yang dianut oleh majoritas masyarakat China, termasuk mereka yang berseberangan paham dengan regim komunis yang berkuasa.
Nasionalisme
Nasionalisme merupakan perekat yang menyatukan budaya China Neo-Konfusianisme dan strategi pragmatis. Jika nasionalisme China hancur, ia akan secara pasti merusak etos kesatuan nasional. Rakyat China senantiasa melibatkan diri dalam praktek budaya tradisional dan penerimaan prinsip dan nila moral China. Sikap ini tidak selalu disertai dengan kecintaan terhadap Partai atau ketaatan terhadap “Empat Prinsip Utama” yang merupakan garis kebijakan Partai. Ideologi politik telah kehilangan salah satu tujuannya di China, memberi identitas bagi warga negara RRC.
Sumber – sumber identitas China modernu menggantikan kebijakan lama Partai dan bahkan menimbulkan konflik di antara satu dengan lainnya. Nasionalisme budaya (demikian istilah ini mulai disosialisasikan) secara fundamental bertentangan dengan ideologi Partai, bukan dengan negara, juga bukan dengan nasionalisme secara keseluruhan.
Nasionalisme China dipengaruhi sejarah panjang yang lebih banyak menunjukkan sikap defensif dari pada ofensif dalam hubungannya dengan negara – negara lain. Hal ini cukup beralasan karena elite politik China menganggap nasionalisme sebagai alat proses regenerasi dan pertahanan melawan imperialisme. Kebangkitan China di wilayah Asia Timur, dan kemudian global tidak mengubah kekuasaan teritorial mereka. Inilah wajah kebangkitan dan sekaligus ekspansi ekonomi di era global, penguasaan teritori yang menggangu kedaulatan negara lain, sudah tidak relevan lagi, digantikan oleh aliran investasi, produk, informasi, dan ide.
Prioritas Etos China
Keunikan etos China terletak pada kuatnya upaya untuk menjadi berbeda dari lainnya, namun pada cara yang dipilih untuk memprioritaskan upaya tersebut. Faktor keamanan menjadi pertimbangan utama. Selama bertahun – tahun China terbiasakan dengan keharusan menjaga ketertiban dan stabilitas masyarakatnya, lebih banyak “melihat ke dalam” dan menerapkan “kebijakan tutup pintu” dari pada berupaya mencapai kemajuan dan melakukan ekspansi ke luar negeri. Dalam kontek ini, kepentingan negara lebih diutamakan dari apda kepentingan individu. Hal ini memfasilitasi konsistensi antara kebijakan dalam dan luar negeri, karena keduanya memprioritaskan hal yang sama baik di domestik mapun di aras internasional.
Kebangkitan ekonomi China baik di dalam negeri maupun pengaruh ekspansinya ke luar negeri, jika kita amati, berbeda dengan era ketika peristwa serupa dilakukan oleh negara - negara Barat (melalui penjajahan, kolonialisme). Hampir tidak ada konflik berupa sikap penolakan ketika China masuk ke pasar internasional. Sejarah panjang China menunjukkan postur mereka tidak hanya sebagai produk dari kebijakan geopolitik, namun dimaksudkan sebagai pre-disposisi budaya unik yang diaplikasikan untuk mencari solusi anti kekerasan atas permasalahan politik dalam negeri, pola pikir defensif.
5. Manfaat Bagi Indonesia
Dalam hubungan antara China dan Indonesia, Majalah The Economist edisi 12-18 September 2009, dalam liputan khusus tentang Indonesia, memperkenalakan terminologi baru “Chindonesia” untuk merujuk adanya hubungan simbiotik antara China dan Indonesia. China merupakan importer utama sarang burung walet yang banyak dihasilkan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Di Bali, jumlah turis China sudah mengalahkan turis Australia dan Jepang yang selama bertahun – tahun dikenal sebagai pengunjung utama pulau Bali. Pertumbuhan ekonomi China dan India berdampak besar bagi permintaan terhadap produk-produk Indonesia, tidak hanya sarang burung walet namun juga termasuk komoditas utama seperti minyak sawit (palm oil) dan batubara (coal) untuk pembangkit listrik. Ekspor Indonesia ke Chindia (Chinda dan India) tahun 2008 mencapai 14% dari total export , lebih besar dari eksport ke Amerika (10%).
Melihat ke dalam negeri (Indonesia) kita memiliki kekayaan sosial yang tak kalah bermutunya dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat China. Pertanyaannya, mengapa masyarakat China yang bertahun – tahun menderita dalam kemiskinan dan kelaparan, hanya dengan kebijakan ekonomi terbuka, dalam tempo tiga dekade sudah melejit meninggalkan negara-negara di kawasan Asia yang tergolong berkembang, dan sekarang mendekati keberhasilan yang dicapai oleh negara – negara maju.
Nilai – nilai gotong royong yang secara suka rela dianut masyarakat pedesaan, pada saat ini – barangkali – sudah meluntur, sejalan dengan meningkatnya orientasi terhadap materi dan kapitalisme. Nilai serupa, collectivism, yang dilatar-belakangi paham Konfusian, menjadi semakin kuat karena merupakan kebijakan Partai tunggal yang berkuasa. Perbedaan antara China dan Indonesia dalam hal ini, gotong royong merupakan tindakan suka rela, sementara collectivism merupakan tindakan wajib.
Pendekatan otoriter melalui kewajiban yang harus dilakukan warga negara yang digariskan oleh negara, dan tidak boleh dilanggar inilah yang barangkali menjadi kunci pertama suksesnya China. Selain otoriter, suatu model pemerintahan yang pada saat ini sudah ditolak oleh Indinesia, Indonesia mungkin bisa belajar dari bagaimana masyarakat China membina nasionalisme-nya.
Dari aspek bisnis, trilogi Guanxi, Ganqing, dan Xinyong merupakan suatu karakter hubungan antar manusia dalam dunia bisnis yang perlu digali apakah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Dalam wujud nyata, pola hubungan seruap Guanxi misalnya juga sudah menjadi karakter dalam tata hubungan sosial masyarakat di beberapa suku di Indonesia. Namun barangkali belum dimanfaatkan secara optimal dalam aktivitas bisnis.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.