Bahwasanya Pemerintah dan masyarakat perlu berpihak pada industri dalam negeri tidak ada yang menyangkal, bahwasanya kebijakan fiskal merupakan aspek penting dalam upaya menyehatkan keuangan negara tidak ada satupun pihak yang menentangnya. Namun ketika dua kebijakan diterapkan bersama – sama yang terjadi bukan hubungan positif, melainkan sebuah paradoks. Daya saing industri dalam negeri bukan menguat, sebaliknya malah melemah, jangankan di pasar internasional, di pasar domestik-pun rata – rata produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor. Mengapa hal seperti ini terjadi?
Seorang sahabat, industriwan peralatan elektronika memberikan ilustrasi. Untuk membuat unit PBX (private branch exchange), perangkat penerima dan pembagi sambungan telepon, dia harus impor bahan baku, nilai kandungan impor mencapai 70%, artinya masih ada porsi komponen dalam negeri sebesar 30%. Total biaya untuk impor bahan baku (termasuk pajak dan bea masuk) per unit PBX $700, jika ditambah dengan komponen dalam negeri maka biaya produksi per unit menjadi $1,000. Dengan profit 20%, harga jual akan menjadi $1.200 plus PPN 10% maka konsumen akan membayar $1.320. Di pihak lain, jika dia impor unit PBX lengkap landed cost-nya hanya sebesar $700. Atas impor unit lengkap ini tidak dikenakan bea masuk, karena Indonesia sudah terikat perjanjian internasional yang mengenakan tarif bea masuk 0% untuk peralatan elektronika. Dengan profit 20% dan PPN 10% maka dia bisa menjual produk impor tersebut dengan harga $924, masih di bawah total biaya produksi di dalam negeri.
Kasus serupa di atas terjadi pula di industri manufaktur peralatan ketenagalistrikan. Dalam diskusi panel dengan thema “Dukungan Domestik Dalam Percepatan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik” terungkap selisih harga impor dan produk lokal untuk kategori jenis pembangkit tertentu (2x8MW) mencapai 68%. Dan celakanya, selisih harga ini dikarenakan perbedaan perlakuan pajak. Sebagai contoh, untuk produk impor dari China, pemerintah memberikan keringanan bea masuk dan pajak rata-rata 17% dari porsi FOB (PPN Import 10%, PPh Import 2.55, dan Bea Masuk 5%) sebesar US$2,184,000. Sementara untuk produk dalam negeri keringanan pajak yang diberikan hanya sebesar US$ 472,500.
Perbedaan perlakukan pajak antara produk barang-jadi impor dan produk dalam negeri, berdampak pada pemungutan pajak yang lebih besar kepada produsen dalam negeri dari pada produsen luar negeri. Dari contoh unit pembangkit 2x8MW di atas pendapatan pemerintah akibat adanya import material untuk difabrikasi/assembly lokal mencapai US$ 665,446.81 sementara bila diimpor langsung sebagai barang jadi, pemerintah tidak memperoleh apa – apa. Selain itu, pendapatan pemerintah akibat adanya PPN terhadap porsi lokal juga berbeda cukup signifikan; untuk produk impor produsen luar negeri hanya menyumbang US$672.000 sementara produsen dalam negeri harus dibebani pajak mencapai US$1,532,200. Di sampiing itu, produsen dalam negeri masih dibebani PPh final sebesar 3% yang nominalnya mencapai US$591,000 sementara produsen luar negeri sama sekali tidak memberi kontribusi PPh kepada Pemerintah RI.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Energi mengatakan secara umum industri manufaktur lokal masih mengidap inferiority syndrome karena masih lemah dalam kemampuan rekayasa dan desain, belum ada perusahaan manufaktur yang berskala besar, masih lemah dalam kendali kualitas, tidak ada pihak yang secara terus menerus dan konsisten memperjuangkan industri dalam negeri, masih lemahnya dukungan pasar domestik, kurangnya ketersediaan modal, dan masih lekatnya karut-marut kebijakan fiskal. Pendapat pejabat Kadin ini diamini oleh pejabat Departemen Perindustrian yang menambahi faktor masih ada keraguan tentang mutu produk dalam negeri dan belum adanya dukungan dan keberpihakan.
Jadi siapa sebenarnya biang keladi dari lemahnya daya saing industri dalam negeri, bahkan di negeri sendiri? Departemen Perindustrian menyajikan sederet kebijakan pemerintah di bidang industri yang – konon – dimaksudkan meningkatkan kemampuan dan daya saing industri lokal. Di pihak lain pejabat Departemen Keuangan yang mengurusi kebijakan fiskal berusaha meyakinkan masyarakat bahwa sudah banyak sekali, kebijakan fiskal yang diterbitkan untuk mendukung industri nasional? Lantas kenapa industri daam negeri masih dan selalu lesu, loyo dan senantiasa kalah bersaing?
Menggunakan analisa sederhana dari disiplin public policy development bisa jadi apa (kebijakan) yang dibuat bukan yang dibutuhkan, baik secara substansi maupun konteksnya. Atau dapat juga karena yang membuat kebijakan tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar, atau tidak tahu “dunia luar” sehingga kebijakan yang dihasikan bersifat partial, sektoral, tidak merupakan kebijakan yang terintegrasi dapat mengakomidasi kepentingan multisektor. Sinyalemen dari kalangan pemerintah tentang tidak adanya dukungan dan keberpihakan bisa jadi merupakan pengakuan terhadap sikap diri sendiri. Yang pasti, kriteria kebijakan publik yang baik bukan hanya dari apa saja yang diatur namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana implikasi dari kebijakan dan regulasi setelah diimplementasikan. Jika hasilnya negatif atau nol, maka kebijakan dan regulasi tersebut layak disebut sebagai flaw policies and regulations, kebijakan dan regulasi yang cacat.
Lantas bagaimana solusinya? Membiarkan saja? Atau melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi industri manufaktur dalam negeri? Diam membela status quo bukan tugas pejabat publik, jadi pilihannya hanya lakukan perubahan. Selagi masih hangat duduk di kursi kabinet, para menteri terkait sebaiknya mulai memikirkan bagaimana merenovasi kebijakan industri dalam negeri agar lebih punya daya saing. Michael Porter dalam karya besarnya menyatakan “daya saing negara bukan di tangan pemerintah, namun industri; jika industri berdaya saing, maka ekonomi negara akan berdaya saing” Tidak ada yang salah dari pendapat Porter ini, kecuali hanya sebuah koreksi dari Richard Vietor yang menyatakan “bagaimanapun Pemerintah masih punya pengaruh dalam membangun daya saing perekonomiannya; melalui regulasi industri Pemerintah dapat menguatkan atau melemahkan industri dalam negeri.”
Sampai di sini benang merahnya jelas. Tujuan yang baik ternyata masih memerlukan keterbukaan wawasan, keberpihakan, dukungan berbagai pihak, dan keberanian untuk menyempurnakan kebijakan yang ada. Jika tidak, paradoks akan terus terjadi***
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.