Semakin hari semakin sering listrik padam, kadang hanya beberapa menit, kali lain bisa sampai berjam-jam. Dari ibu rumah tangga yang urung memasak sampai industri besar yang terganggu kegiatan produksinya, semuanya mengeluh. Semua, kecuali – barangkali – pegawai malas di kantor – kantor merasa dirugikan. Litrik yang byar-pet, hidup namun sebentar – sebentar mati dianggap sudah menganggu produktivitas. Namun benarkah semua dirugikan? Adakah yang diuntugkan, atau setidaknya merasa untung dengan kejadian – kejadian byar-pet ini? Adakah hikmah di balik ini semua?
Tanpa kita sadari, listrik sudah menjadi darah bagi kehidupan umat manusia, posisinya sudah sejajar dengan barang primer, seperti pangan, papan dan sandang. Listrik mendukung hampir semua kegiatan manusia. Peran listrik menjadi sangat strategis. Ketika semua orang membutuhkan, namun kehadirannya tidak ajeg, dan atau kualitasnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka tidak ada yang diuntungkan. Jika hanya dilihat dari perspektif konsumen listrik, sangat jelas listrik byar-pet merugikan.
Persoalannya akan menjadi lain ketika kita melihat dari perspektif yang berbeda. Dalam konteks bisnis normal, apa yang dilakukan PLN dengan menganjurkan konsumennya mengurangi penggunaan listrik adalah sebuah anomali. Bukankah normalnya perusahaan mendorong agar pelanggannya lebih banyak membeli produk yang dijual agar perusahaan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi? Yang tidak lazim ini harus dilakukan lantaran semakin banyak menjual semakin besar rugi yang harus ditanggung. Kenapa bisa demikian? Uraian sederhana, harga jual listrik kepada konsumen jauh lebih rendah dari pada biaya produksinya. Oleh karena itu, secara logika dapat dikatakan benar bila ada yang mengatakan, listrik byar-pet bisa jadi termasuk dalam strategi perusahaan untuk mengurangi kerugian. Argumennya, dengan pemadaman konsumsi listrik berkurang, sehingga kerugian pun semakin kecil. Benarkah demikian?
Ternyata, kerugian tidak sepenuhnya ditanggung oleh PLN. Pemerintah memberikan subsidi listrik agar harga listrik yang dibayar konsumen menjadi rendah. Ini kebijakan subsidi yang sudah lama menina-bobokan konsumen, namun di pihak lain menimbulkan keruwetan luar biasa. Dengan subsidi, mestinya dugaan bahwa PLN meraih keuntungan dari byar-pet tidak punya dasar yang kuat, toh seberapa besar kerugian, masih ditutup oleh subsidi dari Pemerintah. Lantas apakah subsidi tidak ada batasnya?
Tentu saja, subsidi ada batasnya. Bagi Pemerintah, listrik byar-pet tidak mengurangi subsidi, malah menuai penurunan kinerja dan membahayakan posisi pejabat yang bertanggung jawab di sektor ini. Pertanyaannya, sampai kapan Pemerintah masih sanggup memberikan subsidi yang semakin tahun semakin besar. Dan bukankah ada hubungan dan saling pengaruh antara variabel subsidi, tarif listrik, permintaan pelanggan dan kemampuan penyediaan tenaga listrik? Semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan ketenaga-listrikan mengetahui korespondensi antara variabel tersebut di atas, dan diduga mengetahui bagaimana cara mengurai simpul- simpul sehingga karut marut byar-pet ditemukan solusi terbaik. Persoalannya, siapa yang berani membuat keputusan?
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.