Kalau beli barang seharga Rp.100,- kemudian di-markup jadi Rp.125,- ini namanya korupsi. Membuktikan korupsi seperti ini mudah, apalagi kalau yang dibeli barang fisik yang banyak tersedia di pasaran seperti mesin jahit, sarung, pemadam kebakaran, komputer, dan barang sejenis lainnya. Praktek korupsi semacam ini dulu sangat subur makmur terjadi di lembaga pemerintahan. Sekarang, modus seperti ini sudah jarang terjadi, kalaupun masih terjadi biasanya dilakukan oleh pegawai pemerintah yang lokasinya jauh dari keriuh-rendahan kota metropolitan yang semakin banyak di negara tercinta ini.
Kalau korupsi markup harga sudah sangat mudah dilacak, lalu modus korupsi apa saja yang masih menjadi perburuan KPK? Ada banyak. Misalnya, korupsi perizinan atau korupsi lisensi. Apa itu?
Definisi bebas untuk korupsi lisensi adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara atau pejabat pemerintahan dengan menggunakan kewenangan yang ada pada dirinya untuk memberikan perizinan (lisensi) pengusahaan sumber daya ekonomi publik yang diberikan kepada swasta, atas pemberian lisensi ini, sang pejabat dan jajaran di bawahnya atau yang terkait mendapatkan upeti (gratifikasi) sebagai tanda terima kasih maupun sebagai transaksi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Jadi dalam korupsi lisensi ini setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang saling berkelindan membentuk praktek korupsi, Pertama, aktor atau para personalia yang terlibat seperti perusahaan atau individu pemohon aplikasi, staf birokrasi yang memproses secara administrasi dan teknis, pejabat tinggi yang berwenang menerbitkan perizinan, serta kadang kala ada aktor pembantu yang memfasilitasi seperti staf khusus, kawan dekat pejabat, penasehat pengusaha dan lain sebagainya yang menjembatani antara kepentingan swasta dan kewenangan yang melekat pada diri sang pejabat.
Unsur kedua adalah bidang usaha yang diajukan perizinannya. Bidang usaha yang menjadi latar belakang dari korupsi jenis ini adalah bidang usaha yang penyelenggaraannya diatur (regulated), baik pada tahap entry, maupun pelaksanaan bisnis (conduct). Mengapa perlu diatur? Ada beberapa alasan, pertama karena bisnis tersebut menguasai sumber daya publik, misalnya bisnis pertambangan, jasa telekomunikasi, kehutanan, transportasi, dan lain – lain; atau menyangkut kepentingan masyarakat luas seperti perbankan, asuransi, bursa saham, farmasi, restaurant, pabrikasi senjata dan peralatan militer, dan lain sebagainya. Intinya hampir semua bidang usaha diatur dan oleh karenanya memerlukan izin dari pemerintah.
Unsur ketiga adalah modus atau tata cara bagaimana korupsi lisensi tersebut dilaksanakan. Berbicara modus, dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yang dibedakan dari magnitude atau besaran bidang bisnis dan sumber daya publik yangakan digunakan oleh pemohon aplikasi. Jenis pertama adalah modus otomatis, ini berlaku untuk semua jenis bisnis, seperti diketahui sebelum perusahaan didirikan, Notaris yang membantu pendirian perusahaan perlu mengecek ketersediaan (availability) nama perusahaan melalui Sisminbakum, tanpa ada “upeti” nama perusahaan tak mudah keluar dari sistem yang telah menelan korban dengan tuduhan korupsi tersebut. Upeti ini tentu harus ditangung oleh pihak yang akan mendirikan perusahaan. Setelah Akta Notaris terbit, ia perlu disahkan di Kemenkumham dan mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) serta izin – izin lainnya. Modus otomatis adalah jenis korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik karena sifatnya otomatis melekat pada pelayanan, tanpa upeti otomatis, pemohon izin mesti rela berhari, berbulan atau bertahun menunggu terbitnya kertas perizinan yang diidamkan.
Jenis kedua adalah modus semi otomatis, ini adalah praktek yang banyak sekali dilakukan oleh para aktor untuk pengurusan izin penyelenggaran bidang usaha yang relatif sudah rame, tetapi masih tumbuh seperti jasa transportasi dalam kota (angkot), warung serba ada mini (mini dan midi), jasa restaurant, klinik kesehatan, rumah sakit, hotel, hiburan, dan lain-lain yang kewenangan perizinan ada di tangan pemerintah daerah. Dikatakan semi otomatis karena sejatinya untuk perizinan – perizinan bidang usaha tersebut sudah banyak Pemda yang melakukannya secara online, secara elektronik, terintegrasi dalam naungan kantor perizinan yang melibatkan berbagai dinas; namun demikian tanpa “upaya tambahan” berupa “upeti’ maka sistem layanan publik yang dirancang secara otomatis tak dapat berjalan lancar, jadi di titik-titik pertemuan antara satu proses dengan proses berikutnya masih dibutuhkan ‘pemicu” berupa upeti itu tadi.
Jenis ketiga adalah modus manual, ini adalah praktek korupsi lisensi untuk bidang bisnis yang ukuran investasinya besar, tergolong langka, strategis bagi perekonomian nasional, memerlukan sumber daya publik dalam skala massive, kewenangan perizinan ada di pemerintah pusat. Dikatakan manual karena pemohon mesti bertatap muka dengan pemegang kewenangan untuk mencapai deal tertentu sehingga urusan bisnis besarnya dilancarkan melalui terbitnya perizinan. Sebagai kontra prestasi atas penerbitan izin, tentu saja pemohon harus membalas budi. Berani tak membalas budi maka urusan selanjutnya akan sulit.
Lantas apa masalahnya sehingga korupsi lisensi perlu dicermati? Bukankah dari segi keuangan, negara tidak dirugikan? Bukankah uang yang diberikan sebagai upeti berasal dari dana milik si pemohon? Di sinilah masalah utamanya. Memang dana upeti dari kantong si pemohon, namun bukankah pengusaha itu makhluk rasional? Sudah baran tentu semua pengeluaran termasuk untuk upeti akan dibukukan sebagai bagian dari investasi yang pada gilirannya harus dibayar oleh pembeli atau pelangan barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pemilik izin? Dengan demikian, artinya para aktor, baik itu pemohon, birokrat dan pejabat yang terlibat secara tidak langsung telah memiskinkan publik. Selain itu, dapat pula dikatakan para aktir teleh merugikan negara secara tidak langsung karena uangyang mestinya masuk ke kas negara ehhh masuk ke kantong pejabat. Bukankah itu artinya korupsi? Apalagi kerugian publik? Izin yang diberikan karena ada interest pribadi, transaksional, bisa jadi merugikan publik lebih hebat bila ternyata perusahaan yang diberi izin ternyata tidak cakap, merusak lingkungan, atau bertindak sewenang-wenang; karena menganggap sudah memperoleh perlindungan dari penguasa negara.
Bila korupsi lisensi ini ternyata merugikan banyak pihak, mengapa praktek semacam ini masih dibiarkan saja berlaku dan bahkan meluas ke hampir semua sektor pemerintahan dari tingkat desa hingga pusat? Kata Ebiet, untuk mencari jawab, tanya saja pada rumput yang bergoyang.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.