Sekarang ini, mengutamakan profit tak lagi menjamin bisnis terus mendapat untung, eksploitasi bisnis tanpa memerhatikan lingkungan sosial, alih – alih mendapat untung, lambat ataupun cepat malahan menjadi buntung. Masih banyak pelaku bisnis yang beranggapan bahwa keuntungan yang diraihnya merupakan hasil karya mereka sendiri, peran lingkungan dan sosial masyarakat, tak masuk dalam hitungan. Padahal faktor internal perusahaan seperti modal, investasi, pegawai, manajemen, sistem dan prosedur hanyalah bagian kesil dari ekosistem bisnis yang mendukung keberadaan dan kelangsungan hidup industri. Alhasil, ketika ketidak-pedulian ini semakin tinggi, industri terus mengeksploitasi sumber daya tanpa memerhatikan keseimbangan lingkungan dan kepentingan sosial, bencana tak dapat dihindarkan. Banyak perusahaan lambat namun pasti akan merugi, bangkrut, dan akhirnya industri tertentu akan punah.
Ada banyak contoh yang dapat mendukung pernyataan di atas, salah satunya adalah punahnya industri penangkapan ikan paus (whale) di Amerika Utara. Bisnis perburuan paus sempat booming pada 1840-an, terus berlanjut hingga 1950-an. Perburuan paus dan ikan – ikan jenis lainnya yang nilai komersialnya tinggi secara luar biasa banyaknya dan terus menerus selama hampir 100 tahun, tanpa menghiraukan kecepatan tumbuh binatang buruan tersebut, menuai berturun drastisnya populasi paus sehingga semakin sulit nelayan menangkap ikan dan pabrik-pabrik pengolahan ikan tutup dan akhirnya habislah industri penangkapan paus amerika utara.
Praktek semacam yang dilakukan industri penangkapan paus di Amerika Utara awal abad 20 ternyata masih ditiru oleh berbagai sektor bisnis lain terutama yang mengandalkan sumber daya alam sebagai bahan baku komoditas, seperti namun tidak terbatas pada pertambangan, perhutanan, dan penangkapan ikan. Dalam jangka pendek mungkin belum dirasa dampaknya, namun mengacu prinsip going concern yakni bisnis mesti terus berlangsung sepanjang hayat, maka dalam jangka panjang bisa jadi pasokan bahan baku (minyak bumi, batu bara, kayu, ikan) habis, berhentilah kegiatan industri – industri tersebut.
Jadi kata kunci yang ingin disampaikan di sini adalah kelestarian bisnis (business sustainability) yang perlu menjadi paradigma baru bagi segenap pelaku bisnis di sektor apapun. Pertanyaan sederhananya, bagaimana pelaku bisnis sebaiknya mengelola perusahaannya sedemikian rupa sehingga lestari. Bukankah dalam menjalani bisnis perusahaan tak hanya membutuhkan sumber daya keuangan (seperti investasi dalam wujud mata uang dan penghasilan dari penjualan) namun juga sumber daya lingkungan seperti air, energi listrik, bahan baku; dan sumber daya sosial seperti sumber daya manusia serta infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah?
Awalnya para ahli manajemen berteori bahwa bisnis akan terus eksis bila secara konsisten dalam periode yang panjang meraih untung wajar. Persoalannya untuk dapat konsisten dalam periode panjang tak hanya membutuhkan kepiawaian dalam mengelola perusahaan melainkan juga perlu dan kuatnya dukungan lingkungan eksternal berupa lingkungan dan sosial. Kita tahu, bahan baku atau segala macam yang dibutuhkan industri mesti didatangkan dari pihak luar. Nah apabila pihak luar ini tak mampu lagi mendukung karena berbagai alasan, maka kelestarian perusahaan masuk ke dalam kategori bahaya. Demikian juga ketika produk yang dihasilkan tak berterima di masyarakat lantaran produknya dianggap jelek atau membahayakan, atau proses produksinya mencemari lingkungan, atau sebab – sebab lainnya, maka inipun pada akhirnya akan membuka peluang bagi berhentinya aktivitas suatu industri.
Pertumbuhan ekonomi dan sukses finansial adalah penting dan memberikan manfaat signifikan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian nilai – nilai kemanusiaan lainnya – seperti keharmonisan rumah tangga, pertumbuhan kecerdasan sosial, ekspresi seni, pembangunan moral, spiritual dan etika - juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dan dimasukkan dalam pengelolaan perusahaan. Kelestarian usaha dalam konteks ini diartikan sebagai mengelola bisnis untuk meraih untung dan pertumbuhan bersamaan dengan itu mengenali dan mendukung aspirasi ekonomi dan non-ekonomi masyarakat baik di dalam maupun di luar perusahaan, di mana keberadaan bisnis bergantung kepadanya.
Dalam tataran operasional strategik, meraih kelestarian bisnis dapat dilakukan dengan identifikasi segenap stakeholder, membangun hubungan erat dengan mereka, dan temukan cara terbaik untuk bekerja sama secara menguntungkan bagi semua pihak. Bila hal ini dapat dikerjakan, dalam jangka panjang dapat menciptakan profit dan atau manfaat yang lebih besar tak hanya bagi perusahaan, namun juga memberi kemakmuran sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masayarakat.
Mereka yang sudah menyadari dan meyakini perlunya sinergi dengan lingkungan sosial dimana perusahaan eksis, mengaktualisasikannya ke dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). Istilah CSR lebih banyak mengandung makna tanggung jawab (responsibility) bagi perusahaan terhadap lingkungan sosial. Jadi lebih fokus pada lingkungan luar, padahal kelestarian bisnis (sustainability) memberi makna kesamaan pentingnya meraih manfaat yang dinikmati oleh bisnis itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap issue-issue sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit.
Berangkat dari perspektif CSR di atas ada sebagian pihak yang membuat tantangan “bagaimana masyarakat dapat memetik manfaat jika perusahaan melakukan lebih banyak tindakan yang bertangung jawab (responsible approach)?” pertanyaan tantangan tersebut menjadi kurang relevan lagi karena yang lebih penting justru “bagaimana perusahaan meraih untung semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan (environmental) dan sosial kemasyarakatan.
Menjawab pertanyaan terakhir, John Elkington menawarkan konsep Triple Bottom Line (TBL). Elkington menganjurkan agar bisnis perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan, yang dinyatakan dalam rasio seperti ROI, profitabilitas, shareholder value) namun juga dengan pengaruh mereka terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Bisnis yang lestari perlu memiliki kemampuan untuk mengukur, mendokumentasikan, dan melaporkan ROI yang positif untuk semua tiga bottom lines – ekonomi, lingkungan (environmental), dan sosial yang masing-masing setara besarnya. TBL yang positif merefleksikan peningkatan nilai perusahaan, termasuk profitabilitas dan shareholder value, serta nilai sosial, kemanusiaan dan modal lingkungan.
Bagaimana mewujudkan TBL dalam praktek perusahaan? Siapa saja perusahaan di Indonesia yang sudah menerapkan TBL? Bagaimana perubahan yang terjadi setelah perusahaan menerapkan TBL, baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal? Bagaimana reaksi shareholder atas penerapan TBL di perusahaan milik mereka? Bagaimana dukungan pegawai terhadap implementasi TBL? Adakah pihak yang menentang konsep maupun implementasi TBL? Bila ada, apa argumen mereka?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas layak mendapat jawaban. Sementara ini saya masih mengumpulkan jawabannya. Barangkali di antara Anda ada yang sudah punya data dan berkenan memberikan jawabannya, tentu kita semua akan sangat senang untuk diskusikan di forum ini.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.