Setelah mengulas ringkas Korupsi Lisensi, ternyata ada lagi jenis korupsi yang masih jarang terendus oleh aparat pemburu koruptor. Apa itu?
Pernahkah Anda perhatikan, sampai sekarang masih banyak orang bilang "setiap ganti Menteri, ganti kebijakan". Contoh yang sering terjadi di Departemen (sekarang Kementerian) yang mengurusi bidang pendidikan nasional. masih ingat di tengah dekade 70-an ketika ada seorang Menteri yang mengubah awal tahun ajaran baru dari Januari ke Juni, yang kalau tak salah ingat, alasannya biar mirip model yang diterapkan di luar negeri. Lain lagi yang terjadi di suatu kementerian yang mengurusi bidang komunikasi. Pejabat birokratnya masih sama, ketika ganti menteri sang pejabat birokrat juga yang mengubah kebijakan yang dibuatnya sendiri pada periode menteri sebelumnya, padahal kebijakan yang lamapun belum terimplementasi dengan baik. Apa hubungan antara ganti menteri ganti kebijakan dengan korupsi?
Satu lagi, bila diperhatikan, menyusul pergantian direksi BUMN pada umumnya berlaku juga perubahan gaya kepemimpinan maupun manajerialnya. Perubahan semacam ini masih wajar, mengingat karakter kepemimpinan dan bagaimana direksi baru mengelola (me-managemen-i) perusahaan akan menentukan sukses atau gagal membawa amanah yang diberikan oleh pemegang saham.
Yang menarik, banyak terjadi, tidak lama setelah pergantian direksi (baca: dari Dirut hingga beberapa direktur lainnya) diikuti dengan pergantian logo perusahaan, baik yang dihasilkan melalui sayembara maupun pesanan khusus kepada perusahaan konsultan pembuat logo. Pergantian logo? Apa hubungannya dengan korupsi?
Amati dan perhatikan juga, bagaimana banyak perusahaan besar (baik BUMN maupun swasta) berlomba memberikan donasi atau sponsorship untuk berbagai acara baik yang bersifat sosial maupun komersial. Yang bersifat sosial dapat pula dikemas dalam program CSR, sebagai pertanda keikut-sertaan dalam dinamika sosial dengan lingkungan di mana perusahaan beroperasi, maupun kegiatan independen yang tak terkait dengan CSR. Sekali lagi, apa hubungan antara donasi, sponsorship, CSR dan korupsi?
Modus pergantian kebijakan
Publik yang awam tentu tak banyak paham bagaimana proses pembuatan kebijakan baru, apalagi kalau tak punya urusan langsung dengan instansi pemerintah. Ketidak-tahuan publik inilah yang dimanfaatkan oleh birokrat dan teknokrat ketika mereka baru duduk di kursi kekuasaan untuk membuat kebijakan baru menggantikan kebijakan lama yang – barangkali – belum sempat diimplementasikan. Apa yang mereka lakukan? Membuat Undang-Undang (UU), kebijakan atau regulasi baru.
Dengan alasan keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, untuk membuat draft UU, kebijakan atau regulasi biasanya dialih-dayakan ke konsultan. Nah di sinilah peluang untuk membuat deal secara manual dengan perusahaan konsultan yang akan dimenangkan untuk mengerjakan pembuatan draft UU, kebijakan atau regulasi. Bayangkan, hampir tak ada acuan (baku) untuk menentukan besaran biaya yang dibutuhkan untuk membuat UU, kebijakan atau regulasi. Suatu draft UU bisa saja menghabiskan ratusan juta atau puluhan milyar, boleh dikatakan besarannya tergantung para pejabat publik yang berwenang menetapkan anggaran.
Praktek semacam ini yang kemudian sering saya sebut di depan kelas, kepada para mahasiswa, mengapa sedikit sekali kebijakan publik yang lestari, berkualitas, usia regulasi bukan ditentukan oleh ketidak-sesuaiannya dengan perubahan zaman, melainkan karena perbedaan selera para penguasa, dan adanya tujuan tersembunyi di balik pergantian UU, kebijakan dan regulasi menyusul pergantian pejabat tinggi.
Modus Ganti Logo
Bagi sementara kalangan, membuat logo perusahaan adalah sebuah kriya atau karya seni. Layaknya karya seni, maka ada dua pendekatan untuk menilai kualitasnya. Pertama, dengan melihat bobot seni yang acuannya tentu sangat subjektif dan relatif. Subjektif karena bobotnya tergantung dari apakah pemesan dapat menerima argumen yang disorongkan oleh pembuatnya, sementara relatif karena tentu saja penilaian seseorang akan berbeda dari orang lain, hal ini lumrah karena apresiasi untuk sebuah karya seni sangat ditentukan oleh apakah si penilai memahami dan menghayati kesenian atau hanya sekedar awam belaka. Kedua, dengan mengukurnya dari besaran biaya yang diajukan oleh si pembuat. Ada karya seni yang nilai seninya tergolong atau dianggap tinggi (oleh kalangan pegiat seni) namun oleh si pembuatnya dijual dengan harga rendah (misal karya seni patung suku Asmat), sebaliknya ada karya seni bermutu rendah namun dihargai tinggi (yang ini banyak sekali contohnya).
Dua karakter karya seni inilah yang digunakan sebagai lubang keluaran (loop holes) untuk praktek korupsi yang sulit terendus. Ketiadaan standar biaya dan relatifitas dalam menilai karya seni digunakan sebagai modus dalam praktek korupsi dengan deal manual antara pemesan (biasanya direksi baru BUMN/S) dengan pembuat logo.
Praktek korupsi tak berhenti hanya di perubahan logo. Menyusul perubahan logo akan dilanjutkan dengan pergantian logo di kartu nama, stempel, mesti pasang iklan di berbagai media untuk memperkenalkan logo baru, ganti kop surat dan lain sebagainya. Semua aktifitas ini, meski boleh dibilang kecil tetapi agregasinya menjadi besar.
Modus Donasi, Sponsorship, CSR, Pasang Iklan
Bila perubahan logo tak dapat dilakukan karena berbagai alasan, jangan khawatir, masih ada cara lain untuk melakukan korupsi yang sulit terendus.
Ketika perusahaan atau instansi pemerintah memberikan donasi, bantuan sosial untuk korban bencana, panti asuhan, peringatan hari raya nasional, dukungan kepada ormas, atau para miskin, maka pemberian donasi ini dapat menjadi “kendaraan” bagi praktek korupsi. Salah satu contoh yang sudah terungkap oleh KPK adalah praktek korupsi bansos mesin jahit, sapi, busana yang diberikan oleh suatu kementerian yang mengurusi masalah sosial. Bahkan menterinya pun ikut dijadikan tersangka. Kenapa kalau di instansi pemerintah mudah terendus, namun kalau di BUMN atau swasta sulit diketahui? Apakah karena birokrat pemerintah kurang canggih dalam ber-korupsi? Bisa jadi birokrat pemerintah kurang canggih. Kalau yang disumbangkan berupa barang yang mudah dicari tahu harga per unitnya pasti gampang diketahui kalau dalam pemberian donasi telah terjadi korupsi. Namun kalau yang didonasikan berupa intangible goods yang tak ada standar harganya atau berupa man power yang jumlahnya mudah dimanipulasi atau barang yang langka, maka besar kemungikan donasi yang disusupi itikad korupsi sulit terendus oleh hidung pemburu koruptor.
Modus serupa terjadi juga pada sponsorship yang – sekali lagi – traceability-nya rendah karena belum ada standar baku yang dapat dijadikan acuan kelayakan sebuah sponsorship. Sebagai contoh, bila sebuah BUMN membukukan pemberian sponsorship rp. 5 milyar untuk event olahraga, kalau hanya dilihat dari pembukuan dua belah pihak (pemberi dan penerima) mungkin tak akan terlihat telah terjadi korupsi, karena bisa saja angka di buku pemberi sama dengan angka di buku penerima. Tetapi pemberian 5 Milyar untuk sebuah event perlu dinilai layak tidaknya. Karena bisa saja di balik sponsorship, ternyata ada deal tertentu yang menguntungkan oknum di pihak pemberi dan penerima.
CSR, cita-citanya memang mulia, namun dalam implementasinya masih banyak lobang tikus, yang dapat digunakan sebagai kendaraan untuk melakukan korupsi. Beberapa kelemahan dalam implementadi CSR antara lain: (1) belum adanya standar umum untuk menilai kelayakan besaran sebuah program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Apakah berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan tahun sebelumnya, atau berdasarkan profit atau ditetapkan oleh pemerintah, atau diskresi pimpinan perusahaan. (2) target penerima CSR sangat beragam, boleh dikatakan siapa saja dapat menerima program CSR, saya menduga belum ada panduan dari pemerintah perusahaan bidang X sebaiknya memberikan CSR untuk bidang x’, x’’… xn saja, di luar itu sebaiknya dilakukan oleh perusahaan lain.
Seperti modus yang terjadi di ganti logo, iklan dan sponsorship maka di modus CSR inipun tak mudah untuk mengendusnya, karena “kepentingan oknum” dititipkan di kegiatan CSR yang ditargetkan kepada kelompok masyarakat tertentu. Bila penerima tak bersedia membawa dan menyerahkan “titipan” maka urung mereka menjadi penerima atau target CSR. Sulit terendus, karena “barang” (meminjam istilah anggota DPR) yang diserahkan bukan berupa barang yang lazim dan mudah diukur keberadaan dan harganya, seperti kompor, alat bantu kerja, dan lain sebaainya; melainkan “barang” tersebut dalam wujud intangible yang relatif sulit dilacak keberadaannya.
Sama halnya pembuatan logo, pembuatan materi iklan sampai batas tertentu juga dianggap sebagai karya seni. Kalau sudah masuk karya seni maka standar penetapan harga menjadi bias dan sangat relatif, karena _sekali lagi - tak ada standar yang dapat menjadi acuan. Kata seorang kawan, korupsi iklan itu “enaknya puoollll”
Merger dan Akuisisi
Setiap kali terbaca berita di koran perusahaan A merger dengan perusahaan B, atau perusahaan C mengakuisisi perusahaan D, muncul pertanyaan tiadakah itikad korupsi di dalamnya oleh para pelakunya?
Saya berteori, setiap transaksi bisnis berpeluang terjadi korupsi di dalamnya. Merger dan Akuisisi (M&A) termasuk transaksi bisnis, maka bila konsisten dengan teori di atas, di dalam setiap M&A mungkin saja terjadi (ada peluang) korupsi.
Bagaimana modusnya? Sama seperti korupsi konvensional, menaikkan (inflating) harga saham, misal harga wajar rp 100,- per saham, transaksi menjadi rp. 200,- per saham. Setelah terjadi transaksi maka selisih nilai wajar dan nilai transaksi masuk ke kantong pribadi para oknum. Atau cara lain, oknum yang mewakili pembeli mendapat sejumlah komisi dari penjual yang disepakati di depan sebelum terjadinya transaksi
Pelajaran
Uraian di atas hanya khayalan belaka. Saya tak jamin kebenaran maupun kesalahannya, dan tak pula saya anjurkan pembaca memercayainya. Namun demikian, bila kita semua arif bijaksana, sembari mengamati lingkungan di sekitar keberadaan masing-masing, praktek semacam tersebut di atas sebetulnya bukan barang aneh lagi. Bagi sebagian orang malah sudah menjadi kebiasaan.
Selama ini yang banyak terdengar adalah korupsi yang dilakukan di instansi pemerintah, dengan pelaku pejabat birokrasi bekerja sama dengan rekanan swasta. Yang belum banyak terdengar adalah pengungkapan korupsi yang dilakukan oleh manajemen BUMN atau perusahaan swasta, tanpa melibatkan birokrat pemerintah, yang dilakukan dengan modus perubahan logo, pembuatan dan pemasangan iklan, sponsorship, CSR serta Merger dan Akuisisi.
Ketiadaaan standar baku yang harus dijadikan acuan dalam setiap transaksi dalam perubahan logo perusahaan, pembuatan dan pemasangan iklan di berbagai media, khususnya media elektronik (radio , Internet dan TV) , sponsorship, donasi, CSR, serta Merger dan Akuisisi menjadikan semua kegiatan tersebut di atas menjadi kendaran yang sangat empuk bagi para pimpinan perusahaan milik negara maupun swasta untuk bermanuver memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan publik atau pemegang saham.
Barangkali sudah masanya aparat pemburu koruptor mulai melangkahkan perhatian seriusnya kepada praktek korupsi di kalangan BUMN dan BUMS yang selama ini seperti tak terendus. Di tataran legislasi, barangkali juga sudah masanya UU Anti Korupsi di-ekstent tak hanya ihwal merugikan negara, namun mencakup pula merugikan publik dan pemegang saham.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.