Tulisan ini tanggapan atas posting-nya Mas Satrio Arismunandar,
Producer Acara Trans TV di milis technomedia.
Posting sampean soal tulisan Danarto,
Yang menyebut artikel-nya Goenawan Mohammad dan Emha,
Membikin aku semakin bingung dan tenggelam dalam ketidak-tahuan,
Soal ke-Tuhan-an dan rahasia alam.
Tempo hari,
Ketika membaca buah pikir Goenawan,
Aku percaya isi otaknya dan akal budinya,
Tuhan tidak buas, dan Tuhanku sama dengan Tuhannya Goenawan.
Tetapi sejurus kemudian,
Di kitab lain tersebutkan,
Tuhan memiliki segala sifat yang ada di segala alam,
Dan sadarlah,
sifat alam aneka rupa.
Demikiankah pula kiranya Sifat Tuhan?
Galak, Bencana, kasih, senyum, tangis, hujan, banjir, panas, angin, badai,
Aku tak mampu menyebutnya lagi.
Semakin bingung pikirku,
Diterjang pikiran Emha,
Betulkah bencana itu pemuliaan?
Bagi yang pergi dan yang tinggal
Benarkah yang berangkat sudah habus waktunya?
Dan yang tinggal masih diberi waktu?
Seperti kata Ebiet.
Bukankah keabadian,
Tidak ada keterputusan waktu,
Jiwa yang berangkat hanya berpindah
Jiwa yang tinggal masih menetap di tubuh nestapa
Lalu kemana jiwa pergi?
Ke Tuhan-kah?
Aku bersimpuh,
Tafakur sebisaku,
Slayaknya murid mengingat jalan ajaran Mursid,
Kulantunkan dzikir "Allah" tak terhitung,
Kuresapi makna terdalam dari Allah,
Adakah beda antara Tuhan dan Allah?
Ku tak peduli, terus bergumam,
Allah, Allah, Allah dan.... Allah.
Ntah kapan datangnya bisikan,
Tak usah ragu Ke-Allah-an Ku
jalani saja kehidupan duniamu
DiriKu ada padamu
Iman-i, taqwa-i saja,
Hingga temukan Ku sejati.
Lalu aku bertanya,
Jika Mu ada padaku
apakah Mu juga ada pada mereka
Tak usah ragu,
demikianlah sifatKu.
Penasaran kucecarNya
Binatang, tumbuhan, gunung, laut?
Mereka juga, kataNya.
Dunia kecil,
ada Mu di rumah hatiku.
Dunia besar,
ada Mu di alam raya.
lalu mengapa,
Alam raya berguncang,
Makhluk Engkau biarkan bergelimpangan
Nestapa menyergap mereka yang tinggal.
Itu rahasiaKu.
Ber-Iman saja padaKu.
kerjakan .. kerjakan.. kerjakan...
amal duniamu UntukKu.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 4 Januari 2005
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Tuesday, January 04, 2005
Politik Bung?
Politik Bung?
Ah itu menu busuk!!!
Pagi sarapan isu,
siang makan fitnah,
malam berselimut dusta.
Politik Bung?
Ah segan menolaknya,
terpikat rayuan gincu jurkam,
terperangkap dogma sang pemimpin,
terpana oleh impian kekuasaaan
terjerembab oleh kenyataan.
Politik Bung?
Ah kenapa tidak mencoba,
anggaplah akrobat pertunjukan sirkus
menegangkan, mengasyikkan dan mencandu.
Politik Bung?
Ah lihatlah,
si pandir-pun jadi Bupati,
si serakah jadi pemimpin partai,
si kaya jadi pemimpin negara,
si miskin belajar korupsi.
Politik Bung?
Ah bukankah,
anggota dewan terhormat, katanya
anggota dewan berkhianat, beritanya
anggota dewan melarat, ceritanya
anggota dewan dilaknat, seharusnya.
Politik Bung?
Ah bagai di taman nirwana
penuh rupa warna warni,
tak sewarna?
engkau orang lain!!
meski sekasur dan seselimut.
Politik Bung?
Ah betapa mudahnya,
rayuan belas kasih dan simpati,
dari seluruh penjuru,
berhasil namun lupa janji,
halal menipu katamu.
Politik Bung?
Ah kecil itu.....
Tak apa, habis uang habis tenaga,
kali ini gagal,
seterusnya gagal,
dasar dungu.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
Ah itu menu busuk!!!
Pagi sarapan isu,
siang makan fitnah,
malam berselimut dusta.
Politik Bung?
Ah segan menolaknya,
terpikat rayuan gincu jurkam,
terperangkap dogma sang pemimpin,
terpana oleh impian kekuasaaan
terjerembab oleh kenyataan.
Politik Bung?
Ah kenapa tidak mencoba,
anggaplah akrobat pertunjukan sirkus
menegangkan, mengasyikkan dan mencandu.
Politik Bung?
Ah lihatlah,
si pandir-pun jadi Bupati,
si serakah jadi pemimpin partai,
si kaya jadi pemimpin negara,
si miskin belajar korupsi.
Politik Bung?
Ah bukankah,
anggota dewan terhormat, katanya
anggota dewan berkhianat, beritanya
anggota dewan melarat, ceritanya
anggota dewan dilaknat, seharusnya.
Politik Bung?
Ah bagai di taman nirwana
penuh rupa warna warni,
tak sewarna?
engkau orang lain!!
meski sekasur dan seselimut.
Politik Bung?
Ah betapa mudahnya,
rayuan belas kasih dan simpati,
dari seluruh penjuru,
berhasil namun lupa janji,
halal menipu katamu.
Politik Bung?
Ah kecil itu.....
Tak apa, habis uang habis tenaga,
kali ini gagal,
seterusnya gagal,
dasar dungu.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
Tahun Baru
Perjalanan waktu sampai di penghujung tahun
seperti kincir air untuk kembali
menciduk, mengusung, menumpahkan dan menciduk lagi
begitu berulang,
tak cuma kincir, manusia pula sama.
Ada beda
ada kesamaan
keberulangan yang sama
ruang, aktivitas, dan waktu yang berbeda.
Ruangku kini
semakin terbatas,
ruang nyata dan ruang hati
tak kemana lagi pergi bersuka
cukup gembira di wisma
Ruang hatiku kubuat semakin sempit,
tak lagi mengembara,
mencari jiwa,
menelusur kesejatian,
Waktuku berkurang,
entah sampai kapan masih diberi waktu,
bernapas, ibadah
membuat kesalahan.
Di tengah segala keberkurangan
ada segala kebertambahan yang harus dipikul,
tanggung jawab mengemban amanah
semakin besar dan tak dapat lari darinya.
Semakin besar tuntutan di dalam diri
untuk memilah dan memilih
yang kucakapi memberi buah rejeki
Harus berani,
satu persatu tinggalkan
entah mereka suka atau benci
pilih satu atau dua
yang kucakapi dan memberi buah amal.
Rempoa, 23 Januari 2005
seperti kincir air untuk kembali
menciduk, mengusung, menumpahkan dan menciduk lagi
begitu berulang,
tak cuma kincir, manusia pula sama.
Ada beda
ada kesamaan
keberulangan yang sama
ruang, aktivitas, dan waktu yang berbeda.
Ruangku kini
semakin terbatas,
ruang nyata dan ruang hati
tak kemana lagi pergi bersuka
cukup gembira di wisma
Ruang hatiku kubuat semakin sempit,
tak lagi mengembara,
mencari jiwa,
menelusur kesejatian,
Waktuku berkurang,
entah sampai kapan masih diberi waktu,
bernapas, ibadah
membuat kesalahan.
Di tengah segala keberkurangan
ada segala kebertambahan yang harus dipikul,
tanggung jawab mengemban amanah
semakin besar dan tak dapat lari darinya.
Semakin besar tuntutan di dalam diri
untuk memilah dan memilih
yang kucakapi memberi buah rejeki
Harus berani,
satu persatu tinggalkan
entah mereka suka atau benci
pilih satu atau dua
yang kucakapi dan memberi buah amal.
Rempoa, 23 Januari 2005
Censorship dan Filtering Content Internet
Seorang rekan berinisial Sri S. mem-posting soalan regulasi sensor dan fiter terhadap konten di Internet. Menanggapi posting tersebut saya katakan topik tersebut sangat valid, dan untuk sebagian sudah dirasa perlu dilakukan di Indonesia, sementara yang sebagian lagi masih dapat menjadi polemik antara perlu dan tidak perlu.
Di beberapa negara Asia (Singapore, China, Myanmar, dan Vietnam) kalau saya tidak salah sudah menerapkan "screening" and blocking terhadap content yang memenuhi criteria ilegal (pornography, criminal, anti-social, teror, politics against the government). Sementara di negara maju (seperti USA, dan beberapa negara Eropa, Jepang, Korea) tidak ada aturan yang secara khusus melarang content Internet.
Dinas rahasia US (CIA, FBI, NSF, NIA) diketahui telah lama "memonitor" traffic Internet terhadap suspected address/persons/organizations, demikian juga di Inggris, Jerman, Rusia, dan Perancis.
Kebijakan untuk melakukan cencorship, filtering di aras negara masih menjadi perdebatan karena adanya (kalau di US) dianggap bertentangan dengan FOIA (Freedom of Information Act) sementara di sisi lain, sebagian masyarakat sudah menganggap perlu adanya cencorship, filtering, dan lain - lain yang sejenis karena content semacam itu telah mengajarkan orang/anak/remaja terhadap kecenderngan perilaku negatif. beberapa referensi yang pernah saya baca menyatakan keluarga, organisasi (sekolah, perusahaan, perkumpulan) dapat menerapkan kebijakan pembatasan akses terhadap konten yang dianggap ilegal, anti-social bagi anggotanya.
Adapun aturan yang mengharuskan suatu situs harus ber-content sesuai dengan namanya - sebagaimana Anda contohkan - saya belum pernah melihatnya di seantero dunia.
Kebijakan censor, filtering, monitoring dan sejenisnya secara teknis mudah dilakukan apabila semua akses ke Internet (Internet Gateway) dapat dikontrol oleh penguasa (pemerintah di level negara atau manajemen di level organisasi). Dalam kasus empat negara Asia yang saya asebut di atas, akses ke International/Internet gateway sepenuhnya dikuasai oleh negara.Sedangkan untuk akses Internet gateway yang dibebaskan kepada swasta, secarapraktek lapangan pada kenyatannya susah dilakukan.
Di Indonesia?
1. dari segi perangkat hukum yang khusus mengatur hal ihwal Internet, belum ada Undang - Undang yang khusus melarang ilgeal content atau menyediakan lembaga yang melakukan sensor atau monitoring.
2. kriminal di Internet merupakan delik aduan. setiap ada aduan dari person/masyarakat yang merasa dirugikan, polisi masih menggunakan pasal - pasal yang terdapat pada KUHp dan KUHAP.
3. secara teknis, sulit melakukan censorship.filtering atas konten yang ilegal, selain belum ada lembaga khusus yang ditugasi, juga mengingat liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia yang sudah sangat maju sehingga siapapun (yang mampu) dapat memiliki akses ke International/Internet Iateway )I/IG). Sebagai catatan, dulu hanya ada 2 I/IG yakni milik Indosat dan Satelindo, setelah kedua perusahaan ini merger, kemudian ada I/IG milik Telkom, dan beberapa Network Accesss Provider (sekarang ada 8 NAP) dan berikutnya beberapa ISP-pun mulai beli bandwidth langsung ke HongKong, US atau Taiwan. dan hebatnya, di BAndung dan Jogja sekumpulan Warnet juga tak mau ketinggalan, mereka membeli bandwith langsung dari Luar Negeri, tanpa ada kontrol dari Pemerintah :-(((((((
beberapa teman seperti ICT Watch - www.ictwacth.com merintis eduksi Internet sehat, sebelumnya saya dalam kapsitas sebagai Country Coordinator Global Internet Policy Initiative (GIPI) - www.internetpolicy.net juga sudah memperingatkan pentingnya semua pihak yang terkait dengan Internet memperhatikan dampak negatif Internet seperti Fraud, Carding, Virus, Cyber-pornograhpy, Spam, dlsb.
Sayangnya langkah pemerintah masih jauh di belakang. Selain belum memiliki UU yang khusus (lex Specialist) mengatur masalah Internet, juga aparat penegak hukum yang belum teredukasi dengan seksama, dan masih minimnya peralatan investigasi yang diperlukan polisi dalam mengungkap kasus cyberpornography, carding, cracking, dlsb.
Mas WIgrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
Di beberapa negara Asia (Singapore, China, Myanmar, dan Vietnam) kalau saya tidak salah sudah menerapkan "screening" and blocking terhadap content yang memenuhi criteria ilegal (pornography, criminal, anti-social, teror, politics against the government). Sementara di negara maju (seperti USA, dan beberapa negara Eropa, Jepang, Korea) tidak ada aturan yang secara khusus melarang content Internet.
Dinas rahasia US (CIA, FBI, NSF, NIA) diketahui telah lama "memonitor" traffic Internet terhadap suspected address/persons/organizations, demikian juga di Inggris, Jerman, Rusia, dan Perancis.
Kebijakan untuk melakukan cencorship, filtering di aras negara masih menjadi perdebatan karena adanya (kalau di US) dianggap bertentangan dengan FOIA (Freedom of Information Act) sementara di sisi lain, sebagian masyarakat sudah menganggap perlu adanya cencorship, filtering, dan lain - lain yang sejenis karena content semacam itu telah mengajarkan orang/anak/remaja terhadap kecenderngan perilaku negatif. beberapa referensi yang pernah saya baca menyatakan keluarga, organisasi (sekolah, perusahaan, perkumpulan) dapat menerapkan kebijakan pembatasan akses terhadap konten yang dianggap ilegal, anti-social bagi anggotanya.
Adapun aturan yang mengharuskan suatu situs harus ber-content sesuai dengan namanya - sebagaimana Anda contohkan - saya belum pernah melihatnya di seantero dunia.
Kebijakan censor, filtering, monitoring dan sejenisnya secara teknis mudah dilakukan apabila semua akses ke Internet (Internet Gateway) dapat dikontrol oleh penguasa (pemerintah di level negara atau manajemen di level organisasi). Dalam kasus empat negara Asia yang saya asebut di atas, akses ke International/Internet gateway sepenuhnya dikuasai oleh negara.Sedangkan untuk akses Internet gateway yang dibebaskan kepada swasta, secarapraktek lapangan pada kenyatannya susah dilakukan.
Di Indonesia?
1. dari segi perangkat hukum yang khusus mengatur hal ihwal Internet, belum ada Undang - Undang yang khusus melarang ilgeal content atau menyediakan lembaga yang melakukan sensor atau monitoring.
2. kriminal di Internet merupakan delik aduan. setiap ada aduan dari person/masyarakat yang merasa dirugikan, polisi masih menggunakan pasal - pasal yang terdapat pada KUHp dan KUHAP.
3. secara teknis, sulit melakukan censorship.filtering atas konten yang ilegal, selain belum ada lembaga khusus yang ditugasi, juga mengingat liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia yang sudah sangat maju sehingga siapapun (yang mampu) dapat memiliki akses ke International/Internet Iateway )I/IG). Sebagai catatan, dulu hanya ada 2 I/IG yakni milik Indosat dan Satelindo, setelah kedua perusahaan ini merger, kemudian ada I/IG milik Telkom, dan beberapa Network Accesss Provider (sekarang ada 8 NAP) dan berikutnya beberapa ISP-pun mulai beli bandwidth langsung ke HongKong, US atau Taiwan. dan hebatnya, di BAndung dan Jogja sekumpulan Warnet juga tak mau ketinggalan, mereka membeli bandwith langsung dari Luar Negeri, tanpa ada kontrol dari Pemerintah :-(((((((
beberapa teman seperti ICT Watch - www.ictwacth.com merintis eduksi Internet sehat, sebelumnya saya dalam kapsitas sebagai Country Coordinator Global Internet Policy Initiative (GIPI) - www.internetpolicy.net juga sudah memperingatkan pentingnya semua pihak yang terkait dengan Internet memperhatikan dampak negatif Internet seperti Fraud, Carding, Virus, Cyber-pornograhpy, Spam, dlsb.
Sayangnya langkah pemerintah masih jauh di belakang. Selain belum memiliki UU yang khusus (lex Specialist) mengatur masalah Internet, juga aparat penegak hukum yang belum teredukasi dengan seksama, dan masih minimnya peralatan investigasi yang diperlukan polisi dalam mengungkap kasus cyberpornography, carding, cracking, dlsb.
Mas WIgrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
Monday, January 03, 2005
Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Peringatan Awal Terjadinya Bencana Alam
Tadi malam, sebuah email nyasar ke mailbox-ku. Tak seperti biasanya, kali ini aku membuka kiriman email tersebut, karena subjeknya bukan seperi spam yang sekarang sudah menggila, dan pengirimnya-pun rasanya saya kenal. Si pengirim adalah K. Srinivasan, Faculty and Project Coordinator Telehealth, Indian Institute of Information Technology andManagement, KeralaTechnoparkTrivandrum.
Dalam email yang ditujukan ke rekan - rekan yang tergabung dalam milist egov4dev Srinivasan mempertanyakan bagaimana IT atau teknologi lain dapat membantu dalam manajemen penanggulangan Bencana Alam sebagaimana dialami di bebeberapa negara yang diterjang badai Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Seperti kita ketahui wilayah India selatan, Sri Langka, Thailand Barat Daya, Malaysia di pantai Barat, Kepulauan Nicobar, Maladewa, dan Nangru Aceh Darussalam (NAD) di Indonesia, mengalami kerusakan hebat dan kehilangan ratusan ribu nyawa manusia akibat gempa dan badai tsunami.
Srinivasan mengatakan ternyata Sistem Penyebar-luasan Peringatan Bahaya (Disaster Warning Dissemination System) yang dibangun di pantai barat dan timur India tidak efektif dan terbukti tidak mampu memberikan peringatan akan terjadinya gempa maupun badai tsunami. Sistem tersebut bekerja berdasarkan data yang dikirim dari satelit, sementara satelit yang dipercaya mampu memonitor gejala alam tidak dapat memerikan sinyal kepada sistem di darat, sehingga kerugian besar lah yang harus ditanggung.
Melihat pengalaman Srinivasan, saya membandingkannya dengan sistem peringatan gempa yang sudah berhasil dibangun oleh Jepang (Kompas, 28 Desember 2004) dan mampu memonitor sebagian wilayah Samudera Pacific. Sistem ini dibangun mengingat Jepang merupakan wilayah yang rawan gempa. Sepanjang yang telah terjadi, sistem ini berhasil memberi peringatan kepada penduduk Jepang manakala akan terjadi gempa atau tsunami.
Persoalannya, keberhasilan Jepang belum ditularkan ke negara - negara yang dilanda bencana. Hal ini menimbulkan pertanyaan sensitif terhadap eksistensi tekmnologi, jika teknologi tidak dapat membantu atau dimanfaatkan di saat dibutuhkan, lalu apa pula peran teknologi bagi kemaslahatan manusia? Mencoba menjawab persoalan ini, saya mengajukan pre-posisi bahwa teknologi tidak dapat disalahkan, teknologi sejatinya adalah benda mati yang menurut saja kepada manusia yang menciptakannya, memilikinya, dan atau mengoperasikannya.
Jika kita cermati, ada banyak sekali liputan di berbagai media massa, ulasan dan kajian para pakar mengenai peran teknologi khususnya Teknologi Informasi (IT) di berbagai aspek kehidupan manusia yang semuanya menggambarkan hal positif. Manfaat IT yang sedemikian besarnya tersebut menjadi tiada artinya bagi korban bencana alam, apabila para pencipta, pemilik, dan operatornya tidak mampu memberi peringatan akan adanya bencana alam.
Bencana alam tidak dapat dicegah, tetapi Teknologi Informasi dapat digunakan untuk memperkecil kerugian dari akibat yang ditumbulkannya. Sudah saatnya Teknologi Informasi dibangun dan digunakan untuk memperkirakan atau mengetahui gejala - gejala alam yang biasanya muncul mendahului bencana alam.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
Dalam email yang ditujukan ke rekan - rekan yang tergabung dalam milist egov4dev Srinivasan mempertanyakan bagaimana IT atau teknologi lain dapat membantu dalam manajemen penanggulangan Bencana Alam sebagaimana dialami di bebeberapa negara yang diterjang badai Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Seperti kita ketahui wilayah India selatan, Sri Langka, Thailand Barat Daya, Malaysia di pantai Barat, Kepulauan Nicobar, Maladewa, dan Nangru Aceh Darussalam (NAD) di Indonesia, mengalami kerusakan hebat dan kehilangan ratusan ribu nyawa manusia akibat gempa dan badai tsunami.
Srinivasan mengatakan ternyata Sistem Penyebar-luasan Peringatan Bahaya (Disaster Warning Dissemination System) yang dibangun di pantai barat dan timur India tidak efektif dan terbukti tidak mampu memberikan peringatan akan terjadinya gempa maupun badai tsunami. Sistem tersebut bekerja berdasarkan data yang dikirim dari satelit, sementara satelit yang dipercaya mampu memonitor gejala alam tidak dapat memerikan sinyal kepada sistem di darat, sehingga kerugian besar lah yang harus ditanggung.
Melihat pengalaman Srinivasan, saya membandingkannya dengan sistem peringatan gempa yang sudah berhasil dibangun oleh Jepang (Kompas, 28 Desember 2004) dan mampu memonitor sebagian wilayah Samudera Pacific. Sistem ini dibangun mengingat Jepang merupakan wilayah yang rawan gempa. Sepanjang yang telah terjadi, sistem ini berhasil memberi peringatan kepada penduduk Jepang manakala akan terjadi gempa atau tsunami.
Persoalannya, keberhasilan Jepang belum ditularkan ke negara - negara yang dilanda bencana. Hal ini menimbulkan pertanyaan sensitif terhadap eksistensi tekmnologi, jika teknologi tidak dapat membantu atau dimanfaatkan di saat dibutuhkan, lalu apa pula peran teknologi bagi kemaslahatan manusia? Mencoba menjawab persoalan ini, saya mengajukan pre-posisi bahwa teknologi tidak dapat disalahkan, teknologi sejatinya adalah benda mati yang menurut saja kepada manusia yang menciptakannya, memilikinya, dan atau mengoperasikannya.
Jika kita cermati, ada banyak sekali liputan di berbagai media massa, ulasan dan kajian para pakar mengenai peran teknologi khususnya Teknologi Informasi (IT) di berbagai aspek kehidupan manusia yang semuanya menggambarkan hal positif. Manfaat IT yang sedemikian besarnya tersebut menjadi tiada artinya bagi korban bencana alam, apabila para pencipta, pemilik, dan operatornya tidak mampu memberi peringatan akan adanya bencana alam.
Bencana alam tidak dapat dicegah, tetapi Teknologi Informasi dapat digunakan untuk memperkecil kerugian dari akibat yang ditumbulkannya. Sudah saatnya Teknologi Informasi dibangun dan digunakan untuk memperkirakan atau mengetahui gejala - gejala alam yang biasanya muncul mendahului bencana alam.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)