Seorang rekan berinisial Sri S. mem-posting soalan regulasi sensor dan fiter terhadap konten di Internet. Menanggapi posting tersebut saya katakan topik tersebut sangat valid, dan untuk sebagian sudah dirasa perlu dilakukan di Indonesia, sementara yang sebagian lagi masih dapat menjadi polemik antara perlu dan tidak perlu.
Di beberapa negara Asia (Singapore, China, Myanmar, dan Vietnam) kalau saya tidak salah sudah menerapkan "screening" and blocking terhadap content yang memenuhi criteria ilegal (pornography, criminal, anti-social, teror, politics against the government). Sementara di negara maju (seperti USA, dan beberapa negara Eropa, Jepang, Korea) tidak ada aturan yang secara khusus melarang content Internet.
Dinas rahasia US (CIA, FBI, NSF, NIA) diketahui telah lama "memonitor" traffic Internet terhadap suspected address/persons/organizations, demikian juga di Inggris, Jerman, Rusia, dan Perancis.
Kebijakan untuk melakukan cencorship, filtering di aras negara masih menjadi perdebatan karena adanya (kalau di US) dianggap bertentangan dengan FOIA (Freedom of Information Act) sementara di sisi lain, sebagian masyarakat sudah menganggap perlu adanya cencorship, filtering, dan lain - lain yang sejenis karena content semacam itu telah mengajarkan orang/anak/remaja terhadap kecenderngan perilaku negatif. beberapa referensi yang pernah saya baca menyatakan keluarga, organisasi (sekolah, perusahaan, perkumpulan) dapat menerapkan kebijakan pembatasan akses terhadap konten yang dianggap ilegal, anti-social bagi anggotanya.
Adapun aturan yang mengharuskan suatu situs harus ber-content sesuai dengan namanya - sebagaimana Anda contohkan - saya belum pernah melihatnya di seantero dunia.
Kebijakan censor, filtering, monitoring dan sejenisnya secara teknis mudah dilakukan apabila semua akses ke Internet (Internet Gateway) dapat dikontrol oleh penguasa (pemerintah di level negara atau manajemen di level organisasi). Dalam kasus empat negara Asia yang saya asebut di atas, akses ke International/Internet gateway sepenuhnya dikuasai oleh negara.Sedangkan untuk akses Internet gateway yang dibebaskan kepada swasta, secarapraktek lapangan pada kenyatannya susah dilakukan.
Di Indonesia?
1. dari segi perangkat hukum yang khusus mengatur hal ihwal Internet, belum ada Undang - Undang yang khusus melarang ilgeal content atau menyediakan lembaga yang melakukan sensor atau monitoring.
2. kriminal di Internet merupakan delik aduan. setiap ada aduan dari person/masyarakat yang merasa dirugikan, polisi masih menggunakan pasal - pasal yang terdapat pada KUHp dan KUHAP.
3. secara teknis, sulit melakukan censorship.filtering atas konten yang ilegal, selain belum ada lembaga khusus yang ditugasi, juga mengingat liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia yang sudah sangat maju sehingga siapapun (yang mampu) dapat memiliki akses ke International/Internet Iateway )I/IG). Sebagai catatan, dulu hanya ada 2 I/IG yakni milik Indosat dan Satelindo, setelah kedua perusahaan ini merger, kemudian ada I/IG milik Telkom, dan beberapa Network Accesss Provider (sekarang ada 8 NAP) dan berikutnya beberapa ISP-pun mulai beli bandwidth langsung ke HongKong, US atau Taiwan. dan hebatnya, di BAndung dan Jogja sekumpulan Warnet juga tak mau ketinggalan, mereka membeli bandwith langsung dari Luar Negeri, tanpa ada kontrol dari Pemerintah :-(((((((
beberapa teman seperti ICT Watch - www.ictwacth.com merintis eduksi Internet sehat, sebelumnya saya dalam kapsitas sebagai Country Coordinator Global Internet Policy Initiative (GIPI) - www.internetpolicy.net juga sudah memperingatkan pentingnya semua pihak yang terkait dengan Internet memperhatikan dampak negatif Internet seperti Fraud, Carding, Virus, Cyber-pornograhpy, Spam, dlsb.
Sayangnya langkah pemerintah masih jauh di belakang. Selain belum memiliki UU yang khusus (lex Specialist) mengatur masalah Internet, juga aparat penegak hukum yang belum teredukasi dengan seksama, dan masih minimnya peralatan investigasi yang diperlukan polisi dalam mengungkap kasus cyberpornography, carding, cracking, dlsb.
Mas WIgrantoro Roes Setiyadi
Rempoa, 3 Januari 2005
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.