Selama dua dekade terakhir perusahaan dihadapkan pada keharusan untuk berhadapan dengan sejumlah ketentuan baru. Perusahaan dituntut cepat tanggap terhadap persaingan dan perubahan pasar. Upaya menjadi terunggul dalam industri melalui peningkatan kompetensi menjadi keniscayaan yang tak dapat dielakkan bila masih ingin tetap eksis. Manajer dituntut untuk dapat memilih dan memilah berbagai konsepsi strategi yang ditawarkan. Suatu konsepsi yang setelah diimplementasikan memberi hasil optimal pada suatu masa, harus dikaji ulang ketika konteks persaingan berubah. Sebagai contoh, konsepsi Strategic Positioning – pernah menjadi acuan utama bagi kalangan bisnis – menjadi kurang relevan ketika pasar berubah dinamis dan teknologi memungkinkan pesaing untuk meniru keunggulan yang dimiliki. Keunggulan menjadi bersifat sementara, dan resiko menghilang menjadi lebih besar. Sementara itu, regulasi cenderung menghilangkan hambatan persaingan, dan semakin banyak perusahaan yang berusaha keras menjadi ramping dan lebih cekatan. Hasilnya, pasar global tak terelakkan dan kompetisi pada setiap lini industri sangat kuat (hypercompetition). Pertanyaannya, mengapa demikian banyak perusahaan gagal memiliki strategi? Mengapa manajer menghindar dari membuat pilihan strategi? Atau, meski sudah berhasil membangun strategi, tetapi mengapa seringkali membiarkannya menjadi kabur dan kehilangan daya manfaat.
Selain ancaman dari luar yang disebabkan perubahan teknologi, preferensi pasar dan perilaku persaingan, ancaman terbesar justru berasal dari lingkungan internal perusahaan. Akar persoalan, menurut Porter terletak pada kegagalan manajer membedakan antara strategi dan efektivitas operasional. Upaya menghasilkan produktivitas, kualitas, dan daya tanggap telah menelorkan perangkat dan teknik manajemen yang terkenal seperti: TQM, benchmarking, time-based competition, outsourcing, partnering, reengineering, change management, dan lain sebagainya. Namun demikian, meskipun semuanya itu berdampak pada peningkatan kinerja secara dramatis, banyak perusahaan yang tidak mampu mengubah kinerja unggul tadi menjadi kemampuan menghasilkan laba yang menjamin kelangsungan hidup (sustainable profitability). Lambat laun manajer terjebak pada mengutak – atik teknik manajemen saja, sementara mereka justru tidak memperhatikan strategi. Teknik – teknik manajemen diperlukan untuk memperbaiki efektivitas operasional, tetapi hal ini tidak mencukupi, masih diperlukan strategi guna meraih keunggulan dalam jangka panjang.
Perusahaan dapat mengungguli pesaing – pesaingnya hanya jika mampu menjadikan dirinya berbeda melalui: memberikan value kepada pelanggan lebih besar dari yang dapat dilakukan pesaing, dan menciptakan comparable value dengan biaya yang lebih rendah. Langkah pertama memberi peluang kepada perusahaan untuk menentukan harga lebih tinggi, sementara tindakan kedua menghasilkan efisiensi. Kedua aktivitas di atas, secara umum menggambarkan strategi dasar dalam mengelola berbagai aktivitas internal perusahaan agar selalu lebih baik dari pesaing. Hal ini berbeda dengan konsep strategic positioning, yang dimaknai sebagai melakukan berbagai aktivitas yang berbeda dari pesaing, atau melakukan aktivitas yang sama dengan cara yang berbeda. Guna mengetahui seberapa maksimum perusahaan mengelola operasionalnya secara efektif dalam menghasilkan produk dan atau jasa menggunakan teknologi, ketrampilan, teknik manajemen, dan input lainya Porter menawarkan konsep Productivity Frontier, yakni situasi yang menunjukkan praktek terbaik (state of best practice).
Memilih atau membangun strategi yang tepat bagi perusahaan pada suatu periode waktu menjadi kata kunci yang harus dijawab oleh manajer. Beberapa pertanyaan dapat digunakan untuk membantu manajer dalam memilih konsepsi strategi: Diantara berbagai produk dan jasa yang ditawarkan, mana yang paling khusus (distinctive), mana yang memberikan keuntungan paling tinggi; siapa di antara pelanggan yang paling puas; pelanggan atau distributor atau event mana yang memberikan keuntungan tertinggi; dan aktivitas apa di dalam rantai nilai (value chain) perusahaan yang paling berbeda dan paling efektif. Selain pertanyaan panduan tersebut di atas, masih ada hal lain yang perlu menjadi pertimbangan. Pilihan strategi pertumbuhan cenderung mendorong manajer menjadi kompromis dan inkonsisten. Jika ini berlangsung terus, keunggulan yang dimiliki dapat terkikis, timbul kebingungan di tingkat pelaksana dan memperlemah motivasi organisasi. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Di antara tarik – menarik berbagai kepentingan untuk memilih strategi yang tepat, diperlukan kerangka pemikiran yang dapat memberikan arahan bagi pembangunan strategi perusahaan.
Strategi perusahaan disesuaikan dengan ukuran dan karakter perusahaan. Pada perusahaan yang telah melakukan diversifikasi bisnis, pada umumnya memiliki dua tingkatan strategi: strategi unit bisnis atau sering disebut sebagai competitive strategy yang menitik-beratkan pada upaya membangun keunggulan pada setiap bidang usaha yang digeluti perusahaan, dan strategi korporasi yang menentukan berbagai bisnis yang akan diusahakan termasuk pengelolaan keseluruhan portofolio bisnis perusahaan tersebut. Setiap strategi korporasi yang sukses menyokong sejumlah dasar pemikiran baru. Hal ini merupakan fakta hidup tentang diversifikasi. Fakta ini tidak dapat diubah, dan bila tidak diindahkan akan menjelaskan mengapa strategi korporasi mengalami kegagalan.
Pertama, kompetisi terjadi pada level unit bisnis. Perusahaan induk (yang melakukan diversifikasi) tidak terlibat langsung dalam persaingan. Strategi korporasi berpeluang sukses jika memberi perhatian utama pada pemeliharaan keunggulan tiap – tiap unit bisnis. Kedua, tidak dapat dihindarkan diversifikasi akan menambah biaya dan hambatan bagi unit bisnis yang sudah ada. Hambatan tak terlihat dan biaya tersembunyi (hidden costs) yang dibebankan kepada unit bisnis, meski tidak semuanya dapat dihilangkan, namun secara terencana harus dikurangi. Ketiga, pemegang saham (share holders) memiliki kesiapan untuk melakukan diversifikasi sendiri dengan memilih protofolio bisnis yang resiko dan return-nya sesuai dengan preferensi mereka. Hal ini menandakan strategi korporasi tidak dapat sukses kecuali ia dapat memberikan tambahan nilai bagi shareholders, dan industri di mana unit bisnis baru yang dibentuk memiliki struktur yang mendukung dihasilkannya return yang lebih tinggi dari biaya modal.
Paragraf di atas menjelaskan mengapa suatu industri menarik (attractive) atau sebaliknya tidak menjanjikan return bagi investasi. Selain itu, total biaya masuk (cost-of-entry) ke suatu industri harus lebih rendah dari potensi keuntungan periode mendatang. Pertimbangan lain dalam strategi korporasi adalah apakah unit bisnis baru dapat menghasilkan keunggulan bersaing dari hubungannya dengan unit – unit bisnis lain atau dengan induk perusahaan. Lebih lanjut, Porter menguraikan emapt konsep strategi korporasi yang telah banyak diaplikasikan: portfolio management, restructuring, transferring skills, dan sharing activities. Portfolio management mendasarkan pada sejumlah asumsi vital. Diversifikasi dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti akuisisi, merger, atau membangun unit bisnis baru (greenfield company). Jika alasan diversifikasi untuk masuk ke industri yang masih memiliki daya tarik dan cost-of-entry-nya rendah, maka strategi yang tepat adalah mengakuisisi perusahaan yang baik tetapi undervalued.
Sebaliknya, melalui strategi restructuring, perusahaan korporasi mencari perusahaan yang tidak terlalu maju (undeveloped), sedang sakit, atau yang sedang menghadapi kesulitan akibat perubahan lingkungan bisnis yang tidak dapat diatasi. Perusahaan induk melakukan intervensi dengan mengubah tim manajemen, mengubah strategi bisnis, memasukkan (infused) teknologi baru, atau menjual/menutup unit – unit yang tidak efisien atau yang tidak terkait langsung dengan kompetensi inti unit bisnis terkait. Dalam transferring skills, terjadi sinergi dan proses aktif untuk mengubah strategi atau operasional unit bisnis. Prospek perubahan dalam unit bisnis sebagai sasaran transfer ketrampilan harus spesifik dan dapat dikenali, serta melibatkan semua aktivitas yang secara signifikan mendukung terwujudnya keunggulan bersaing. Hampir mirip dengan transferring skills, dalam sharing activities antar - unit bisnis menggunakan beberapa sumber daya dalam value chain secara bersama.
Pada tataran global, variabel penentu keunggulan bersaing sangat berbeda dari persaingan domestik. Untuk dapat sukses di arena bisnis global, pertama perusahaan perlu mengubah diri menjadi pelaku usaha internasional (multidomestic competitor), yang memungkinkan anak – anak perusahaan (subsidiaries) dapat bersaing secara independen di berbagai pasar domestik. Selanjutnya, perusahaan induk berevolusi menjadi organisasi global (global competitor) yang mampu mengadu seluruh system produk dan posisi pasarnya melawan berbagai global lainnya. Tantangan bagi global competitor adalah membangun dan sekaligus menerapkan strategi korporasi yang dilandasi oleh pemikiran: inovasi stratejik apa yang perlu terus diupayakan sehingga perusahaan memiliki keungulan global; apakah merupakan langkah yang tepat untuk mempertahankan keunggulan dan strategi global yang ada; dan sumber daya apa sajakah – dalam jangka panjang – yang akan diperlukan untuk mencapai dan memantapkan posisi terbaik. Pelajaran yang dapat dipetik dari sukses pemain global menunjukkan pada umumnya mereka mengubah dinamika industri dan menarik diri dari pesaing utama.
Strategi untuk memenangi bisnis global menjadi kebutuhan baru. Strategi global, demikian kita sebut, melibatkan pengerahan dan pengelolaan sumber daya yang tersebar di berbagai negara, memerlukan perhitungan skala ekonomi yang menuntut perusahaan untuk mampu berasimilasi dengan berbagai lingkungan domestik sementara harus secara konsisten menerapkan standar atau prosedur global. Terlihat di sini, orientasi global menjadi sangat menonjol, namun demikian manajer perlu memperhatikan fenomena global paradok. Walau bagaimana-pun lokasi di mana perusahaan beroperasi atau dikendalikan masih menempati peran krusial dalam membangun keunggulan bersaing. Global paradox disebabkan oleh adanya perbedaaan kondisi ekonomi di suatu negara, atau antar wilayah di dalam satu negara. Kondisi ekonomi ini nampak terlihat pada tersedia atau tidaknya industri pendukung. Hal lain yang menyumbang global paradox terletak pada preferensi atau pilihan dalam menetapkan home base, banyak perusahaan yang sudah beroperasi global namun tetap memilih negara tertentu sebagai home base-nya, meski keberadaan home base di negara tersebut tidak selalu menguntungkan.
Guna terhindar dari global paradok, manajer global perlu mengenali kerangka umum strategi global. Porter mengemukakan perluasan penerapan konsep rantai nilai (value chain) sebagai dasar dari strategi global. Yang membedakan dari penerapam value chain paa perusahaan non-global adalah pada diperlukannya kemampuan untuk melakukan konfigurasi yang mencakup lokasi dimana elemen rantai nilai tersebut dioperasionalkan, koordinasi semua aktivitas unit bisnis yang tersebar di berbagai negara tersebut dalam suatu kendali, sehingga margin atau value (what buyers are willing to pay) tercapai.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.