Pengantar
Industri jasa telekomunikasi terus mengalami evolusi. Banyak perubahan besar diawali oleh berbagai hal seperti: munculnya teknologi baru, pergantian regim politik, dinamika sosial masyarakat, desakan perluasan atau perubahan preferensi pasar. Dinamika lingkungan eksternal dan internal yang dialami entitas bisnis telekomunikasi pada akhirnya menuntut manajemen dan seluruh personalia untuk mengelola perusahaan secara benar (good governance). Namun, seiring era transformasi pasar monopoli menjadi pasar kompetitif yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1999, upaya good governance-pun belum cukup untuk memastikan bahwa perusahaan akan selalu tumbuh dan mencapai sasaran yang diinginkan. Diperlukan strategi perusahaan yang mampu membangkitkan kreatifitas dan inovasi di kalangan internal perusahaan.
Munculnya teknologi selular mengubah kemapanan yang telah lama dinikmati oleh Public Switch Telephone Network (PSTN). Jika semula majoritas layanan telekomunikasi hanya untuk suara saja, teknologi selular menawarkan berbagai layanan baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Bila pada PSTN kreativitas dan inovasi layanan telekomunikasi dibatasi oleh kemampuan teknologi, konvergensi komputer dan teknologi selular memungkinkan berbagai layanan baru, hambatannya hanyalah kemampuan manusia pengelolanya untuk berkreasi dan inovasi mengubah proses atau membuat produk layanan baru.
Di sisi lain, persaingan jasa telekomunikasi sudah semakin tajam, jumlah operator telekomunikasi bertambah banyak, sementara laju pertumbuhan pelanggan baru khususnya di daerah perkotaan sudah mulai menunjukkan grafik mendatar. Melambatnya laju pertumbuhan pelanggan baru tidak saja disebabkan karena segmen utama sasaran pasar sudah terpenuhi, tetapi juga diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti: adanya regulasi baru yang mengharuskan pengguna pre-paid harus didaftar identitasnya; kondisi ekonomi menyusul kenaikan BBM, yang tidak mendukung bertambahnya belanja sekunder; dan keterbatasan daya jangkau operator khususnya di daerah – daerah yang dianggap belum ekonomis untuk dilayani. Persoalan bertambah susah ketika mereka yang sudah menjadi pelanggan tidak “produktif” dalam bertelekomunikasi sehingga pertumbuhan pendapatan juga tidak terlalu tajam.
Menyimak beberapa hal tersebut di atas, kiranya manajemen operator telekomunikasi perlu melengkapi strategi bisnis yang sudah ada dengan strategi inovasi.
Q&A
Q. Bagaimana gambaran bisnis telekomunikasi di Indonesia tahun 2005?
A. Secara umum selama Januari hingga Desember 2005 ini tidak ada peristiwa besar di sektor bisnis telekomunikasi Indonesia. Saya membatasi pengamatan pada industri jasa telekomunikasi dan tidak memasukkan bisnis Internet, dan komunikasi data. Awal tahun 2005 kita diliputi dengan berita pengalihan saham dua operator 3G yang kemudian memunculkan serangkaian komentar pro dan kon. Pemerintah bereaksi dengan mengeluarkan statemen yang terus berubah dari keras hingga melunak, sehingga sebagian pihak berangapan pemerintah tidak konsisten. Bagi Pemerintah, pelajaran yang dapat dipetik dari kasus 3G menurut hemat saya adalah perlunya segera menetapkan kembali roadmap atau cetak biru telekomunikasi, apakah akan mengejar ketertinggalan teledensity atau mengumpulkan PNBP guna memenuhi target setoran ke kas negara.
Perubahan kebijakan terus dilakukan pemerintah. Namun demikian perubahan kebijakan dan regulasi ini dampaknya berbeda dari satu operator dengan operator lainnya. Bagi operator lama dan besar, meskipun regulasi tadi menuntut adanya perubahan di internal, namun dengan statusnya sebagai BUMN digunakan untuk memperkuat posisi tawar, sehingga proses perubahan sebagaimana diamanatkan oleh regulasi baru dapat diperlambat sesuai keinginan mereka. Tidak demikian halnya dengan operator kecil dan atau baru. Dengan posisinya sebagai pesaing (atau calon pesaing), dalam hal tertentu membuat sulit untuk dapat memperoleh akses ke dan dari operator lama. Sebagaimana kita tahu manfaat sosial ekonomi jaringan telekomunikasi akan semakin besar ketika anggota suatu jaringan dapat terhubung dengan anggota dari semua jaringan yang ada (interkoneksi).
Dari sisi pertumbuhan jumlah pelanggan baru-pun angka pertumbuhan rata – rata diduga hanya sekitar 8%, sementara investasi jaringan diduga bertambah sekitar 12%. Jika angka ini benar, berarti terjadi ketidak sinkronan antara pertumbuhan investasi dan pelanggan baru. Selama 2005 juga ditandai dengan tidak adanya ijin baru yang diberikan kepada operator telekomunikasi. Yang pasti, wacana 3G yang menghangat di paruh pertama tahun 2005, gaungnya makin berkurang pada akhir tahun. Justru yang produktif selama tahun 2005 adalah regulator, tercatat setidaknya 25 peraturan baru diterbitkan dan sebagian besar mengenai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi.
Barangkali yang masih dapat dicatat adalah peluncuran satelit Telkom-2 untuk menggantikan satelit B-2 nya Telkom yang sudah habis masa layanannya.
Q: Kalau melihat gambaran tahun 2005 seperti tadi, bagaimana kira – kira proyeksi MasWig tentang bisnis telekomunikasi 2006?
A: Kalau ditanya proyeksi, saya akan meniru pakar ekonomi yang selalu menggunakan asumsi dalam memproyeksikan kecenderungan – kecenderungan di masa mendatang. Teorinya, maju mundurnya bisnis telekomunikasi ditentukan oleh empat hal: ketersediaan dana, adopsi teknologi, regulasi yang mendukung, dan kapasitas/kemampuan manajemen. Dengan asumsi ada peningkatan kestabilan keamanan, dukungan regulasi dan kebijakan investasi, dan kepastian hukum saya memprediksi aliran investasi asing maupun lokal masih tetap akan meningkat. Saya mengamati, selama tahun 2005 ini ada sejumlah besar tambahan investasi dari luar negeri untuk sektor telekomunikasi mengalami hambatan masuk karena faktor ketidak – konsistenan perijinan. Adapun potensi dana domestik untuk sektor telekomunikasi sebetulnya juga besar, persoalannya model industri dan rejim perijinan masih dianggap sebagai kendala besar bagi investor domestik yang berminat berbisnis di layanan akses Internet atau menjadi mitra operator untuk membangun jaringan dengan pola bagi hasil.
Dari sisi adopsi teknologi, Indonesia dapat dikatakan sebagai quick adopters, sebagai contoh, dalam mengadopsi teknologi WIFI, menurut pakar telekomunikasi dari India (mantan Direktur ITU) Indonesia tergolong paling cepat dan paling besar di kawasan Asia tenggara. Teknologi WIMAX yang masih diperdebatkan standarnya-pun sudah ada calon operator yang siap mengoperasikannya. Demikian halnya dengan teknologi – teknologi telekomunikasi lainnya seperti CDMA, 3G, IPv6, OFDM, setiap perkembangan baru, dalam waktu tidak terlalu lama kita sudah dapat menikmatinya. Persoalan dengan adopsi teknologi di Indonesia salah satunya adalah kenyataan Indonesia bukan sebagai penemu dan atau produsen teknologi, hanya sebagai pengguna, sehingga ketergantungan terhadap vendor tinggi sekali, dan proporsi terbesar dari investasi teknologi telekomunikasi mengalir kembali ke luar negeri.
Dampak regulasi terhadap kinerja perusahaan telekomunikasi tergolong besar. Jika melihat semangat dari Menteri dan Dirjen Postel kemungkinan besar perubahan – perubahan kebijakan akan terus berlangsung. Persoalannya kebijakan perubahan ini sebetulnya juga menuntut terjadinya perubahan paradigma, perilaku aparat pemerintah dan yang terpenting perubahan manajemen pemerintahan. Kemaren dalam acara Sosialisasi Regulasi Postel yang diikuti oleh segenap jajaran Postel saya menuntut perubahan di internal instansi pemerintah. Jangan hanya dapat membuat kebijakan yang mengharuskan operator untuk berubah, tetapi aparat dan manajemen pemerintah tidak berubah. Persoalan besar lain yang membuat saya terus harap – harap cemas adalah konsistensi ucapan dan tindakan pejabat tinggi jajaran Departemen Kominfo. Jika akhirnya mereka terkontaminasi oleh intervensi kepentingan politik atau kepentingan bisnis tertentu yang hanya menguntungkan segelintir kelompok saja, maka bangunan yang sudah dirintis bersama – sama akan runtuh kembali.
Tahun 2005 juga ditandai dengan berakhirnya masa kerja Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2003 – 05. Minggu lalu pemerintah mengumumkan rekrutmen anggota BRTI baru untuk periode 2006 – 2008. Bila tidak ada perubahan mendasar pada BRTI khususnya mengenai fungsi, kedudukan, dan kewenangan dalam membuat dan melaksanakan regulasi, maka dapat diperkirakan kebijakan telekomuniasi akan masih tetap didominasi oleh kepentingan pemerintah.
Q: Anda tadi sebutkan juga kapasitas dan kemampuan manajemen berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, rasanya kita semua sepakat dengan hal tersebut. Persoalannya, dalam suasana kompetisi yang semakin ketat, sementara derajat ketidak-pastian masih relatif tinggi kemampuan yang bagaimana yang sebaiknya dimiliki oleh manajemen perusahaan telekomunikasi?
A: Ini pertanyaan menarik dan menantang. Menarik karena pada umumnya sebagian besar eksekutif telekomunikasi memiliki jam terbang yang cukup lama di sektor ini, dan dari data yang saya miliki belum ada satupun perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang harus ditutup karena merugi yang disebabkan salah urus. Jika-pun ada beberapa yang di-merger, lebih karena kesamaan nasib akibat pendeknya siklus hidup teknologi yang semula mereka pilih. Ini artinya, tingkat keberhasilan eksekutif telekomunikasi di Indonesia tergolong tinggi.
Menjadi menantang karena perkembangan bisnis membawa perubahan pula pada perubahan ukuran keberhasilan eksekutif. Keberhasilan di masa lalu dengan suatu strategi bisnis, bukan jaminan akan mengalami sukses serupa di masa depan. Artinya, eksekutif masih dituntut untuk selalu waspada terhadap dinamika eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Kewaspadaan ini-pun belum cukup, masih dibutuhkan kemampuan untuk dapat bertindak secara antisipatif, pro-aktif maupun reaktif menanggapi dinamika lingkungan persaingan.
Q: Kemampuan antisipatif, pro-aktif dan reaktif, contoh kongkritnya apa?
A: Kemampuan antisipatif adalah kemampuan untuk memperkirakan apa saja yang kemungkinan besar akan terjadi dalam jangka waktu relatif lama sehubungan dengan gejala – gejala yang muncul pada saat sekarang. Dengan kemampuan antisipatif ini eksekutif perusahaan dapat merencanakan aktivitas yang akan diperlukan untuk mengurangi potensi rugi atau memperbesar peluang sukses. Kemampuan semacam ini bukan diperoleh dari mistik atau supranatural, ia dapat dibangun dari dimiliki dan berfungsinya sistem informasi intelligent atau kemampuan membangun jaringan sosial. Sebagai contoh, mengantisipasi munculnya WIMAX, dengan memperhatikan keunggulan dan kompatibilitas WIMAX terhadap infrastruktur GSM atau 3G yang dalam kemampuannya membawa trafik dengan protokol IP, sementara investasinya jauh lebih muah dari GSM dan 3G, maka strategi antisipatifnya adalah menjajagi kemungkinan penambahan perijinan WIMAX atau kerjasama dengan mereka yang akan menjadi operator WIMAX.
Kemampuan proaktif adalah kemampuan untuk selalu mengawali munculnya isu atau produk tertentu sebelum orang lain bahkan memikirkannya atau menemukan solusi atas suatu persoalan yang diperkirakan akan muncul. Kemampuan proaktif dapat mempengaruhi proses dan luaran (outcome) dari suatu diskursus publik. Contoh yang aktual untuk menggambarkan kemampuan proaktif adalah ketika suatu operator memperluas cakupan lokal menjadi satu pulau sebelum operator lain melakukannya. Dalam kasus ini operator tersebut menjadi first mover dan lainnya menjadi reaktif (followers).
Kemampuan antisipatif dan proaktif mengandung sifat kreatif dan inovatif. Ini berbeda dengan kemapuan reaktif yang hanya merespon terhadap persoalan yang sudah muncul, pada umumnya bersifat perbaikan (korektif) atau dalam konteks tertentu – seperti misalnya regulasi – hanya menaatinya saja.
Q: Anda menyebut inovasi, apakah yang dapat dilakukan operator telekomunikasi dengan inovasi terutama jika dikaitkan dengan makin tajamnya persaingan dan makin ketatnya regulasi?
A: Beberapa literatur yang saya pelajari menyebutkan bahwa inovasi yang dikelola dalam suatu strategi inovasi berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. Studi Terziovski (2002) membuktikan inovasi meningkatkan kepuasan pelangan, produktivitas, dan daya saing teknologi. Dikaitkan dengan konsep Balanced Score Card-nya Norton dan Kaplan, yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan akan memudahkan tercapainya sasaran finansial dan oleh karenanya menjamin kelangsungan hidup perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa inovasi merupakan suatu hal yang sangat penting dan oleh karenanya perlu dikelola dengan baik.
Saya menganjurkan kepada semua operator telekomunikasi untuk membentuk strategi inovasi guna melengkapi strategi bisnis yang sudah ada. Wujud strategi inovasi yang saya maksud, tentunya dipengaruhi oleh faktor – faktor internal dan eksternal perusahaan seperti struktur, jangkuan pelayanan, rentang kendali, ukuran/skala bisnis, usia organisasi,
budaya, pola hubungan antar-individu atau kelompok, ada – tidaknya kebijakan tentang penghormatan terhadap hak cipta, prosedur manajemen, model bisnis, dan adopsi teknologi khususnya teknologi informasi. Kombinasi semua faktor tersebut memberi peluang kepada manajemen untuk menentukan orientasi inovasi, apakah menitik-beratkan pada peningkatan nilai (value) kepada stakeholders, perubahan rantai supply (supply chain), mengubah sasaran atau preferensi pasar/pelangan, mengubah produk atau jasa, mengubah atau meningkatkan proses produksi atau proses operasional organisasi, atau meningkatkan efisiensi pemanfaatan teknologi.
Q: Kalau tidak salah, tadi MasWig menyebut ada enam orientasi inovasi, lalu bagaimana para manajer operator telekomunikasi dapat memulai suatu strategi inovasi?
A: Sebelumnya saya ingatkan terlebih dahulu, tidak ada jaminan bahwa strategi inovasi yang berhasil diterapkan di suatu perusahaan, akan membuahkan hasil serupa bila diterapkan di perusahaan lain, bahkan di unit berbeda dalam perusahaan yang sama. Artinya, strategi inovasi sangat unik dan menuntut partisipasi semua pihak, bukan hanya para eksekutifnya saja. Davila, Epstein dan Shelton dalam bukunya “Making Innovation Work” terbitan Juli 2005 dan beberapa literatur lain yang terbit sebelumnya menyebutkan ada tiga type inovasi dikaitkan dengan implementasinya: Incremental, Semi-radikal (integrated) dan Radikal. Incremental mengacu pada peningkatan dalam skala kecil atas produk dan atau proses, yang dilakukan secara kontinyu. Inovasi radikal dilakukan bila hasil yang diinginkan berbeda sama sekali dengan yang sudah dicapai sebelumnya. Perubahan model bisnis dan implementasi teknologi baru dapat digunakan guna mendukung strategi inovasi radikal. Di antara incremental dan radikal ada strategi semi radikal yang diterapkan bila teknologinya baru tetapi model bisnisnya tidak berubah atau sebaliknya model bisnisnya baru tetapi teknologinya masih yang lama.
Apapun orientasi ataupun strategi yang dipilih yang penting dan oleh karenanya perlu diperhatikan adalah manajemen perlu menerapkan pengukuran terhadap kinerja dari implementasi strategi inovasi ini. Hal ini penting untuk mengetahui apakah inovasi yang dilakukan berhasil atau belum membawa perubahan.
Q: Wah menarik juga strategi inovasi ini ya…. Kembali ke bisnis telekomunikasi, dari pengamatan MasWig apakah sudah ada operator telekomunikasi yang menerapkan strategi inovasi secara sinergis dengan strategi bisnis?
A: Keterbatasan informasi internal terutama yang berkenaan dengan strategi perusahaan dapat menyebabkan jawaban saya kurang akurat, untuk itu sebelumnya saya mohon maaf. Tanggapan atas pertanyaan Pak BT hanya didasari oleh pengamatan luar dari apa yang terlihat, tersaji di situs Internet atau keluar dari bincang – bincang dengan para eksekutif telekomunikasi.
Kesimpulan saya, memang banyak terjadi perubahan – perubahan kecil sedang dan besar yang berkaitan dengan penambahan jumlah produk, peningkatan kualitas produk, atau perubahan proses yang terjadi pada operator telekomunikasi, namun hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi bisnis, belum dilakukan sebagai suatu implementasi dari strategi inovasi. Lebih banyak yang bersifat reaktif ketimbang proaktif, apalagi antisipatif.
Q: Berhubung keterbatasan waktu, rupanya kita harus akhiri diskusi kita, namun sebelum itu, apa ada pesan dan saran yang ingin MasWig sampaikan?A: Terima kasih Pak. Singkat saja, perusahaan yang reaktif adalah perusahaan biasa, sementara perusahaan yang pro-aktif menikmati benefit jangka pendek namun diragukan dalam jangka panjang, perusahaan antisipatif membentuk keunggulan jangka panjang melalui inovasi yang terencana dan belum dlakukan orang lain. Di tengah persaingan yang semakin tajam, inovasi menjadi semacam menu harian yang apabila ditinggalkan akan mendekatkan perusahaan pada kematian. Salam.
Assalamu'alaikum.Wr.Wb
ReplyDeleteSalam Kenal mas WIg,
wah saya dapat ilmu baru di sini...kebetulan saya juga sedikit paham tentang BRTI,POSTEL,Balai Uji ....saya tunggu tulian2 berikutnya mas....
salam hangat.
Wassalam....
Umbul N