Salah satu realita yang harus dihadapi Indonesia dalam mengadopsi WiMax adalah persoalan alokasi frekuensi dan penetapan siapa yang layak menjadi operatornya. Artikel kali ini akan menyoal bagaimana sebaiknya Pemerintah dalam mengatur penggunaan WIMAX menyusul desakan sejumlah kalangan agar segera diterbitkan kebijakan tentang penggunaan WIMAX. Pertanyaannya, perlukah Regulator Telekomunikasi secara khusus mengatur penggunaan WIMAX?
Persoalan pertama, yang harus mendapat perhatian adalah perlu adanya regulasi yang mengatur tentang batasan wilayah (zoning) dan perencanaan alokasi frekuensi. Jika kelak WIMAX mulai digunakan secara massal, perubahan menyolok yang akan tampak adalah munculnya antenna piringan (dish antenna) di atap atau di sisi gedung perkantoran, di atap rumah tinggal atau di mana saja yang memungkinkan diperolehnya sinyal terbaik untuk menangkap dan mengirim gelombang elektromagnet pada frekuensi kerjanya. Penggunaan piringan antenna dalam ukuran mini sudah lazim di Indonesia, khususnya sejak diizinkannya layanan siaran langsung melalui satelit (Direct Broadcasting Services / DBS). Tidak banyak menimbulkan masalah karena antenna piringan tersebut digunakan hanya untuk menerima sinyal dari satelit. Antenna WIMAX sebaliknya, selain untuk menerima juga untuk mengirim sinyal, persis seperti antenna untuk layanan Very Small Apperture Terminal (VSAT). Persoalan yang diperkirakan akan muncul adalah interferensi antar pesawat WIMAX yang phisiknya terpasang berdekatan, atau pola sinyalnya (signal pattern) bersimpangan (cross interference). Belajar dari dampak pengaturan pita frekuensi 2.4 GHz yang dialokasikan untuk akses Internet tanpa harus memperoleh ijin khusus, jika kelak penyelenggaraan WIMAX ditetapkan dengan izin, namun tidak disertai dengan kebijakan batasan wilayah diramalkan kekacauan sebagaimana terjadi pada pita frekuensi 2.4 GHz akan dialami oleh pengguna WIMAX.
Persoalan kedua, berkenaan dengan standar. Guna memperoleh efisiensi global dalam pemanfaatan WIMAX dibuatlah standar yang menetapkan berbagai hal sebagai acuan, seperti protokol komunikasi, pola sinyal, frekuensi kerja, lebar pita (bandwidth), format data, modulasi, dan lain sebagainya. Standar ini sedang dibangun oleh sebuah kelompok kerja internasional yang menyebut dirinya sebagai WIMAX Forum. Konon ada beberapa perusahaan Indonesia yang ikut menjadi anggota forum ini, namun dari pengamatan keanggotaan mereka pada umumnya bersifat pasif, lebih banyak sebagai pendengar dari pada proaktif mengusulkan ini-itu yang kelak menguntungkan Indonesia. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), menurut informasi yang penulis terima, tidak atau belum menjadi anggota WIMAX Forum.
Tidak atau belum menjadi anggota, atau sudah menjadi anggota namun pasif saja sebetulnya tidaklah menjadi persoalan benar bagi Republik ini. Yang menjadi persoalan adalah bila BRTI, karena desakan vendor dan calon operator WIMAX, tergesa – gesa menetapkan kebijakan penggunaan WIMAX sementara standar internasional belum terbit. Ada resiko, bila ternyata kebijakan tadi tidak sejalan dengan standar internasional maka masyarakat Indonesia, khususnya calon pengguna WIMAX harus menanggung biaya tinggi, karena mereka harus membeli perangkat WIMAX dengan spesifikasi khusus sesuai standar nasional yang telah ditetapkan oleh BRTI. Sialnya, vendor akan menawarkan harga yang lebih tinggi untuk dapat menyediakan perangkat dengan spesifikasi khusus. Sebagai perbandingan, Korea dan Jepang tidak perlu menunggu terbitnya standar internasional untuk mulai memanfaatkan WIMAX. Korea bahkan membuat standar sendiri yang disebutnya WiBro, dan Jepang menetapkan pita frekuensi 4.9 GHz sebagai frekuensi kerja WIMAX di negara tersebut. Kedua negara ini tidak memperoleh masalah karena mereka mampu membangun perangkat sendiri, sementara pasar wireless broadband mereka tergolong sudah besar. Indonesia? Kita semua tahu, Indonesia bukan negara pembuat teknologi WIMAX.
Yang menjadi pertayaan, haruskah kita menunggu hingga standar 802.16d (fixed) dan 802.16e (mobile) terbit? Jika jawabnya YA, tentu vendor dan calon operator WIMAX akan bersungut – sungut karena mereka harus menanti setidaknya dua tahun lagi untuk layanan fixed dan lima tahun lagi untuk layanan mobile. Padahal, peluang bisnis yang menguntungkan sudah harus mereka wujudkan kalau perlu sejak awal tahun 2005 ini. Apa yang dapat dikerjakan BRTI agar kepentingan vendor dan calon operator terakomodasikan? Jawabnya sederhana, kembali saja kepada prinsip kebijakan netral teknologi (neutral technology policy).
Kebijakan netral teknologi mengacu pada prinsip pengaturan sumber daya ekonomi secara netral tanpa mengindahkan betapapun canggihnya suatu teknologi tertentu telah tersedia dan dimiliki oleh kalangan tertentu untuk memanfaatkan (utilize) sumber daya ekonomi tersebut. Dalam prinsip ini kebijakan harus mengacu pada azas perlakuan yang sama, keadilan, dan manfaat. Dengan demikian yang menjadi pokok pengaturan adalah aspek generik yang melandasai semua teknologi terapan di atasnya. Aspek generik tadi dapat juga berupa teknologi, namun sudah dipakai sebagai basis bersama oleh berbagai produk teknologi. Dalam hubungan ini WIMAX berdiri di atas teknologi nirkabel, sama seperti GSM, CDMA dan 3G. Teknologi nirkabel menjadi generik, dan oleh karena itu sebaiknya BRTI memfokuskan pada pengaturan nirkabel saja beserta dampak ikutannya seperti alokasi dan penetapan penggunaan frekuensi. Kecenderungan yang terlihat akhir – akhir ini, BRTI dalam membuat kebijakannya menjadi tidak netral. Hal ini terlihat dari sibuknya membebaskan pita IMT-2000 yang akan dialokasikan untuk layanan berbasis WCDMA atau 3G.
Kembali ke persoalan standar, mengacu pada tren teknologi wireless yang siklus hidupnya makin cepat, penetapan pita frekuensi untuk teknologi tertentu memiliki resiko kadaluwarsa (obsolescence) yang makin cepat pula. Kebijakan yang tepat adalah unified licensing, yakni memberikan izin penggunaan suatu pita frekuensi kepada operator jaringan telekomunikasi untuk digunakan layanan apa saja, tanpa melihat teknologi yang akan digunakan, sepanjang tidak menimbulkan gangguan terhadap operator lain. Jika kebijakan unified licensing ini dipercepat, kelihatannya vendor dan calon operator WIMAX tidak perlu harus menunggu lama sampai mereka benar – benar membuktikan apakah layanan WIMAX ini menguntungkan atau sekedar janji tanpa bukti.*****
Wimax, akankah membunuh 3G? HIngga sampai 2006 ini belum terdengar gaungny.
ReplyDeleteAdakah daerah di Indonesia yang sudah mendapat barokah untuk merealisasikanny, ya...........
Dimanakah, biar saya bisa ikut studi banding........
GImana PJN Bosss??? kok bisa bisanya masuk perusahaan yg ngurus Skandal Korupsi Tingkat Tinggi alias SKTT???
ReplyDelete