Diskursus Worldwide Inter-operability for Microwave Access (Wimax) sudah cukup lama berlangsung, namun sampai sekarang belum jua kunjung ada titik terang, apakah Indonesia jadi menerapkan teknologi komunikasi tersebut. Menyimak catatan, awal tahun 2000 muncul pertama kali isu Wimax, lambat tetapi pasti mulai merebak terutama setelah terbentuknya Forum Wimax di aras internasional yang melibatkan berbagai pihak, dari pembuat, akademisi, calon pengguna hingga wakil pemerintah. Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pengembangan Perdagangan (US Trade and Development Agency / USTDA) di tahun 2003, di Bangkok menyelenggarakan seminar dan loka karya yang membahas aspek bisnis, teknis dan legal dalam penyelenggaraan telekomunikasi berbasis Wimax. Di dalam negeri, berbagai event yang membahas Wimax diselenggarakan oleh berbagai pihak termasuk Pemerintah. Persoalannya, jika sudah diketahui apa saja manfaat dan keunggulan Wimax, mengapa sampai sekarang, di Indonesia penyelenggaraan Wimax belum juga terlaksana? Ada apa di balik semua yang terjadi.
Layaknya sifat suatu kehidupan, teknologi selalu mengikuti daur hidup, diciptakan, tumbuh, berkembang dan semakin dewasa hingga akhirnya tidak lagi mampu memenuhi tugas dan fungsinya, ketika tuntutan pengguna sudah lebih tinggi dari kemampuan teknologi tersebut. Di pihak lain, ditinjau dari perspektif dinamika persaingan, mengingat pada saat ini penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia sudah sepuluh tahun memasuki era persaingan, teknologi yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi juga harus saling bersaing. Teknologi yang terpilih akan digunakan secara komersial mengikuti daur hidupnya. Untuk dapat menjadi teknologi terpilih, suatu teknologi perlu memiliki sifat-sifat antara lain: mudah digunakan (user friendly), relatif mudah untuk dikembangkan (flexible and scalable), mudah disambungkan dengan berbagai teknologi lain (compatible), berkualias tinggi (durable), setia pada standard internasional dan nasional yang telah ditetapkan (standard compliance), dijamin eksistensinya sampai dengan batas waktu yang cukup lama (existence guaranted), serta harganya terjangkau (feasible).
Dalam konteks penyelenggaraan telekomunikasi, khususnya telekomunikasi nirkabel, lebih khusus lagi komunikasi bergerak untuk pengiriman suara dan data, kita menyaksikan pergantian teknologi yang berlangsung secara terus menerus. Masih ingat Nordic Mobile Telephone (NMT) dan Analog Mobile Phone System (AMPS)? Kedua teknologi ini tergolong perintis telekomunikasi selular bergerak yang pertama kali masuk ke Indonesia. Keduanya harus rela pensiun ketika teknologi Coded Division Multiple Access (CDMA) dan Global System for Mobile Communication (GSM) menggantikan kedudukan mereka. Setelah sekitar 15 tahun bertengger di posisi dominan, eksistensi CDMA dan GSM mulai digoyang oleh kehadiran Universal Mobile Telephone System (UMTS) dan International Mobile Telephone (IMT-2000), keduanya disebut sebagai telepon selular generasi ketiga (3G). Belum lama 3G menikmati keberhasilan duduk sebagai primadona dan selagi 3G masih harus berjuang keras menundukkan kekuatan CDMA dan GSM, telah hadir Wimax, yang mengancam semua teknologi komunikasi yang sudah eksis sebelumnya.
Persaingan teknologi untuk menjadi default di suatu wilayah negara, lama kelamaan sudah menjadi biasa, yang menjadi tidak biasa dan berbeda dari suatu negara ke negara lain adalah bagaimana perjalanan suatu teknologi mencapai posisi dominan. Ketika NMT, AMPS, CDMA, dan GSM masuk ke Indonesia mereka melenggang lemah gemulai bak penari srimpi beraksi di atas panggung, tidak ada perlawanan bahkan memperoleh sambutan tepuk tangan meriah. Implikasinya biaya yang diperlukan untuk memperoleh izin pemanfaatan suatu teknologi secara formal menjadi relatif kecil. Lain halnya ketika 3G hendak masuk. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di hampir semua negara yang akan memanfaatkannya, terjadi perlawanan seru, hambatan sengaja dibuat, justru oleh regulator. Perizinan pemanfaatan 3G menjadi tidak semudah seperti yang dinikmati para pendahulunya. Walhasil, biaya akuisisi perizinan menjadi melambung tinggi, lebih dari separo total investasi yang dibutuhkan di tahun pertama.
Walaupun harus menanggung biaya akuisisi perizinan yang demikian besar, bagi investor hal tersebut tidak menjadi masalah, sepanjang return dari investasi akan diperoleh setelah memasuki tahap operasional. Persoalannya, return yang diharapkan tak kunjung mewujud, lantaran pengguna telekomunikasi masih lebih suka menggunakan teknologi generasi kedua yang ternyata ditingkatkan kemampuannya. Masih galau dengan kinerja yang didapat, muncul pula teknologi Wimax yang diperkirakan dapat menghancurkan investasi 3G. Bagaimana mengamankan investasi 3G? jawabnya keluar dari kebijakan Pemerintah yang – ibarat pantun – berbunyi “sekali dayung dua – tiga pulau terlampaui.” Jika pada waktu tender 3G dulu tidak ada keharusan bagi para operator untuk menggunakan komponen produksi dalam negeri, maka pada tender Wimax, hal tersebut merupakan suatu keharusan dengan tingkat penggunaan komponen dalam negeri (TKDN) mencapai minimal 30%.
Pro dan kon menyusul kebijakan TKDN 30% untuk penyelenggaran Wimax. Pro karena kebijakan tersebut sudah sewajarnya dan memang menjadi tugas Pemerintah untuk memberi kesempatan kepada industri dalam negeri untuk tumbuh dan berkembang. Kontra karena beberapa hal, pertama industri dalam negeri dianggap belum siap, kedua kebijakan tersebut dianggap melawan arus utama perdagangan bebas yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pihak yang kontra, jika boleh dikategorikan, adalah para produsen atau kepanjangan tangan para produsen perangkat Wimax luar negeri.
Berbagai upaya meyakinkan semua pihak telah dilakukan oleh baik yang Pro maupun yang Kontra terhadap kebijakan Pemerintah tentang TKDN. Kebijakan yang memberikan peluang kepada para wirausaha dalam negeri ini rupanya berhasil menjadi pemicu bagi munculnya produsen teknologi Wimax lokal. Setidaknya ada enam perusahaan nasional, baik yang melaui kerja sama dengan mitra asing maupun sepenuhnya didanai dari modal sendiri, yang sudah menyatakan bahwa mereka mampu memproduksi perangkat utama (transmiter dan receiver) Wimax. Dalam suatu pertemuan kajian teknologi baru yang diselenggarakan di sekretariat MASTEL, terungkap, secara agregat ke-enam perusahaan tersebut sudah mampu memproduksi pesawat transmiter hingga 1000 unit per tahun sedangkan untuk pesawat penerima atau Customer Premises Equipment (CPE) mencapai 500 ribu per tahun.
Melihat kemampuan produsen dalam negeri, rupanya hal ini membuat produsen luar negeri dan kepanjangan tangan mereka di sini keder. Bayangan keuntungan besar yang bakal diraih seolah bak fatamorgana yang semakin hari semakin menguap. Sesuai karakter profesional dan pengusaha, tentu mereka tidak mudah menyerah. Berbagai langkah dilakukan, dari membangun usaha kemitraan dengan pengusaha lokal sampai penggunaan lobby – lobby politik, baik kepada birokrat, politisi, LSM maupun pemintaan dukungan kepada pemerintah asal produk tersebut. Rupanya upaya tersebut membawa hasil. Keberhasilan ini mengindikasikan setidaknya dua hal: pertama, ketidak-cermatan Pemerintah RI dalam membuat kebijakan; dan kedua, bukti adanya dukungan pemerintah negara asing terhadap industrinya.
Dikatakan ketidak-cermatan karena, diakui atau ditolak, ternyata tidak semua jajaran pejabat di lingkungan Pemerintah RI mendukung kebijakan Departemen Kominfo tentang TKDN untuk penyelenggaraan Wimax. Jika-pun berkata mendukung, ada beberapa yang ternyata hanya lip-service belaka. Ketidak-kompakan ini dapat dipahami, bukan rahasia lagi kalau setiap domain institusi memiliki interest yang mencerminkan kepentingan pemimpinnya. Ketidak-cermatan yang lain, dapat ditunjuk pada tidak diantisipasinya kemungkinan reaksi internasional terhadap kebijakan tersebut. Reaksi internasional ini bisa datang dari negara atau beberapa negara yang merasa dirugikan, atau mereka secara bersama – sama melakukannya melalui organisasi dagang dunia (WTO).
Melalui forum sidang WTO inilah yang digunakan oleh Pemerintah negara – negara produsen utama perangkat Wimax untuk mendesak Pemerintah RI mengubah kebijakan TKDN 30% untuk penyelenggaraan Wimax. Pemerintah yang mewakili kepentingan produsen Wimax yang nota bene tergolong negara maju rupanya menyadari mereka tidak dapat lagi melakukan intervensi dagang melalui pendekatan politik, apalagi mereka mengetahui kondisi dan dinamika politik dan hukum di Indonesia pasca reformasi yang tergolong paling maju di kawasan Asia Tenggara. Sehingga langkah yang ditempuh melalui pendekatan fora internasional seperti WTO. Dalam bahasa awam, melalui WTO mereka dapat rame-rame mengeroyok Indonesia secara resmi, sopan dan jika Indonesia tidak bersedia memenuhi tuntutan, mereka mengaharapkan Indonesia dipermalukan di forum intenasional tersebut.
Sekarang persoalannya, apakah kita akan konsisten dengan kebijakan pro industri dalam negeri, atau adakah jalan tengah yang akan diambil, atau kembali menunjukkan sifat mencla-mencle, populis, takut pada tekanan asing, yang akhirnya berujung pada kemandegan, seperti halnya terjadi di sektor – sektor industri lainnya, ketergantungan kepada produk luar negeri besar sekali. Kita nantikan saja babak akhir kisah Wimax ini.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.