di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua pada lema berani tertulis "mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb;" sementara di lema takut tertulis "merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana".
jadi sejatinya yang membedakan takut dan berani hanyalah kesediaan menghadapi bahaya, kesulitan, bencana. mereka yang "berani" akan mantap dan enteng saja ketika harus menghadapi resiko (akibat yang kurang menyenangkan, merugikan, membahayakan dari suatu tindakan atau perbuatan), sementara bagi petakut akan merasa ngeri menghadapi resiko.
pertanyaannya, mengapa ada orang yang takut dan ada yang berani. seperti dikatakan di atas, merek ayang berani bisa jadi karena: (1) tidak tahu ada resiko, sehingga mantap saja untuk melakukan sesuatu yang diangap berbahaya (oleh yang takut), termasuk kelompok ini adalah orang yang sembrono; atau (2) tahu ada resiko, namun mampu mengelola dirinya sehingga resiko tidak muncul sebagai kenyataan yang merugikan. masuk dalam kelompok ini, adalah para akrobatik, stuntman, manajer, pimpinan dan berbagai profesi lainnya yang membutuhkan ilmu pengetahuan, keahlian, kecakapan; atau (3) tahu ada resiko, namun siap kehilangan apapaun bila resiko tersebut terwujud. kelompok ini disebut juga kelompok nekad atau kelompok penjudi, petaruh, yang nasibjya ditentukan oleh kondisi sedang untung atau sedang apes.
di luar ketiga kelompok ini, pada kontinum takut di ujung kiri dan berani di ujung kanan, ada kelompok peragu, antara takut dan berani, tidak segera membuat keputusan; pencemas, lebih tinggi dari peragu melangkah dengan sedikit keberanian namun selalu disertai rasa takut; dan pengecut, sebetulnya takut, namun menutupi ketakutan dengan tetap melakukan tindakan, dan apabila resiko muncul dia lari meninggalkan kewajiban yang harus ditanggungnya.
mereka yang takut tetapi berani atau berani tetapi takut pada umumnya lebih bertanggung jawab dan bertindak rasional. takut tetapi berani dalam konteks positif, inilah yang saya sebut sebagai entrepreneur. takut miskin berani menjadi pengusaha, untuk itu orang ini mengerahkan segala daya upaya dan berani melakukan tindakan bagus agar tidak tertimpa resiko. mereka yang berani tetapi takut, inilah yang menjadi pasar bagi industri asuransi, berani berkarya, namun takut apabila suatu saat di luar kemampuannya muncul resiko yang harus ditanggung, maka dibagilah resiko kepada asuransi.
jadi, menurut pemikiran saya, takut dan berani itu bedanya hanya pada kesediaan menghadapi bahaya. Ki Ageng Suryo Mentaram mengajarkan suasana hati yang sebaiknya "mulur-mungkret" berkembang - mengempis. mulur mungkret ini mesti dikelola dengan panca indera agar dapat tepat menentukan kapan takut dan kapan berani. dalam suasana apa kita sebaiknya berani, dalam kondisi bagaimana sebaiknya kita takut. dicontohkan oleh Ki Ageng bagaimana suami istri mesti mulur mungkret, kalau keduanya mulur (marah - marah, merasa benar) maka ini pun akan sama akibatnya bila keduanya mungkret (diam-diaman, tidak ada komunikasi, saling acuh tak acuh). atau kalau suami istri mulur terus "anunya" inipun tidak sehat, apalagi kalau keduanya mungkret terus. yang lebih celaka kalau istrinya mulur, tetapi suaminya mungkret, bisa cari pil setan. seperti karet gelang, kalau keduanya mulur, ditarik ke ujung masing - masing akhirnya karet gelang putus, namun kalau keduanya dikendorkan tidak bisa untuk mengikat.
lebih jauh lagi, mengapa untuk urusan dunia yang sifatnya negatif orang lebih berani melakukan, sementara untuk urusan akhirat yang positif banyak yang takut melakukan? jawabnya, bagaimana kalau kita bahas pada posting selanjutnya????
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.