Ketika proklamasi disuarakan, kedaulatan direbut dari ketiak penjajah, bendera dua warna ditegakkan, berkibar. Suka riang pendahulu kita memekik “MERDEKA!!!”.
Merdeka, bergema di seantero nusantara. Nun di hutan, belantara tempat darah pejuang menetes, semangat perang bersemayam, terdengar tentara pelajar berbisik kepada teman satu kompi “benarkah kita sudah merdeka?” Tak percaya, jangan – jangan hanya angin surga yang dihembuskan dari elite pergerakan di tanah jawa.
Maka kabar tersiar ke mana – mana, sampai ke telinga bocah, yang belum tahu makna Merdeka. “Kak, apa itu merdeka?” tanya si bocah kepada kakaknya, mereka berdua baru saja kehilangan ayah lantaran berani menahan mesiu panas muntahan senjata penjajah.
Merdeka itu, kita boleh dapat makan, tidak lapar lagi seperti kemaren bulan dan tahun lalu. Merdeka itu tanah sawah ladang menjadi milik kita, bukan lagi milik tuan sinyo. Merdeka itu kita bakal sehat, tak seperti emak yang sakit-sakitan lantaran tidur di lantai tanah, berbaju karung, berbantal tikus pembawa penyakit pes. Merdeka itu kita bebas memilih sekolah. Merdeka itu.. terbebas dari segala macam mimpi buruk di masa kolonial. Ooo alangkah indahnya Merdeka itu.
Hari berlalu, bulan berganti tahun. Politik silih berganti, pemimpin enggan pergi, seumur hidup itu maunya. Aku yang membuat negeri ini merdeka, maka aku berhak duduk di kursiku. Bapak berjasa membela negara, maka layak dipuja. Ibu telah membantu, maka tiada apa ikut bersabda. Dan jadilah negeri ini kepunyaanku, begitulah anggapan mereka yang nasibnya mujur berkuasa di pemerintah.
Karena negeri ini milikku, tebangi kayu hutan, keruk tambang segala mineral, tangkap semua yang melawan. Sampai akhirnya aku kepayahan dan menyerah kalah.
Zaman berubah, merdeka masih melekat, tetapi di mana janji merdeka berada? Tanahku dikuasai manca negara, ladangku kerontang dan kebanjiran, rumahku gelap terang padahal batu bara dan minyak bumi tinggal di ladang sebelah, otakku tetap saja pandir, tak mampu sekolah tinggi kuhampiri padahal katanya sudah ada bantuan operasional sekolah, puluhan juta rupiah kalau aku ingin menikmati kerasnya kursi kampus, hatiku senantiasa was-was setiap kali keluar rumah lantaran jambret, copet, tukang pelet hingga teroris senantiasa mengancam harta dan nyawaku.
Di sebelah sana, di ruang – ruang dingin ber-ac, mereka yang mujur nasibnya, terima kasih merdeka, aku telah sukses, hartaku melimpah, perusahaanku ratusan, pegawaiku ribuan, ladang sawitku puluhan ribu hektar, kilang minyak aku punya, pesawat pribadi setia membawaku kemana kusuka.
Dua kutub membara, di tengahnya para kstaria pelayan rakyat, yang mulut anaknya perlu makan, otak cucunya butuh sekolah. Racun negara milikku-pun menetap di bilik – bilik hati para ksatria, mengubah alim menjadi serakah, karir berbalut korupsi.
Ternyata merdeka membawa petaka, bagi bangsa, bagi rakyat kecil yang dulu ikut berjuang, namun hilang penghargaan kepada mereka. Merdeka dan jiwa miskin membuat semuanya merasa bebas, bebas mencuri harta negara dan hak orang lain, bebas mengucapkan janji yang akhirnya tiada pernah ditepati, bebas membunuh masa depan anak-anak. Tiada malu bagi pejabat menerima upeti, ah itu kan wajar, aku kan baru saja dilantik jadi pejabat eselon 1, tak apalah kuterima mobil mewah ini dari mitra swastaku.
Ketika semua merasa merdeka dan bebas, lingkungan sosial menjadi tidak merdeka. Sejatinya merdeka itu tidak sepenuhnya merdeka, karena merdeka yang benar-benar bebas merdeka akan membuat semua menderita, dan derita itu tandanya tidak merdeka.
Itulah maka firman diturunkan, nabi diutus, undang-undang ditulis, aturan disepakati, adat dijunjung, syarah ditegakkan. Untuk apa? Aku rasa kalian sudah tahu jawabnya.
Rempoa, 14 Agustus 2009
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.