I. Permasalahan
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM), dalam Rapat
Kerja (Raker) Kementerian Perindustrian Tahun 2011 menyatakan ada 4 (empat) permasalahaan
yang dihadapi oleh industri baja nasional. Adapun empat permasalahan tersebut
adalah:
1.
Belum terintegrasinya kebijakan pengembangan dan
pembinaan industri baja;
2.
Adanya ketergantungan pada bahan baku impor iron
pellet dan skrap serta produk antara tertentu;
3.
Pada umumnya mesin produksi baja sudah tua sehingga
efisiensi dan daya saing rendah; dan
4.
Penggunaan energi belum efisien.
Direktorat Jenderal BIM dalam
Raker 2011 tersebut mengajukan solusi guna mengatasi empat permasalahan yang
dihadapi industri baja nasional sebagai berikut:
1. Peningkatan
kompetensi SDM melalui penguasaan kemampuan teknologi industri baja, aluminium
dan nikel serta membentuk pustek dan cooking coal center.
2. Pengembangan industri berbahan baku lokal dan meningkatkan pengembangan
teknologi industri ramah lingkungan
3. Meningkatkan jaminan pasokan
bahan baku (diantaranya melalui BMDTP)
4. Meningkatkan kerjasama antara
industri pengolahan bahan baku dengan industri terkait, dan
5. Peningkatan
daya saing melalui program P3DN sehingga dapat memperluas pangsa pasar dalam
negeri.
Solusi
sebagaimana diajukan Direktorat Jenderl BIM di atas lebih fokus pada aspek
makro ketimbang mikro, pada level perusahaan. Dapat dipahami mengingat tugas
Ditjen BIM lebih pada pembinaan, pengaturan dan pengawasan industri dari pada
mengelola industri atau perusahaan. Paper ini akan membahas sisi mikro untuk
menjawab permasalahan yang dihadapi industri baja nasional dengan beberapa
argumen: pertama, mengacu Porter (1990) dan Vietor (2005) bahwa daya saing
suatu negara tidak ditentukan oleh kinerja pemerintahan dalam membuat regulasi
namun merupakan akibat langsung dari kuat lemahnya daya saing atau kinerja
industri, Oleh sebab itu, industri dalam negeri yang kuat dipercaya akan
menjadi pendorong daya saing negara. Kedua, mengikuti pola pikir Porter dan
Vietor, tantangan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengelola industri secara
efektif dan efisien guna menghasilkan perusahaan yang berdaya saing tinggi.
Secara
khusus, paper ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan ketiga dan keempat
yang dirujuk oleh Ditjen BIM. Hal ini berdasarkan argumen bahwa mesin produksi
merupakan bagian inti dari proses produksi, permasalahan yang terjadi di proses
produksi tak selalu harus diatasi dengan mengganti mesin, meskipun usia pakainya
sudah lama, namun dapat pula disikapi dengan meningkatkan proses produksi.
Penulis sepakat bahwa penggunaan energi yang belum efisien merupakan permasalahan
tak hanya bagi individu perusahaan namun dapat juga berdampak pada kepentingan nasional,
dan oleh karena itu perlu dicari solusi terbaik.
II. Kinerja
Industri Baja Nasional
Kinerja
industri baja nasional selama semester I - 2011 melambat karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti kenaikan harga dan juga belanja pemerintah untuk
proyek-proyek besar yang tertunda.
Selain faktor domestik, penurunan produksi juga dipengaruhi oleh situasi
ekonomi China yang menerapkan tight money
policy dan harga bahan baku yang tinggi terutama akibat banjir di
Quensland, Australia. Seorang eksekutif perusahaan produsen baja nasional
menyatakan “karena bahan baku naik, biaya
produksi naik. Karena terjadi penaikan harga, untuk apa memproduksi lebih
banyak kalau harus menjual rugi sehingga banyak produsen yang mengurangi
produksi.”
Jika
dicermati, kinerja industri baja nasional merupakan resultant dari berbagai
aspek yang saling berkelindan, memengaruhi satu sama lain. Di satu sisi
Pemerintah memiliki argumen yang berbeda dari pihak industri, sesama pelaku pun
memiliki alasan yang berbeda. Apapun alasannya, secara umum kinerja industri
baja nasional masih jauh dari memuaskan. Daya saing baja nasional kalah
dibandingkan baja produk China, Korea, Jepan atau India. Hal ini dengan mudah
dapat dilihat dari harga produk dalam negeri yang rata-rata lebih mahal dari
barang impor dengan spesifikasi dan kualitas yang setara.
Lemahnya
daya saing produk baja nasional membuka lebar pintu impor. Serbuan baja produk
impor semakin hari semakin menguat, mengurangi penguasaan produsen baja dalam
negeri. Pemerintah telah lama menerapkan regulasi Standar Nasional Indonesia
(SNI), yang salah satunya dimaksudkan untuk melindungi produk dalam negeri,
namun pada kenyataannya SNI belum mampu berperan menjadi senjata ampuh untuk
menghadang derasnya arus produk baja impor, baik yang masih berupa billet,
slab, plat, coil maupun produk jadi seperti pipa, H-Beam, dan lain sebagainya.
III. Mengapa
Dibutuhkan Process Improvement?
SNI baru berhasil meraih salah satu tujuannya, menjadikan
produk-produk Indonesia terstandarisasi, mekanisme SNI belum mampu dijadikan
senjata untuk menahan serbuan produk impor. Dari segi kualitas sudah banyak
produk nasional yang setara kualitasnya dengan produk – produk internasional.
Permasalahannya, pasar tak hanya menuntut kualitas namun juga ketersediaan,
kontinuitas produksi, serta harga.
Bicara harga, tentu tak lepas dari serangkaian proses yang terjadi untuk
mengolah bahan baku menjadi barang jadi, untuk mengirim barang jadi dari pabrik
ke lokasi pembeli, dan seterusnya.
Process Improvement (PI) mengacu pada serangkaian aktivitas yang
dilakukan oleh pengelola proses untuk mengidentifikasi, menganalisa dan
meningkatkan proses bisnis yang ada dalam sebuah organisasi guna mencapai
sasaran dan objektif yang baru. Aksi ini biasanya ditindak-lanjuti dengan
metodologi atau strategi tertentu guna menciptakan keberhasilan. Dalam
pengertian lain, process improvement merupakan sebuah metoda perubahan proses untuk
meningkatkan kualitas, mengurangi biaya, atau akselerasi produksi.
Dalam lingkup mikro, PI kerap muncul sebagai reaksi atas kinerja
perusahaan. Dalam konteks ini, PI dimaksudkan sebagai tindakan koreksi atau
perbaikan atas kinerja perusahaan yang tidak memuaskan, baik selama kurun waktu
tertentu, maupun bila dibandingkan dengan sesama perusahaan dalam suatu
industri tertentu.
Dalam kondisi normal, atau ketika perusahaan sedang mengalami masa
jaya seringkali manajemen tidak merasa perlu untuk melakukan peninjauan ulang
terhadap proses bisnis. Rhenal Kasali (2005) menyatakan justru dalam masa
pertumbuhan mendekati tahap kedewasaan (maturity
level) manajemen perlu secara sengaja melakukan perubahan terencana.
Perubahan dimaksud dapat berupa penyempurnaan organisasi, diferensiasi produk,
penetrasi ke pasar yang baru, perubahan model dan proses bisnis, maupun
peninjauan kembali terhadap proses produksi.
Cuminng & Worley (2001) merujuk PI sebagai perubahan yang
direncanakan khususnya yang dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan efisiensi
dan efektivitas organisasi. Lebih jauh dikatakan PI dapat pula digunakan
sebagai sarana untuk memecahkan masalah produksi, belajar dari pengalaman pihak
lain, untuk membingkai kembali persepsi bersama, untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan lingkungan eksternal, meningkatkan kinerja, hingga memengaruhi
perubahan yang pasti akan terjadi di masa depan.
IV. Process
Improvement Sebagai Bagian Dari Program Kualitas
Schroeder (1993) menyatakan bahwa kontrol kualitas dimulai dari proses
produksi. Proses produksi terdiri dari beberapa sub-proses, masing-masing
menghasilkan produk atau jasa antara. Sebuah proses dapat berlangsung pada satu
mesin, beberapa mesin, atau satu atau beberapa petugas, operator, yang bekerja
secara saling berketergantungan yang membentuk sebuah sistem. Proses
selanjutnya adalah pengguna (customer)
dari proses di belakangnya.
Sebagai contoh, kustomer department engineering adalah department
fabrikasi yang membuat komponen, sedangkan kustomer department fabrikasi adalah
department perakitan, dan seterusnya.
Proses improvement dalam lini produksi dapat dilakukan setelah
diidentifikasi setiap proses yang membutuhkan pengendalian, titik – titik
kritikal yang membutuhkan pemeriksaan dan pengukuran telah dilakukan. Type
pengukuran atau pengujian yang diperlukan, jumlah pengecekan yang harus
dilakukan semuanya harus ditetapkan. PI dilakukan guna memastikan bahan baku
atau jasa yang dibeli memenuhi spesifikasi. Inspeksi untuk menguji apakah bahan
baku yang dikirim sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dapat dieliminasi
dengan Mekanisne Sertifikasi Pemasok (Authorized
Vendor List). Mekanisme Sertifikasi Pemasok diberikan kepada pemasok yang
telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis serta terbukti menggunakan
proses kendali statistik atau metoda lain untuk mencapai kinerja kualitas yang
konsisten.
Selain pengujian bahan baku, bagian dari PI lainnya yang dapat
dilakukan adalah pengujian work in
process (WIP). Sebagai aturan umum, produk atau jasa harus di-inspeksi oleh
operator sebelum sebuah proses produksi yang tidak dapat diulang (irreversible operations) mengubah bahan
baku menjadi WIP atau barang jadi (finished
goods), atau serangkaian kegiatan nilai tambah diterapkan kepada bahan
baku. Dalam hubungan ini biaya inspeksi seharusnya lebih murah dibandingkan
biaya yang dibutuhkan untuk memerbaiki kesalahan akibat tidak dilakukan
inspeksi. Di bagian-bagian mana saja sebuah produk harus diinspeksi dalam
proses produksi ditentukan dari
alur proses produksi.
Poin ketiga dalam PI terkait dengan proses produksi adalah pada
barang jadi. Dalam manufakturing, produk final biasanya diinspeksi atau diuji
sebelum pengiriman atau sebelum barang disimpan dalam inventory. Barang jadi
yang ditemukan cacat atau tak sesuai spesfikasi dipisahkan, diberi tanda dan
dijadikan umpan balik ke bagian produksi guna memerbaiki proses produksi
berikutnya.
Proses pengendalian kualitas (quality
control /QC) dilakukan dengan inspeksi produk atau jasa yang sedang dalam
proses produksi. QC dilakukan terhadap semua populasi hasil produksi, atau
disebut jiuga pengujian 100%, atau dapat digunakan teknik sampling. Teknik
sampling digunakan dengan asumsi sampel dapat menunjukkan telah terjadi perubahan
dalam proses produksi, yang disebabkan oleh kinerja operator, mesin atau
material. Ketika penyebab kegagalan telah diperbaiki proses dilanjutkan lagi. Proses
Improvement dibutuhkan mengacu pada asumsi, ketidak-samaan (variability) merupakan dasar setiap
proses produksi. Tak peduli sesempurna apapun sebuah proses dirancang, selalu
akan ada variability dalam kualitas dari satu unit ke unit berikutnya. Tujuan
dari kendali proses adalah untuk menemukan rentang variasi alamiah dari sebuah proses untuk selanjutnya
memastikan bahwa produksi berada pada range tersebut.
Prinsip kedua dalam kendali proses adalah bahwa proses produksi
tidak senantiasa berada pada kondisi yang selalu terkendali. Hal ini terjadi
karena beberapa hal antara lain, prosedur yang tidak baik, operator kurang
terlatih, perawatan mesin yang tidak dilakukan secara baik. Variasi produk yang
terjadi biasanya lebih besar dari yang semestinya. Salah satu tantangan bagi PI
adalah menemukan sumber-sumber variasi kualitas produk dan mengembalikan proses
kepada kondisi terkendali sehingga bila terjadi variasi produk semata
disebabkan oleh penyebab random, bukan penyebab yang sistematis.
Proses Improvement dapat dilakukan secara terus menerus (Continuous Process Improvement / CPI),
yang dimaksudkan untuk mengurangi variability product atau proses. CPI biasanya memerlukan pemecahan
permasalahan atau perubahan dalam rancangan produk atau proses itu sendiri.
Perubahan tersebut membuatnya mungkin untuk menjadi produk atau jasa yang lebih
konsisten dengan variasi yang semakinkecil dari satu ke produk berikutnya.
Ada tiga teknik CPI; Pareto Analysis (PA), Cause-and-Effect (CE)
Diagram dan Process Capability (PC) chart. Setiap metoda menggunakan data dan analisa yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas produk dan atau proses.
V. Energy
Management (EM)
EM dapat
merujuk ke pengertian yang luas, dari bagaimana mengelola konsumsi energi yang
digunakan di rumah tangga, bisnis, instansi pemerintah, hingga bagaimana
mengelola pasokan energi (energy mix).
Dalam paper ini EM yang dimaksud adalah proses monitoring, pengendalian dan
konservasi energi yang digunakan di industri, yang aktivitasnya antara lain
meliputi:
(1) Menghitung
pemanfaatan energi listrik untuk setiap mesin, unit pabrik, atau satuan
tertentu, menggunakan KWh Meter dan mengumpulkan data penggunaan listrik secara
periodik;
(2) Menggali
peluang untuk menghemat energi, dan memerkirakan berapa banyak energi yang dapat
dihemat, menganalisa data pengukuran daya listrik guna mendapatkan berapa daya
yang terbuang percuma, atau dapat pula menginvestigasi berapa besar penghematan
energi yang diperoleh dari penggantian peralatan yang sudah tidak efisien lagi;
(3) Melaksanakan
aksi yang diperlukan untuk menghemat energi, dari berbagai alternatif yang
tersedia, mulai lakukan dari alternatif yang terbaik, supaya bila hasilnya
terbukti dapat menjadi inspirasi bagi langkah selanjutnya; dan
(4) Memantau hasil dengan menganalisa data pengukuran guna melihat apakah
penghematan energi berhasil diraih, dan berapa besar.
VI. Mengapa
Energy Management DIperlukan?
Beberapa argumen dapat dijadikan ebagai
rujukan untuk menjelaskan mengapa EM diperlukan. Pertama, ada hubungan linier
antara proses produksi dan pemanfaatan energi, proses produksi yang efisien
konsumsi energy-nya juga efisien. Kedua, semakin langkanya cadangan energi
berbasis fosil membangun kesadaran untuk konservasi energy, menggali dan
memanfaatkan energi alternatif yang bersih, baru dan terbarukan (clean, new and renewable energy). Ketiga,
muncul peluang untuk meningkatkan kinerja industri baja melalui upaya peningkatan
proses produksi dan energy management.
Lebih jauh, EM tak hanya berkenaan dengan
penghematan energi dalam gedung dan atau pabrik, ia digunakan pula dalam bidang
lain, yakni pembangkitan. Perusahaan pembangkit listrik memanfaatkan EM guna
memastikan pembangkit listrik yang dikelolanyan menghasilkan energi listrik
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Energy management adalah kunci untuk menghemat
energi di dalam organisasi. Dampak penghematan energi berlaku pada tarif atau
harga energi. Target emisi, legislasi,
yang semuanya mengarah pada alasan utama mengapa perusahaan perlu untuk
menghemat energi. Majoritas
pelanggan listrik belum menyadari perlunya mengelola konsumsi energi
agar lebih hemat, dan dampak dari penghematan energi listrik terhadap
kelestarian kehidupan masayarakat.
Penghematan energi telah menjadi isu global, EM
oleh karenanya menjadi kebutuhan global untuk mengurangi kerusakan di bumi,
lantaran manusia berlomba-lomba mengeklopitasi sumber daya alam untuk
mendapatkan energi berbasis fosil, yang semakin hari semakin langka
persediannya.
VII. Mengendalikan
Dan Mengurangi Konsumsi Energi Di Organisasi Bisnis
EM
adalah sarana untuk mengendalikan dan mengurangi konsumsi energi. Pengendalian
dan pengurangan konsumsi energi di suatu perusahaan penting, karena ia
memungkinkan perusahaan untuk:
-
Mengurangi
biaya, hal ini semakin penting ketika harga energi semakin mahal.
-
Mengurangi emisi
karbon dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembakaran energi primer
berbasis fosil. Kebutuhan terhadap lingkungan yang menjamin kelestarian
kehidupan semakin meningkat dalam satu dekade terakhir ini. Mekanisme kredit
karbon telah diterapkan sebagai kesepakatan global perusahaan yang dalam
operasinya berhasil mengurangi emisi karbon mendapat point/penghargaan tinggi
yang sekaligus dapat menambah nilai ekonomisnya. Meningkatnya citra sebagai
pendukung gerakan hijau, dan pada gilirannya akan meningkatkan nilai perusahaan
(bottom line).
-
Mengurangi
resiko, semakin banyak energi yang dikonsumsi, semakin besar resiko akan
terjadinya kenaikan harga energi atau kelangkaan suply yang dapat berpengaruh
serius terhadap profitabilitas, atau bahkan membuat perusahaan berhenti
beroperasi. Dengan EM, perusahaaan dapat mengurangi resiko dengan cara
pengurangan permintaan energi dan pengendalian sehingga dapat diprediksi.
-
Pemahaman
terhadap EM yang efektif diharapkan dapat menjadi kekuatan perusahaan dalam
memenuhi target bisnis yang ditetapkan.
VIII. Kesimpulan
dan Saran
Solusi kebijakan yang bersifat makro tak cukup untuk mengatasi
permasalahan lemahnya daya saing yang dihadapi oleh industri baja nasional,
masih dibutuhkan strategi mikro yang mudah diterapkan di tingkat perusahaan. Dua
permasalahan industri baja nasional yang diadres oleh Pemerintah - mesin produksi baja sudah tua sehingga
efisiensi dan daya saing rendah, dan penggunaan energi belum efisien – terkait
langsung dengan bagaimana perusahaan mengelola sumber daya produksi. Kedua permasalahan tersebut menuntut kemampuan
manajemen untuk mengatasinya secara efektif dan efisien.
Salah satu jawaban terhadap
masalah kondisi mesin produksi adalah dilakukannya peningkatan proses (Process
Improvement) yang melibatkan serangkaian aktivitas peninjauan ulang dari
penyediaan bahan baku, proses produksi, perawatan mesin produksi, hingga
pengujian produk secara komprehensif. Dalam kontek ini Process Improvement
diharapkan mampu merevitalisasi mesin produksi yang sudah berusia lama. Pada
kenyataannya, Process Improvement saja tak atau belum cukup, ia memerlukan aksi
–aksi lain yang saling mendukung, satu di antaranya adalah pengelolaan energi
(Energy Management).
Aplikasi Process Improvement dan
Energy Management secara bersama, terkendali dan terukur dipercaya dapat
memengaruhi kinerja perusahaan dan bila hal ini dilakukan oleh hampir semua
pelaku industri baja nasional, maka secara agregat dapat menjawab permasalahan
rendahnya daya saing industri baja nasional. Memerhatikan potensi dan dampak
Process Improvement dan Energy management terhadap kinerja perusahaan, maka
disarankan agar dilakukan kajian yang lebih mendalam baik dari disiplin
akademis maupun secara empiris, dan hasilnya disebar-luaskan kepada industri.
Kajian akademis mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia, namun
sudah banyak dilakukan di negara – negara maju. Oleh karena itu tak heran bila
industri baja di negara – negara maju tertentu lebih berdaya saing dibandingkan
industri baja nasional. *****
IX. Referensi
1.
Rhenald Kasali , Change, 2005
2.
Schroeder, R.G., Operations
Management, 1993.
3.
Hatch, Mary Jo, Organization
Theory, 1997.
4.
Cummming & Worley,
Organization Development & Change, 7th ed, 2001.
5.
Direktorat Jenderal Basis
Industri Manufaktur (Ditjen BIM) Kementerian Perindustrian, “Kinerja Industri
Tahun 2010, Program Kerja Ditjen Bim Ta 2011 Dan Program Pengembangan 6 (Enam)
Kelompok Industri Prioritas.”