Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang semakin sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme: berfungsi secara efisien, sementara juga melakukan inovasi secara efektif guna memersiapkan diri menghadapi hari esok (Paap & Amp; Katz, 2004). Tidak peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola kedua hal tersebut secara simultan. Untuk melakukannya perusahaan harus memahami dan belajar mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan berkelanjutan.
Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba kehilangan pasar yang sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya.
Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan, penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktor-faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan kegagalan – inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.
Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.
Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam tangan Swis menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz batteries dan jam tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan mengalahkan perusahaan Swis.
Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif. Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak mampu bersaing menghadapi teknologi baru.
Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu tidak mengubah keputusan masa depan.
Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang. Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan mengelola perubahan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.