Beberapa
bulan terakhir ini hampir semua operator telepon selular 3G harap – harap
cemas. Pasalnya, Kementerian Kominfo selaku Regulator Telekomunikasi bermaksud
menyelenggarakan lelang spektrum frekuensi 3G yang masih tersisa. Mengapa harus
cemas dan khawatir? Bukankah selaku Regulator Telekomunikasi mestinya
Kementerian Kominfo harus mampu membina industri? Mengatur, mengawasi,
mengendalikan, sehingga para pelaku bisnis telekomunikasi merasa nyaman
berbisnis, pertumbuhan sektor telekomunikasi pesat, penyebaran merata, layanan
semakin beragam, dan tarif semakin terjangkau masayarakat luas. Apa gerangan
yang membuat beberapa Operator khawatir? Bagaimana mengatasinya?
Kanal 11 dan 12
Yang
menjadi penyebab harap dan cemas tak lain adalah Kanal 3G yang masih tersisa, yakni
Kanal 11 dan 12. Harap, lantaran ada peluang untuk menambah aset, semakin besar
spektrum yang dikuasai akan semakin nyaman pelanggan dilayani. Ibarat jalan
tol, Kanal 11 dan 12 menambah jalur jalan sehingga lalu lintas kendaraan
semakin cepat dan semakin banyak. Dalam telekomunikasi selular, spektrum
frekuensi sama dengan jalur jalan tol. Bila dikaitkan dengan era broadband dan
semakin terbiasanya masyarakat berkomunikasi data, kirim email, browsing internet, bertukar informasi
teks dan gambar, maka bertambahnya kanal frekuensi sama dengan memperkuat
kinerja dan layanan. Walhasil mereka yang memenangkan Kanal 11 dan atau 12
memiliki potensi untuk unggul dalam persaingan ke depan.
Cemas?
Lantaran siapapun yang mendapatkan kanal 12, sebagai hasil penataan frekuensi
yang saling berdekatan (contagious),
kemungkinan besar akan menanggung biaya tambahan yang jumlahnya belum pasti
namun besar sekali. Semua operator tahu bahwa kanal ini kotor alias penuh dengan
interferensi, khususnya interferensi dari Operator selular CDMA yang berada di
pita frekuensi 20xx-20xy MHz. Mendapatkan Kanal
12 sama dengan mendapatkan lahan yang penuh puing, semak belukar dan pohon
besar, yang semuanya harus dibersihkan untuk dapat digunakan mendirikan
bangunan.
Belajar
dari pengalaman di masa lalu, Operator yang mendapatkan spektrum frekuensi
kotor menjadi kewajiban baginya untuk membersihkan sendiri spektrum frekuensi
tersebut. Persoalannya, kebiasaan seperti itu muncul karena Operator menerima
spektrum frekuensi berdasarkan mekanisme proses administrasi, tidak diharuskan
membayar Up Front Fee dan Biaya Hak
Penggunaan (BHP Frekuensi) dalam jumlah besar (milyaran rupiah), bahkan
cenderung gratis. Sehingga apapun resikonya menjadi tanggungan Operator.
Ketika
Operator mendapatkan spektrum frekuensi melalui mekanisme lelang, dan harus
membayar Up Front Fee serta BHP Frekuensi
dalam jumlah besar, maka kebiasaan di masa lalu mestinya sudah tak berlaku
lagi. Spektrum frekuensi yang diterima Operator seharusnya sudah bersih dari
interferensi, dan pembersihan ini menjadi tanggung jawab Regulator yang
menerima pembayaran Up Front Fee dan
BHP Frekuensi.
Lelang atau Beauty Contest?
ITU, lembaga telekomunikasi dunia, mengatur
mekanisme pemberian hak sewa frekuensi ke dalam empat model: first come first served (administration
process), lelang (auction),
seleksi (beauty contest) dan undian (lotery). Di masa lalu Regulator
Telekomunikasi Indonesia menggunakan proses administrasi untuk memberikan hampir
semua spektrum frekuensi kepada para pengguna sipil. Ketika Pemerintah
menyadari bahwa frekuensi memiliki nilai ekonomis tinggi, mekanisme lelang
mulai diterapkan untuk menggantikan seleksi. Secara umum, first
come first served dan lotery
sudah tidak banyak diaplikasikan.
Lelang dipilih karena selain asumsi frekuensi
memiliki nilai ekonomis tinggi, juga dianggap fair bagi mereka yang menginginkan spektrum frekuensi, relatif
transparan prosesnya sehingga peluang kong-kali-kong antara Operator dan
Regulator semakin berkurang. Namun demikian, lelang tak menghiraukan
faktor-faktor sosial-ekonomi-politik dan lain-lain yang layak menjadi
pertimbangan dalam pemberian izin penggunaan frekuensi. Lelang lebih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran bahwa spektrum frekuensi adalah sumber daya ekonomi
semata. Akibatnya, lelang beresiko, yang selalu memenangkan lelang adalah
Operator yang didukung oleh pemilik modal yang sangat kuat. Selain itu, lelang
juga berpotensi membentuk pelaku pasar yang dominan dalam penguasaaan spektrum
frekuensi, kondisi yang tidak menguntungkan industri itu sendiri, maupun
masyarakat luas.
Beauty
Contest digunakan untuk mengatasi kelemahan lelang. Mekanisme ini sesuai
dalam lingkungan industri jasa telekomunikasi yang masih memerlukan bimbingan
dan perlindungan dari Pemerintah. Dengan mekanisme beauty contest, pemerintah berpeluang mengatur penggunan spektrum frekuensi
memenuhi azas-azas yang tercantum dalam Undang-undang Telekomunikasi Nomor
36/1999 maupun azas-azas yang banyak dianut oleh berbagai negara yakni azas
manfaat, pemerataan, dan keadilan.
Konsekuensi
Setiap
pilihan kebijakan memiliki konsekuensi. Jika Kementerian Kominfo menetapkan
lelang sebagai mekanisme pemberian tambahan kanal 3G maka, bagi Operator
konsekuensinya adalah harus membayar sejumlah nilai uang sebanyak yang
dinyatakan dalam penawaran lelang. Uang tersebut dapat dianggap sebagai sewa
penggunaan spektrum frekuensi untuk jangka waktu tertentu. Apa fasilitas yang
didapat setelah membayar “Sewa Penggunaan Frekuensi”? jawabnya sudah pasti
spektrum frekuensi yang kemudian digunakan untuk memancarkan layanan 3G. Apakah
hanya itu? Mestinya tidak. Bagi Regulator dengan menerima “uang sewa” mestinya
berkewajiban untuk membersihkan spektrum frekuensi dari penggunaan oleh orang
lain yang tidak berhak atau yang secara melawan hukum. Operator yang dinyatakan
memenangkan lelang dengan membayar harga sewa tertinggi berhak mendapatkan
spektrum frekuensi yang bersih dari gangguan atau interferensi dari pengguna
spektrum frekuensi lainnya.
Jika pilihan yang diambil adalah beauty contest di mana dasar penetapan
penerima “sewa frekuensi” bukan dari penawaran tertinggi melainkan dari score administrasi, teknis, kinerja
operasional, serta penerapan azas – azas yang berlaku dalam telekomunikasi
seperti azas manfaat dan azas kesetaraan (level
of playing field), maka meskipun Operator penerima sewa frekuensi tetap
harus membayar biaya sewa, namun karena besarannya ditetapkan oleh regulator,
Operator yang bersangkutan menyatakan bersedia menerima spektrum frekuensi apa
adanya. Artinya bila kanal yang diberikan ternyata kotor, atau masih ada
pengguna lain di spektrum tersebut, maka resiko membersihkan kanal tersebut
menjadi tanggung jawab Operator.
Atur Ulang Lokasi Kanal
Dengan
adanya kenyataan bahwa Kanal 12 masih kotor, ada interferensi kuat dari
Operator yang beroperasi menggunakan CDMA, dan bila Pemerintah tak dapat
menjamin kebersihan kanal 12 dari interferensi, sangat bisa bisa diterima bila
Operator 3G cemas dan khawatir. Meski biaya pembersihan kanal belum dapat
dipastikan besarannya, yang pasti nilainya tak sedikit mengingat cakupan
wilayah yang harus di-cover meliputi seluruh wilayah Nusantara.
Jika
Regulator menyelenggarakan lelang, maka untuk memastikan kanal yang diberikan
kepada penawar tertinggi bersih dari interferensi, direkomendasikan agar
Regulator mewajibkan Operator CDMA yang berada di atas spektrum frekuensi 3G untuk
menanggung semua biaya pemasangan filter, atau memindahkannya ke frekuensi lain
yang tidak ber-interferense dengan Operator 3G yang berada di kanal 12. Perlu
diingat, ketika mendapatkan frekuensi yang saat ini ditempati Operator CDMA
tersebut tidak diharuskan membayar Up
Front Fee yang jumlahnya ratusan milyar rupiah sebagaimana dilakukan
operator 3G. Oleh karena itu demi keadilan, seharusnya Regulator tegas menagih
Up Front Fee dan BHP Frekuensi kepada Smart Telecom sebesar dan sebagaimana
yang dibayarkan Opertor 3G. *****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.