Hubungan Industri dan Penempatan Lulusan
Sumbangan
Pemikiran: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Fakta
(dari kacamata pelaku usaha/industri):
1.
DU/DI membutuhkan
lulusan SMK untuk memenuhi memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil tingkat
pelaksana.
2.
Sebagian perusahaan menyelenggarakan pelatihan bagi para
pegawai baru, sebagian besar tidak menyelenggarakan, pegawai baru langsung
bekerja tanpa pelatihan awal, dianggap sudah siap bekerja.
3.
Selain menerima lulusan SMK, perusahaan juga menerima
lulusan SMA.
4.
Ada kompetisi antara lulusan SMK dan lulusan SMA, dalam
berbagai kasus lulusan SMK justru kalah terampil dibandingkan lulusan SMA.
5.
Trend lulusan SMK yang diterima bekerja, mengikuti
pelatihan, dan setelah itu keluar mencari pekerjaan lainnya semakin meningkat.
Hal ini merugikan perusahaan.
6.
Perusahaan menerima siswa SMK untuk Prakerin.
7.
Banyak perusahaan yang menganggap siswa prakerin tidak
memberikan manfaat bagi perusahaan, hanya menganggu saja, bersedia menerima hanya
karena merasa hal tersebut sebagai kewajiban.
8.
Sekolah sering merasa inferior, kurang percaya diri ketika
berhadapan dengan DU/DI.
9.
Industri tidak tahu apa yang harus diajarkan kepada siswa
prakerin, karena tidak ada arahan dari sekolah.
10.
Banyak sekolah yang mengirim siswa prakerin, guru atau Kepala
Sekolahnya tak pernah mengunjungi muridnya yang sedang Prakerin atau bertemu
dengan pimpinan perusahaan di mana siswa menjalankan Prakerin.
11.
Sekolah kurang berupaya membangun komunikasi intensif
dengan industri.
12.
Sekolah tidak berusaha mencari informasi ada/tidaknya
kebutuhan tenaga kerja di industri yang dekat dengan lokasinya atau yang sesuai
dengan jurusan/bidang keahlian yang diselenggarakannya. yang sering terjadi
justru pelaku usaha yang mengirim pemberitahuan permintaan lulusan.
13.
Sebagian besar
pelaku usaha/industri tidak peduli terhadap keberadaan SMK, kelompok ini
beranggapan bagaimana menghasilkan lulusan SMK terampil di luar tanggung
jawabnya.
Pembahasan
1.
Bagi sebagian besar pelaku industri, mereka tidak peduli
terhadap maju mundurnya pendidikan SMK, hal ini tidak serta merta dapat
dikatakan sebagai kesalahan pelaku industri, melainkan karena belum bertemunya
sistem indutri dengan sistem sekolah yang terhubung secara erat, permanen dan
mutual.
2.
Di sisi lain dapat pula dipahami banyak Kepala Sekolah yang
tidak berani berinisiatif menjalin hubungan intensif dengan DU/DI karena - bisa
jadi - belum ada kebijakan dan atau regulasi yang menjadi acuan bagi sekolah
dalam membangun hubungan dengan DU/DI. Ya, memang pernah ada kebijakan link and match, namun mengapa sepertinya
kebijakan bagus tersebut tak bergayung sambut berkelanjutan? bisa jadi karena
ketiadaan petunjuk pelaksanaan yang detil hingga sampai pelaku di lapangan,
serta tiadanya pelatihan kepada para Guru dan Kepala Sekolah mengenai bagaimana
menjalankan kebijakan link and match
tersebut.
3.
Sebaran sekolah dan kluster industri tidak selalu
berpadanan. SMK yang berlokasi di wilayah yang banyak terdapat
perusahaan/industri memiliki peluang yang lebih besar untuk menjalin kerja sama
dengan DU/DI, sebaliknya sekolah di wilayah yang populasi industri sedikit atau
tak banyak jenisnya, cenderung menghadapi hambatan besar. Untuk mengatasi hal ini,
Kepala Sekolah ditutut berani keluar dari zona nyaman, bersedia bekerja lebih keras dan berani menemui pelaku
usaha di kota-kota lain untuk mempromosikan sekolahnya.
4.
Disarankan agar Kepala Sekolah diberi kewenangan untuk
menanda-tangani kerja sama dengan DU/DI. Ada keluhan dari Kepala Sekolah bahwa
dirinya tidak berani menanda-tangani kerja sama dengan suatu perusahaan karena
khawatir disalahkan.
5.
Untuk dapat menjalankan kewenangan tersebut di atas dengan
benar, Kepala Sekolah dan jajarannya perlu memiliki pengetahuan, wawasan,
kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi dengan DU/DI secara saling
menguntungkan.
6.
Sekolah perlu memahami bagaimana industri
beroperasi/bekerja, tak hanya menuntut dari DU/DI, namun juga bisa memberikan
value kepada DU/DI.
7.
Majoritas lulusan tidak mengerti bagaimana membuat surat
lamaran, bagaimana proses rekruitmen, apa yang harus disiapkan ketika
menghadapi tes penerimaan pegawai, apa yang boleh dan atau tidak baik dilakukan
selama wawancara penerimaan pegawai, negosiasi gaji, dan lain sebagainya.
Sehingga fresh SMK graduate cenderung menerima saja apa yang ditawarkan
oleh calon majikan. Ketika belakangan menyadari apa yang menjadi harapannya
tidak diperolehnya maka ia keluar dari perusahaan tersebut, meski baru beberapa
bulan bekerja.
8.
Mengurangi terjadinya point 7 di atas, perlu ditambahkan
pengajaran kepada siswa SMK tentang bagaimana proses rekruitmen, bagaimana
bisnis beroperasi menghasilkan revenue, apa dan bagaimana budaya perusahaan,
sehingga sebelum memasuki dunia kerja siswa sudah dapat memahami lingkungan macam apa yang akan dimasukinya.
9.
Pola kerja sama jangka panjang antara sekolah dan DU/DI
perlu dibakukan secara permanen. Bahkan menjadi Key Performance Indicators (KPI) Kepala Sekolah.
10.
Pada umumnya, dalam hubungan antara industri dan sekolah,
pelaku usaha cenderung pasif, hal ini bisa jadi karena masih banyak pelaku
usaha yang beranggapan bahwa keterlibatannya dengan sekolah akan menambah
biaya, menurunkan profit. Sekolah harus meng-edukasi industri agar pola pikir
tersebut berubah menjadi "ingin meraih untung lebih banyak, kerja samalah
dengan SMK."
Jakarta, 18 Mei 2016
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.