Pemanfaatan Teori Pemerintahan Dalam Menyelesaikan Masalah
Pemerintahan
I.
Pengantar
Pemerintah sebagai organisasi publik, dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya tentu tak luput dari melakukan kesalahan,
atau harus mengatasi masalah yang timbul dan atau dihadapi oleh warga negara.
Dalam konteks ini, masalah dapat terjadi di lingkungan suatu lembaga
pemerintah, antar-lembaga pemerintah, di tengah masyarakat, antar anggota
masyarakat, maupun antara masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu masalah
dapat dianggap wajar, apabila dapat dengan cepat dikenali, terkendali, dan
segera didapatkan solusinya untuk diselesaikan. Masalah berubah menjadi mala
petaka apabila kemunculannya tiba-tiba, ukurannya masif, di luar kemampuan
organisasi untuk mengatasinya, atau terjadinya baru disadari setelah sekian
lama berlangsung, semacam masalah latent atau kronis. Masalah yang akan dibahas
dalam paper ini adalah masalah pemerintahan khususnya yang berkaitan dengan
hubungan antara pemerintah dan masyarakat, terutama dalam hal pelayanan publik.
Sejalan dengan kebijakan pemerintahan Presiden
Jokowi untuk membangun Pembangkit Tenaga Listrik hingga 35GW, dan upaya
meningkatkan kegiatan eksplorasi serta produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas)
selaku energi primer yang selama enam dekade telah menjadi tulang punggung
perekonomian Indonesia, muncul keprihatinan dari sebagian pelaku usaha
khususnya produsen barang dan jasa dalam negeri yang merasa terpinggirkan oleh
serbuan barang dan jasa impor. Padahal sudah sejak lama pemerintah menerapkan
kebijakan penggunaan produk dalam negeri atau tingkat komponen dalam negeri
(TKDN). Di satu sisi ada potensi pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain para
pelaku industri dalam negeri hanya mendapat kue pembanguan yang porsinya
semakin mengecil lantaran digerogoti oleh produk impor.
Menjadi pertanyaan, mengapa hal ini terjadi?
Bukankah sudah ada kerangka hukum dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur
tentang pengutamaan penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri di hampir
semua sektor? Bukankah kemampuan industri dalam negeri sudah semakin meningkat
dan mampu menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi standar nasional dan
internasional?
Pada tataran teori dan normatif (dalam bentuk
hukum positif), pemerintah memiliki kewajiban untuk membina sendi-sendi
kehidupan masyarakat. Bentuk pembinaan meliputi namun tak terbatas pada penetapan
kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian[1].
Sejalan dengan hukum positif tentang tugas pemerintah untuk melakukan
pembinaan, untuk urusan kebijakan, dapat dikatakan apa yang dilakukan
pemerintah sudah sesuai. Hal ini ditandai dengan sudah banyaknya produk
peraturan perundangan yang mengatur keberpihakan kepada barang dan jasa produksi
dalam negeri. Akan tetapi untuk urusan
pengaturan, pengawasan, dan pengendalian, ketiga hal ini dirasakan masih
bermasalah. Berangkat dari permasalahan pemerintahan sebagaimana disebut dalam
premis di atas, dan dikaitkan dengan disiplin ilmu pemerintahan, pertanyaan
yang ingin dibahas dalam paper ini adalah bagaimana ilmu pemerintahan dapat
menjawab tantangan – tantangan tersebut di atas.
II.
Teori Pemerintahan
Pemerintah merupakan terjemahan dari Government.
Kata “pemerintah” dan “pemerintahan” berasal dari suku kata “perintah” yang
berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Teori pemerintahan sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan
itu kongkrit dan oleh karenanya dapat diamati, dipelajari, serta teruji
kebenarannya, teratur bersifat khas dalam arti mempunyai metodologi, obyek,
sistematika, dan teori sendiri. Ilmu pemerintahan dapat dikategorikan sebagai
ilmu praktis atau ilmu terapan, karena dapat secara langsung diterapkan dalam
kehidupan pemerintahan suatu negara.
Beberapa hal yang terkandung dari makna
“perintah” adalah sebagai berikut[2]:
1.
adanya
keharusan menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan;
2.
adanya
dua pihak, yang memberi dan menerima perintah;
3.
adanya
hubungan fungsional antara yang memberi dan menerima perintah;
4.
adanya
wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Pertanyaan kritis dari ringkasan tersebut di
atas, mengapa apa yang diperintahkan harus dilaksanakan? Bagaimana atau apa
dampaknya bila perintah tersebut tidak dilaksanakan, atau dilaksanakan namun
prosedur maupun hasilnya tidak sesuai harapan. Berikutnya, atas dasar apa suatu
pihak menjadi pemberi dan pihak lainnya menjadi penerima perintah? Siapa yang
diperintah?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, C.F.
Strong dalam Suradinata (2015 hal.12) dikutip sebagai menyatakan bahwa
pengertian pemerintahan itu sangat luas karena mempunyai kewenangan untuk
memelihara kedamaian dan keamanan negara, baik ke dalam maupun ke luar. Oleh
karena itu, pertama, pemerintahan mempunyai kekuatan tentara atau kemampuan
untuk mengendalikan angkatan perang. Kedua, pemerintahan harus memiliki
kekuatan legislatif yang berfungsi sebagai pembuat undang-undang. Dan ketiga,
pemeritahan harus mempunyai kekuasaan finansial, yaitu kekuasaan untuk
mengumpulkan uang dan menarik pajak dari masyarakat untuk menutupi pembayaran
dalam mempertahankan negara dan menegakkan hukum untuk dan atas nama negara.
Aparat pemerintahan dituntut untuk memiliki
kemampuan dalam melakukan penyeimbangan tugas-tugas pengelolaan kekuasaan dalam
masyarakat (Hikam, 1999, hal 114). Tiga spektrum tugas pemerintahan, rulling
(pemerintahan berdasar atas wibawa dan petunjuk atasan), governing
(pemerintahan berdasar atas konsensus antara penguasa dan rakyat), dan
administering (pemerintahan berdasar atas prosedur yang disepakati). Kemampuan melakukan penyeimbangan ketiganya
akan menentukan kualitas aparat pemerintahan dan kualitas pemerintahan.
Berkaitan dengan kualitas pemerintahan, Hikam
(1999) menambahkan bahwa pemerintahan amanah adalah yang dapat diberi
kepercayaan oleh masyarakat untuk melakukan fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan
pembangunan. Sedangkan pemerintahan yang responsif adalah yang mampu memahami
gerak di dalam masyarakat dan mengantisipasi permasalahan secara tepat waktu
dan jawaban. Aparat pemerintah juga perlu netral dari kepentingan partisan.
Dengan semakin netralnya aparat pemerintahan dari politik, maka objektivitas,
rasionalitas, dan efisiensi semakin bisa diusahakan.
Wasistiono et all (2014), menyatakan bahwa
kejadian yang berhubungan dengan gejala dan peristiwa pemerintahan yang
bersifat empiris menjadi objek penelaahan ilmu pemerintahan. Erliana (2016)
menyatakan ilmu pemerintahan dapat dilihat dari objek-objek tertentu yang
memiliki keserupaan satu sama lainnya, yaitu: objek materia ilmu pemerintahan
adalah negara, dan objek forma ilmu pemerintahan adalah hubungan antara negara
dengan rakyatnya dalam kontek kewenangan dan pelayanan publik.
Suradinata (2015) menawarkan konsep dan strategi
guna menganalisis kebijaksanaan pemerintahan sebagai berikut:
1.
Sikap
dan perilaku individu dalam organisasi pemerintahan harus dapat membaur dengan
masyarakat, sehingga getaran hati dalam wujud kebutuhan dasar dalam kehidupan
sosial dapat dirasakan oleh aparatur organisasi pemerintahan.
2.
Memberikan
fasilitas dan pelayanan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan lingkungan
masyarakat yang senantiasa berubah.
3.
Mekanisme
perencanaan yang datangnya selalu dari bawah, dan dapat menampung aspirasi
masyarakat bawah.
4.
Memanfaatkan
anggaran belanja secara dinamis, sesuai dengan kebutuhan dan memperhitungkan
hasil bagi kepentingan negara.
5.
Memberikan
modal usaha kepada wirausaha kecil termasuk fasilitasnya.
6.
Menganalisis
situasi dan kondisi baik keadaan di dalam maupun di luar organisasi.
7.
Pengembangan
strategi untuk mewujudkan wawasan, visi dan tujuan organisasi pemerintahan.
Pada bagian
lain, Surianingrat (1992) mengingatkan ada pengertian lain dari kata pemerintah
yang berasal dari kata to govern yang mengandung makna[3]:
1.
melaksanakan
wewenang pemerintahan;
2.
cara
atau sistem memerintah;
3.
fungsi
atau kekuasaan untuk memerintah;
4.
wilayah
atau negara yang diperintah; dan
5.
badan
yang terdiri dari orang-orang yang melaksanakan wewenang dan administrasi hukum
dalam suatu negara.
Poelje (1953), menyajikan dua perumusan ilmu
pemerintahan, yakni “pemerintahan adalah sebagai ajaran tentang perbuatan
pemerintahan”, dan “ilmu pemerintahan mengajarkan bagaimana mengatur dan
memimpin sebaik-baiknya dinas umum[4].
Iver (1959), menyatakan ilmu pemerintahan
merupakan pengetahuan yang sistematis tentang negara, tentang keadaan yang
menyebabkan timbulnya berbagai type pemerintahan, tentang hubungan antara
pemerintah dan yang diperintah, dan tentang cara-cara pemerintah melaksanakan
fungsinya[5].
Pemerintah yang berdaulat mempunyai hak untuk
mengurus dan mengatur rumah tangga nasional serta memiliki monopoli untuk
melaksanakan kekuasaan yang bersifat memaksa. Di dalam pengurusan rumah tangga
nasional tersebut termasuk melindungi masyarakat dan wilayah negara,
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan
lingkungan hidup, memelihara keamanan dan ketertiban umum. Memerhatikan batasan
dan prinsip di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah terdiri dari
sekelompok individu yang mempunyai dan melaksanakan wewenang yang sah dan
melindungi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui perbuatan dan
pelaksanaan berbagai keputusan.
Wasistiono dan Simangunsong (2015) mengungkapkan
objek materia ilmu pemerintahan yang menjadi inti dari ontologi ilmu
pemerintahan, yakni memelajari bagaimana organisasi tertinggi suatu negara,
yakni pemerintah, berhubungan dengan rakyatnya dalam kaitan hak dan kewajiban
yang seimbang dalam konteks kewenangan dan pelayanan publik, serta pola-pola
hubungan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan rakyatnya. Pola hubungan
ini dipengaruhi oleh bentuk negara dan sistem politik yang dianut. Pembahasan
Ilmu Pemerintahan juga berkisar tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau
menjalankan peran, kewenangan, tugas pokok dan fungsinya, yang semuanya
terangkum dalam Metodologi Ilmu Pemerintahan, yakni metode yang membahas
bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar di bidang ilmu pemerintahan[6].
Pemerintahan adalah
segala usaha atau kegiatan yang terorganisir, bersumber pada kedaulatan dan
berlandaskan dasar negara, mengenai rakyat/penduduk dan wilayah negara demi
tercapainya tujuan negara. Lebih jauh, pemerintahan merupakan suatu sistem dari
pelbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar tertentu untuk mewujudkan
tujuan negara. Dengan demikian, maka pemerintahan terdiri
dari: a. kekuasaan/kewenangan untuk merumuskan kebijakan (policy formulation) dan b. administrasi (policy execution), hubungan keduanya erat sekali.
Kesimpulan mengenai ontologi ilmu pemerintahan
dapat disarikan dari apa yang dikemukakan dalam Ndraha (2011) bahwa ilmu
pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana memenuhi dan melindungi
kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa publik dan layanan sipil, dalam
hubungan pemerintahan (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang
bersangkutan.[7]
III. Permasalahan Dalam Pemerintahan
Untuk kurun waktu yang lama birokrasi
pemerintahan cenderung stabil, tidak banyak melakukan perubahan, jika pun ada
boleh dikatakan sedikit sekali. Pengembangan organisasi pemerintahan lebih
banyak mengikuti laju pembangunan yang dicanangkan oleh Presiden selaku
Pemimpin Tertinggi Negara. Birokrasi pemerintah dalam bentuk klasik identik
dengan model birokrasi yang dikembangkan oleh Max Weber, oleh karenanya disebut
Birokrasi Weberian, telah mewarnai praksis birokrasi di hampir semua negara
untuk kurun waktu yang lama. Ditandai dengan keteraturan, terstruktur dalam
hirarki organisasi sehingga cenderung lambat dalam bereaksi terhadap perubahan
lingkungan.
Salah satu kelemahan sektor publik adalah skala,
scope, dan regulasi (Boyne, 2003a; Hood et al, 1998). Manager organisasi publik
tidak sebebas sebagaimana manajer swasta dalam memilih barang dan atau jasa
yang ditawarkan kepada masyarakat. mereka bekerja dalam kerangka tugas dan
pengendalian yang ditetapkan dalam landasan hukum dan regulasi. Pelayanan
publik dan organisasi penyedia layanan publik dalam dua dekade terakhir ini
telah mengalami perubahan yang cukup besar. Hal ini merupakan konsekuensi dari
meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap dipenuhinya hak-hak mereka, yang
didorong oleh perubahan lingkungan politik sementara di pihak lain terjadi
semakin langkanya sumber daya publik. Perubahan lingkungan mendorong para
birokrat pemerintahan untuk lebih terlibat dalam manajemen perubahan dan
melakukan inovasi dan memahami dengan jelas perbedaan antara keduanya.
Osborn dan Brown (2005)[8]
menyebut beberapa faktor pendorong perubahan antara lain:
1.
Perubahan
ekonomi global yang mengakibatkan organisasi pemerintahan tidak dapat lagi
bertumpu pada kenaikan pertumbuhan namun harus fokus pada penggunaan sumber
daya yang semakin langka secara efektif dan efisien;
2.
Adanya
pertumbuhan kemampuan manajerial dari pada
administrasi, pendekatan terhadap penyediaan pelayanan publik, yang
kemudian dikenal sebagai Manajemen Public Baru (New Public Management);
3.
Perubahan
demografi, khususnya penuaan populasi di berbagai negara;
4.
Perubahan
ekspektasi sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan, menuntut
pelayanan publik yang semakin fokus, menawarkan berbagai pilihan dan
berkualitas;
Perubahan
politik, ditandai oleh perubahan paradigma untuk melawan hegemoni negara dalam
memenuhi kebutuhan publik, serta semakin kompleksnya pendekatan dalam memenuhi
kebutuhan publik tersebut sehingga membutuhkan governance dalam hubungan
antar-penyedia pelayanan publik
IV. Pemerintahan Yang Berhasil (atau Gagal)
Pendapat lain tentang tugas-tugas pemerintah
dikemukakan oleh Glazer dan Rothenberg (2001)[9]
bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab di bidang-bidang:
1.
ekonomi
makro, dengan maksud untuk mempromosikan pekerja dan pertum-buhan ekonomi;
2.
redistribusi,
dengan maskud untuk pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya;
3.
produksi,
dengan maksud untuk membeli atau
menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif; dan
4.
regulasi,
dengan maksud mengatur perilaku sektor swasta, dunia usaha, industri maupun
individu.
Untuk mengatur ekonomi secara makro, pemerintah
menggunakan lima jenis cara yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan
anggaran, dorongan (exhortation), dan
kebijakan redistribusi. Keberhasilan
mengelola ekonomi makro yang ditandai dengan adanya pertumbuhan dan pemerataan,
rendahnya inflasi, rendahnya tingkat pengangguran, meningkatnya Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development
Index), dan rendahnya Indeks Persepsi Korupsi menandakan keberhasilan
pemerintah
Pemerintah dianggap gagal (government failure) apabila intervensi pemerintah ke dalam
perekonomian untuk mengatasi kegagalan pasar justru menciptakan inefisiensi
yang menjurus pada kesalahan alokasi sumber daya yang terbatas[10].
Kebijakan subsidi dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang tidak efisien untuk
berlindung dari sengitnya kompetisi, sehingga menjurus kepada moral hazard.
Birokrasi yang berlebihan juga dapat menjadi penyebab kegagalan pemerintahan.
Kebijakan publik yang tidak didasarkan pada disiplin
ilmu pemerintahan, atau hanya berdasar pemahaman umum (common sense) tanpa didukung data empirik maupun analisis secara
komprehensif berpotensi menjadi kebijakan yang cacat (flaw policy). Kebijakan pemerintah yang sudah didasarkan pada data
dan analisis pun masih berpotensi menjadi kebijakan gagal, apabila aparat
pelaksananya tidak memahani dan menguasai substansinya, atau tidak
disosialisikan secara efektif dan efisien. Kebiijakan publik yang cacat atau
yang implementasinya tidak sebagaimana seharusnya pada gilirannya berpotensi
mendorong terjadinya kegagalan pemerintah.
Dalam banyak kasus kegagalan pemerintah juga
disebabkan karena tidak ada atau lemahnya harmonisasi kebijakan oleh berbagai
sektor yang terkait. Hal ini dapat terjadi karena adanya beda kepentingan antar
sektor, maupun karena satu pihak tidak memahami hubungannya dengan pihak lain.
Berangkat dari premis ini, menjadi tidak aneh ketika ada satu Kementerian
menerbitkan kebijakan baru, kemudian tidak dapat diimplementasikan dengan
mulus, salah satunya karena mendapat tentangan dari instansi pemerintah
lainnya, atau dari masyarakat selaku objek kebijakan.
V.
Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan
Kebijakan Publik
Salah satu karakteristik Good Governance yakni
adanya tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparant)[11].
Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik baik yang
berkenaan dengan urusan pelayanan publik maupun pembangunan harus diketahui
publik. Publik berhak tahu alasan pembuatan kebijakan publik, serta publik
diberi peluang untuk berperan-serta dalam proses pembuatan kebijakan publik
melalui mekanisme komunikasi terbuka, baik secara tatap muka mapun melalui
media online. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan tersebut serta hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat
diakses publik.
VI.
Acuan Hukum Penggunaan
Produk Dalam Negeri
Pada paper ini diambil
dua Undang-Undang yang dijadikan contoh dalam mengatur kewajiban penggunaan
barang dan jasa produk dalam negeri, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan (UU30/2009) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Undang-Undang
Ketenagalistrikan
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga-listrikan
menyatakan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha
Swasta, dan Koperasi dalam melakukan usaha industri penunjang tenaga listrik
wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. Pasal 16 ayat (3) Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Swasta, dan Koperasi dalam
melakukan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan
potensi dalam negeri.
Pasal 28 menyatakan Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik
wajib:
1.
menyediakan
tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku;
2.
memberikan pelayanan
yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat;
3.
memenuhi ketentuan
keselamatan ketenagalistrikan; dan
4.
mengutamakan
produk dan potensi dalam negeri.
Mengenai pembinaan dan pengawasan Pasal 46 menyatakan Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal pengutamaan
pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri. Dalam melakukan pengawasan, Pemerintah
dan pemerintah daerah dapat: melakukan inspeksi pengawasan di lapangan; meminta
laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; melakukan penelitian dan
evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan memberikan
sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan perizinan.
Ketentuan mengenai sanksi dinyatakan pada Pasal 48 yang pada intinya
menyatakan pelanggaran terhadap ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan
barang dan jasa produk dalam negeri dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis, pembekuan sementara, dan atau pencabutan izin usaha. Sanksi
administratif tersebut ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
Undang-Undang Migas
Pasal 40 ayat (4) menyatakan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengutamakan pemanfaatan
tenaga kerja setempat, barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing. Sedangkan di Pasal 42
yang mengatur tentang Pengawasan menyatakan pengawasan
meliputi: pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri.
Mengenai kegiatan Usaha Hulu, Undang Undang Migas ini di di Pasal 11
ayat (3) menyatakan Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit
ketentuan-ketentuan pokok yang salah satunya adalah pengutamaan pemanfaatan
barang dan jasa dalam negeri.
Ketidak-patuhan Birokrat
Pada kenyataannya, walaupun Undang-Undang sudah
jelas dan tegas mengatur tentang pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri,
namun masih banyak pihak yang bertindak selaku objek dari Undang-Undang
tersebut, yang nota bene lembaga pemerintahan, tidak mematuhi hukum. Mereka lebih
suka membeli barang dan jasa produk luar negeri alias impor, hal ini tentu saja
mengingkari kepercayaan rakyat yang telah memberikan amanah untuk mengelola
negara.
Jadi masalahnya bukan hanya produk dalam negeri
lebih mahal dari produk impor, namun lebih pada ketidak-patuhan aparat
pemerintah menjalankan Undang-Undang yang berlaku.
VII.
Solusi
Ditinjau dari tataran teoretis, dapat dikatakan
birokrat belum memahami sepenuhnya filosofi dan alasan keberadaan (reasons for
being) pemerintah. Eksistensi Pemerintah diperlukan untuk mengatur masyarakat,
secara proporsional, dalam mengupayakan kesejahteraan warga, memelihara
kedamaian dan keamanan negara, baik ke dalam maupun ke luar. Untuk menjalankan
tupoksinya, aparat pemerintahan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan
penyeimbangan tugas-tugas pengelolaan kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam beberapa hal, untuk mendaya-gunakan
kemampuan warga, pemerintah perlu melakukan intervensi melalui penerbitan
regulasi. Akan tetapi, regulasi saja tidaklah mencukupi, karena selain regulasi
harus sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik, tidak under atau over
regulasi, juga harus dapat diimplementasikan oleh semua pihak yang menjadi
objek regulasi tersebut. Dan yang tak kalah pentingnya, mendorong tercapainya
kesejahteraan warga.
Dalam hal pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri untuk mendukung proyek-proyek pemerintah, BUMN, BUMD, maupun
proyek-proyek strategis lainnya, kepatuhan birokrat terhadap ketentuan
peraturan perundangan relatif rendah, sehingga akibatnya produk barang dan jasa
dalam negeri cenderung posisinya lebih lemah justru di negerinya sendiri.
Kondisi ini seolah dibiarkan oleh Pemerintah, sehingga menimbulkan ironi. Hal
ini dapat dilihat pada rendahnya sanksi atas pelanggaran, yang hanya berupa
sanksi administratif, dan itupun masih diperparah lagi oleh lemahnya penegakan
hukum (law enforcement).
Memerhatikan hal – hal tersebut di atas, maka solusi yang diusulkan atas masalah
pemerintahan ini adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah
memiliki kewenangan memberi perintah dan memaksa, baik kepada warga ataupun
kepada birokratnya sendiri. Maka pendekatan kewenangan dan kekuasaan secara
memaksa disertai dengan penegakan hukum dapat diterapkan untuk mematuhi
berbagai Undang-Undang yang di dalamnya mengatur tentang pemanfaatan barang dan
jasa dalam negeri.
2.
Memerhatikan
Suradinata (2015) bahwa aparat pemerintah harus mampu membaur dengan
masyarakat, maka memahami dampak suatu keputusan pemerintah, khususnya terkait
dengan penggunaan produk impor yang dipakai dalam proyek-proyek pemerintah,
menjadi suatu keniscayaan. Oleh karenanya perlu diberikan tambahan wawasan yang
lebih luas, mengenai pemerintahan umum kepada semua pejabat di kementerian dan
lembaga.
*****
Daftar Pustaka
1.
Amihai Glazer &
Lawrence S. Rothenberg, 2001, Why
Government Succeeds and Why It Fails.
2.
Bayu Suryaningrat, 1992, Mengenal Ilmu Pemerintahan, hal. 9,
Jakarta: Rineka Cipta.
3.
Bappenas, 2002, Public Good Governance,
Sebuah Paparan Singkat, hal.9.
4.
Dwiyanto,
Agus, 2014, Mengembalikan Kepercayaan
Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Kompas Gramedia.
5.
Hikam, Muhammad A.S. (1999), Politik Kewarganegaraan, Landasan
Redemokratisasi di Indonesia, Penerbit Erlangga.
6.
Iver, Mac, R.M., (1959), The Web of Government, The Macmillan
Company New York.
7.
Osborn, Stephen P &
Brown, Kerry (2005), Managing Change and
Innovation in Public Service Organizatios, Routledge London, halaman 4.
8.
Poelje, Van G.A., (1953), Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde,
Alpen aan den Rijn, N. Samson N.V.
9.
Sadu Wasistiono (2013), Pengantar Ekologi Pemerintahan, Edisi Revisi,
IPDN Press.
10.
Sadu Wasistiono & Fernandes
Simangunsong (2015), Metodologi Ilmu
Pemerintahan (edisi yang diperluas), IPDN Press, hal. 9.
11.
Supriatna, Tjahya, 2014, Birokrasi
Dan Pemerintahan Daerah, PT. Nagakusuma Media Kreatif.
12.
Suradinata, Ermaya, 2015, Leadership: How to Build a Nation, Reformasi
Organisasi dan Administrasi Pemerintahan, Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia.
13.
Taliziduhu Ndraha (2011), Kybernology, (Ilmu Pemerintahan Baru),
Jilid 1, Cetakan Kedua, Penerbit Rineka Cipta.
14.
Undang Undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
[1] Sebagai contoh tercantum di UU 36/1999 pasal 4 ayat (2), dan UU 34/2014
pasal 4 ayat (2), pasal 79 ayat (2)
[2] Bayu Suryaningrat, 1992, Mengenal Ilmu Pemerintahan, hal. 9, Jakarta:
Rineka Cipta.
[3] Ibid, hal. 10
[4] Poelje, Van G.A., (1953), Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde,
Alpen aan den Rijn, N. Samson N.V.
[5] Iver, Mac, R.M., (1959), The Web of Government, The Macmillan Company
New York.
[6] Sadu Wasistiono & Fernandes Simangunsong (2015), Metodologi Ilmu Pemerintahan (edisi yang
diperluas), IPDN Press, hal. 9.
[7] Taliziduhu Ndraha (2011), Kybernology,
(Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1, Cetakan Kedua, Penerbit Rineka Cipta.
[8] Osborn, Stephen P & Brown, Kerry (2005), Managing Change
and Innovation in Public Service Organizatios, Routledge London, halaman 4.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.