Namanya Sokib. Kami memanggilnya Pak Sokib, mungkin berasal dari kata "sohib" yang artinya sahabat. Memang Pak Sokib selalu bersahabat dengan siapa saja, termasuk kami yang masih kanak-kanak tiga puluh tahun lalu.
Pak Sokib bekerja sekantor dengan ayah saya. Bersama-sama mengelola Pusat Latihan Kerja Pertanian yang kemudian berubah menjadi Balai Latihan Kerja (BLK Pertanian) Klampok. Pak Sokib bertugas apa saja, menjadi penjaga malam di komplek perumahan BLK, memerbaiki rumah, hingga pekerjaan fisik yang cukup berat. Kalau zaman sekarang mungkin sebutannya Security merangkap Office Boy.
Seingat saya Pak Sokib dulu cekatan, gagah, kuat, rajin dan ditakuti oleh maling, dan mereka yang bermaksud jahat di komplek perumahan BLK. Dari istri pertama (Mbok Kemi) Pak Sokib mendapat dua anak, Slamet dan Sumirah. Dari istri kedua, sepengetahuan saya Pak Sokib punya 5 anak (Sumenti, Sumanto, Sutarti, Sutarto, dan 1 lagi saya ndak tahu namanya).
Setelah pensiun (lebih dulu dari ayah saya) Pak Sokib tinggal tidak jauh dari rumah orang tua saya. Setiap kali saya pulang, selalu saya sempatkan menengoknya. sewaktu lebaran kemaren, Pak Sokib sedang sakit, kakinya bengkak, tidak bisa jalan. Pulang kemaren, liburan Paskah, saya ketemu dan kondisinya sedang membaik, sudah bisa jalan kaki.
Sang Jagoan yang dulu gagah perkasa kini terlihat telah renta, namun sorot matanya masih bersahabat, dan semangat hidupnya masih tinggi.
Bermanfaat Bagi Manusia Lain Tidak Harus Memberi Dalam Bentuk Barang, Tetapi Dapat Memberi Dalam Wujud Ilmu Pengetahuan Yang Berguna Positif. Bermanfaat Itu Memberi Apa Yang Dibutuhkan, Bukan Apa Yang Diinginkan. Semoga Kumpulan Tulisan Ini Dapat Memenuhi Mereka Yang Membutuhkan. Illahi Anta Maqsudi Wa Ridhoka Matlubi. Ya Allah, Semua Yang Saya Kerjakan Tiada Lain Hanya Untuk Mendapat RidhoMu.
Wednesday, April 11, 2007
Solusi Perselisihan Ala Kampung
Libur Paskah Jum'at kemaren yang setelah digabung dengan libur sabtu dan minggu menjadi libur tiga hari kami - saya dan istri - gunakan untuk pulang ke rumah orang tua di Klampok, Banjarnegara.
Sabtu pagi, seperti biasa kalau sedang pulang kampung, saya gunakan untuk jalan-jalan ke sawah, melihat-lihat apa yang sedang terjadi di pesawahan. Terlihat, seseorang sedang memangkas rumput di pematang, ada lagi yang sedang mengendarai bajak yang ditarik dua ekor kerbau, sementara anak kerbau berlari kesana kemari di tanah sawah yang akan dibajak untuk ditanami lagi.
Selagi asyik memotret terdengar bunyi traktor mendekat, saya berpaling, rupanya traktor menarik kereta (aanhang) yang berisi rotary yang akan dipakai untuk meratakan tanah sawah sehabis dibajak. Dengan takzim si pengemudi traktor menyapa saya dan kamipun saling sapa. selewat traktor, saya kembali asyik mengamati sekelompok pria yang akan memotong padi, panen. Rupanya, sekarang ini, siklus tanam padi di kampung kami sudah tidak serempak lagi seperti dulu waktu saya masih tinggal di kampung. Sekarang, ada yang sedang membajak, meratakan tanah bajakan, ada yang sedang memanen, tetapi ada juga yang sudah mulai menanam. Entah, ketidak-serempakan ini ada dampak kepada harga beras atau ketahanan terhadap hama.
Selagi asyik memotret para pria ini, tiba-tiba terdengar kedubrak. rupanya traktor yang baru saja lewat bersinggungan dengan sepeda motor yang membawa ayam ketika traktor menikung di pertigaan tidak jauh dari tempat saya berdiri. Traktor lalu berhenti, sepeda motor dipinggirkan, dan ayam-ayam ras (10 ekor) keluar dari keranjang yang terjatuh dari sepeda motor. pedagang ayam pengendara sepeda motor meringis kesakitan. Pengendara traktor beserta empat orang rekannya, membantu pedagang ayam, mengumpulkan kembali ayam-ayam yang terlepas dari keranjang.
Semua kejadian ini saya perhatikan dari jarak sekitar 50 meter, sambil memerkirakan apa yang aan terjadi. Mereka berenam (5 orang traktor, plus pedagang ayam) terlihat duduk jongkok di pinggir jalan, saling bicara. Karena penasaran, akhirnya saya mendekat dan akhirnya tahu, mereka sedang tawar-menawar ganti rugi. Pedagang ayam meng-klaim minta ganti rugi 250 ribu untuk mengganti keranjang yang jebol, 1 ekor ayam yang mati, dan kerusakan sepeda motor. Pihak traktor mengatakan hanya sanggup mengganti 50 ribu untuk ganti ayam yang mati, keranjang bukan baru dan masih bisa dipakai, kerusakan sepda motor bisa diperbaiki oleh mereka.
Sambil senyum dan menyapa orang -orang yang melintas di jalan, saya mendengarkan percakapan mereka. tuntutan pedagan ayam semula 250 ribu turun jadi 150, pihak traktor bersedia mengganti 75 ribu. Sambil ngedumel pedagang ayam bangkit dari duduknya dan mengemasi barang-barangnya sambil berkata, ya sudah tidak usah diganti ya tidak apa-apa, tega. mendengar teriakan pedagang ayam , kelompok traktor berkata, lha ini kami cuma punya 75 ribu. akhirnya pedagang ayam bilang, ya sudah seratus saja. Tiba-tiba datang si pemilik traktor, setelah menanyakan kepada anak-buahnya si pemilik menambahi lagi 15 ribu sehingga toal 90 ribu dan diserahkan kepada si pedagang ayam. dengan ogah-ogahan diterima oleh padagang ayam, sambil menyalakan sepeda motornya.
tiba-tiba salah seorang dari kelompok traktor berseru, memerintahkan kepada salah satu anggotanya untuk mengambil ayam yang mati. mendengar seruan itu si pedagang ayam protes, tetapi protesnya tidak ditanggapi dan tetap saja ayam yang sudah mati diambil kelompok traktor. pedagang ayam pasrah. ketika sepeda motor mau dijalankan ternyata pedal perseneling-nya tidak berfungsi. si pedagang ayam lalu memanggil kelompok traktor untuk memerbaiki sepeda motornya. salah seorang lainnya (rasanya yang bertugas sebagai mekanik) langsung mengambil kunci dan memerbaiki sepeda motor tersebut. selesai dan pedagang ayam pergi begitu saja.
Saya tanya kepada kelompok traktor, untuk apa ayam mati tersebut? dijawab seseorang, "dikubur Mas", lho emang kenapa? bukankah mas pedagang ayam bisa menguburnya? tanya saya. dijawab, biasanya sih tidak Mas, ayam mati seperti ini bisa dijual jadi sate atau bahan soto ayam. Biar orang lain tidak makan bangkai maka ayam mati ini kami minta untuk dikubur.
Pembaca, itulah sedikit wajah interaksi sosial di pedesaan, desa Klampok, Kalilandak, tempat orang tua saya bermukim. Jika kita perhatikan, semual saya pikir enam orang lawan satu orang pasti akan tidak seimbang, pihak traktor mengakui kesalahannya, namun bersedia mengganti apa yang hilang saja (ayam, dan sedikit kerusakan sepeda motor), pedagang ayam, menuntut agar keranjang ayamnya juga ikut diganti, namun diperbaiki oleh kelompok traktor. Terjadi proses negosiasi, yang satu turun, lainnya naik, titik keseimbangan pada angka 90 ribu. Kelompok traktor menduga ayam yang mati akan ikut dimasak dengan ayam yang masih hidup, jika demikian maka pelanggan pedagang ayam akan makan bangkai, oleh karena itu ayam mati tersebut diminta dan dikubur.
Sabtu pagi, seperti biasa kalau sedang pulang kampung, saya gunakan untuk jalan-jalan ke sawah, melihat-lihat apa yang sedang terjadi di pesawahan. Terlihat, seseorang sedang memangkas rumput di pematang, ada lagi yang sedang mengendarai bajak yang ditarik dua ekor kerbau, sementara anak kerbau berlari kesana kemari di tanah sawah yang akan dibajak untuk ditanami lagi.
Selagi asyik memotret terdengar bunyi traktor mendekat, saya berpaling, rupanya traktor menarik kereta (aanhang) yang berisi rotary yang akan dipakai untuk meratakan tanah sawah sehabis dibajak. Dengan takzim si pengemudi traktor menyapa saya dan kamipun saling sapa. selewat traktor, saya kembali asyik mengamati sekelompok pria yang akan memotong padi, panen. Rupanya, sekarang ini, siklus tanam padi di kampung kami sudah tidak serempak lagi seperti dulu waktu saya masih tinggal di kampung. Sekarang, ada yang sedang membajak, meratakan tanah bajakan, ada yang sedang memanen, tetapi ada juga yang sudah mulai menanam. Entah, ketidak-serempakan ini ada dampak kepada harga beras atau ketahanan terhadap hama.
Selagi asyik memotret para pria ini, tiba-tiba terdengar kedubrak. rupanya traktor yang baru saja lewat bersinggungan dengan sepeda motor yang membawa ayam ketika traktor menikung di pertigaan tidak jauh dari tempat saya berdiri. Traktor lalu berhenti, sepeda motor dipinggirkan, dan ayam-ayam ras (10 ekor) keluar dari keranjang yang terjatuh dari sepeda motor. pedagang ayam pengendara sepeda motor meringis kesakitan. Pengendara traktor beserta empat orang rekannya, membantu pedagang ayam, mengumpulkan kembali ayam-ayam yang terlepas dari keranjang.
Semua kejadian ini saya perhatikan dari jarak sekitar 50 meter, sambil memerkirakan apa yang aan terjadi. Mereka berenam (5 orang traktor, plus pedagang ayam) terlihat duduk jongkok di pinggir jalan, saling bicara. Karena penasaran, akhirnya saya mendekat dan akhirnya tahu, mereka sedang tawar-menawar ganti rugi. Pedagang ayam meng-klaim minta ganti rugi 250 ribu untuk mengganti keranjang yang jebol, 1 ekor ayam yang mati, dan kerusakan sepeda motor. Pihak traktor mengatakan hanya sanggup mengganti 50 ribu untuk ganti ayam yang mati, keranjang bukan baru dan masih bisa dipakai, kerusakan sepda motor bisa diperbaiki oleh mereka.
Sambil senyum dan menyapa orang -orang yang melintas di jalan, saya mendengarkan percakapan mereka. tuntutan pedagan ayam semula 250 ribu turun jadi 150, pihak traktor bersedia mengganti 75 ribu. Sambil ngedumel pedagang ayam bangkit dari duduknya dan mengemasi barang-barangnya sambil berkata, ya sudah tidak usah diganti ya tidak apa-apa, tega. mendengar teriakan pedagang ayam , kelompok traktor berkata, lha ini kami cuma punya 75 ribu. akhirnya pedagang ayam bilang, ya sudah seratus saja. Tiba-tiba datang si pemilik traktor, setelah menanyakan kepada anak-buahnya si pemilik menambahi lagi 15 ribu sehingga toal 90 ribu dan diserahkan kepada si pedagang ayam. dengan ogah-ogahan diterima oleh padagang ayam, sambil menyalakan sepeda motornya.
tiba-tiba salah seorang dari kelompok traktor berseru, memerintahkan kepada salah satu anggotanya untuk mengambil ayam yang mati. mendengar seruan itu si pedagang ayam protes, tetapi protesnya tidak ditanggapi dan tetap saja ayam yang sudah mati diambil kelompok traktor. pedagang ayam pasrah. ketika sepeda motor mau dijalankan ternyata pedal perseneling-nya tidak berfungsi. si pedagang ayam lalu memanggil kelompok traktor untuk memerbaiki sepeda motornya. salah seorang lainnya (rasanya yang bertugas sebagai mekanik) langsung mengambil kunci dan memerbaiki sepeda motor tersebut. selesai dan pedagang ayam pergi begitu saja.
Saya tanya kepada kelompok traktor, untuk apa ayam mati tersebut? dijawab seseorang, "dikubur Mas", lho emang kenapa? bukankah mas pedagang ayam bisa menguburnya? tanya saya. dijawab, biasanya sih tidak Mas, ayam mati seperti ini bisa dijual jadi sate atau bahan soto ayam. Biar orang lain tidak makan bangkai maka ayam mati ini kami minta untuk dikubur.
Pembaca, itulah sedikit wajah interaksi sosial di pedesaan, desa Klampok, Kalilandak, tempat orang tua saya bermukim. Jika kita perhatikan, semual saya pikir enam orang lawan satu orang pasti akan tidak seimbang, pihak traktor mengakui kesalahannya, namun bersedia mengganti apa yang hilang saja (ayam, dan sedikit kerusakan sepeda motor), pedagang ayam, menuntut agar keranjang ayamnya juga ikut diganti, namun diperbaiki oleh kelompok traktor. Terjadi proses negosiasi, yang satu turun, lainnya naik, titik keseimbangan pada angka 90 ribu. Kelompok traktor menduga ayam yang mati akan ikut dimasak dengan ayam yang masih hidup, jika demikian maka pelanggan pedagang ayam akan makan bangkai, oleh karena itu ayam mati tersebut diminta dan dikubur.
Tuesday, April 03, 2007
Rethinking The Corporate Crime
1. Pengantar dan Latar Belakang
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana untuk mencegahnya.
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang, mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar hukum namun dengan mudah keluar dari tuntutan hukum. Padahal masyarakat sangat terganggu akibat tindakan korporasi tersebut. Pandangan masyarakat pada bentuk kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan. Hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.
Pada buku ini, James Gobert dan Maurice Punch, pengacara dan ahli sosiologi–kriminologi, menggabungkan background, pengalaman, dan perpektif mereka, untuk memperjelas mengenai masalah kejahatan korporasi. Ruang lingkup buku ini sangat memberikan penekanan tertentu pada kejahatan dengan menyertakan kekerasan korporasi.
Gobert dan Punch tidak hanya menguji isu yang ditingkatkan oleh kasus-kasus kekerasan korporasi, tetapi juga oleh berbagai bentuk perilaku buruk korporasi. Mereka menggabungkan hukum, pengetahuan sosial, kriminologi, dan studi manajemen dalam menganalisis masalah tersebut dan mencoba mengilustrasikannya dengan kehidupan nyata dari berbagai kasus yang telah didokumentasikan. Tujuan mereka adalah untuk membuat topik mengenai kejahatan korporasi dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Gobert dan Punch memberi judul “rethinking corporate crime” karena mereka ingin memperbarui pandangan mengenai topik kejahatan korporasi dan menawarkan beberapa solusi yang inovatif untuk masalah tersebut. Tindakan kejahatan korporasi berawal dari keinginan perusahaan untuk terus meningkatkan keuntungan dengan berbagai cara, bahkan dengan tindakan illegal. Gobert dan Punch menghubungkan lingkungan kriminalitas, kegagalan sistem dan pengawasan yang tidak efektif dengan dorongan melakukan tindakan illegal. Mereka beranggapan bahwa adanya peraturan diri sendiri dan tanggung jawab sosial perusahaan lebih efektif untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi dibandingkan dengan diterapkannya sistem hukuman dan sanksi.
2. Ide Utama
Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak.
Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini.
Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah.
Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan hidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
3. Argumen Penulis
Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama.
Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di masyarakat.
Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual.
Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan.
Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi.
Aparat penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Contohnya, terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan korban ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan.
Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yang jelas yang mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi struktural dalam sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise. Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan tentang keselamatan. Laporan mengenai investigasi terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahan sebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakan-kebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dan kewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementara hukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka.
Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan – tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
Terdapat dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yang dipadukan dengan kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang terjadinya tindakan pelanggaran hukum.
Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan dengan korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah melarang aktivitas tersebut atau tidak.
Sedangkan di Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi (identification). Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.
Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi. Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang merugikan.
Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan pertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi, keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untuk diputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa hukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah kejahatan korporasi.
Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkan keuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut. Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu tindakan kriminal. Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun mengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis
Publisitas atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksi atas kejahatan korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semua produk korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut. Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya.
Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi seperti melalui denda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka.
Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya. Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh individu-individunya. Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawab perusahaab sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan.
Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakan terhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan. Perusahaan bertindak melalui individu tetapi individu juga bertindak melalui perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan kejahatan yang dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada perusahaan. Begitu juga sebaliknya.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi, perlu diadakan aturan yang tegas baik berupa collective self-regulation maupun individualized self-regulation. Namun penerapan collective self-regulation tidak efektif karena pemerintah dan pengadilan harus terus memonitoring setiap aktivitas korporasi, sementara korporasi berusaha untuk mengambil celah agar aktivitas kejahatannya tidak terpantau oleh mereka. Dengan demikian, cara yang paling baik untuk melawan kejahatan korporasi adalah dengan mencegahnya sebelum terjadi yang dapat dilakukan dengan adanya individualized self regulation di mana setiap perusahaan bertangung jawab atas kebijakan mereka sendiri.
Tidak sulit untuk menemukan perusahaan yang mengatakan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Namun banyak perusahaan yang menggunakan hal itu sebagai suatu cara pemasaran untuk meningkatkan image, bahkan penjualan mereka. Selain itu, terdapat berbagai macam perlakuan perusahaan atas nama ‘tanggung jawab sosial’ yang pada prakteknya sangat bertolak belakang.*****
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana untuk mencegahnya.
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang, mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar hukum namun dengan mudah keluar dari tuntutan hukum. Padahal masyarakat sangat terganggu akibat tindakan korporasi tersebut. Pandangan masyarakat pada bentuk kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan. Hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.
Pada buku ini, James Gobert dan Maurice Punch, pengacara dan ahli sosiologi–kriminologi, menggabungkan background, pengalaman, dan perpektif mereka, untuk memperjelas mengenai masalah kejahatan korporasi. Ruang lingkup buku ini sangat memberikan penekanan tertentu pada kejahatan dengan menyertakan kekerasan korporasi.
Gobert dan Punch tidak hanya menguji isu yang ditingkatkan oleh kasus-kasus kekerasan korporasi, tetapi juga oleh berbagai bentuk perilaku buruk korporasi. Mereka menggabungkan hukum, pengetahuan sosial, kriminologi, dan studi manajemen dalam menganalisis masalah tersebut dan mencoba mengilustrasikannya dengan kehidupan nyata dari berbagai kasus yang telah didokumentasikan. Tujuan mereka adalah untuk membuat topik mengenai kejahatan korporasi dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Gobert dan Punch memberi judul “rethinking corporate crime” karena mereka ingin memperbarui pandangan mengenai topik kejahatan korporasi dan menawarkan beberapa solusi yang inovatif untuk masalah tersebut. Tindakan kejahatan korporasi berawal dari keinginan perusahaan untuk terus meningkatkan keuntungan dengan berbagai cara, bahkan dengan tindakan illegal. Gobert dan Punch menghubungkan lingkungan kriminalitas, kegagalan sistem dan pengawasan yang tidak efektif dengan dorongan melakukan tindakan illegal. Mereka beranggapan bahwa adanya peraturan diri sendiri dan tanggung jawab sosial perusahaan lebih efektif untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi dibandingkan dengan diterapkannya sistem hukuman dan sanksi.
2. Ide Utama
Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi, sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak.
Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala kejahatannya terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini.
Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai kejahatan korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah.
Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan hidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
3. Argumen Penulis
Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama.
Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di masyarakat.
Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual.
Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan.
Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi, terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi.
Aparat penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Contohnya, terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan korban ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan.
Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang terdakwanya korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur yang bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yang jelas yang mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi struktural dalam sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise. Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya kebijakan-kebijakan tentang keselamatan. Laporan mengenai investigasi terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahan sebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakan-kebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dan kewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementara hukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka.
Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan – tidak seperti manusia – tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.
Terdapat dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam konteks bisnis dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yang dipadukan dengan kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan keputusan merangsang terjadinya tindakan pelanggaran hukum.
Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability menyatakan bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan dengan korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah melarang aktivitas tersebut atau tidak.
Sedangkan di Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi (identification). Teori ini menyatakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat mewakilinya. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi tidak dapat disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.
Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini merupakan suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi. Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang merugikan.
Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan pertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi, keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untuk diputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa hukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah kejahatan korporasi.
Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkan keuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut. Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu tindakan kriminal. Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun mengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis
Publisitas atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksi atas kejahatan korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang tidak diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semua produk korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi tersebut. Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaannya.
Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi seperti melalui denda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan perbaikan, publisitas keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat menghentikan tindakan kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat lolos dari sanksi-sanksi tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka.
Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang dilakukan korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di dalammnya. Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh individu-individunya. Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman atas kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang masuk akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawab perusahaab sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan.
Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakan terhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan kejahatan tersebut tidak memberikan keuntungan terhadap perusahaan. Perusahaan bertindak melalui individu tetapi individu juga bertindak melalui perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan kejahatan yang dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada perusahaan. Begitu juga sebaliknya.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi, perlu diadakan aturan yang tegas baik berupa collective self-regulation maupun individualized self-regulation. Namun penerapan collective self-regulation tidak efektif karena pemerintah dan pengadilan harus terus memonitoring setiap aktivitas korporasi, sementara korporasi berusaha untuk mengambil celah agar aktivitas kejahatannya tidak terpantau oleh mereka. Dengan demikian, cara yang paling baik untuk melawan kejahatan korporasi adalah dengan mencegahnya sebelum terjadi yang dapat dilakukan dengan adanya individualized self regulation di mana setiap perusahaan bertangung jawab atas kebijakan mereka sendiri.
Tidak sulit untuk menemukan perusahaan yang mengatakan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Namun banyak perusahaan yang menggunakan hal itu sebagai suatu cara pemasaran untuk meningkatkan image, bahkan penjualan mereka. Selain itu, terdapat berbagai macam perlakuan perusahaan atas nama ‘tanggung jawab sosial’ yang pada prakteknya sangat bertolak belakang.*****
The End of Poverty
1. Pengantar dan Latar Belakang
Buku Jefffery Sachs ini merekomendasikan perlunya dorongan besar yang melengkapi peningkatan dalam paket bantuan keuangan sebagai komplemen dari investasi dalam upaya mengakhiri kemiskinan dunia. Rekomendasi ini pada dasarnya mirip dengan yang pernah diserukan pertama kali di tahun 1950 dan 1960an dalam pembangunan ekonomi. Dorongan besar ini dimaksudkan untuk mengatasi masih adanya hambatan terutama dalam permasalahan informasi dan insentif yang dihadapi dalam perencanaan ekonomi skala luas. Pendekatan yang lebih menjanjikan antara lain dengan merancang insetif yang bermanfaat bagi negara-negara besar ketika memberikan bantuan kepada para miskin.
Sachs menyatakan bahwa bukunya menawarkan resep untuk mengakhiri kemiskinan, bukan sebuah ramalan. Ia menjelaskan apa yang dapat terjadi, dengan upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini dilatar-belakangi oleh fakta lebih dari delapan juta orang per tahun meninggal karena kemiskinan. Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan program perang melawan teror, namun melupakan penyebab terdalam dari ketidak-stabilan global. Milyaran dolar yang dibelanjakan untuk mengadakan sistem persenjataan tidak akan dapat membeli kedamaian, sementara dengan sepersekian dari anggaran belanja membeli senjata, bila digunakan untuk membantu masyarakat miskin di negara-negara terbelakang dapat dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan. Harmoni kehidupan masyarakat dunia menjadi tidak stabil oleh karena adanya kemiskinan mendalam yang acapkali berujung pada kerusuhan sosial, kekerasan, bahkan terorisme global. Buku ini mengajukan pilihan – pilihan yang dapat membawa pada dunia yang lebih aman berdasarkan penghargaan serta penghormatan terhadap kehidupan umat manusia.
Berbekal dua puluh tahun pengalaman berinteraksi dengan banyak pemimpin pemerintahan dan mengunjungi lebih dari seratus negara, Sachs menyatakan ia telah mengetahui penyebab kemiskinan, peran kebijakan di negara-negara kaya dan kemungkinan untuk menghilangkan kemiskinan di masa datang. Ia percaya bahwa kekuasaan dalam generasi sekaranglah – bukan di generasi penerus kita - dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dunia.
2. Ide Utama
Prinsip utama yang ditawarkan Sachs untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan meningkatkan hingga dua kali lipat bantuan luar negeri hingga mencapai $100 milyar setahun, secara terus menerus hingga menjelang tahun 2015. Batuan luar negeri diyakini akan mengisi financing gap antara yang dibutuhkan sebuah negara dengan kemampuannya menyediakan sendiri, sehingga memungkinkan setiap negara miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan mulai tumbuh perekonomiannya menggunakan kekuatannnya sendiri.
Elemen lain yang diajukan Sachs dalam upaya mengakhiri jebakan kemiskinan adalah paket menyeluruh dalam bentuk bantuan sandang, pangan dan papan yang dibutuhkan oleh rakyat miskin. Usulan ini didasari pada pertimbangan ada kekurangan investasi yang kritis seperti ketidak-mampuan dalam belanja kesehatan dan kesuburan tanah. Lebih jauh Sachs mengidentifikasikan intervensi ini sebaiknya merupakan bagian dari proyek-proyek dalam rangka Millenium Development Goals (MDG). Sachs menya-jikan lima puluh empat item checklist hambatan pembangunan yang harus diatasi dengan paket menyeluruh ini.
Sachs menganjurkan bahwa para pemimpin perlu percaya bawah mereka harus mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, intervensi berupa paket bantuan menyeluruh ini perlu diterapkan secara sistematis, hati-hati, dan dilakukan bersama-sama karena hal ini akan menguatkan hubungan antar – umat manusia. Keberhasilan dalam satu area, apakah itu di sektor kesehatan, pendidikan, produktivitas pertanian bergantung pada investasi.
Pertanyaannya, siapa yang akan dan bagaimana mengimplementasikan paket bantuan ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi bagian penting dari buku ini. Dalam menguraikan pendapatnya nyata terlihat bagaimana Sachs mendukung teori rekayasa sosial, sesuatu yang berseberangan dengan pendapat Popper tentang reformasi demokrasi. Dalam mewujudkan rekayasa sosial ini, Sachs berulang kali dalam buku ini mengingatkan pentingnya pemimpin pemerintahan dan lembaga pemberi bantuan untuk membuat perencanaan, agar segala sesuatunya dapat terwujud. Namun demikian, tidak berarti bahwa Sachs sedang menganjurkan untuk mengubah pola perencanaan menjadi perencanaan terpusat sebagai sebuah sistem ekonomi, sebaliknya Sachs secara jelas menunjukkan dirinya sebagai sebagai penganut paham pasar bebas. Tetapi ia juga mengritisi dengan pernyataannya bahwa pasar bebas tidak menawarkan banyak harapan bagi negara – negara termiskin, dan bahwa perencanaan bantuan yang dibuat secara komprehensif diperlukan untuk menjadikan seperenam dari populasi masyarakat dunia yang masih tergolong miskin terentaskan.
3. Research or not? What Methodology?
Buku ini merupakan satu dari banyak karya ilmiah maupun karya profesional yang dihasilkan oleh Sachs. Ditulis berdasarkan pengalaman dan perjalanan karir sebagai akademisi, konsultan, penasehat pemerintah, dan penelitiannya di berbagai negara tentang pembangunan ekonomi.Selama lebih dari dua puluh tahun Sachs berinteraksi dengan berbagai pemimpin dunia, memahami kondisi lokal di negara-negara yang dikunjung-inya, baik dalam kapasitas sebagai akademisi maupun konsultan. Dalam menulis buku ini, Sachs sebagai ahli ekonomi pembangunan menggunakan data – data kualitatif dan kuantitatif yang dikumpulkan dari berbagai sumber.
4. Argumen Penulis
Membandingkan antara Malawi, Bangladesh, India dan China, Sachs menyimpulkan bahwa sains dan teknologi menempati peran penting dalam proses pembangunan. Dari keempat negara tersebut dapat dilihat kemajuan pembangunan yang bergeser dari pertanian menuju industri ringan, urbanisasi dan akhirnya layanan teknologi tinggi. Jika pembangunan ekonomi merupakan tangga dan anak tangga tertinggi mencerminkan tingkat kemajuan ekonomi, maka ada sekitar satu milyar manusia yang hidup dalam kemiskinan, kesakitan dan kelaparan. Mereka menempati seperenam dari populasi manusia di dunia yang berada di bawah tangga pembangunan ekonomi. Secara berjenjang Sachs menggambarakan tingkat-tingkat kemajuan ekonomi di mana makin ke atas jumlah penikmatnya makin sedikit.
Kemiskinan ekstrim adalah ketika rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk memertahankan kehidupan. Mereka menderita kelaparan kronis, tidak mampu mengakses layanan kesehatan, tidak memiliki sarana penyediaan sanitasi dan air minum yang sehat, anak-anak usia sekolah tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, tidak memiliki tempat tinggal yang layak serta selalu kekurangan sandang. Sebagian besar kemiskinan ekstrim terdapat di negara negara sedang membangun. Di atas kemiskinan ekstrim terdapat kemiskinan moderat, yang mengacu pada kondisi kehidupan di mana kebutuhan dasar terpenuhi, namun hanya seadanya saja. Selain itu ada pula kemiskinan relatif yang didefinisikan sebagai rumah tangga yang berpenghasilan di bawah proporsi rata – rata national income. Mereka yang relatif miskin dan tinggal di negara kaya pada umumnya tidak memiliki akses kepada benda dan aksi budaya, hiburan, rekreasi dan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas, serta kepemilikan yang dapat meningkatkan mobilitas sosial.
Sasaran dari saran Sachs adalah untuk mengentaskan seperenam penduduk dunia yang sekarang berada pada kemiskinan ekstrim serta memastikan bahwa semua orang miskin di dunia memiliki kesempatan untuk menaiki tangga pembangunan, menjadi semakin sejahtera. Sebagai masyarakat global, kita perlu memastikan bahwa aturan main internasional dalam manajemen ekonomi tidak menghambat upaya ini dengan adanya ketidak-cukupan bantuan, atau diterapkannya hambatan perdagangan yang bersifat proteksionis, membuat praktek keuangan dunia tidak stabil, peraturan dan perundangan yang mengatur perlindungan hak cipta dibuat tidak efektif, yang semuanya itu mencegah negara – negara berpenghasilan rendah dari meningkatkan statusnya dalam pembangunan ekonomi.
Sachs menekankan pandangannya bawah negara-negara miskin sangat membutuhkan dorongan besar dari negara-negara kaya. Alasan di balik pendapat ini adalah adanya jebakan kemiskinan yang disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga hal: pertama, masyarakat miskin tidak memiliki tabungan yang mencukupi karena seluruh penghasilannya habis digunakan untuk menyukupi kebutuhan dasar, tidak ada sisa income yang dapat dialokasikan untuk keperluan masa depan, sehingga kelompok masyarakat miskin ini terjebak pada angka pertumbuhan ekonomi negatif, mereka terlalu miskin untuk menabung. Kedua, adanya jebakan demografi, ketika keluarga miskin memilih memiliki banyak anak. Pertumbuhan populasi sedemikian tinggi sehingga melewati laju pertumbuhan tabungan (yang sudah rendah karena faktor pertama). Penyebab ketiga, pertumbuhan negatif (nonconvexity) pada fungsi produksi.
Peran bantuan luar negeri adalah untuk meningkatkan persediaan modal yang menyukupi hingga mencapai threeshold level, jika bantuan luar negeri cukup substansial, dan cukup panjang masanya, cadangan modal akan meningkat dan mencukupi untuk mengangkat rumah tangga hingga di atas garis kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi semakin menguat melalui tabungan rumah tangga dan investasi publik dengan dukungan pajak. Pandangan jebakan kemiskinan menantang untuk dikaji secara teoretis. Ada beberapa literatur yang mengaji masalah jebakan kemiskinan ini dan menunjukkan sulitnya dalam menarik kesimpulan tentang keberadaan jebakan kemiskinan, terutama benarkah dan efektifkah bantuan luar negeri dalam mengentaskan kemiskinan dikaitkan dengan pengaruh faktor – faktor lain seperti korupsi dan sistem politik di negara penerima yang bisa jadi berpengaruh terhadap pemanfaatan bantuan bagi rakyat miskin.
Berkaitan dengan faktor – faktor lain yang memengaruhi kesuksesan dalam memanfaatkan bantuan luar negeri, Sachs berargumen bahwa jebakan kemiskinanlah yang menjadi penyebab kemiskinan bukan karena kualitas pemerintahan yang buruk atau oknum pemerintah yang korup. Namun demikian, banyak juga argumen lain yang demikian kuat menyatakan bahwa pemerintahan yang buruk dan kebijakan publik yang jelek juga memiliki kontribusi dalam menyengsarakan rakyat dan lambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Sachs memertahankan argumennya dengan mengatakan “bila rakyat miskin menjadi lebih miskin karena pemerintahan yang buruk, lalu bagaimana kerjasama global dapat membantu?“ Ia ingin menyatakan bahwa kaum miskin di negara miskin – termasuk pemerintahannya – juga dapat dipercaya untuk mengatur dirinya sendiri, memanfaatkan dana bantuan luar negeri untuk menyejahterakan seluruh rakyat miskin di negeri tertentu.
Kenyataannya, jika korupsi dan bentuk- bentuk lain dari kebijakan yang buruk menjadi bagian terbesar dari permasalahan di negara – negara sedang membangun, maka solusinya menjadi semakin kompleks dari hanya sekedar top-down big-push sebagaimana disarankan Sachs. Diperlukan kebijakan ekonomi dan politik yang lebih serius untuk mencabut akar permasalahan kemiskinan. Diperlukan pemahaman dan akses kepada semua penyebab kemiskinan. Sayangnya, Sachs cenderung melihat masalah pengentasan kemiskinan sebagai masalah teknis semata yang dapat diperbaiki dengan intervensi dari hukum alam. Sebenarnya, yang diajukan Sachs bukan obat yang menjamin sembuhnya penyakit kemiskinan, namun sebuah model ekonomi pembangunan yang masih harus diuji dalam bentuk implementasi, sebagaimana dikatakannya bahwa problematik yang terjadi di Afrika dapat ditemukan solusinya teknologi praktis yang telah terbukti kemanjurannya.
5. Keterkaitan Dengan Pandangan Atau Referensi Lain
Isu pengentasan kemiskinan mengemuka dengan kuat sekitar awal 1990-an menyusul runtuhnya Uni Soviet. Para donatur internasional dan PBB dan khususnya pemimpin negara – negara miskin menyuarakan dua prinsip: bahwa kemiskinan sejatinya dapat dihilangkan, dan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan pusat dari upaya pencapaian sasaran ini. Aspirasi pengentasan kemiskinan terus meluas dan mendunia, sehingga mengristal dalam kesepakatan para pemimpin dunia yang dideklarasikan dalam The Millenium Development Goals (MDG), yang secara antusis meyakini bahwa kemiskinan dapat dihilangkan. Target yang ditetapkan cukup ambisius, bahwa pada tahun 2015, akan terjadi pengurangan angka kemiskinan yang dicita-citakan melalui berbagai upaya pendidikan, kesehatan, kesamaan gender, kelestarian lingkungan, dan penciptaan kemitraan global di mana sektor swasta akan diberi peluang untuk lebih banyak berperan dalam aktivitas ekonomi.
Konsep pengentasan kemiskinan yang diajukan Sachs pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep serupa yang pernah muncul di tahun 1950-60an. Walt Rostow dalam bukunya The Stage of Economic Growth (1960) mengajukan argumen bahwa negara dapat keluar dari stagnasi dan tumbuh berkelanjutan berdasar kekuatan sendiri bila difasilitasi oleh adanya bantuan keuangan dan peningkatan investasi. Dalam perjalanan setelah empat puluh lima tahun keyakinan ini mulai ditinggalkan oleh para akademisi dan ekonom, dengan alasan terlalu sederhana, dan yang terpenting ekonom mulai menyadari bahwa pembangunan ekonomi merupakan jalinan rumit dari pasar, politik, norma sosial, kelembagaan, kebijakan pemerintah, layanan sosial serta intervensi ekonomi mikro. Kesamaan lain dengan pemikiran generasi 60-an adalah kesukaan Sachs untuk menjanjikan hasil yang luar biasa. Ia berulangkali mengulang janji bahwa bila konsepnya ini bila diaplikasikan akan memberikan hasil yang luar biasa.
Sachs menunjukkan pengalaman suksesnya ketika menjadi konsultan dan penasehat ekonomi di Bolivia dan Polandia, pada waktu itu ia berhasil „menjinakkan“ inflasi yang menggigit kedua negara tersebut dengan metoda shock therapy. Pendekatan top-down, mematok nilai tukar dan menghentikan pencetakan uang merupakan saran yang diberikan Sachs kepada Bolivia dan Polandia. Sayangnya solusi top-down tidak terbukti ampuh untuk menjawab persoalan kerusakan sosial yang menyebabkan kemiskinan di negara – negara lain yang berbeda lembaga, norma sosial, dan rancangan ekonominya. Walhasil janji solusi besar untuk mengatasi masalah besar hanya sebagai pelengkap dalam praktik ekonomi, di mana biasanya para ekonom menguji perubahan marginal terhadap sistem yang ada atau kebijakan yang menyebabkan peningkatan marginal.
6. Kritik
Pada kenyataannya, tidak mungkin mengakhiri kemiskinan demikian ujar Tim Unwin dari University of London (2006) aktivis ICT for Development. Upaya menga-khiri kemiskinan melalui model yang dikembangkan Sachs dan pengikutnya tidak akan memecahkan persoalan mendasar yang menyebabkan kemiskinan; dan oleh karena itu dianjurkan kepada mereka yang diberi tanggung jawab membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya guna menciptakan dan mengadopsi alternatif lain selain model hegemoni.
Kritik lain terhadap buku ini diajukan oleh William Easterly dari New York University. Ia mengatakan Sachs tidak menyinggung sama sekali permasalahan administratif dalam perencanaan ekonomi, yang oleh sebagian besar ekonom justru menjadi perhatian utama. Setidaknya ada tiga permasalahan utama yang tidak disinggung Sachs, yakni: pertama, perencanaan dapat ditetapkan oleh pemimpin puncak (Presiden), namun masih harus diimplementasikan pada tingkat bawah, bagaimana merancang kontrak prinsipal-agent yang dapat memberikan insentif menarik bagi para oficer dan pegawai negeri untuk melaksanakan program bantuan bagi rakyat miskin, bila di tingkat bawah semua tindakan ini tidak dapat dipantau oleh mereka yang berada di puncak pemerintahan. Kedua, administrasi di tingkat atas tidak memiliki informasi tentang realita yang terjadi di tingkat bawah, sehingga dapat merancang kebijakan intervensi/bantuan yang tepat guna. Persoalannya acapkali tidak ada umpan balik dari penerima sehingga donor tidak dapat mengetahui apakah bantuannya tepat sasaran atau menyimpang ke keperluan lain yang tidak sesuai dengan tujuan bantuan. Ketiga, pada kenyataan terjadi multi-sasaran dan multi-lembaga yang saling berebut pengaruh dalam kebijakan pemberian dan penerimaan bantuan yang semua ini dapat melemahkan insentif bagi pelaksana dalam menjalankan tugasnya.
7. Komentar dan Kemungkinan Riset Lanjutan
Kasus yang disajikan dalam buku ini memberi dorongan bagi pembaca untuk melakukan sesuatu kebaikan, karena ide – ide Sachs diekspresikan dengan jelas (lucid) dan ditulis secara logis dan terorganisasi dengan baik. Membujuk dengan kesederhanaan pemilihan bahasa yang mudah dipahami. Menyajikan gambar besar (peta) kemiskinan dunia. Namun demikian Unwin menyatakan proposisi yang diajukan Sachs mengandung banyak kesalahan fundamental. Bagian kekuatan yang tercermin dalam buku Sachs ini datang dari gaya karismatiknya dan juga dari statusnya sebagai ekonom dunia yang disegani. Sungguh penting, demikian argumen Unwin, untuk mulai menyoroti konteks yang sangat berbeda tentang pengertian kemiskinan yang terus berubah.
Bisa dipahami bila Sachs melihat kemiskinan dari statistik pada tingkat nasional, dan berupaya menjelaskan bagaimana kemiskinan terjadi, serta membandingkan mengapa satu negara lebih miskin dari negara lainnya, semua ini terutama karena hubungannya dengan profesi sebagai penasehat atau konsultan ekonomi para pemimpin pemerintahan.Akan berbeda kiranya bila Sachs mengalami sendiri secara fisik atau setidaknya merasakan suasana bathin kemiskinan yang dibicarakannya Melihat dari kedekatan, berinteraksi secara langsung dengan rakyat sangat miskin dan merasakan bagaimana menderitanya jadi orang miskin boleh jadi akan memperkaya nuansa penulisan buku ini. Selain itu, bisa jadi pula solusi yang ditawarkan Sachs tidak melulu dari aspek ekonomi makro, namun lebih realistik, implementatif, sebagaimana telah dilakukan oleh Muhammad Yunus dari Bangladesh, atau penggiat sosial lain yang terjun langsung memerangi kemiskinan.
Kekosongan yang ditinggalkan Sachs ini dapat menjadi ruang baru bagi penelitian selanjutnya, seperti misalnya mengapa pada tahun – tahun pasaca perang dunia kedua, beberapa negara di Asia memiliki kinerja ekonomi yang kurang lebih seimbang, namun dalam perjalanan empat dekade ke depan, ada negara – negara yang laju pertumbuhan sangat istimewa, ada yang biasa-biasa saja, dan di ujung lain ada negara yang belum berhasil meningkatkan taraf hidup warga negaranya, sebagian besar rakyatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Terkait dengan menejemen strategik, buku Sachs ini dapat menjadi acuan bagi para eksekutif perusahaan dalam membuat kebijakan pro konsumen yang tergolong miskin. Bagaimana perusahaan, dengan sumber daya internal yang dimilikinya, dan motivasi memperoleh untung optimal, masih dapat berperan membantu masyarakat miskin mengentaskan dirinya dari kemiskinan, Satu hal, mereka – orang miskin – bila menjadi makmur dapat menjadi potensial pelanggan yang akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. *****
Buku Jefffery Sachs ini merekomendasikan perlunya dorongan besar yang melengkapi peningkatan dalam paket bantuan keuangan sebagai komplemen dari investasi dalam upaya mengakhiri kemiskinan dunia. Rekomendasi ini pada dasarnya mirip dengan yang pernah diserukan pertama kali di tahun 1950 dan 1960an dalam pembangunan ekonomi. Dorongan besar ini dimaksudkan untuk mengatasi masih adanya hambatan terutama dalam permasalahan informasi dan insentif yang dihadapi dalam perencanaan ekonomi skala luas. Pendekatan yang lebih menjanjikan antara lain dengan merancang insetif yang bermanfaat bagi negara-negara besar ketika memberikan bantuan kepada para miskin.
Sachs menyatakan bahwa bukunya menawarkan resep untuk mengakhiri kemiskinan, bukan sebuah ramalan. Ia menjelaskan apa yang dapat terjadi, dengan upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini dilatar-belakangi oleh fakta lebih dari delapan juta orang per tahun meninggal karena kemiskinan. Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan program perang melawan teror, namun melupakan penyebab terdalam dari ketidak-stabilan global. Milyaran dolar yang dibelanjakan untuk mengadakan sistem persenjataan tidak akan dapat membeli kedamaian, sementara dengan sepersekian dari anggaran belanja membeli senjata, bila digunakan untuk membantu masyarakat miskin di negara-negara terbelakang dapat dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan. Harmoni kehidupan masyarakat dunia menjadi tidak stabil oleh karena adanya kemiskinan mendalam yang acapkali berujung pada kerusuhan sosial, kekerasan, bahkan terorisme global. Buku ini mengajukan pilihan – pilihan yang dapat membawa pada dunia yang lebih aman berdasarkan penghargaan serta penghormatan terhadap kehidupan umat manusia.
Berbekal dua puluh tahun pengalaman berinteraksi dengan banyak pemimpin pemerintahan dan mengunjungi lebih dari seratus negara, Sachs menyatakan ia telah mengetahui penyebab kemiskinan, peran kebijakan di negara-negara kaya dan kemungkinan untuk menghilangkan kemiskinan di masa datang. Ia percaya bahwa kekuasaan dalam generasi sekaranglah – bukan di generasi penerus kita - dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dunia.
2. Ide Utama
Prinsip utama yang ditawarkan Sachs untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan meningkatkan hingga dua kali lipat bantuan luar negeri hingga mencapai $100 milyar setahun, secara terus menerus hingga menjelang tahun 2015. Batuan luar negeri diyakini akan mengisi financing gap antara yang dibutuhkan sebuah negara dengan kemampuannya menyediakan sendiri, sehingga memungkinkan setiap negara miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan mulai tumbuh perekonomiannya menggunakan kekuatannnya sendiri.
Elemen lain yang diajukan Sachs dalam upaya mengakhiri jebakan kemiskinan adalah paket menyeluruh dalam bentuk bantuan sandang, pangan dan papan yang dibutuhkan oleh rakyat miskin. Usulan ini didasari pada pertimbangan ada kekurangan investasi yang kritis seperti ketidak-mampuan dalam belanja kesehatan dan kesuburan tanah. Lebih jauh Sachs mengidentifikasikan intervensi ini sebaiknya merupakan bagian dari proyek-proyek dalam rangka Millenium Development Goals (MDG). Sachs menya-jikan lima puluh empat item checklist hambatan pembangunan yang harus diatasi dengan paket menyeluruh ini.
Sachs menganjurkan bahwa para pemimpin perlu percaya bawah mereka harus mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, intervensi berupa paket bantuan menyeluruh ini perlu diterapkan secara sistematis, hati-hati, dan dilakukan bersama-sama karena hal ini akan menguatkan hubungan antar – umat manusia. Keberhasilan dalam satu area, apakah itu di sektor kesehatan, pendidikan, produktivitas pertanian bergantung pada investasi.
Pertanyaannya, siapa yang akan dan bagaimana mengimplementasikan paket bantuan ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi bagian penting dari buku ini. Dalam menguraikan pendapatnya nyata terlihat bagaimana Sachs mendukung teori rekayasa sosial, sesuatu yang berseberangan dengan pendapat Popper tentang reformasi demokrasi. Dalam mewujudkan rekayasa sosial ini, Sachs berulang kali dalam buku ini mengingatkan pentingnya pemimpin pemerintahan dan lembaga pemberi bantuan untuk membuat perencanaan, agar segala sesuatunya dapat terwujud. Namun demikian, tidak berarti bahwa Sachs sedang menganjurkan untuk mengubah pola perencanaan menjadi perencanaan terpusat sebagai sebuah sistem ekonomi, sebaliknya Sachs secara jelas menunjukkan dirinya sebagai sebagai penganut paham pasar bebas. Tetapi ia juga mengritisi dengan pernyataannya bahwa pasar bebas tidak menawarkan banyak harapan bagi negara – negara termiskin, dan bahwa perencanaan bantuan yang dibuat secara komprehensif diperlukan untuk menjadikan seperenam dari populasi masyarakat dunia yang masih tergolong miskin terentaskan.
3. Research or not? What Methodology?
Buku ini merupakan satu dari banyak karya ilmiah maupun karya profesional yang dihasilkan oleh Sachs. Ditulis berdasarkan pengalaman dan perjalanan karir sebagai akademisi, konsultan, penasehat pemerintah, dan penelitiannya di berbagai negara tentang pembangunan ekonomi.Selama lebih dari dua puluh tahun Sachs berinteraksi dengan berbagai pemimpin dunia, memahami kondisi lokal di negara-negara yang dikunjung-inya, baik dalam kapasitas sebagai akademisi maupun konsultan. Dalam menulis buku ini, Sachs sebagai ahli ekonomi pembangunan menggunakan data – data kualitatif dan kuantitatif yang dikumpulkan dari berbagai sumber.
4. Argumen Penulis
Membandingkan antara Malawi, Bangladesh, India dan China, Sachs menyimpulkan bahwa sains dan teknologi menempati peran penting dalam proses pembangunan. Dari keempat negara tersebut dapat dilihat kemajuan pembangunan yang bergeser dari pertanian menuju industri ringan, urbanisasi dan akhirnya layanan teknologi tinggi. Jika pembangunan ekonomi merupakan tangga dan anak tangga tertinggi mencerminkan tingkat kemajuan ekonomi, maka ada sekitar satu milyar manusia yang hidup dalam kemiskinan, kesakitan dan kelaparan. Mereka menempati seperenam dari populasi manusia di dunia yang berada di bawah tangga pembangunan ekonomi. Secara berjenjang Sachs menggambarakan tingkat-tingkat kemajuan ekonomi di mana makin ke atas jumlah penikmatnya makin sedikit.
Kemiskinan ekstrim adalah ketika rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk memertahankan kehidupan. Mereka menderita kelaparan kronis, tidak mampu mengakses layanan kesehatan, tidak memiliki sarana penyediaan sanitasi dan air minum yang sehat, anak-anak usia sekolah tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, tidak memiliki tempat tinggal yang layak serta selalu kekurangan sandang. Sebagian besar kemiskinan ekstrim terdapat di negara negara sedang membangun. Di atas kemiskinan ekstrim terdapat kemiskinan moderat, yang mengacu pada kondisi kehidupan di mana kebutuhan dasar terpenuhi, namun hanya seadanya saja. Selain itu ada pula kemiskinan relatif yang didefinisikan sebagai rumah tangga yang berpenghasilan di bawah proporsi rata – rata national income. Mereka yang relatif miskin dan tinggal di negara kaya pada umumnya tidak memiliki akses kepada benda dan aksi budaya, hiburan, rekreasi dan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas, serta kepemilikan yang dapat meningkatkan mobilitas sosial.
Sasaran dari saran Sachs adalah untuk mengentaskan seperenam penduduk dunia yang sekarang berada pada kemiskinan ekstrim serta memastikan bahwa semua orang miskin di dunia memiliki kesempatan untuk menaiki tangga pembangunan, menjadi semakin sejahtera. Sebagai masyarakat global, kita perlu memastikan bahwa aturan main internasional dalam manajemen ekonomi tidak menghambat upaya ini dengan adanya ketidak-cukupan bantuan, atau diterapkannya hambatan perdagangan yang bersifat proteksionis, membuat praktek keuangan dunia tidak stabil, peraturan dan perundangan yang mengatur perlindungan hak cipta dibuat tidak efektif, yang semuanya itu mencegah negara – negara berpenghasilan rendah dari meningkatkan statusnya dalam pembangunan ekonomi.
Sachs menekankan pandangannya bawah negara-negara miskin sangat membutuhkan dorongan besar dari negara-negara kaya. Alasan di balik pendapat ini adalah adanya jebakan kemiskinan yang disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga hal: pertama, masyarakat miskin tidak memiliki tabungan yang mencukupi karena seluruh penghasilannya habis digunakan untuk menyukupi kebutuhan dasar, tidak ada sisa income yang dapat dialokasikan untuk keperluan masa depan, sehingga kelompok masyarakat miskin ini terjebak pada angka pertumbuhan ekonomi negatif, mereka terlalu miskin untuk menabung. Kedua, adanya jebakan demografi, ketika keluarga miskin memilih memiliki banyak anak. Pertumbuhan populasi sedemikian tinggi sehingga melewati laju pertumbuhan tabungan (yang sudah rendah karena faktor pertama). Penyebab ketiga, pertumbuhan negatif (nonconvexity) pada fungsi produksi.
Peran bantuan luar negeri adalah untuk meningkatkan persediaan modal yang menyukupi hingga mencapai threeshold level, jika bantuan luar negeri cukup substansial, dan cukup panjang masanya, cadangan modal akan meningkat dan mencukupi untuk mengangkat rumah tangga hingga di atas garis kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi semakin menguat melalui tabungan rumah tangga dan investasi publik dengan dukungan pajak. Pandangan jebakan kemiskinan menantang untuk dikaji secara teoretis. Ada beberapa literatur yang mengaji masalah jebakan kemiskinan ini dan menunjukkan sulitnya dalam menarik kesimpulan tentang keberadaan jebakan kemiskinan, terutama benarkah dan efektifkah bantuan luar negeri dalam mengentaskan kemiskinan dikaitkan dengan pengaruh faktor – faktor lain seperti korupsi dan sistem politik di negara penerima yang bisa jadi berpengaruh terhadap pemanfaatan bantuan bagi rakyat miskin.
Berkaitan dengan faktor – faktor lain yang memengaruhi kesuksesan dalam memanfaatkan bantuan luar negeri, Sachs berargumen bahwa jebakan kemiskinanlah yang menjadi penyebab kemiskinan bukan karena kualitas pemerintahan yang buruk atau oknum pemerintah yang korup. Namun demikian, banyak juga argumen lain yang demikian kuat menyatakan bahwa pemerintahan yang buruk dan kebijakan publik yang jelek juga memiliki kontribusi dalam menyengsarakan rakyat dan lambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Sachs memertahankan argumennya dengan mengatakan “bila rakyat miskin menjadi lebih miskin karena pemerintahan yang buruk, lalu bagaimana kerjasama global dapat membantu?“ Ia ingin menyatakan bahwa kaum miskin di negara miskin – termasuk pemerintahannya – juga dapat dipercaya untuk mengatur dirinya sendiri, memanfaatkan dana bantuan luar negeri untuk menyejahterakan seluruh rakyat miskin di negeri tertentu.
Kenyataannya, jika korupsi dan bentuk- bentuk lain dari kebijakan yang buruk menjadi bagian terbesar dari permasalahan di negara – negara sedang membangun, maka solusinya menjadi semakin kompleks dari hanya sekedar top-down big-push sebagaimana disarankan Sachs. Diperlukan kebijakan ekonomi dan politik yang lebih serius untuk mencabut akar permasalahan kemiskinan. Diperlukan pemahaman dan akses kepada semua penyebab kemiskinan. Sayangnya, Sachs cenderung melihat masalah pengentasan kemiskinan sebagai masalah teknis semata yang dapat diperbaiki dengan intervensi dari hukum alam. Sebenarnya, yang diajukan Sachs bukan obat yang menjamin sembuhnya penyakit kemiskinan, namun sebuah model ekonomi pembangunan yang masih harus diuji dalam bentuk implementasi, sebagaimana dikatakannya bahwa problematik yang terjadi di Afrika dapat ditemukan solusinya teknologi praktis yang telah terbukti kemanjurannya.
5. Keterkaitan Dengan Pandangan Atau Referensi Lain
Isu pengentasan kemiskinan mengemuka dengan kuat sekitar awal 1990-an menyusul runtuhnya Uni Soviet. Para donatur internasional dan PBB dan khususnya pemimpin negara – negara miskin menyuarakan dua prinsip: bahwa kemiskinan sejatinya dapat dihilangkan, dan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan pusat dari upaya pencapaian sasaran ini. Aspirasi pengentasan kemiskinan terus meluas dan mendunia, sehingga mengristal dalam kesepakatan para pemimpin dunia yang dideklarasikan dalam The Millenium Development Goals (MDG), yang secara antusis meyakini bahwa kemiskinan dapat dihilangkan. Target yang ditetapkan cukup ambisius, bahwa pada tahun 2015, akan terjadi pengurangan angka kemiskinan yang dicita-citakan melalui berbagai upaya pendidikan, kesehatan, kesamaan gender, kelestarian lingkungan, dan penciptaan kemitraan global di mana sektor swasta akan diberi peluang untuk lebih banyak berperan dalam aktivitas ekonomi.
Konsep pengentasan kemiskinan yang diajukan Sachs pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep serupa yang pernah muncul di tahun 1950-60an. Walt Rostow dalam bukunya The Stage of Economic Growth (1960) mengajukan argumen bahwa negara dapat keluar dari stagnasi dan tumbuh berkelanjutan berdasar kekuatan sendiri bila difasilitasi oleh adanya bantuan keuangan dan peningkatan investasi. Dalam perjalanan setelah empat puluh lima tahun keyakinan ini mulai ditinggalkan oleh para akademisi dan ekonom, dengan alasan terlalu sederhana, dan yang terpenting ekonom mulai menyadari bahwa pembangunan ekonomi merupakan jalinan rumit dari pasar, politik, norma sosial, kelembagaan, kebijakan pemerintah, layanan sosial serta intervensi ekonomi mikro. Kesamaan lain dengan pemikiran generasi 60-an adalah kesukaan Sachs untuk menjanjikan hasil yang luar biasa. Ia berulangkali mengulang janji bahwa bila konsepnya ini bila diaplikasikan akan memberikan hasil yang luar biasa.
Sachs menunjukkan pengalaman suksesnya ketika menjadi konsultan dan penasehat ekonomi di Bolivia dan Polandia, pada waktu itu ia berhasil „menjinakkan“ inflasi yang menggigit kedua negara tersebut dengan metoda shock therapy. Pendekatan top-down, mematok nilai tukar dan menghentikan pencetakan uang merupakan saran yang diberikan Sachs kepada Bolivia dan Polandia. Sayangnya solusi top-down tidak terbukti ampuh untuk menjawab persoalan kerusakan sosial yang menyebabkan kemiskinan di negara – negara lain yang berbeda lembaga, norma sosial, dan rancangan ekonominya. Walhasil janji solusi besar untuk mengatasi masalah besar hanya sebagai pelengkap dalam praktik ekonomi, di mana biasanya para ekonom menguji perubahan marginal terhadap sistem yang ada atau kebijakan yang menyebabkan peningkatan marginal.
6. Kritik
Pada kenyataannya, tidak mungkin mengakhiri kemiskinan demikian ujar Tim Unwin dari University of London (2006) aktivis ICT for Development. Upaya menga-khiri kemiskinan melalui model yang dikembangkan Sachs dan pengikutnya tidak akan memecahkan persoalan mendasar yang menyebabkan kemiskinan; dan oleh karena itu dianjurkan kepada mereka yang diberi tanggung jawab membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya guna menciptakan dan mengadopsi alternatif lain selain model hegemoni.
Kritik lain terhadap buku ini diajukan oleh William Easterly dari New York University. Ia mengatakan Sachs tidak menyinggung sama sekali permasalahan administratif dalam perencanaan ekonomi, yang oleh sebagian besar ekonom justru menjadi perhatian utama. Setidaknya ada tiga permasalahan utama yang tidak disinggung Sachs, yakni: pertama, perencanaan dapat ditetapkan oleh pemimpin puncak (Presiden), namun masih harus diimplementasikan pada tingkat bawah, bagaimana merancang kontrak prinsipal-agent yang dapat memberikan insentif menarik bagi para oficer dan pegawai negeri untuk melaksanakan program bantuan bagi rakyat miskin, bila di tingkat bawah semua tindakan ini tidak dapat dipantau oleh mereka yang berada di puncak pemerintahan. Kedua, administrasi di tingkat atas tidak memiliki informasi tentang realita yang terjadi di tingkat bawah, sehingga dapat merancang kebijakan intervensi/bantuan yang tepat guna. Persoalannya acapkali tidak ada umpan balik dari penerima sehingga donor tidak dapat mengetahui apakah bantuannya tepat sasaran atau menyimpang ke keperluan lain yang tidak sesuai dengan tujuan bantuan. Ketiga, pada kenyataan terjadi multi-sasaran dan multi-lembaga yang saling berebut pengaruh dalam kebijakan pemberian dan penerimaan bantuan yang semua ini dapat melemahkan insentif bagi pelaksana dalam menjalankan tugasnya.
7. Komentar dan Kemungkinan Riset Lanjutan
Kasus yang disajikan dalam buku ini memberi dorongan bagi pembaca untuk melakukan sesuatu kebaikan, karena ide – ide Sachs diekspresikan dengan jelas (lucid) dan ditulis secara logis dan terorganisasi dengan baik. Membujuk dengan kesederhanaan pemilihan bahasa yang mudah dipahami. Menyajikan gambar besar (peta) kemiskinan dunia. Namun demikian Unwin menyatakan proposisi yang diajukan Sachs mengandung banyak kesalahan fundamental. Bagian kekuatan yang tercermin dalam buku Sachs ini datang dari gaya karismatiknya dan juga dari statusnya sebagai ekonom dunia yang disegani. Sungguh penting, demikian argumen Unwin, untuk mulai menyoroti konteks yang sangat berbeda tentang pengertian kemiskinan yang terus berubah.
Bisa dipahami bila Sachs melihat kemiskinan dari statistik pada tingkat nasional, dan berupaya menjelaskan bagaimana kemiskinan terjadi, serta membandingkan mengapa satu negara lebih miskin dari negara lainnya, semua ini terutama karena hubungannya dengan profesi sebagai penasehat atau konsultan ekonomi para pemimpin pemerintahan.Akan berbeda kiranya bila Sachs mengalami sendiri secara fisik atau setidaknya merasakan suasana bathin kemiskinan yang dibicarakannya Melihat dari kedekatan, berinteraksi secara langsung dengan rakyat sangat miskin dan merasakan bagaimana menderitanya jadi orang miskin boleh jadi akan memperkaya nuansa penulisan buku ini. Selain itu, bisa jadi pula solusi yang ditawarkan Sachs tidak melulu dari aspek ekonomi makro, namun lebih realistik, implementatif, sebagaimana telah dilakukan oleh Muhammad Yunus dari Bangladesh, atau penggiat sosial lain yang terjun langsung memerangi kemiskinan.
Kekosongan yang ditinggalkan Sachs ini dapat menjadi ruang baru bagi penelitian selanjutnya, seperti misalnya mengapa pada tahun – tahun pasaca perang dunia kedua, beberapa negara di Asia memiliki kinerja ekonomi yang kurang lebih seimbang, namun dalam perjalanan empat dekade ke depan, ada negara – negara yang laju pertumbuhan sangat istimewa, ada yang biasa-biasa saja, dan di ujung lain ada negara yang belum berhasil meningkatkan taraf hidup warga negaranya, sebagian besar rakyatnya masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Terkait dengan menejemen strategik, buku Sachs ini dapat menjadi acuan bagi para eksekutif perusahaan dalam membuat kebijakan pro konsumen yang tergolong miskin. Bagaimana perusahaan, dengan sumber daya internal yang dimilikinya, dan motivasi memperoleh untung optimal, masih dapat berperan membantu masyarakat miskin mengentaskan dirinya dari kemiskinan, Satu hal, mereka – orang miskin – bila menjadi makmur dapat menjadi potensial pelanggan yang akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. *****
Mengapa Organisasi Memerlukan Informasi?
Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merupakan dua faktor yang memenga-ruhi pemrosesan informasi di dalam organisasi. Struktur organisasi dan sistem internal menentukan jumlah dan kekayaan informasi yang diberikan kepada manajer (Daft & Lengel, 1986). Hambatan yang seringkali muncul bukan terletak pada kesediaan data, namun lebih pada ketidak-jelasan mengenai informasi yang dibutuhkan oleh masing-masing manajer. Mengatasi hambatan tersebut, sebuah organisasi dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang teknologi, hubungan inter-departmental, lingkungan, serta menyediakan mekanisme guna mening-katkan kejelasan dan kepastian.
Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merepresentasikan dua kekuatan yang memengaruhi pengolahan informasi yang diperlukan bagi organisasi untuk mencapai kinerja yang mencukupi. Organisasi dapat disusun melalui penggunaan mekanisme personal atau impersonal guna mengatasi ketidak-jelasan dan ketidak-pastian. Mekanisme struktural dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan manajemen dalam menambah data atau kebutuhan menciptakan common grammar dan interpretasi tentang event yang ambigu. Dalam implementasinya, mekanisme struktural dipengaruhi oleh type teknologi, tingkat kebutuhan integrasi atau hubungan antar-depertemen, dan kondisi lingkungan.
Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merepresentasikan dua kekuatan yang memengaruhi pengolahan informasi yang diperlukan bagi organisasi untuk mencapai kinerja yang mencukupi. Organisasi dapat disusun melalui penggunaan mekanisme personal atau impersonal guna mengatasi ketidak-jelasan dan ketidak-pastian. Mekanisme struktural dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan manajemen dalam menambah data atau kebutuhan menciptakan common grammar dan interpretasi tentang event yang ambigu. Dalam implementasinya, mekanisme struktural dipengaruhi oleh type teknologi, tingkat kebutuhan integrasi atau hubungan antar-depertemen, dan kondisi lingkungan.
Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu
Inovasi merupakan proses yang kompleks, meski dapat diindentifikasi dengan mudah sebagai faktor kritikal bagi sukses organisasi namun tidak selalu mudah untuk mengelolanya (Terziovski, 2002). Sejalan dengan meningkatnya intensitas kompetisi internasional dan siklus produk yang semakin singkat, tekanan bagi dilakukannya inovasi menjadi semakin kuat. Strategi peningkatan yang dilakukan secara kontinyu dari bawah ke atas (bottom up) merupakan strategi yang dianjurkan guna meningkatkan kepuasan pelanggan dan produktivitas dalam perusahaan manufaktur. Di pihak lain, strategi dengan pendekatan top-down dianggap tepat guna meningkatkan daya-saing-relatif teknologi. Strategi yang terintegrasi memiliki pengaruh yang paling kecil pada kinerja unggul. Pada tataran praktis, strategi peningkatan secara incremental yang dilakukan kontinyu merupakan pendorong utama di belakang berbagai upaya peningkatan kinerja, dan inovasi radikal sebaiknya digunakan untuk jump-start produk-produk kritikal, layanan dan proses.
Implikasi
Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik akan memberi manfaat bagi sustainable competitive advantage ketika keduanya dikelola dalam satu kombinasi strategi yang saling menunjang. Penelitian mengenai interaksi keduanya dan pengaruhnya terhadap sustainable competitive advantage perusahaan khususnya perusahaan di Indonesia diperkirakan akan memberi kontribusi bagi perkembangan bisnis khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang strategic management. Kontribusi ini perlu mengingat pada saat ini inovasi masih merupakan barang langka di Indonesia, sementara pemanfaatan Teknologi Informasi yang dikoordinasikan dalam Sistem Informasi Strategik sudah cukup luas di kalangan bisnis. Sebagaimana diketengahkan oleh Roger, McCarty, Sollow, maupun Christensen inovasi selain menawarkan manfaat juga mengandung potensi yang dapat menghancurkan perusahaan. Memahami bagaimana mengelola inovasi menjadi suatu tantangan bagi manajer Indonesia. Tantangan yang lebih besar lagi bagi kalangan akademisi adalah menawarkan teori unggul tentang inovasi dan kaitannya dengan bagaimana inovasi tersebut dapat meningkatkan kinerja dan daya saing, sementara potensi negatifnya dapat diantisipasi dan dieliminasi sedini mungkin.
Demikian halnya dengan Sistem Informasi Strategik, investasi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan pertanggung – jawaban mengenai bagaimana investasi tersebut memberikan hasil. Pendekatan klasik kalangan praktisi Teknologi Informasi yang mengetengahkan manfaat Teknologi Informasi dari sekedar lebih cepat, lebih baik dan lebih murah (faster, better and cheaper) perlu dikoreksi. Sistem Informasi Strategik yang selaras dengan Strategi Bisnis perlu dikembangkan. Teori mengenai hal ini sudah banyak dihasilkan, namun demikian peluang menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang ini masih terbuka, terutama ketika Teknologi Informasi dikaitkan dengan inovasi. Hal ini mengingat penelitian terdahulu pada umumnya hanya menggunakan salah satu aspek saja untuk melihat pengaruhnya terhadap kinerja.
Implikasi
Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik akan memberi manfaat bagi sustainable competitive advantage ketika keduanya dikelola dalam satu kombinasi strategi yang saling menunjang. Penelitian mengenai interaksi keduanya dan pengaruhnya terhadap sustainable competitive advantage perusahaan khususnya perusahaan di Indonesia diperkirakan akan memberi kontribusi bagi perkembangan bisnis khususnya dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang strategic management. Kontribusi ini perlu mengingat pada saat ini inovasi masih merupakan barang langka di Indonesia, sementara pemanfaatan Teknologi Informasi yang dikoordinasikan dalam Sistem Informasi Strategik sudah cukup luas di kalangan bisnis. Sebagaimana diketengahkan oleh Roger, McCarty, Sollow, maupun Christensen inovasi selain menawarkan manfaat juga mengandung potensi yang dapat menghancurkan perusahaan. Memahami bagaimana mengelola inovasi menjadi suatu tantangan bagi manajer Indonesia. Tantangan yang lebih besar lagi bagi kalangan akademisi adalah menawarkan teori unggul tentang inovasi dan kaitannya dengan bagaimana inovasi tersebut dapat meningkatkan kinerja dan daya saing, sementara potensi negatifnya dapat diantisipasi dan dieliminasi sedini mungkin.
Demikian halnya dengan Sistem Informasi Strategik, investasi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan pertanggung – jawaban mengenai bagaimana investasi tersebut memberikan hasil. Pendekatan klasik kalangan praktisi Teknologi Informasi yang mengetengahkan manfaat Teknologi Informasi dari sekedar lebih cepat, lebih baik dan lebih murah (faster, better and cheaper) perlu dikoreksi. Sistem Informasi Strategik yang selaras dengan Strategi Bisnis perlu dikembangkan. Teori mengenai hal ini sudah banyak dihasilkan, namun demikian peluang menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang ini masih terbuka, terutama ketika Teknologi Informasi dikaitkan dengan inovasi. Hal ini mengingat penelitian terdahulu pada umumnya hanya menggunakan salah satu aspek saja untuk melihat pengaruhnya terhadap kinerja.
Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja
Inovasi memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan (inverted U-shape); dan Teknologi Informasi (TI) tidak memiliki pengaruh signifikan pada kinerja perusahaan. Namun demikian sesudah memertimbangkan interaksi antara inovasi dan TI, ada efek positif pada kinerja perusahaan (Cheng & Chun, 2005). Dari pernyataan di atas dapat ditarik pendapat bahwa lebih banyak investasi pada modal intelektual tidak selalu lebih baik. Perusahaan sebaiknya mengkoordinasikan perbedaan perspektif dari modal intelektual guna meningkatkan kinerja.
Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-negara yang relatif maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi pada pengembangan sain dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan TI telah berubah sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan investasi TI membentuk infrastruktur knowledge management di dalam organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker, 2003; Youndt et al, 2004). Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena TI dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open standard juga mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan kemitraan lebih mudah (Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat yang inkonsisten tentang apakah investasi TI dapat memberi manfaat substansial bagi perusahaan.
Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi yang dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan profesional yang dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar tertentu, merupakan definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997). Yang menjadi persoalan, tidak selalu intelectual capital dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini tidak hanya dihadapi oleh pelaku bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa investasi intellectual capital secara nyata memberi kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002; Youndt, et al, 2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa intellectual capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan (Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat tentang peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar sependapat tentang korelasi mutual di antara komponen intellectual capital.
Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini bersifat unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit untuk ditiru, penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi kontribusi bagi sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi lingkungan ekonomi yang diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan harus memiliki kemampuan dalam inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam membangun daya saing. Oleh karena itu, memberi perhatian khusus pada sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan TI akan memiliki dampak positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan investasi TI memiliki asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan (Bharadwaj et al, 1999; Abody & Lev, 2001).
Mengacu pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang konsisten. Berdasarkan teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki batasan untuk berkembang, salah satunya disebabkan oleh kemampuan manajemen (Penrose, 1959). Demikian pula teori kurva-S, dan investasi R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat menghasilkan kinerja (Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu, produktivitas R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan return yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI.
Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan, besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (Chang & Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Pertama, disebabkan oleh perubahan teknologi yang sangat cepat, investasi TI cenderung terdepresiasi dengan cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah menjadi lebih canggih dengan memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan membuat duplikasi kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang dimiliki perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi lebih singkat.
Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-negara yang relatif maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi pada pengembangan sain dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan TI telah berubah sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan investasi TI membentuk infrastruktur knowledge management di dalam organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker, 2003; Youndt et al, 2004). Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena TI dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open standard juga mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan kemitraan lebih mudah (Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat yang inkonsisten tentang apakah investasi TI dapat memberi manfaat substansial bagi perusahaan.
Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi yang dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan profesional yang dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar tertentu, merupakan definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997). Yang menjadi persoalan, tidak selalu intelectual capital dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini tidak hanya dihadapi oleh pelaku bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa investasi intellectual capital secara nyata memberi kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002; Youndt, et al, 2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa intellectual capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan (Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat tentang peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar sependapat tentang korelasi mutual di antara komponen intellectual capital.
Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini bersifat unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit untuk ditiru, penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi kontribusi bagi sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi lingkungan ekonomi yang diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan harus memiliki kemampuan dalam inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam membangun daya saing. Oleh karena itu, memberi perhatian khusus pada sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan TI akan memiliki dampak positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan investasi TI memiliki asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan (Bharadwaj et al, 1999; Abody & Lev, 2001).
Mengacu pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang konsisten. Berdasarkan teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki batasan untuk berkembang, salah satunya disebabkan oleh kemampuan manajemen (Penrose, 1959). Demikian pula teori kurva-S, dan investasi R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat menghasilkan kinerja (Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu, produktivitas R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan return yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI.
Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan, besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (Chang & Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Pertama, disebabkan oleh perubahan teknologi yang sangat cepat, investasi TI cenderung terdepresiasi dengan cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah menjadi lebih canggih dengan memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan membuat duplikasi kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang dimiliki perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi lebih singkat.
Hubungan Antara Knowledge Management Dan Kinerja Inovasi
Proses inovasi banyak bergantung pada pengetahuan, terutama karena knowledge merepresentasikan suatu bidang (realm) jauh lebih dalam dari pada data, informasi dan logika konvensional; oleh karenanya, kekuatan knowledge terletak pada subjektivitasnya, yang mendasari value dan asumsi yang menjadi pondasi bagi proses pembelajaran (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dari pemahaman ini, dapat dikatakan bahwa knowledge management (KM) serta sumber daya manusia merupakan elemen penting dalam menjalankan setiap bisnis. Namun demikian, banyak organisasi tidak konsisten dalam pendekatannya kepada KM, hal ini terjadi karena dipengaruhi dan banyak didominasi oleh kerangka teknologi informasi (IT) atau humanis (Gloet & Terziovski, 2004). Studi Gloet dan Terziovski (2004) menganjurkan para manajer di perusahaan manufaktur perlu memberi perhatian lebih banyak pada manajemen sumber daya manusia (HRM) ketika membangun strategi inovasi bagi inovasi produk dan proses. KM mendukung kinerja inovasi jika pendekatan simultan dari soft HRM practices dan hard IT practices diimplementasikan bersama-sama secara sinergi.
KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991; Nonaka & Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999; Moore & Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM mendapat kritik dari berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah yang tidak cocok (misnomer) atau oxymoron, penggunaan dua kata yang maknanya saling bertentangan (Coleman, 1999), atau membingungkan dan tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini, akhirnya menjadikan KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta ruang lingkup yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya (Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan baru, mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan customer value (Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999) mendefinisikan KM sebagai sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling berketergantungan dan terkait satu dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge creation; knowledge valuation dan metrics; knowledge mapping dan indexing; knowledge transport, storage dan distribusi; serta knowledge sharing.
Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada aspek tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan informasi, menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk organisasi sebagai sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis paradigm lebih menekankan pada sifat pembelajaran dan peningkatan pengetahuan sebagai sumber daya organisasi, menyorot peran individu dan kelompok dalam proses penyebaran knowledge.
Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi. Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur (Beckman, 1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan kepemimpinan yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-dayaan karyawan (Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998), memahami KM sebagai strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999), ssaluran komunikasi yang kuat (Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan komitmen untuk membangun dan memertahankan iklim pembelajaran di dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz & Beckman, 1998).
Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan competitive advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu berubah (Nystrom, 1990). Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi sebagai “sesuatu yang baru atau ditingkatkan yang dihasilkan oleh perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang signifikan baik secara langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada perusahaan dan atau pelanggannya”. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat inovasi sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme yang memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus, yaitu kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999).
Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja, menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive advantage bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum dapat dijelaskan sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil rekayasa (inventions) serta proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru, apakah berupa produk, sistem atau proses (William, 1999). Lebih jauh, inovasi menempati posisi sangat penting dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal intelektual berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis perlu memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital, inovasi).
Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge, ketrampilan dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain, competitive advantage juga membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998; Zand, 1997). Guna memahami inovasi dengan lebih baik, manajemen harus memastikan bahwa inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan (Cottrill, 1998). Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan instrumen yang dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan hubungan antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan bahawa organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang integratif guna memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai competitive advantage.
Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini dapat dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan, dan oleh karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong utama dalam peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum dianggap nyata oleh para manajer.
KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991; Nonaka & Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999; Moore & Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM mendapat kritik dari berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah yang tidak cocok (misnomer) atau oxymoron, penggunaan dua kata yang maknanya saling bertentangan (Coleman, 1999), atau membingungkan dan tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini, akhirnya menjadikan KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta ruang lingkup yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya (Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan baru, mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan customer value (Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999) mendefinisikan KM sebagai sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling berketergantungan dan terkait satu dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge creation; knowledge valuation dan metrics; knowledge mapping dan indexing; knowledge transport, storage dan distribusi; serta knowledge sharing.
Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada aspek tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan informasi, menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk organisasi sebagai sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis paradigm lebih menekankan pada sifat pembelajaran dan peningkatan pengetahuan sebagai sumber daya organisasi, menyorot peran individu dan kelompok dalam proses penyebaran knowledge.
Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi. Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur (Beckman, 1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan kepemimpinan yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-dayaan karyawan (Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998), memahami KM sebagai strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999), ssaluran komunikasi yang kuat (Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan komitmen untuk membangun dan memertahankan iklim pembelajaran di dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz & Beckman, 1998).
Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan competitive advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu berubah (Nystrom, 1990). Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi sebagai “sesuatu yang baru atau ditingkatkan yang dihasilkan oleh perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang signifikan baik secara langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada perusahaan dan atau pelanggannya”. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat inovasi sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme yang memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus, yaitu kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999).
Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja, menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive advantage bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum dapat dijelaskan sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil rekayasa (inventions) serta proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru, apakah berupa produk, sistem atau proses (William, 1999). Lebih jauh, inovasi menempati posisi sangat penting dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal intelektual berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis perlu memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital, inovasi).
Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge, ketrampilan dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain, competitive advantage juga membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998; Zand, 1997). Guna memahami inovasi dengan lebih baik, manajemen harus memastikan bahwa inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan (Cottrill, 1998). Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan instrumen yang dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan hubungan antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan bahawa organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang integratif guna memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai competitive advantage.
Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini dapat dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan, dan oleh karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong utama dalam peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum dianggap nyata oleh para manajer.
Memerkirakan Yang Tidak Dapat Diperkirakan, Mengantisipasi Inovasi Yang Bersfifat Disruptif
Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang semakin sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme: berfungsi secara efisien, sementara juga melakukan inovasi secara efektif guna memersiapkan diri menghadapi hari esok (Paap & Katz, 2004). Tidak peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola kedua hal tersebut secara simultan. Untuk melakukannya perusahaan harus memahami dan belajar mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan berkelanjutan.
Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba kehilangan pasar yang sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya.
Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan, penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktor-faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan kegagalan – inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.
Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.
Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam tangan Swis menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz batteries dan jam tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan mengalahkan perusahaan Swis.
Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif. Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak mampu bersaing menghadapi teknologi baru.
Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu tidak mengubah keputusan masa depan.
Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang. Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan mengelola perubahan.
Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba kehilangan pasar yang sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya.
Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan, penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktor-faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan kegagalan – inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.
Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.
Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam tangan Swis menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz batteries dan jam tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan mengalahkan perusahaan Swis.
Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif. Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak mampu bersaing menghadapi teknologi baru.
Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu tidak mengubah keputusan masa depan.
Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang. Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan mengelola perubahan.
Siapa Yang Memiliki Ide? Investigasi Keyakinan Karyawan Tentang Hak Kepemilikan Ide
Ketika karyawan meyakini bahwa mereka, dan bukan majikan, yang memiliki hak kepemilikan ide, mereka dapat memilih untuk tetap memegang idenya dan tidak menyerahkannya kepada majikan/perusahaan (Hannah, 2004). Apabila hal ini terjadi, dapat menghambat kemampuan perusahaan menghasilkan produk atau layanan baru.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide yang dimilikinya: keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki idenya dipengaruhi secara langsung oleh keyakinan karyawan tentang kekuatan upayanya mengajukan klaim melawan kekuatan upaya perusahaan mengajukan klaim yang sama. Kedua variable ini (kekuatan karyawan dan kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh sifat dan kegunaan ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses pembentukan ide, sert adipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung jawab atas tugas – tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan terhadap prosedur organisasi.
Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas ide dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali diusulkan, dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi kepada karyawan bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk memberikan hak atas ide yang dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai dengan substansi yang termaktub dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual, yang menyatakan bahwa setiap penemuan atau karya cipta yang dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas kekayaan intelektual yang muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi kerja.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide yang dimilikinya: keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki idenya dipengaruhi secara langsung oleh keyakinan karyawan tentang kekuatan upayanya mengajukan klaim melawan kekuatan upaya perusahaan mengajukan klaim yang sama. Kedua variable ini (kekuatan karyawan dan kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh sifat dan kegunaan ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses pembentukan ide, sert adipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung jawab atas tugas – tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan terhadap prosedur organisasi.
Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas ide dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali diusulkan, dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi kepada karyawan bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk memberikan hak atas ide yang dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai dengan substansi yang termaktub dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual, yang menyatakan bahwa setiap penemuan atau karya cipta yang dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas kekayaan intelektual yang muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi kerja.
Teh Di Pagi Hari
Teh di pagi hari, sepat melekat di gigi kuat,
tak lepas rasa di lidah walau siang mendatang,
di cangkir hijau selera merambat.
Teh di pagi hari, serasa libur sepanjang tahun,
terbebas semu dari desakan tanya, menjauh lepas tugas sementara,
menanti sang perjaka tua di ujung sana.
Teh di pagi hari, menyusur laut maya dirunut berita,
tak satu jua memberi nikmat mata, tampak nafsu kuasa menjarah darah,
si selingkuh mati nestapa, si durjana dicari polisi.
Teh di pagi hari, berangkai gambar dipindai dari sangkarnya,
wajah tersenyum, menawarkan rasa, nun jauh di sana, antara ingin dan takut.
engkau si muda, dia mengangankan engkau
buih meleleh dari ludahnya, menaksir tak bertepi.
Teh di pagi hari, wanita berktutat dengan jemarinya,
menyusun karakter manusia,merangkai nasib dirinya,
penuh asa di kepalanya, tak pasti masa depannya.
Teh di pagi hari, bergulir nyawa masa demi masa,
berkurang satu, bertambah lebih dari satu,
mengubah keseimbangan, memaksa berpikir,
terima nasib atau membuat jalan sukses ke depan.
Teh di pagi hari, memecah kebuntuan, mengilhami pencerahan,
ditemani warta koran, dimesrai nyanyian gadget, semua serba berbeda,
tak mampu bertahan pada ke-dulu-an, yang kini tak terbendung.
Teh di pagi hari, gemeresek mirip suara kertas,
melepas dahaga di awal hidup, yang lain mengais rejeki,
penikmat teh, mencari teteh.
tak lepas rasa di lidah walau siang mendatang,
di cangkir hijau selera merambat.
Teh di pagi hari, serasa libur sepanjang tahun,
terbebas semu dari desakan tanya, menjauh lepas tugas sementara,
menanti sang perjaka tua di ujung sana.
Teh di pagi hari, menyusur laut maya dirunut berita,
tak satu jua memberi nikmat mata, tampak nafsu kuasa menjarah darah,
si selingkuh mati nestapa, si durjana dicari polisi.
Teh di pagi hari, berangkai gambar dipindai dari sangkarnya,
wajah tersenyum, menawarkan rasa, nun jauh di sana, antara ingin dan takut.
engkau si muda, dia mengangankan engkau
buih meleleh dari ludahnya, menaksir tak bertepi.
Teh di pagi hari, wanita berktutat dengan jemarinya,
menyusun karakter manusia,merangkai nasib dirinya,
penuh asa di kepalanya, tak pasti masa depannya.
Teh di pagi hari, bergulir nyawa masa demi masa,
berkurang satu, bertambah lebih dari satu,
mengubah keseimbangan, memaksa berpikir,
terima nasib atau membuat jalan sukses ke depan.
Teh di pagi hari, memecah kebuntuan, mengilhami pencerahan,
ditemani warta koran, dimesrai nyanyian gadget, semua serba berbeda,
tak mampu bertahan pada ke-dulu-an, yang kini tak terbendung.
Teh di pagi hari, gemeresek mirip suara kertas,
melepas dahaga di awal hidup, yang lain mengais rejeki,
penikmat teh, mencari teteh.
Subscribe to:
Posts (Atom)