Friday, November 09, 2007

Mencari Solusi Optimal Masalah SLJJ

Di koran elektronik Detik.com edisi Selasa, 30/10/2007 17:14 WIB, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Giri Suseno Hadihardjono dikutip menyatakan "Terkait kode akses SLJJ, pemerintah harus jelas dalam bersikap. Diperlukan ketegasan pemerintah, gitu aja," Selanjutnya Pak Giri menambahkan, Pemerintah, bagaimanapun juga harus melihat kerangka yang lebih luas dan utuh sebelum mengambil keputusan terkait kode akses SLJJ. "Kita tidak bisa melihat sepotong-potong masalah ini. Inilah yang kita minta kepada pemerintah untuk melihat secara utuh persoalannya,"

Pembukaan kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) merupakan keputusan publik yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan industri telekomunikasi yang kompetitif, menyusul perubahan struktur industri yang semula monopoli menjadi kompetisi. Kode akses SLJJ diperlukan untuk mengakomodasi bertambahnya operator telepon tetap kabel (PSTN), mengingat konfigurasi jaringan telepon kabel nasional terdiri dari sejumlah jaringan telepon lokal. SLJJ berfungsi menghubungkan antar-jaringan lokal. Pada saat ini operator telekomunikasi yang memiliki izin jaringan telepon lokal kabel adalah Telkom, Indosat, dan Batam-Bintan Telekom. Dua yang pertama beroperasi secara nasional, sementara yang terakhir hanya melayani di wilayah Pulau Batam dan Bintan saja.

Untuk dapat ber-SLJJ setiap jaringan lokal diberi kode akses. Jakarta 021, Surabaya 031, Bandung 022, dan seterusnya. Karena sifatnya monopoli, kode akses ini dikuasai untuk operasional Telkom. Setelah ada dua operator telepon tetap, muncul pertanyaan, kode akses 021 itu milik Telkom atau kota Jakarta? Bagi pihak Telkom tentu jawabnya “milik Telkom – Jakarta”. Persoalannya, bagaimana bila pelanggan PSTN Indosat di kota Surabaya hendak menelpon sesama pelanggan PSTN Indosat di kota Jakarta? Dalam konfigurasi yang berlaku saat ini, maka sambungan semacam ini masih melewati fasilitas Telkom, sehingga Indosat dikenai biaya interkoneksi. Bagi Telkom menguntungkan, tidak demikian bagi Indosat.

Regulasi pembukaan kode akses SLJJ dimaksudkan pula menambah sumber daya telekomunikasi sehingga pengguna jasa telekomunikasi memiliki alternatif. Jika tujuan regulasi positif, mengapa Telkom berusaha keras menolak kebijakan tersebut? Benarkah masyarakat pengguna jasa telekomunikasi PSTN diuntungkan dengan pembukaan kode akses SLJJ?
Teori Network Eksternaliti (positif) menyatakan bahwa semakin banyak orang yang membeli suatu produk, maka manfaat produk tersebut akan semakin besar. Dalam kontek jaringan telekomunikasi, manfaat jaringan berbanding lurus dengan jumlah simpul jaringan. Artinya, suatu jaringan yang anggotanya masih sedikit, dalam waktu singkat akan meningkat manfaatnya (value) bila dapat tersambung ke jaringan yang lebih besar. Dari perspektif makro manfaat ketersambungan jaringan akan meningkat, namun demikian apabila dilihat dari sudut pandang mikro, operator baru (dengan pelanggan sedikit) diuntungkan, sebaliknya operator dengan pelanggan lebih besar dapat dirugikan.

Argumen inilah yang menjadi salah satu alasan penolakan Telkom, yang merasa telah bertahun – tahun mewarisi dan mengembangkan jaringan lokal dan berhasil mengumpulkan pelanggan hingga hampir 10 juta. Sementara Indosat, yang memiliki izin PSTN, konon baru mengumpulkan kurang dari 100 ribu nomor pelanggan, itupun berasal dari pelanggan korporasi di kota – kota besar yang relatif lebih mudah membangunnya dari pada profil pelanggan Telkom yang lebih banyak pelanggan rumahan di seluruh Indonesia. Total jumlah pelanggan Indosat sendiri sudah di atas 10 juta, namun sebagian besar pelanggan telepon selular yang memang menjadi fokus utama bisnis Indosat.

Dalam ketidak-seimbangan jumlah pelanggan, meski dengan asumsi tarif layanan sama, Telkom khawatir, akan lebih banyak pelanggannya yang lari ke Indosat dari pada sebaliknya. Misalnya, tingkat perpindahan pelanggan (swing) 10%, maka Telkom akan kehilangan 1 juta, sementara Indosat hanya berkurang 10 ribu. Atau dengan kata lain 990 ribu pelanggan merupakan net loss bagi Telkom namun menjadi net gain bagi Indosat. Padahal, effort yang dikeluarkan Telkom untuk menghimpun sekian juta pelanggan sudah bertahun – tahun, sementara Indosat memperolehnya dalam waktu yang relatif singkat dan dengan cara yang mudah dan murah.

Kerugian lain yang akan ditanggung Telkom adalah biaya peralihan dan perubahan pada sentral telepon otomat (STO) di lokasi yang akan dibuka SLJJ-nya. Secara teknis, pembukaan kode akses berarti penambahan digit pada nomor telepon. Untuk kota-kota besar yang STO-nya sudah digital sebagian besar dapat mengelola nomor hingga 15 digit, di pihak lain, masih banyak sekali STO Analog atau Digital generasi pertama yang hanya mampu mengelola nomor hingga 12 digit. Artinya, jika pembukaan kode akses berlaku seluruh Indonesia, Telkom akan terbebani biaya peremajaan STO yang menurut pengurus Sekar Telkom mencapai Rp. 4 Trilyun.


Argumen dan contoh di atas, masih mengandung kelemahan, pertama manajemen perusahaan tidak memahami profil pelanggan sendiri, kedua mengesampingkan eksistensi layanan selular sebagai substitusi PSTN, dan ketiga tidak menyadari kekuatan yang pada internal Telkom. Sebagai perusahaan yang sudah berusia lebih dari separo abad, layak dipertanyakan apakah Telkom sudah memiliki strategi Customer Retention, mengelola pelanggan agar supaya loyal dalam mendukung perusahaan mencapai Sustainable Competitive Advantage. Jika ada perubahan struktur pasar, manajer dan pegawai masih khawatir pelanggan akan lari ke kompetitor, hal ini menjadi indikasi belum dimilikinya strategi tersebut, atau masih asyik bermain di tahap perebutan pelanggan (Customer Acquisition). Di pihak lain, mesti diakui bahwa layanan selular sudah lama menjadi substitusi layanan PSTN. Bahkan ketika sedang di rumah-pun semakin banyak orang yang lebih suka ber-handphone dari pada menggunakan telepon meja. Artinya, penggerusan sumber pendapatan Telkom dari kue bisnis telekomunikasi yang terus berkembang telah lama terjadi, bukan akan terjadi setelah dibukanya kode akses SLJJ. Selain itu, jika mengacu nasihat pakar psikologi tentang fenomena gajah dirantai, reaksi penolakan yang ditunjukkan pihak Telkom, secara tidak langsung menunjukkan bahwa Telkom yang besar dan memiliki dominant power ternyata masih bernyali kecil menghadapi persaingan. Bukankah dengan jajaran SDM yang loyal, kecintaan dan kebanggaan masyarakat Indonesia kepada Telkom sebagai BUMN perjuangan, dan pimpinan yang berkualitas semua itu menjadi aset perusahaan yang nilainya besar sekali?

Jika Telkom merasa akan dirugikan dan Indosat akan diuntungkan, bagaimana dengan masyarakat, khususnya pengguna telepon tetap kabel? Dalam jangka panjang akan diuntungkan karena ada kompetisi yang berarti tersedia alternatif. Kompetisi pada umumnya menghasilkan industri yang efisien. Dalam jangka pendek, pembukaan kode akses, berdampak pada perubahan tata nomor, yang artinya semua pelanggan PSTN (majoritas pelanggan Telkom) harus mengubah nomor telepon yang tertera di papan nama, kop surat, kartu bisnis, Buku Kuning, dan lain sebagainya, yang biaya ekonomis dan sosialnya lumayan besar namun sulit dihitung.

Memperhatikan benturan kepentingan sebagaimana dikemukakan di atas ada beberapa proposisi yang layak dipertimbangkan. Pertama, jika disadari suatu kebijakan dan atau regulasi berdampak win-loss pada objek yang diatur, sementara bila dilihat dari majoritas kepemilikan saham, kerugian terjadi pada sisi nasional dan kemenangan berada di pihak asing, ada baiknya regulator meninjau ulang kebijakan tersebut. Inilah barangkali yang dimaksud Ketua Umum Mastel melalui pernyataannya yang dikutip di atas.
Kedua, menggunakan azas pemerataan dan keadilan, pembukaan kode akses SLJJ dilakukan secara bertahap (seperti kebijakan yang sudah ada) namun bukan dari kota-kota besar yang merupakan wilayah penghasil utama revenue Telkom, melainkan dari kota – kota kecil yang belum menjadi perhatian Telkom. Dampak dari pendekatan ini, diharapkan Indosat akan terpacu untuk membangun jaringan PSTN, memenuhi komitmen perizinan modern yang dimilikinya, menambah penetrasi dan pemerataan layanan telekomunikasi, dan bagi pihak Telkom bukan dianggap sebagai ancaman yang akan mengurangi potensi pendapatannya.

Ketiga, untuk pembukaan kode akses SLJJ di kota-kota besar baru dapat dilaksanakan ketika proporsi jumlah pelanggan Indosat dan Telkom sudah berimbang, misal menggunakan rasio 2:1. Artinya jika di suatu kota jumlah pelanggan Telkom mencapai 1 juta, maka kode akses SLJJ untuk kota tersebut baru dibuka ketika jumlah pelanggan PSTN Indosat sudah mencapai sedikitnya 500 ribu.

Dengan tiga langkah di atas, mudah-mudahan semua pihak: Pemerintah, Telkom, Indosat dan masyarakat akan merasa diuntungkan.*****

1 comment:

  1. Mas....
    katanya tarif lokal yang terlalu murah dan tarif interlokal yg masih mahal ntu nyebabin Telkom gak stuju ma pembukaan nomor SLJJ oleh Indosat Y?

    Telkom menginginkan rebalancing antara tarif lokal ma interlokal, baru mungkin setuju dg adanya nomor SLJJ oleh Indosat ntu. Bener gak si Mas?

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.