Globalisasi sebagai suatu sistem baru dan dampaknya terhadap umat manusia di seluruh belahan bumi merupakan topik utama dari buku ini. Globalisasi, ujar Friedman tidak hanya sekedar sebuah fenomena dan bukan pula sebuah trend yang akan lewat begitu saja. Lebih serius dari itu, Friedman melihatnya sebagai sebuah sistem yang muncul menggantikan gerakan internasional sebelumnya, Perang Dingin antara paham kapitalis yang didukung Amerika di blok barat dan paham komunis yang didukung oleh Uni Sovyet di blok timur. Jika dalam Perang Dingin alasan utamanya adalah perbedaan ideologi, dunia seolah dibagi menjadi blok barat dan blok timur, blok kapitalis dan blok sosialis – komunis, sementara mereka yang tidak termasuk ke dalam du abolk tersebut menamakan dirinya blok dunia ketiga, maka dalam globalisasi terjadi integrasi kapital, teknologi, dan informasi melewati batas – batas negara. Wujudnya, globalisasi mendorong runtuhnya sekat – sekat ideologi politik antar negara, antar blok, dan menjadikan dunia sebagai pasar tunggal, yang oleh Al Gore (1998) disebutnya sebagai global village.
Mereka yang gagap terhadap perubahan sistem baru (globalisasi) ini dalam banyak kasus mengalami hambatan dalam pengembangan diri yang menjadikannya semakin tertinggal dari negara – negara yang relatif siap menghadapi arus globalisasi. Digambarkan, suatu pagi, tiba – tiba seorang eksekutif tidak tahu lagi isi berita pagi yang dibacanya di koran atau ditontonnya di TV, di kantor menjadi tambah tidak mengerti ketika bisnis investasi yang sudah ditekuninya sekian tahun tiba – tiba tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Menghubungi rekannya di kantor pemerintah, jawabannya sungguh di luar dugaan, terjadi perubahan kebijakan karena desakan lembaga keuangan internasional. Kejadian yang sebenarnya secara pelan berlangsung tetapi tidak dirasakannya, dan baru terasa ketika segala sesuatu harus berubah. Friedman menguraikan bahwa pada titik tertentu globalisasi akan mempengaruhi substansi kebijakan domestik dan mendesak pemerintah suatu negara untuk memperbaiki hubunggannya dengan lembaga – lembaga internasional. Pada saat itulah, karena sebagian besar bisnis di negara – negara sedang membangun sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan regulasi pemerintah, dampak globalisasi baru dirasakan olehkalangan bisnis setempat.
Tekanan yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap budaya lokal, demografi, tradisi dan harmoni masyarakat diceritakan dengan gamblang oleh Friedman. Konflik yang ditimbulkan dilukiskan sebagai perbedaan antara Lexus, yang menggambarkan kekayaan, keutamaan, keunggulan dan Olive Tree yang menggambarkan tradisional, terbelakang, dan kemiskinan. Digambarkan pula bagaimana masyarakat tertentu merasa dijahili oleh pelaku globalisasi dan dalam konteks ini Friedman menawarkan solusi keseimbangan antara Lexus dan Olive Tree dalam konteks globalisasi. Tentu saja solusi ini diajukan dengan pemikiran dasar bahwa globalisasi tidak dapat dicegah, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengimbangi laju globalisasi sehingga masyarakat tradisional tidak semakin terpuruk.
Globalisasi tidak hanya integrasi kapital, teknologi dan informasi, lebih dari itu Friedman mengulasnya sebagai fenomena perubahan geopolitik melalui desakan – desakan ekonomi internasional, yang pada gilirannya memunculkan kompleksitas tidak hanya pada elite politik, namun juga berdampak pada pelaku ekonomi di akar rumput. Dalam globalisasi, ideologi politik menjadi tidakterlalu penting, ia digantkan oleh kepentingan ekonomi. Jika di masa perang dingin dan atau era sebelumnya kolonisasi bersifat fisik, suatu negara menjajah negara lain, dalam globalisasi penjajahan secar fisik sudah tidak trendi, alasan perluasan bisnis, penyebaran investasi, atau pengembangan pasar menjadi alasan sah penjajahan ekonomi oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain. Fenomena McDonald, Coca Cola, Internet, dan berbagai merek dagang terkenal di dunia lainnya yang berhasil di pasar internasional menunjukkan kebenaran sinyalemen Friedman.
Dari sisi pelaku, jika di masa lalu penjajahan dilakukan oleh negara atas negara (meski dalam kasus penjajahan Belanda atas Indonesia diawali oleh VOC sebagai misi dagang Kerajaan Belanda) dalam globalisasi “penjajahan ekonomi”dilakukan oleh Korporasi sebagai pelaku dominan. Keputusan investasi korporasi internasional, dalam banyak hal mempengaruhi nasib (regulasi dan kebijakan) suatu bangsa. Kasus perebutan hak pengolahan minyak di ladang Cepu misalnya, merupakan keputusan manajemen Exxon (suatu raksasa perusahaan minyak Amerika) yang berdampak pada kebijakan perminyakan Indonesia. Pelaku lain yang sempat mendominasi halaman utama media cetak internasional di tahun 1997-98 berkaitan dengan globalisasi adalah George Soros. Soros terkenal sebagai investor keuangan yang piawai dan disebut sebagai telah menggoyang atau bahkan meruntuhkan perekonomian banyak negara di Asia – termasuk Indonesia – karena keputusannya dalam berbisnis valuta asing di berbagai pasar saham internasional. Bill Gates dapat dikatakan sebagai pendorong globalisasi dengan produk teknologi informasi Microsoft, sehingga menjadi monopoli dunia dalam industri piranti lunak sistem operasi komputer, di sisi lain Bill menikmati hasil jerih payahnya sebagai individu terkaya di dunia.
Sukses Bill Gates, Soros dan sejumlah kecil lainnya hanya di sisi Lexus. Friedman menggambarkan pula bagaimana di sisi Olive Tree penderitaan tidak beranjak pergi meski kapital, teknologi dan informasi sudah semakin dekat dengan mereka. Alih – alih menyejahterakan, globalisasi malahan menjadikan mereka lebih termarginalkan, makin miskin dan semakin jauh jarak antara Lexus dan Olive Tree.
Lahirnya Globalisasi
Globalisasi dalam pengertian upaya memperluas wilayah kekuasaan dimulai ketika bangsa – bangsa eropa berlayar meninggalkan tanah kelahirannya menuju tanah harapan baru. Columbus mendarat di benua Amerika, bangsa Viking menguasai wilayah Inggris, orang Inggris menjajah India, Belanda menjarah Nusantara, Spanyol menguasai Amerika Selatan, Portugis menguasai berbabagi negara termasuk Timor Timur, dan China menguasai daratan Korea, Mancuria, Vietnam (zaman dinasti Han), dan lain sebagainya. Diaspora yang terjadi pada era tersebut dilatar-belakangi oleh eksplorasi memperoleh sumber daya ekonomi baru yang tidak terdapat di negaranya selain sebagai pemenuhan keinginan berpetualang mengarungi lautan.
Globalisasi dalam era modern, demikian Friedman berujar, dibagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama diawali pertangahan tahun 1800-an hingga 1900an yang ditandai dengan volume perdagangan dan arus modal antar negara relatif terhadap GNP, dan arus perpindahan manusia lintas negara relatif terhadap populasi menunjukkan rasio yang sama besarnya dengan rasio yang terjadi pada periode akhir 1990an hingga awal 2000-an. Inggris sebagai pelaku kolonisasi terluas di dunia pada abad 19 dan berperan sebagai investor terbesar acapkali menghadapi krisis yang terjadi di negara – negara jajahannya atau di negara mereka berinvestasi. Kekacauan keuangan di Latvia, pemogokan buruh kereta api di Argentina, atau terguncangnya politik di Jerman misalnya berdampak buruk terhadap kinerja investasi Inggris di negara – negara tersebut. Pada globalisasi tahap pertama belum ada mekanisme kontrol terhadap mata uang, sehingga menyusul tersambungnya hubungan telepon Eropa – Pantai Timur Amerika pada tahun 1866, krisis perbankan dan keuangan di New York pada segera berdampak terhadap kinerja ekonomi Inggris dan Paris. Pergerakan modal dan manusia lintas negara pada globalisasi tahap pertama ini semakin terpacu setelah ditemukannya telegraf, mesin uap, kereta api, dan telepon. Era ini ditandai pula dengan belum diperlukannya visa (izin masuk ke suatu negara) yang berakhr pada tahun 1941.
Globalisasi tahap pertama terus berlanjut ketika perang dunia pertama meletus di tahun 1915, diikuti oleh revolusi di Rusia, dan berujung pada Great Depression, yang kesemuanya itu mengubah secara mendasar cara pandang masyarakat dunia terhadap ideologi, politik dan ekonomi internasional. Berakhirnya perang dunia pertama dan disusul perang dunia kedua tidak mengubah konstelasi dunia. Perubahan terjadi setelah perang dunia kedua berakhir dan disusul oleh perang dingin atara blok barat dan blok timur. Friedman beranggapan bahwa perang dingin juga termasuk sistem internasional yang mempengaruhi ideologi, politik dan ekonomi internasional. Periode perang dingin menandai globalisasi babak kedua, pasca berakhirnya perang dunia. Ketika sistem sosialis – komunis tidak mampu lagi menyangga beban perubahan yang dikehendaki rakyatnya, dominasi sistem sosialis – komunis di blok timur runtuh ditandai dengan dihancurkannya tembok Berlin yang selama itu merupakan simbol sekat antara blok barat dan blok timur. Runtuhnya tembok Berlin di tahun 1989 menandai dimulainya babak baru dalam percaturan ideologi, geopolitik dan geoekonomi. Peristiwa ini mengawali munculnya globalisasi.
Selain ada persamaan, perbedaan antara globalisasi tahap satu dan dua terletak pada derajat intensitas hubungan antar negara kepada pasar tunggal, dan makin banyaknya individu atau negara yang dapat ikut berperan serta dalam berbagai aktivitas yang menandai globalisasi atau yang terkena dampak globalisasi. Globalisasi pra-1914 juga menunjukkan adanya intensitas investasi lintas negara yang tinggi, namun sebagian besar negara baru (new emerging countries) tidak dapat ikut serta dalam globalisasi ini, mereka lebih banyak berperan sebagai objek atau sasaran investasi.
serumit itu globalisasi ekonomi dan dampak-dampaknya pada kondisi negara di dunia khususnya negara berkembang (atau tertinggal??) yang semakin terperangkap dalam kondisi yang tidak menguntungkan..
ReplyDeletedampak yang paling terasa juga akan terjadi pada hubungan antar pribadi dalam lembaga kecil yang disebut keluarga.
ReplyDelete