Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang telekomunikasi mendefinisikan jaringan telekomunikasi sebagai rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Dari definisi ini terlihat bahwa unsur utama yang menjadi perhatian adalah sekumpulan peralatan hasil teknologi. Sebagaimana hasil teknologi lainnya, jaringan telekomunikasi tidak akan memiliki makna bila tidak mampu memberikan manfaat kepada manusia. Sampai di sini, kita masih dapat mengatakan bahwa jaringan telekomunikasi tentu saja bermanfaat bagi kebutuhan hidup manusia. Namun demikian, ketika telekomunikasi sudah berkonvergensi dengan teknologi informasi membentuk telematika yang mendorong terbentuknya tata hubungan bisnis dan sosial yang berbeda dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, pengertian dan manfaat jaringan tidak hanya untuk pemenuhan sarana fisik saja melainkan juga untuk membangun jaringan lain, yakni jaringan antar manusia itu sendiri yang kemudian disebut jaringan sosial (social networks). Kedua jaringan ini, meski muncul dari dua kepentingan yang berbeda, tetapi ada suatu keadaan di mana keduanya, bila digunakan secara tepat, dapat memperkuat terbentuknya modal sosial (social capital). Apa dan bagaimana jaringan sosial serta implikasinya terhadap tatanan sosial dan ekonomi, khususnya dalam era ekonomi baru setelah munculnya telematika, menjadi pertanyaan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Gordon Marshal dalam Dictionary of Sociology (1998) menjelaskan bahwa jaringan sosial terbentuk dari individu atau sekelompok individu yang terhubung satu dengan lainnya oleh hubungan sosial. Keluarga, suku, perusahaan, asosiasi, dan pertemanan, adalah contoh dari jaringan sosial. Tata hubungan dalam jaringan sosial ini yang oleh J.L. Moreno dapat digambarkan dalam bentuk tabel sociomatrix. Studi mengenai jaringan sosial semula menitik-beratkan pada struktur hubungan dalam kelompok sosial yang berukuran kecil dengan fokus pada perilaku angggota jaringan dan kerekatan hubungan di antara mereka. Dalam kelompok sosial yang anggotanya sedikit, dapat dengan mudah dilihat adanya unsur – unsur jaringan seperti perekat atau penghubung (bridges), seseorang yang menjadi pengikat antar-sesama anggota; dan penyeimbang (balance) yakni pihak yang menahan berkembangnya klik (clique) atau subjaringan, yang pada kondisi tertentu dapat melemahkan hubungan sosial antar anggota.
Ikatan dalam jaringan sosial yang semula kuat karena bertumpu pada kedekatan lokasi, emosional dan fisikal, dengan berjalannya waktu dan terjadinya diaspora, menjadi melemah. Pelemahan keterhubungan ini makin diperbesar dengan makin kuatnya pengaruh budaya individualistik akibat globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi, yang di satu sisi menjadikan dunia terasa kecil seukuran layar monitor, dikatakan memiliki sisi negatif bila dilihat dari dampaknya dalam melemahkan jaringan sosial yang terdapat pada masyarakat tradisional.
Yang menggembirakan, demikian kata Henslin dalam Sociology, A down to Earth Approach, (1999), Internet yang semula haya dipakai oleh kalangan akademik, setelah dikembangkan oleh pelaku bisnis menjelma menjadi media baru yang dapat mengeratkan kembali simpul – simpul jaringan sosial. Bahkan pola hubungan bisa menjadi sangat berbeda dari jaringan sosial dalam konteks tradisional. Berjuta –juta manusia yang berasal dari berbagai budaya dan latar belakang masuk ke belantara informasi yang dinamakan Internet. Pada akhirnya, pola hubungan sosial yang semula didasarkan pada kesamaan almamater, asal – usul, suku, keluarga, partai politik, dan ikatan primordial lainnya, dengan makin berkembangnya penggunaan Internet pola hubungan berubah dan lebih didasarkan pada kesamaan kepentingan, hoby, bidang profesi, tanpa melihat dari keluarga mana, atau dari almamater apa mereka berasal. Karakter sosial yang terbentuk melalui media Internet misalnya, sangat berbeda dengan jaringan sosial yang konvensional. Atribut tradisional yang cenderung membentuk hirarki dalam jaringan sosial tradisional berubah menjadi sekedar nama, yang posisinya dilihat dari seberapa besar kontribusinya dalam pola hubungan yang horisontal peer to peer. Pola hubungan yang didorong oleh penggunaan Internet inilah yang kemudian membentuk komunitas – komunitas elektronik (electronic communities). Bahkan akibat adanya interaksi intensif melalui Internet belakangan bermunculan electronic primary groups, yang oleh sementara orang dikembangkan sebagai peluang usaha baru, seperti electronic commerce.
Sampai di sini mulai terlihat benang merah hubungan antara jaringan sosial dan jaringan telekomunikasi. Dalam kontek telematika di Indonesia, jaringan sosial yang terbentuk dari munculnya Internet memang belum terlihat jelas contoh dan wujudnya, namun demikian keberadaannya akan menjadi sangat penting pada dua ekstrem keadaan. Ketika teledensity dan dan penetrasi Internet masih relatif rendah seperti sekarang ini, jaringan sosial bertumpu pada hubungan tradisional yang bersifat primordial seperti asal - usul kedaerahan, sekolah, organisasi, kepartaian, dan lain sebagainya. Jaringan sosial semacam ini biasanya berkurang daya rekatnya ketika anggota jaringan semakin jauh lokasi keberadaannya sementara sarana telekomunikasi dan atau penggunaan sarana tersebut masih rendah. Ketersediaan jaringan telekomunikasi termasuk Internet, pada gilirannya akan memfasilitasi terbentuknya jaringan sosial baru yang berbasis pengetahuan dan informasi.
Pada ekstrem lain, ketika majoritas anggota masyarakat sudah 'terhubung' melalui jaringan telekomunikasi, kompleksitas jaringan sosial diperkirakan akan meningkat. Individu akan menemui kesulitan karena dihadapkan pada labirin informasi yang membentuk kompartemen atau kluster jaringan sosial, yang apabila tidak hati – hati memasukinya akan terjebak dalam kesia-siaan waktu, energi dan biaya. Untuk itu, pemahaman mengenai minat pribadi, kebersediaan untuk menentukan fokus atau area minat tertentu, serta penguatan disiplin pribadi menjadi kunci sukses bagi individu dalam jaringan sosial di era Internet.
Dua hal di atas apabila dapat terpenuhi akan menguatkan teorinya Fukuyama yang mengatakan bahwa teknologi informasi dan telekomunikasi pada masanya akan merubah tata hubungan komunitas. Lalu di mana peran pemerintah dalam membangun jaringan telekomunikasi dan menjaga agar jaringan sosial ini mampu menjadi kekayaan bangsa?
Berkaitan dengan upaya ekspansi pengembangan jaringan telekomunikasi, ada banyak alternatif kebijakan yang dapat ditawarkan. Dari yang bernuansa mempertahankan monopoli hingga yang berpihak pada kompetisi sesuai amanat UU 36/1999 di atas. Tetapi ternyata, ukuran sambungan phisik menjadi tidak relevan lagi di era ekonomi baru karena kebutuhan masyarakat di satu sisi tidak hanya sekedar tersambung ke jaringan, namun sejauh mana mereka dapat menggunakan jaringan phisik tersebut untuk memperoleh informasi bagi pengembangan jaringan sosial. Dengan demikian akses informasi dengan biaya murah dan berkecepatan tinggi menjadi satuan ukur baru.
Bila kita sepakat dengan pola pikir ini, kebijakan yang tepat adalah memberi kesempatan kepada pelaku pasar untuk menggunakan teknologi yang efisien, bukan mengahalangi dengan menetapkan entry barrier yang sengaja dibuat hanya guna melindungi kepentingan incumbent. Di sisi lain, bagaimanapun juga jaringan telekomunikasi masih diperlukan di daerah – daerah yang belum terlayani. Sementara incumbent tidak dapat sepenuhnya melayani daerah tersebut.
Dalam kerangka keadilan, pemerataan, dan perlakuan yang sama bagi pengusaha, kebijakan yang memberi kesempatan kepada pemain baru untuk menawarkan jasa telekomunikasi yang murah dan efisien perlu dibuka selebar – lebarnya. Selain itu dalam upaya perluasan jaringan telekomunikasi dan pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation), kepada pemain baru yang menawarkan jasa murah dan efisien tersebut seharusnya juga diberi kewajiban membangun jaringan telekomunikasi dan menyediakan sarana akses Internet. Dengan demikian satu kebijakan akan bermanfaat bagi semua pihak, tidak hanya menguntungkan salah satu saja.
Dalam arus globalisasi Internet, hampir semua negara menyepakati bahwa sebaiknya pemerintah menerapkan minimum regulations, sediakan sarananya dan biarkan komunitas mengatur dirinya sendiri. Jadilah pemerintah sebagai promotor, fasilitator dan katalisator. Lupakan paradigma lama yang menganggap pemerintah berlaku sebagai penguasa. Akibat perubahan pola hubungan dalam jaringan sosial, birokrat sebenarnya hanya sebagai civil servant, atau service provider, bukan power holder lagi. Bila kita sependapat dengan ajakan ini, sebetulnya tidak diperlukan proyek pemerintah dengan anggaran jutaan dolar, cukup sediakan kebijakan. Sudah cukup? Barangkali belum.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.