Detecting the Weak Signals That Will Make or Break Your Company
Oleh: George S. Day & Paul J.H. Schoemaker
Disarikan oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi - 8605210299
Buku ini dibuka dengan peringatan bagi eksekutif pelaku bisnis bahwa selagi fokus perhatian dipusatkan pada menjalankan bisnis, namun sebenarnya perusahaan selalu berhadapan dengan sinyal – sinyal lemah dari area pinggiran (peripheri). Selain itu buku ini juga mengawali dengan tantangan bagi para manajer, bagaimana mereka mampu membangun kapasitas superior untuk menemu-kenali dan berekasi terhadap sinyal – sinyal lemah dari peripheri sebelum terlambat. Digambarkan bagaimana web lob (blog) semula muncul sebagai sinyal lemah namun lambat laun dapat mengancam bisnis media massa online, atau ditemukannya teknologi radio-frequency identification (RFID) yang dapat di-implan ke dalam tubuh sehinga dapat memancarkan sinyal ketika pemakainya sedang menghadapi keadaan darurat. Memahami eksistensi sinyal – sinyal lemah dari arena peripheri, bagaimana memperlakukan fenomena peripheri sehingga dapat diidentifikasi mana yang memiliki potensi positif maupun negatif bagi keberadaaan perusahaan, dan sinyal mana yang perlu diperhatikan atau dapat diabaikan, merupakan topik dari buku ini.
Day dan Schoemaker berargumen bahwa tumbuh pesatnya kompleksitas seiring dengan semakin cepatnya arus perubahan; kemampuan untuk membaca, mengenali, berhubungan dengan dan menguasai masalah – masalah peripheri (periheral vision / pv) meruakan kunci sukses bahkan – dalam keadaaan tertentu - sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan diri (survival). Hal ini beralasan, karena dari sifat alamiahnya, suatu yang berada di peripheri cenderung diabaikan, tidak dapat dilihat dengan jelas dari pusat penglihatan, sering dianggap tidak pasti dan tidak terduga. Kunci yang disarankan, segera kenali dan jangan abaikan bila sinyal – sinyal dari peripheri muncul, meski sekecil apapun, namun apabila relevan dengan urusan bisnis perusahaan segeralah eksplorasi, teropong dengan bijak, saring sinyal – sinyal yang menyesatkan (noise), kenali sinyal yang dapat atau memiliki potensi membesar namun dapat menganggu harmoni bisnis, atau sebaliknya sinyal yang lemah namun berpotensi menunjang sukses bisnis.
Dari penelitian yang dilakukan oleh kedua penulis, lebih dari 80% eksekutif senior di dunia yang menjadi responden penelitian menunjukkan bahwa organisasi bisnis yang dipimpinnya tidak memiliki peripheral vision. Kondisi seperti ini (tidak memiliki peripheral vision) disebut adanya kesenjangan kewaspadaaan (vigilant gap). Pertanyaannya, seberapa besar perusahaaan memiliki tingkat kewaspadaan?, yakni berbagai keadaan ketika pengelola perusahaan dikagetkan dengan peristiwa – peristaiwa yang bedampak besar dalam lim atahun terakhir. Mencengangkan! Ternyata dari 140 praktisi strategi di perusahaan – perusahaan terkenal, 66% menyatakan mengalami tiga peristiwa besar dalam lima tahun terakhir, dan 97% tidak memiliki mekanisme peringatan dini untuk mencegah terjadinya peristiwa – peristiwa yang berdampak besar (negatif) di masa mendatang.
Berbeda dengan manusia yang dianugerahi kemampuan untuk melihat segala sesuatu di luar fokus utama penglihatan, perusahaan melakukan sebaliknya, dirancang untuk hanya fokus pada tugas – tigas yang ada dihadapannya saja, di luar itu tidak menjadi perhatian utama. Fokus perhatian pada satu objek memiliki manfaat jangka pendek, namun demikian dapat menjadi bibit konflik bagi kepentingan jangkan panjang perusahaan, khususnya ketika lingkungan bisnis berubah. Sinyal – sinyal lemah yang sesungguhnya perlu mendapat perhatian, tergilas oleh sinyal gangguan (noise) yang justru menyesatkan. Jika seseorang (yang berada di posisi marginal) di dalam suatu organisasi menengarai adanya peistiwa yang berpotensi membahayakan perusahaan, akankah para petinggi perusahaan segera memercayainya? Pertanyaan semacam ini diajukan oleh Day dan Schoemaker untuk menunjukkan bahwa acapkali bukan substansi yang diperhatikan namun justru lebih memersoalkan siapa pembawa pesan. Memiliki kemampuan peripheral vision bukan sekadar melihat (seeing), meraba (scanning) dan merasakan (sensing) namun juga mengetahui di mana mesti melihat lebih seksama, mengetahui bagaimana menerjemahkan sinyal – sinyal lemah tersebut, serta mengetahui bagaimana bertindak ketika sinyal – sinyal lemah tersebut masih mengandung ketidak-pastian.
Pendekatan Membangun Peripheral Vision
Salah satu sumber yang dijadikan acuan dalam penulisan buku ini adalah hasil sebuah konferensi tentang peripheral vision yang diselenggarakan oleh Wharton School’s Mack Center for Technological Innovation pada bulan Mei 2003. Setelah diperkaya dengan berbagai telaah lainnya dalam terbitan Long Range Planning ditemukanlah metafora dari peripheral vision sebagai lensa yang sangat berdaya guna (powerful) dalam memahami permasalahan kompleks dan membingungkan yang terjadi pada area tepian (edge) dari suatu organisasi. Dengan menggunakan metafora penglihatan (vision), buku ini menggambarkan praktek terbaik dan praktek selanjutnya dari peripheral vision. Diketengahkan kasus – kasus sukses dan kegagalan yang berkenaan dengan kemampuan dan atau ketidak-mampuan dalam berinterkasi dengan masalah – masalah peripheri, seperti bagaimana Tasty Baking menjelaskan kepada publik sinyal – sinyal yang membingungkan mengenai makanan berkarbohidrat rendah, atau bagaimana produsen boneka Bratz segera mengenali perubahan perilaku remaja putri untuk mengalahkan pesaing kuatnya, Barbie; hingga bagaimana industri lampu yang semula tidak menganggap produsen Light Emiting Diode (LED) akhirnya menjadikan produsen LED sebagai pesaing yang perlu diwaspadai.
Dalam menganalisa kasus – kasus yang selanjutnya dijadikan bahan penulisan buku ini, Day dan Schoemaker menggunakan berbagai disiplin seperti: strategi, teori organisasi, pemasaran, inovasi, manajemen teknologi, teori pengambilan keputusan, dan cognitive science, yang digabungkan dengan area terapan seperti pemindaian teknologi (technology scanning), competitive intelligence, serta marketing resarch. Hal ini menunjukkan betapa buku ini menyajikan suatu analisis dan panduan yang cukup komprehensif, bagi para pembacanya. Selain dari kajian multi-disiplin tersebut, Day dan Schoemaker melengkapi buku ini dengan menggambarkan model umum dari sebuah pemrosesan informasi dan organisational learning, namun dengan fokus spesifik pada sinyal – sinyal yang mengandung kekaburan dan ketidak-pastian yang muncul dari ranah peripheri. Dari langkah – langkah tersebut di atas, Day dan Shoemaker selanjutnya mengembangkan model yang disebut “tujuh langkah menjembatani kesenjangan kewaspadaan” (seven steps to bridge the vigilance gap).
Seven Steps to Bridging the Vigilance Gap
Lima langkah pertama dimaksudkan untuk fokus pada semua hal yang secara langsung berpengaruh pada penerimaan, penerjemahan, dan tanggapan terhadap sinyal – sinyal lemah dari peripheri. Langkah pertama scoping, memerhatikan luasan area yang perlu dilihat dan mengidentifikasi isu – isu yang perlu diperhatikan. Adagium yang diacu “melihat semuanya sama dengan tidak melihat apapun”. Manajer dapat menggunakan seperangkat pertanyaan panduan guna memastikan fokus mereka tidak terlalu luas maupun terlalu sempit, serta menghilangkan pengaruh atau kehilangan bagian – bagain penting dari sinyal – sinyal peripheri. Setelah ruang lingkup ditetapkan, langlah selanjutnya adalah bagaimana memindai (scan) di dalam area yang telah dipilih semula. Haruskah pemindaian hanya fokus pada eksploitasi domain yang sudah dikenal dan masuk akal atau pada area yang belum dikenal. Agar dapat menganalisis dengan tajam area peripheri, manajer perlu menerapkan beberapa strategi pemindaian yang berbeda. Pada bagian ini disajikan sarana (tools) dan pendekatan guna mendeteksi sinyal dapal bagian – bagian yang berbeda dari peripheri, termasuk kondisi internal perusahaan, pelanggan dan pesaing, teknologi yang sedang berkembang, serta influencers dan shapers.
Setelah perusahan melakukan pemindaian terhadap area yang telah ditetapkan, langkah berikutnya adalah memahami apa saja yang telah ditemukan. Sebagian besar informasi ambigu dan tidak lengkap. Dalam daya pandang manusiasinyal dari peripheri tidak jelas warna dan definisinya. Pertanyaannya, bagaimana organisasi menghubungkan sinyal – sinyal yang muncul dan menjermahkan penglihatan yang dikumpulkan dari peripheri? Di antara strategi yang mungkin dilakukan, interpretasi sinyal-sinyal lemah dapat diperkuat melalui sudut pandang yan berbeda – beda, mirip dengan proses tiangulation, guna menambah kedalaman dan perspektif analisa. Berdasarkan interpretasi awal ini, langkah berikutnya adalah memeriksa (probing) lebih lanjut guna memelajari lebih banyak tentang peripehery dan selanjutnya mampu membangun kemampuan “melihat” dengan lebih baik. Hal ini membutuhkan formulasi hipotesis yang baik dan mengetahui bagaimana untuk melakukan pengujian guna memperoleh konfirmasi. Langkah kelima, organisasi harus memutuskan apakah dan bagaimana berekasi terhadap sinyal dari peripheri. Acap kali, sifat ancaman atau peluang membutuhkan aksi yang tegas, bahkan dalam kondisi penuh ketidak-pastian. Sinyal ambigu dari peripheri membutuhkan perhatian yang lebih banyak dan tanggapan yang terukur menggunakan perspektif opsi yang real.
Sementara langkah 1 hingga 5 fokus pada peningkatan proses peripheral vision, dua langkah terkahir fokus pada membangun kepemimpinan dan kemampuan organisasi yang lebih luas guna mendukung peripheral vision. Ketujuh langkah tersebut pada akhirnya membentuk peripheral vision sebagai bagian integral dari budaya dan kinerja organisasi, membantu kemampuan organisasi untuk secara sistematis menjembatani kesenjangan kewaspadaan. Pada akhirnya meski semua orang di dalam perusahaan dapat memainkan peranan penting dalam peripheral vision, buku ini menunjukan peran penting manajer yang dapat dimainkan. Bagaimana membangun kepemimpinan yang dapat membantu menjelaskan rasa ingin tahu para anggotanya merupakan langkah terakhir.
Scoping
Scoping yang efektif bergantung pada kemampuan untuk membuat pertanyaan yang tepat, dan pertanyaan – pertanyaan tersebut berbeda dari pertanyaan yang terkait dengan bisnis utama yang dapat sangat tepat (precise) dan mengarah ke sasaran tertentu. Persoalan yang dihadapi pada tahap scoping, jika scope terlalu sempit, ia dapat diserang oleh segala sesuatu yang luput dari penglihatan; sebaliknya jika terlalu luas dapat mengandung resiko memasukkan sinyal – snyal yang tidak penting. Dari dua ekstrem ini, tantangan pada tahap scoping adalah bagaimana perusahaan mendefinisikan secara tepat scope yang dapat melihat semua hal yang penting tanpa membuang percuma sumber daya perusahaan yang dimiliki.
Dengan mempertimbangkan permasalahan di atas, ada beberapa tahapan scoping yang perlu dilakukan. Pertama, tetapkan scope yang benar dan menyesuaikannya dengan visi strategik perusahaan. Kedua, mengajukan pertanyaan yang tepat, hal ini dapat dilakukan dengan membuat pertanyaan terbuka (open ended questions) guna melihat apakah ada yang terliwati, dan apakah ada pertanyaan sebelumnya yang tak terjawab.. Setelah itu, pelajari hal – hal yang bermanfaat dari masa lalu, seperti misalnya bagaimana perusahaan mampu menjawab perubahan – perubahan yangterjadi di lungkungan eksternal, atau mengidentifikasi blind spot yang tidak dapat diperbaiki (persistent blind spot). Langkah keempat, memeriksa kondisi sekarang, guna menemukan hal – hal yang mestiya ada namun tiada dari lingkungan saat ini, dan memeriksa adakah sinyal – sinyal penting dengan menggunakan alternatif scenario planning, atau future mapping technique. Tahap terakhir, memimpikan masa depan, dengan memberikan panduan lanjut tentang bagaimana scanning periphery dapat dilakukan secara efektif, dengan memerhatikan munculnya perubahan – perubahan teknologi, dan memperkirakan masih adakah senario yang belum terpikirkan.
Scanning
Manajer dapat memilih acara scanning secara pasif atau aktif. Pasif dalam pengertian manajer hanya memonitor indikator kinerja kunci guna mengetahui akuntabilitas, dan melakukan pengendalian. Karena sebagian besar data diperoleh dari sumber – sumber tradisional, scanning secara pasif cenderung menguatkan anggapan yang berlaku, tidak ada ruang bagi eksplorasi guna menjawab keingin-tahuan. Di pihak lain, scanning secara aktif seringkali dimaksudkan untuk merespon terhadap pertanyaan spesifik.ia juga merefleksikan keingin-tahuan yang kuat dan menekankan pada tindak lanjut dari periphery.
Interpreting
Intepreting dimaksudkan untuk mengetahui arti data yang tersaji dari hasil scanning. Seberapapun lengkap dan canggihnya scoping dan scanning yang telah dilakukan, namun bila tidak dilakukan penafsiran, maka hasilnya menjadi tidak berarti. Persoalan latent yang acapkali terjadi pada penafsiran adalah manusia cenderung melihat hanya pada objek yang ingin dilihatnya, atau mendengar sesuatu yang diniati ingin didengar, di luar itu tidak menjadi perhatian penglihatan atau pendengarannya. Mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan triangulasi dengan menggunakan multi-perspectives, yang salah satunya disebut power of parallax.
Dalam upaya membantu meningkatkan kemampuan penafsiran beberapa hal dapat dilakukan antara lain mencari informasi baru guna dikonfrontasikan dengan realita. Penyebab kegagalan bisnis terbesar bukan terletak pad aburuknya manajemen, namun lebih sering disebabkan oleh kegagalan menghadapi realita. Setelah memperoleh informasi baru, manajer dapat memformulasikan multiple hypotheses, dengan mempertimbangkan kecenderunganmanajer yang memiliki keterbatasan toleransi untuk hal – hal yang bersifat ambigu dan enggan untuk mengembangkan hipotesa alternatif. Selanjutnya, memelihara konflik yang bersifat konstruktif perlu dilakukan, dengan mengajurkan fokus pada tugas bukan pada hubungan antar-individu atau mempermasalahkan personalitas seseorang. Berikutnya, bukalah jalan bagi tumbuh-kembangnya kecerdasan lokal, organisasi harus mampu membangun kecerdasan serta sense making yang bersumber dari level local di dalamnya. Lankah terakhir, gunakan dialog untuk membangun kesepahaman bersama tentang visi besar perusahaan. Hal ini perlu dilakukan karena setiap anggota organisasi perlu mengetahui kemana informasi akan mendukung visi besar organisasi.
Probing
Probing dimaksudkan untuk memandu bagaimana mengeksplorasi lebih dekat kepada sinyal – sinyal lemah yang datang dari periphery. Oleh karena itu probing akan menghasilkan lebih banyak informasi, yang selanjutnya akan dapat digunakan untuk melakukan eksperiment dan mengembangkan opsi-opsi guna dapat memahami substansi yang dikandung dari sinyal – sinyal yang berasal dari periphery serta sekaligus mengemukakan alternatif solusinya.
Acting
Setelah alternatif atau opsi – opsi dikembangkan pada tahap probing, perusahaan perlu segera membuat tindakan secara cepat dan tepat. Ada beberapa alternatif yang dapat diambil manajer dalam melaksanakan tahap acting ini. Perusahaan dapat membuat peluncuran alam skala kecil guna menciptakan platform bagi pertumbuhan masa depan; atau membangun kolaborasi dengan berbagai pihak; atau lebih dari kedua alternatif yang sudah disebut, seperti misalnya kombinasi dari keduanya atau bertindak sendiri namun dalam skala yang lebih besar.
Organizing
Semua tindakan yang disebutkan di muka perlu diorganisasikan agar terbangun lingkungan yang penuh kewaspadaan terhadap permasalahan – permasalahan yang muncul di area periphery. Di dalam tahap ini diperlukan kepemimpinan yang penuh kewaspadaan (vigilant leadership) yang mampu menganjurkan fokus lebar terhadap masalah – masalah pada area periphery. Selain itu, dibutuhkan konfigurasi atau struktur perusahaan yang dapat mendorong terjadinya eksplorasi periphery. Untuk itu diperlukan juga budaya yang memberi penghargaan kepada upaya – upaya penelaahan persoalan – persoalan periphery, dan pengetahuan guna mendeteksi dan memberi-tahukan kepada pihak yang berwenang jika muncul sinyal – sinyal lemah dari area periphery. Keempat aspek tersebut di muka pada akhirnya membutuhkan pendekatan dengan penuh rasa ingin tahu guna mengembangkan strategi peripheral vision.
Leading Dari uraian di atas dapat ditarik pelajaran bahwa peripheral vision lebih merupakan antisipasi dan kesiap-siagaan dari pada prediksi semata.Permasalahannya tidak terletak pada ketiadaan data namun ketidak-mampuan membuat pertanyaan yang baik. Untuk itu perlu dilakukan pemindaian secara aktif namun dengan open mind, karena msalah periphery tidak datang dengan sendirinya, ia harus ditemu-kenali secara aktif. Jika permasalahan telah muncul, manfaatkan pendekatan triangulasi guna memahami periphery. Jika menemukan masalah, sebaiknya diperiksa terlebih dahulu sebelum melompat masuk ke persoalan. Pada akhirnya menyeimbangkan peripheral dan focal vision merupakan tantangan utama bagi kepemimpinan.*****
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.