Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Sidang Pleno Majelis Umum PBB tanggal 4 Desember 2000 telah menyetujuiditerbitkannya Resolusi PBB Nomor 55/63 tentang ”Memerangi Tindakan Kriminal Penyalahgunaan Teknologi Informasi (Combating the criminal misuse ofinformation technology). Berbagai negara dan banyak organisasi kerja sama internasional menjadikan resolusi PBB ini sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan pencegahan tindakan kriminal menggunakan teknologi informasi. Asia Pasific Economy Cooperation (APEC) merupakan salah satu organisasi regional yang dengan gencar menganjurkan kepada anggotanya untuk semaksimal mungkin menerapkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam resolusi tersebut. Pertimbangan yang melatar-belakangi munculnya resolusi ini adalah perlunya anggota PBB dapat mempromosikan penegakan hukum dengan lebih efektif dan efisien agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan sebagaimana diinginkanmanusia di muka bumi.
Lebih jauh, resolusi ini juga memperhatikan arus bebas mengalirnya informasi terbukti dapat memajukan pembangunan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kepatuhan pada asas demokrasi. Peningkatan arus informasi ini terlaksanaberkat dukungan pengembangan aplikasi teknologi informasi dan infrastrukturjaringan telekomunikasi. Namun, disadari pula bahwa kemajuan teknologi memiliki peluang untuk disalah-gunakan dalam berbagai tindakan kejahatan. Kemajuan teknologi informasi mendorong semakin mudahnya interaksi antar-komunitas bangsa, antar-ekonomi, dan antar-pemerintah. Kerjasama antarnegara baik bilateral maupun multilateral dalam bidang ekonomi, budaya,politik, pertahanan, dan lain sebagainya meningkat luar biasa dalam duadasawarsa terakhir. Hal ini dimungkinkan karena komunikasi dan pertukaran informasi sangat mudah diselenggarakan dengan biaya yang cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Sisi negatif dari meningkatnya komunikasi dan pertukaran informasi global adalah makin canggihnya kualitas kejahatan menggunakan teknologi informasi.Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi bersifat netral, ia dapat digunakan untuk kebaikan, namun pada saat bersamaan dapat pula dipakai untuk melakukan tindakan kejahatan. Memahami bahwa kondisi masing-masing negara dalam menyediakan dan menggunakan teknologi informasi sebagai sarana penunjang berbagai aktivitas masih sangat bervariasi, maka diperlukan panduan yang dapat dijadikan acuan bagi masing-masing negara, khususnya yang belum memiliki undang-undang tentang pemanfaatan teknologi informasi, dalam menyiapkan kerangka legal dan kebijakan pengaturan di bidang teknologi informasi. Lebih khusus lagi, kerangka legal dan kebijakan yang diinginkan minimal mengatur tentang: pencegahan terjadinya tindakan kriminal, acuan dalam investigasi oleh aparat penegak hukum, hukuman bagi pelaku kejahatan komputer, dan kerja sama internasional dalam menanggulangi kejahatan komputer.
Dengan memperhatikan diktum pemikiran di atas, dan dalam semangat untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan teknologi informasi, resolusi nomor55/63 yang disahkan Majelis Umum PBB pada tanggal 4 Desember 2000 mengimbau anggotanya tentang hal-hal sebagai berikut. Pertama, negara perlu menjamin bahwa hukum dan praktik hukum tidak melindungi pelaku kejahatan teknologi informasi. Kedua, pemerintah perlu menjalin kerja sama internasional dalam penegakan hukum, khususnya yang menyangkut kejahatan teknologi informasi. Ketiga, melakukan pertukaran informasi antar-negara terutama yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan teknologi informasi. Keempat, menyelenggarakan pelatihan dan penyediaan peralatan yang diperlukan oleh aparat penegak hukum dalam mencegah dan memerangi kejahatan teknologi informasi. Kelima, menyediakan sistem hukum yang mampu melindungi kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer dari upaya perusakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, dan jika pun masih terjadi kejahatan teknologi informasi, menjamin bahwa pelaku kejahatan tersebut mendapat hukuman yang semestinya; Keenam, mengizinkan dan melaksanakan penjagaan/perawatan dan akses kepada data elektronik yang diperlukan dalam investigasi kejahatan teknologi informasi. Ketujuh, menggalang kerja sama nasional antar penegak hukum dan bantuan dari para pihak yang terkait dalam pengumpulan bukti–bukti dan investigasi terhadap kejahatan teknologi informasi. Kedelapan, berupaya agar masyarakat umum menyadari dan memiliki pemahaman yang memadai terhadap diperlukannya: perlindungan terhadap data, informasi dan sistem komputer, serta upaya bersama dalam memerangi kejahatan teknologi informasi. Kesembilan, menganjurkan kepada semua pihak agar dalam merancang pemanfaatan teknologi informasi, sedapat mungkin sudah memasukkan aspek dan teknis perlindungan, deteksi, pelacakan, dan penyediaan barang bukti atas kemungkinan terjadinya tindakan kejahatan teknologi informasi. Kesepuluh, selalu memperhatikan perlindungan terhadap kebebasan individu dan privasi serta kapasitas pemerintah dalam memerangi tindakan kejahatan teknologi informasi.
Memperhatikan materi di atas dan melihat ke dalam negeri sendiri, pertanyaan yang muncul, perlukah Indonesia sebagai anggota PBB menindak lanjuti resolusi tersebut? Jika jawabnya ”YA”, siapa atau lembaga pemerintah mana yang perluterlibat? Bagaimana langkah untuk menindak-lanjutinya? Atau dalam kata lain, apakah kita perlu meratifikasi Resolusi PBB tersebut ke dalam produk hukum atau kebijakan pemerintah Indonesia yang khusus dimaksudkan untuk memerangi kejahatan teknologi informasi? Di pihak lain, jika jawabnya tidak, kira-kira apa dampaknya kepada Indonesia baik secara umum dalam percaturan ekonomi dan politik global, maupun secarak husus dalam konteks pengembangan pemanfaatan dan aktivitas bisnis telematika? Dapat pula dipertanyakan, apakah dengan tidak memperhatikan dan tidak menindak-lanjuti Resolusi PBB ini maka sangsi dunia terhadap Indonesia yang tanpa sadar sudah diterapkan kepada setiap transaksi pembelian melalui Internet dari Indonesia dapat demikian saja dicabut?
Daftar pertanyaan masih dapat diperpanjang, keterbatasan ruang dan waktu menjadikan Kolom kali ini tidak dimaksudkan untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Namun mencoba mengomentari satu aspek dari diktum yang termasuk dalam resoulusi PBB tersebut. Inti permasalahan dari resolusi tersebut sebenarnya adalah perang terhadap kejahatan teknologi informasi dalam berbagai bentuk. Dilihat dari sasarannya, kejahatan teknologi informasi diklasifikasikan ke dalam dua golongan. Pertama, kejahatan yang bertujuan merusak data, informasi dan fasilitas komputer. Perusakan situs Internet, penyebaran virus komputer, dan perusakan jaringan komputer termasuk kelompok ini. Kedua, kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai alatnya. Penjualan obat terlarang, penipuan, pornografi, terorisme, dan pencurian data masuk ke dalam golongan ini. Sebagaimana dilaporkan oleh pihak Kepolisian RI kecenderungan terjadinya kejahatan teknologi informasi di Indonesia terus meningkat. Semakin banyak laporan kepada polisi tentang tindakan kejahatan teknologi informasi ini. Jika kita bersedia meluangkan waktu sejenak untuk membaca berita kriminalitas di media massa, hampir tiap minggu muncul berita kejahatan teknologi informasi, baik berupa penipuan indentitas, pemalsuan kartu kredit, maupun perusakan situs internet, penipuan menggunakan Short MessageService (SMS), dan masih banyak lagi jenis kejahatan baru yang muncul seiring dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi. Beberapa pelaku berhasil diciduk polisi dan diproses ke pengadilan. Penghargaan perlu diberikan kepada polisi dan aparat penegak hukum lainnya yang telah merintis peradilan terhadap pelaku kejahatan tekonologi informasi, meski landasan hukum yang seharusnya menjadi acuan bagi proses peradilan bagi tersangka pelaku tindak kejahatan teknologi informasi belum tersedia.
Berbeda dengan kejahatan biasa, investigasi untuk membuktikan dan mencari barang bukti adanya tindakan kejahatan teknologi informasi relatif lebih sulit. Barang bukti mudah sekali hilang atau dihilangkan. Diperlukan personel polisi yang menguasai teknologi informasi, prosedur pembuktian yang standar, dan peralatan yang canggih untuk mencari alat bukti. Jikapun bisa dihadirkan di muka sidang, belum tentu hakim dapat menggunakannya sebagai barang bukti yang sah, karena belum ada ketentuan hukum yang mengatur alat bukti berupa catatan elektronik.
Beberapa negara serumpun di wilayah ASEAN, Malaysia, Singapura, Thailand,dan Filipina telah memiliki undang-undang anti tindakan kejahatan teknologi informasi. Vietnam, negara yang baru bangkit, melaporkan sudah selesai membuat draf undang-undang serupa. Apa untungnya bagi rakyat terutama yang memanfaatkan teknologi informasi? Yang terlihat dan dirasakan, rakyat lebih percaya diri. Percaya diri sangat diperlukan karena menjadi syarat utama sebelum orang lain percaya kepada kita. Dengan ungkapan ini, menjadi maklum kiranya bila makin banyak saja investor asing yang berkurang kepercayaannya kepada Indonesia karena kita sendiri tidak percaya kepada diri sendiri. Mengapa? Jawabnya mudah, tidak punya undang-undang!
Penulis adalah Staf Khusus Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Country Coordinator, GIPI Indonesia. Sinar Harapan7 Sept 2002
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.