Sunday, March 23, 2008

Tarif Telekomunikasi Ditinjau Dari Perspektif Ekonomi Politik

Penetapan kebijakan tarif telekomunikasi perlu mempertimbangkan kepen-tingan nasional jangka panjang, dan para pihak yang terlibat di dalamnya supaya mengambil langkah-langkah proaktif. Pendekatan proaktif dalam penetapan kebijakan tarif membutuhkan pemahaman terhadap orientasi pasar dan secara khusus memper-hatikan bagaimana pelanggan dan pengguna telekomunikasi membangun persepsi terhadap nilai-nilai positif yang diberikan oleh layanan telekomunikasi. Pendekatan proaktif lebih sulit dilakukan dari pada secara sederhana menambahkan margin keuntungan pada perkiraan biaya; oleh karena itu, kemampuan untuk membangun kebijakan tarif yang dapat memberi keuntungan kepada operator dan sekaligus memberikan manfaat positif bagi masyarakat penguna telekomunikasi, merupakan tantangan bagi pembuat kebijakan dan regulator telekomunikasi.

Untuk dapat melakukan pendekatan proaktif dalam membangun kebijakan tarif telekomunikasi perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, dibutuhkan analisa hubungan harga dan permintaan. Variabel permintaan, diperoleh melalui cara pengguna telekomunikasi menentukan value yang diperoleh dari layanan telekomu-nikasi yang dinikmatinya, menjadi batas atas dalam diskresi tarif yang dapat diterima oleh pelanggan/pengguna. Guna memahami bagaimana pelanggan/pengguna membangun persepsi value diperlukan eksaminasi tentang bagaimana pelanggan bereaksi terhadap tarif, perubahan tarif, dan perbedaan tarif.

Beberapa studi tentang perilaku konsumen dalam kaitannya dengan harga membuktikan bahwa pembeli berreaksi terhadap perbedaan harga dari pada terhadap harga yang dinayatakan secara spesifik (Monroe, 2007). Hal ini mencerminkan bahwa harga relatif lebih penting bagi pilihan pembeli. Dalam pasar telekomunikasi yang kompetitif, bagi pembuat kebijakan tarif, baik regulator maupun operator, perlu mempertimbangkan bagaimana setiap keputusan tarif untuk suatu layanan tertentu (misal tarif interkoneksi/wholesale) akan berdampak pada tarif ritel (tarif yang dibayar oleh pelanggan); dan atau berdampak pada tarif untuk layanan-layanan lain yang ditawarkan oleh suatu operator.

Struktur layanan telekomunikasi bertumpu pada layanan jaringan telekomu-nikasi yang melayani berbagai layanan telekomunikasi. Dalam konteks ini, terjadi fenomena one for many yang artinya satu jaringan untuk berbagai layanan teleko-munikasi. Konsekuensi dari karakter semacam ini adalah adanya resiko persaingan tidak sehat antara operator besar yang memiliki jaringan yang sangat luas dan operator kecil yang jaringannya baru tumbuh. Untuk mengurangi desakan persaingan, operator besar memiliki peluang untuk melakukan transfer pricing antar unit usaha yang menjalankan bisnis jaringan dan bisnis jasa telekomunikasi. Sementara kepada operator lain yang membutuhkan jaringannya, operator besar tersebut mengambil margin yang cukup besar, sehingga menjadikan operator kecil tidak kompetitif.

Meskipun ada resiko dihambat oleh pemain besar, operator telekomunikasi baru atau yang masih tergolong kecil tetap memiliki peluang untuk menjadi besar apabila para eksekutifnya mampu membuat keputusan tarif layanan dengan baik. Hal ini dapat tercapai apabila para eksekutif memiliki informasi yang cukup dan benar tentang basis pelanggan yang sudah dan akan dimiliki, para pesaing yang dihadapi, atau semua biaya relevan yang terkait dengan pengambilan keputusan tertentu. Selain itu, para eksekutif ini tidak mengandalkan pada pemikiran tradisional atau asumsi yang tidak valid, atau harapan yang dianggap sudah sebagai kenyataan. Hasil umum dari kebijakan tarif yang buruk antara lain operator menerima pendapatan yang semakin sedikit (menurun), dan akibatnya tingkat keuntungan semakin tipis, sementara di pihak lain pelanggan/pengguna tidak puas dengan layanan diterima.

Permasalahan utama dalam masyarakat ekonomi adalah bagaimana mengalo-kasikan sumber daya yang tersedia di antara anggota masyarakat ekonomi tersebut guna memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mencapai sasaran kesejahteraan tersebut, setiap sumber daya yang tersedia perlu dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsinya secara efisien. Dalam rezim ekonomi pasar, sistem harga mengalokasikan semua sumber-daya yang tersedia dan menjadi petunjuk bagai-mana sumber daya tersebut dimanfaatkan. Harga akan menentukan barang dan jasa apa yang perlu dihasilkan dalam jumlah tertentu. Demikian juga, harga menentukan bagaimana barang-barang dan jasa-jasa tersebut harus diproduksi. Dan, harga mencerminkan untuk siapa barang dan jasa perlu dibuat.

Memperhatkan hal-hal di atas, dapat dikatakan bahwa harga/tarif berpengaruh terhadap pendapatan dan perilaku belanja. Bagi pelanggan dengan tingkat penghasilan tertentu, tarif mempengaruhi apa yang dibeli dan berapa banyak setiap produk akan dibeli. Bagi organisasi bisnis, profit ditentukan dari perbedaan antara pendapatan dan biaya; sementara pendapatan diperoleh dari perkalian antara harga per unit dengan jumlah unit produk/jasa yang dibeli.

Perubahan harga juga memainkan peran utama dalam ekonomi pasar. Ketika kuantitas barang dan atau jasa yang dibutuhkan lebih besar dari penyediaan, pembeli harus rela mengeluarkan uang lebih banyak, atau dalam kata lain harga menjadi lebih mahal. Jika biaya produksi per unit tetap, harga yang semakin tinggi memberi tingkat keuntungan yang lebih besar bagi operator, dan menjadi insentif untuk investasi sumber daya guna menghasilkan produk dalam jumlah yang lebih besar. Tingkat keuntungan yang lebih tinggi dapat menjadi insentif bagi operator untuk melakuan inovasi produk dan jasa lain. Namun demikian, jika karena investasi berupa penambahan sumberdaya (jaringan dan jasa) menghasilkan supply yang lebih besar dari pada permintaan, hal ini dapat menekan harga dan mengurangi output. Yang pada gilirannya akan merugikan operator dan pelanggan/penguna. Wal hasil pembuat kebi-jakan tarif perlu memperhatikan kesetimbangan antara sisi penawaran dan permintaan dengan selalu memantau kapasitas jaringan yang terpasang dan tingkat pertumbuhan permintaan terhadap layanan telekomunikasi.

Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 27 menyatakan “Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sedangkan Pasal 28 menyatakan “Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Dari dua pasal di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kewenangan Pemerintah selaku regulator telekomunikasi terbatas pada menyiapkan formula tarif saja, dan tidak memiliki kewenangan untuk ikut campau dalam menentukan besaran tarif, karena hal tersebut merupakan haknya masing-masing operator.

Apa yang terjadi di lapangan tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa substansi Pasal 28 telah dilaksanakan secara konsekuen. Diakui atau tidak, disukai atau dibenci, dengan alasan apapun, pada kenyataannya Pemerintah masih sering masuk terlalu jauh ke dalam dapurnya operator telekomunikasi dengan menentukan tarif (dan akhirnya tingkat keuntungan operator) yang sejatinya merupakan wilayah kedaulatan operator telekomunikasi. Argumen bahwa tindakan pemerintah tersebut dilakukan semata untuk melindungi masyarakat dan operator kecil, pada tingkat tertentu dapat diterima. Namun demikian, timbul ancaman besar yang barangkali tidak disadari oleh regulator maupun oleh para operator sendiri ketika “mengizinkan” regulator mema-suki wilayah kedaulatan bisnis para operator. Ancaman besar tersebut adalah semakin tidak terbentuknya pasar telekomunikasi nasional yang kompetitif, atau dalam kalimat lain, pelaksanaan kebijakan tarif yang tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang berpotensi pada terbentuknya pasar kartel yang “direstui” oleh regulator telekomu-nikasi. Suatu hal yang ironis bila benar-benar terjadi.

Tanda-tanda pasar kompetisi telekomunikasi sudah mulai terdistorsi dapat dilihat dari kecenderungan keseragaman harga; rata-rata tingkat keuntungan (EBITDA) yang masih relatif besar (di atas 50%) dan perbedaan EBITDA antara satu operator dengan operator lainnya tidak jauh (antara 5% s.d. 10%); pesan iklan yang rata-rata hampir serupa, walau dikemas dalam bahasa komunikasi yang berbeda; dan di pihak lain semakin banyaknya pelanggan yang mengeluh karena merasa tertipu oleh iklan atau buruknya layanan telekomunikasi.

Ada beberapa langkah strategis yang dapat disarankan untuk mengurangi distorsi pasar dan mencegahnya sehingga tidak meningkat menjadi kegagalan pasar. Industri telekomunikasi sebagai regulated industry memerlukan regulator yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi untuk memajukan industri. Kompetensi dicerminkan tidak saja dari latar belakang pendidikan yang memadai dan relevan dengan penyelenggaraan telekomunikasi, namun juga memahami secara mendalam karakter unik yang melekat pada industri telekomunikasi, ditambah dengan memiliki jaringan yang luas dengan setiap stakeholder telekomunikasi baik di dalam maupun di tingkat internasional. Kompetensi ini sangat penting mengingat perubahan teknologi dan bisnis telekomunikasi terjadi dengan begitu cepat, sehingga menuntut regulator selalu tanggap dan mampu bereaksi cepat terhadap setiap perubahan yang terjadi di lingkungan tanggung jawab tugasnya. Komitmen mencerminkan keterlibatan secara total di dalam pergulatan memajukan industri telekomunikasi yang mampu memberi nilai positif tidak hanya bagi operator, namun dirasakan pula oleh masyarakat dan Pemerintah.

Langkah berikutnya, telekomunikasi tidak dapat berdiri sendiri, ia diperlukan oleh dan memerlukan campur tangan dari sektor-sektor lain. Untuk hal tersebut, harmonisasi dalam strategi pembangunan telekomunikasi dengan sektor lain perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, harmonisasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, sektor pekerjaan umum (bina marga), perusahaan listrik negara, perusahaan air minum, dan sektor – sektor lain sangat diperlukan agar pekerjaan pembangunan fisik jaringan tidak merusak lingkungan, menganggu kenyamanan publik, atau bahkan membahayakan keselamatan jiwa. Fakta yang selama ini ditemukan, jalan menjadi rusak karena digali untuk kabel telepon, atau jaringan telepon tiba-tiba terputus karena kabel terpotong oleh alat berat atau pekerja yang sedang membangun jaringan air minum, jaringan listrik, atau perbaikan jalan.

Terkait dengan tarif, yang oleh sementara pihak dikatakan masih tergolong mahal, disuka atau dibenci, diakui atau ditolak, investasi telekomunikasi tidak dapat lepas dari pengaruh negatif ekonomi biaya tinggi yang masih menjadi karakter bisnis di Indonesia. Biaya – biaya tak terlihat namun nyata ini, pada gilirannya akan menjadi beban yang dilimpahkan kepada pelanggan. Oleh karena itu, ketika regulator telekomunikasi menyerukan agar tarif telekomunikasi turun, kegembiraan masyarakat awam menyambut seruan tersebut rasanya belum lepas tuntas, karena yang diminta untuk menurunkan harga, belum dapat dilepas dari belenggu ekonomi biaya tinggi. Sebagai makhuk ekonomi yang rasional, sangat wajar bagi operator, dalam merespon seruan tersebut, bila mereka mengajukan pertanyaan diam “apakah pemerintah bersedia menanggung rugi yang diderita operator bila di kepala harga ditekan, di sisi lain ekonomi biaya tinggi mencekik leher, dan di dua kaki-kakinya kompetisi menariknya ke bawah, mengancam menenggelamkan eksistensi sebagai operator.”

Sutton (1998) dalam Technology and Market Structure menjelaskan dengan gamblang bagaimana introduksi dan pemanfaatan secara luas teknologi baru mengubah kemapanan struktur pasar, dan membawa struktur pasar tersebut ke dalam dimensi baru. Kita menyaksikan bagaimana layanan radio paging yang pada awal tahun 90-an sempat menjadi gaya hidup eksekutif Indonesia, dengan cepat tergulung ombak teknologi telekomunikasi digital selular yang menawarkan layanan pesan singkat (SMS). Teknologi telepon digital selular juga telah mengubah struktur pasar mapan yang dinikmati oleh telepon tetap kabel. Layanan telepon tetap kabel memiliki sifat monopoli, akan menjadi tidak efisien secara ekonomi ketika dibangun jaringan kabel lain di suatu tempat yang sudah tersedia jaringan serupa. Ketidak-efisienan terjadi karena sunk cost yang tinggi sehingga tidak mudah untuk menarik kembali investasi yang sudah digelar. Sementara itu, fenomena serupa tidak terjadi untuk teknologi telepon mengunakan gelombang elektromagnet (wireless telephones). Dampaknya, munculnya teknologi telepon digital selular memfasilitasi perubahan pasar yang semula monopoli menjadi kompetisi (khusus pada penyelenggaraan telepon digital selular).

Mengingat pasar sudah berubah menjadi pasar kompetisi, hal ini dapat berdampak pada pendekatan pembuatan kebijakan tarif telekomunikasi. Sejak 2006, Regulator Telekomunikasi Indonesia menerbitkan peraturan baru tentang formula tarif interkoneksi dan ritel. Jika semula mengacu pada pendekatan price cap yang berorientasi pada historical costs, peraturan – peraturan baru tersebut mengubahnya dengan pendekatan berbasis biaya (cost-based) yang didasarkan pada biaya aktual dan proyeksi penurunan biaya masa depan sebagai akibat peningkaan biaya depresiasi dan peningkatan jumlah pengguna. Jika dilihat dari permukaan, kemungkinan tidak ada yang salah dengan peraturan baru tentang tarif ini. Namun demikian, yang masih layak dipersoalkan adalah implementasi secara konsisten dan konsekuen dari peraturan tersebut. Untuk dapat menjalankan kebijakan tarif secara konsisten dan konsekuen sehingga memberi manfaat optimal bagi semua pihak diperlukan tindakan ekstra dari regulator, langkah ekstra berupa audit biaya secara independen terhadap semua operator telekomunikasi. Langkah ekstra ini perlu dilakukan bukan karena pemerintah dan masyarakat tidak mengakui kejujuran operator, namun semata untuk menemukan biaya-biaya sebenarnya yang menjadi beban operator dalam menjalankan operasi layanan telekomunikasi, termasuk bila ada biaya yang tidak semestinya yang dibebankan oleh Pemerintah secara resmi maupun oleh oknum secara tidak resmi.*****

1 comment:

  1. Salam Kenal Mas Wig atau Saya Panggil Pak wig?

    dari :
    duniatelekomunikasi.wordpress.com

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.