Peluang bisnis broadband bisa hilang' (Bisnis Indonesia, 3 November 2010). pemerintah (kemkominfo) masih bersikukuh pemenang tender BWA 2.3 mesti menggunakan Wimax 16d (dengan alasan pemenuhan TKDN), di sisi lain, industri perangkat dan kebutuhan pasar Wimax sudah meninggalkan 16d dan menghendaki Wimax 16e (versi lebih baru) bahkan sudah ancang-ancang ke Wimax 16m (mobile). Akankah terwujud Indonesia kehilangan peluang bisnis broadband? Dapatkah Pemerintah dikatakan sudah tidak netral (lagi) dalam pengaturan pemanfaatan teknologi ICT? Bagaimana solusi terbaik mengatasi stagnasi penyediaan layanan BWA?
normatif regulasi menyatakan, pemerintah selaku regulator, dalam membuat regulasi yang berkenaan dengan pemanfaatan teknologi mesti mengusung berbagai azas, salah satunya azas teknologi netral. ini maknanya pemerintah tidak boleh berpihak pada satu teknologi tertentu tanpa memertimbangkan kemaslahatan atau manfaat yang optimal bagi masyarakat. jadi menetapkan penggunaan teknologi tertentu, di tengah banyaknya alternaif teknologi ICT, boleh-boleh saja, namun mesti dengan pertimbangan teknologi yang dipilih bukan teknologi yang sudah kadaluwarsa, yang memiliki peta jalan pengembangan ke depan, yang masih didukung oleh industri perangkat tersebut tidak hanya di dalam negeri namun juga di kancah internasional, yang kemampuannya memadai untuk melayani laju pertumbuhan yang kecenderungannya semakin tinggi, yang harganya kompetitif sehingga benefit (value dibagi price) setinggi - tingginya.
kenyataannya bagaimana? sebagaimana diungkap di atas, pemerintah masih bersikukuh dengan 16d dengan alasan: (1) pembelaan terhadap TKDN, karena 16d konon sudah mampu dibuat oleh prodiusen dalam negeri; dan (2) para pemenang tender BWA sudah menanda-tangani di atas materai dokumen kesediaan memanfaatkan 16d.
dua alasan tersebut di atas, masih bisa digugat. yang pertama, apakah ketentuan TKDN hanya untuk WIMAX saja? kelihatannya faktanya demikian. coba simak, mengapa pemerintah tidak ribut soal TKDN ketika semua operator selular GSM. 3G, CDMA menggunakan teknologi 100% produksi luar negeri? mengapa pemerintah tidak ribut ketika di seluruh institusi pemerintahan menggunakan hardware dan software komputer yang juga 100% produk luar negeri? di mana KemKominfo dalam situasi seperti ini? barangkali bagi pemerintah 16e dan kelak Wimax 16m itu produk asing yang haram dimasukkan ke Indonesia. tetapi ketika operator selular mulai bicara LTE, mengapa tidak ada isu TKDN yang mencuat?
pertanyaannya, apakah tidak ada pengusaha nasional Indonesia yang mampu memproduksi Wimax 16e? Jawabnya ADA. Salah satunya Xirca. lantas mengapa tetap saja 16e tidak boleh digunakan bila ada yang mampu memproduksi dengan TKDN sesuai ketentuan Pemerintah? Ada apa ini?
yang kedua, pemenang tender sudah menanda-tangani kesediaan memanfaatkan 16d. syarat tender pada umumnya bersifat "hold up", artinya tidak ada pilihan lain kecuali bersedia menyetujui, mengambil satu-satunya opsi yang ditawarkan. dilihat dari segi ini saja, syarat tender sebetulnya tidak fair, karena tidak menyajikan alternatif yang dapat dipilih, sementara di pasar (industri) tersedia pilihan yang lebih efisien. artinya dari awal, pemerintah sudah menginginkan agar industri layanan BWA Wimax menjadi tidak efisien. atau kalaupun pemerintah menyerukan harga akses data murah, ini sama saja pejabat emerintah menekan pengusaha, karena di satu sisi harus membayar up front fee dan BHP Frekuensi yang lumayan mahal melalui mekanisme lelang, juga harus membeli teknologi yang sudah agak kuno dan mahal, ehh di ujungnya ditekan supaya harga layanannya murah.
sudah tahu bahwa 16d tidak efisien, mengapa peserta tender masih bersedia menanda-tangani pernyataan kesediaan memanfaatkannya? jawabnya, selain karena hold up juga ehh siapa tahu ada angin perubahan yang mampu meruntuhkan kekakuan birokrasi. harapan ini tentu tidak asal harapan, mungkin para pengusaha berpikir, birokrasi pemerintah yang sekarang sudah pro-industri, sudah ter-reformasi, sudah clean no KKN. kenyataannya? barangkali harapan tinggal harapan, karena sebagaimanan dinyatakan dalam tajuk di Koran Bisnis Indonesia, Indonesia bakal kehilangan peluang bisnis broadband, lantaran pihak yang dikira sudah pro-industri, sudah pro-pertumbuhan, sudah komit dalam WSIS untuk meraih MDG 2015, sudah sukses menjadi anggota Dewan ITU, ehh ternyata di kancah domestik rupanya, masih muter-muter di situ - situ saja sam seperti sebelum mendiang Pak Harto jatuh....
adakah solusinya? banyak pihak, termasuk para sahabat di birokrasi yang gajinya dibayar pakai pajak yang berasal dari rakyat, sudah tahu, apa solusi terbaik. namuuuunnn, mestikah kita semua masih harus bersabar seribua tahun lagi menunggu sang juru selamat datang?
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.